Friday, May 09, 2025

Dia akan baik baik saja.

 



“ Maaf pak. Saya bawa anak saya.” Kata Supir Ojol. Saya senyum aja. Ingat cucu di rumah seusia anaknya. “ Istri saya pergi dari rumah meninggalkan saya dan anak. “ Lanjutnya. 


“ Pergi kemana ? kerumah orang tuanya ? saya mengerutkan kening.


“ Pergi bersama mantan pacarnya waktu SMU. Mereka bertemu kembali lewat akun sosial media.“ Katanya dengan wajah berusaha tegar dibalik senyum hambarnya. “ Saya tidak sepenuhnya menyalahkan istri. Dia hanya kurang sabar dan kebetulan disituasi ekonomi kami terpuruk, mantan pacarnya muncul. Cinta lama bersemi kembali. Lanjutnya.


“ Tadinya usaha atau kerja apa ? tanya saya.


“ Tadinya saya punya usaha konveksi. Tetapi karena COVID, usaha itu jadi layu. Setelah covid, saya berusaha bangkit. Akhirnya tabungan habis dan modal macet di tangan pelanggan, yang juga kebanyakan bankrupt akibat pasar semakin sepi. Tumbang juga  akhirnya saya.’ Katanya dengan berusaha tersenyum. Seakan dia tidak kawatir dengan masa depannya.


Pria memang diharuskan tegar. Berbahu kokoh memigul beban. Cinta yang dia beri kepada keluarganya harus dibayar dengan pengorbanan sepanjang usia. Kadang dalam nurani yang terberai. Membawa pulang uang dengan menyembunyikan lelah berbalut senyum menentramkan. Dia harus menelan semua salah dan kekawatiran. Menumpang tawa di tempat ramai dan menangis dalam kesendirian. Memastikan istri dan anaknya merasa baik baik saja.  


Pria juga adalah manusia. Punya rasa lelah dan kawatir. Ingin dimengerti tanpa kata kata. Ingin dimaafkan tanpa harus menunduk malu. Tapi bisa apa pria? Kecuali diam dan berusaha mengerti sikap istri yang kadang tidak sabar. Sebatas itu yang saya pahami tentang apa yang dirasakan anak muda itu.  Semoga dia baik baik saja.


Supir Ojol itu masih muda. Punya anak satu. Usia balita. Tentu keluarga kecil itu seharusnya menikmati lautan kebahagiaan walau dalam bersahaja. Seperti yang saya alami 42 tahun lalu. Tetapi apa daya. Dia berada di ruang dan waktu yang berubah karena sosial media.  Orang tidak lagi belanja off line. Tetapi online. Barang di pasar tidak lagi semua produk dalam negeri, tetapi sebagian besar impor. Yang tentu murah dan lebih berkualitas. Karena sosial media, istri bertemu dengan mantan pacar yang mungkin hidupnya lebih mapan.


Zaman berganti, perubahan terjadi. Namun negeri ini tidak bergerak kedepan secara moral dan spiritual. Ekonomi tumbuh tidak inklusif. Yang berubah hanyalah cara korupsi dan jumlahnya. Era Soeharto, orang korupsi berbisik bisik dibawah meja. Ada rasa malu berbuat salah. Era sekarang,  mejapun ikut dikorup. Tidak lagi bisik bisik. Menteri dan presiden juga adalah pengusaha. Anggota DPR juga pengusaha. Bisnis rente dibahas lewat UU agar legal dan formal. Para keluarga yang menikmati uang korupsi tampil vulgar lewat sosial media dengan gaya hidup hedonism. 


Pria adalah pria.  Para elite bermental pria. Mereka mungkin tidak ada niat korupsi atau berbuat amoral demi uang. Namun bila kesempatan datang, sulit untuk menghindar. Itu human being. Hidup tidak ada yang gratis. Semua perlu uang. Bahkan dengan cara sederhanapun tanpa uang tidak lengkap kebahagiaan. Berdoa  dan beribadah tidak lagi menentramkan karena perut kosong dan tagihan pinjol menggedor.


Menghapus korupsi dengan motivasi spiritual sama saja melarang angsa berenang. Walau ada Lembaga anti korupsi dan berbuih lidah pengkotbah agama,  korupsi akan terus ada. Orang cenderung anggap korupsi sebagai cara survival di tengah system yang korup. System yang korup lahir dari  masyarakat yang sakit secara kebudayaan. Masyarakat yang inferior dihadapan sains. Masyarakat yang lemot di tengah globalisasi yang berkompetisi. Yang berlindung dari balik utang yang memeras. Yang kuat memakan yang lemah. Memang unfairness.


“ Saya mau buka usaha produksi parfume. “ katanya.” Ada grosir yang mau tampung dan bisa juga jual langsung ke pengecer.” Lanjutnya. Wah ini anak muda memang tipe pedagang sejati. Bicara to the point tapi langsung ke esensi bisnis. Saya suka. Ingat waktu saya masih muda.


