Saya duduk santai di teras outlet retail market. Tunggu Lina jemput saya. Mau merokok tidak ada asbak. Saya terpaksa urung merokok. Ada anak muda mendekati saya. “ Pak, ini Asbak nya. “ Katanya ramah. Sepertinya dia lihat saya mau merokok batal karena tidak ada asbak.
“ Kamu merokok ? tanya saya.
“ Ya pak. “
“ Tarik aja kursinya ke mari. Jadi kita satu table. Merokok bareng. “ kata saya tersenyum. Dia membalas senyum dan menarik kursinya. Pria ini anak baik. Tahu sopan santun kepada orang tua seperti saya. Sesuatu hal yang sudah jarang terjadi di era sekarang.
Belum satu batang rokok habis. Saya lihat pria itu berdiri dan mendekati wanita yang baru turun dari motor bersama pria. Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Karena agak jauh. Namun keliatan wanita itu menunjuk nunjuk pria itu. Tak lama. Wanita pergi berlalu naik motor bersama pria temannya. Pria itu kembali ke table. Dia seperti baru tersengat listrik. Wajah nya pucat.
“ Kamu baik baik saja” Tanya saya kepada pria itu. Dia menoleh kesaya. Berusaha tersenyum. “ Saya sengaja duduk disini untuk mergoki pacar saya selingkuh. Kata teman saya, dia selalu dari kantor di Sudirman diantar pria ke stasiun untuk pulang. Tadi saya saksikan dengan kedua mata dan kepala saya. Dia mengakui. Saya berusaha memaafkan. Tetapi sepertinya dia tidak ingin lanjutkan hubungan dengan saya. “ kata Pria itu.
“ Sabar aja. Biasa itu. Kamu masih muda. Masa depan kamu masih Panjang. Engga usah dibawa hati. Dulu waktu saya muda seperti kamu juga Mengalami hal yang sama. “ Kata saya berusaha memberi semangatnya.
“ Yang salah saya. Sudah dua tahun pacarana. Saya belum siap diajak menikah.”
“ Kenapa ?
“ Saya kerja di perusahaan Marketing sebagai Admin online. Gaji take home pay Rp. 6 jutaan sebulan. Untuk saya sendiri saja tidak cukup. “ Katanya.
“ 6 juta kan diatas UMR. Kenapa engga cukup? Tanya saya.
“ Hitung aja.” Katanya. “ Uang kos Rp. 1,5 juta. Makan dan minum Rp. 1,5 juta. Bayar quota Rp. 200.000. Angsuran Hape Rp.500.000. Bayar angsuran motor Rp. 600 ribu. Angsuran pinjol Rp 1. Juta. “ Katanya. Sebetulnya masih ada sisa tuh duitnya. Dan tentu masih ada celah untuk berhemat. Kalau menikah, biaya hidup bisa dikelola bersama dengan istri, yang katanya juga bekerja. Tapi udahlah. Engga perlu saya pertanyakan lagi.
Di hadapan saya adalah contoh generasi muda, yang kata statistic berjumlah 44,47 juta jiwa pada tahun 2023. Dan anak muda itu harus bersukur. Karena dia tidak termasuk dari 9,9 juta anak muda yang tidak bekerja, berpendidikan atau tidak terlatih berkerja. Harus bersukur karena tidak termasuk 40 juta orang yang bekerja dengan gaji dibawah Rp. 5 juta sebulan. Tentu tidak termasuk 60% dari populasi Indonesia yang miskin menurut bank dunia.
Tahun 1983 pertama kali kerja sebagai salesman. Gaji saya Rp. 150.000. Kalau dikurs kan dengan harga emas yang saat itu Rp. 7500 per gram. Sekarang harga emas Rp. 1,5 juta/gram. Artinya pendapatan saya sebulan setara dengan Rp. 30 juta pada saat sekarang. Makanya saya bisa merencanakan masa depan termasuk menabung. Tahun 85 saya sudah tidak lagi salesman. Dengan tabungan yang ada saya bisa jadi pengusaha formal.
Era saya generasi baby boomers, cari uang di kota itu mudah bagi yang tamat SMA. Teman seangkatan SMA saya kebanyakan memilih masuk universitas. Wirausaha dianggap orang gagal yang tidak qualified bekerja pada pemerintah. Umumnya yang sarjana engga sulit dapatkan kerjaan bergengsi di Instansi pemerintah atau BUMN atau PMA. Maklum saat itu yang sarjana tidak banyak. Makanya mudah dapatkan jodoh. Engga aneh kalau saya dapat istri karena dijodohkan orang tua. Karena saya hanya tamatan SMA.
Tapi saya tidak bisa menyalahkan anak muda itu bila dia tidak bisa berhemat dan bersyukur. Mengapa ? Keadaan kelas menengah seperti anak muda itu dikepung oleh ekosistem rente. Tersedianya fasilitas berhutang yang mudah lewat fintech, seperti Paylater, pinjol. Tersulut budaya konsumsi yang berasal dari social media. Yang era saya tidak ada itu. Belum lagi rendahnya literasi keuangan dalam mengelola penghasilan dan merencanakan masa depan, membuat mereka sampai tua tidak akan mengalami financial freedom.
Dalam skala nasional, model pendapatan kelas menengah seperti itu akan membuat middle income trap. Stuck. Maju engga bisa, malah kalau tidak ada terobosan kebijakan nasional bisa terancam jatuh jadi negara poor lagi. Karena jumlah penduduk terus bertambah, angka penganguran meningkat, sementara sumber daya income negara tidak meningkat significant. Negara harus terus berhutang untuk menutupi defisit anggaran. Artinya masyarakat maupun negara masuk dalam skema debt trap.
***
Lina akhirnya datang jemput saya untuk meeting di kantor teman. “ Pak, berita kemarin mantan pejabat MA yang kena OTT. Di rumahnya ada uang cash hampir Rp 1 triliun. Gila ya segitunya korupsi dan TPPU yang tercatat di luar system perbankan. Itu yang ketahuan, yang engga tahuan mungkin lebih besar lagi. ” Kata Lina sambil setir.
“ Sementara yang tercatat secara system perbankan lebih besar lagi. Pada tahun 2024, PPATK mengidentifikasi total transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp1.500 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp1000 triliun diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Selain itu, transaksi mencurigakan terkait perjudian daring mencapai 360 triliun.
Kalau membaca data yang ada, dengan jumlah yang sangat besar itu, tidak akan terjadi tanpa keterlibatan system kekuasaan. Dan terbukti, sekian besar korupsi tidak banyak yang masuk penjara. Kalau ada yang masuk