“ Emang kamu mengerti cara buatnya ? tanya saya.


“ Mudah pak.  Itu campuran biang minyak, esensial, pewangi, perekat, dan ekstrak rempah dan bunga. Itu dicampur dengan alcohol,  gliserin dan air murni. Jadi dapatnya bisa berlipat lipat Saya sudah pelajari cara buatnya lebih 3 bulan. Tapi agar murah dan bisa masuk ke pengecer kelas bawah, bahannya harus impor dalam jumlah besar... “ katanya.


“ Emang berapa perbedaan harga impor dengan harga grocir?.” tanya saya.


“ Beda 10 kali. Harga impor lebih murah 10 kali daripada harga grosir di Indonesia. Kalau saya bisa impor. Saya bisa jual lebih murah parfume. Pasti pengecer beralih ke saya. “ katanya tangkas.


“ Kan market parfume itu sudah branded. Masing masing branded punya aroma khas. Kan engga mudah jualnya kalau aromanya engga jelas.”Kata saya.


“ Saya dapat formula parfume setiap branded. Saya dapat di internet. Saya sudah buat sample. Hasilnya aromanya percis sama, seperti Burgari, Armani dan lain lain” Katanya. Saya sedang berhadapan dengan entrepreneur sejati. Dalam keadaan terpuruk tidak kehilangan kreatifitas. Tetap punya hope. 


“ Ok, kenapa engga dijalankan kalau memang bagus “ Tanya saya.


“ Saya sedang cari modal. Utang ke bank udah pasti engga bisa. Rumah saya sudah disita bank karena bangkrut tempo hari. Kendaraan aja engga punya. Ini kendaraan punya orang. Mau Kerjasama dengan yang punya modal, siapa yang mau deal dengan orang bankrupt. Keluarga dekat aja ogah bantu. “ katanya tersenyum.


“ Berapa perlu modal? Tanya saya.


“ ya sekitar Rp. 100 juta. “ Katanya. 


Setelah turun sampai ditujuan. Saya bayar dan beri tip anaknya. Kemudian saya keluarkan uang dari balik tas selempang saya. “ Ini uang dollar AS. Jumlahnya 7000. Ada lebih dari kebutuhan modal kamu Rp. 100 juta. Gunakan  kelebihan uang itu untuk biaya hidup kamu selama tiga bulan. Semoga beruntung. “ kata saya. Saya tersenyum saat dia terima uang itu dan dia bengong kehilangan kata kata. Dia salami saya dengan mencium punggung tangan saya. “ Nama saya Akbar pak..” katanya. Saya mengangguk dan berlalu.


Sebatas rasional saya dan pengalaman, dia tidak ada niat pengaruhi saya untuk keluar uang. Apalagi dia tahu saya konsumen ojol. Bukan orang kaya yang biasa berkendaraan mewah. Saya hidup sebagai salesman. Memang paham sekali karakter salesman. Semua yang dia katakan itu sudah nature dia sebagai salesman. Bukan dia buat buat. 


Kalaupun sikap saya terkesan pecudang. Tak apa. Setidaknya setetes air laut saya ambil, air laut pun berkurang. Saya tidak bisa menegakkan keadilan bagi semua,  tetapi satu orang saya selamatkan dengan tulus, itu sudah mengurangi korban dari ketidak adilan.


***

Setahun kemudian. Kemarin saya terima IM “ Pak saya Akbar. Setahun lalu bapak beri saya modal USD 7000. Apa bisa ketemu bapak ?  saya berusaha mengingat, akhirnya saya balas IM nya.” Temui saya di PIM golf jam 4 sore. “ kata saya. Saat saya datang dia sudah ada di café Golf PIM. Dia salami saya dan minta anaknya salami saya juga. 


“ Saya mau bayar utang saya pak..”katanya serahkan uang USD 7000. Saya terima uang itu tanpa ragu. Dan kembalikan lagi USD 1000 “ Itu uang sengaja saya beri untuk biaya hidup kamu. Itu tidak ada kaitannya denga bisnis. “ 


  Terimakasih pak..” katanya.  “ Usaha saya sudah berkembang pak. Saya sudah bisa sewa rumah lebih besar untuk bisa kerja dan produksi lebih banyak. Ada 3 karyawan bantu saya. “ lanjutnya dengan senyum cerah. 


“ Alhamdulilah.” Kata saya. Di sedang melaju diusia emasnya. Dengan karakter seperti itu, dia akan selalu baik baik saja.


1 comment:

Kino Sebayang said...

Selalu ada jalan, orang baik ketemu dengan orang baik sehingga jalan kebaikan tercipta, sehat sejahtera selalu 🙏

Ojol dan Exploitasi lewat skema

  Kadang dalam hidup kita perlu barang sejenak untuk menjauh dari keramaian. Namun tidak jauh dari keluarga besar. Begitu juga dengan saya. ...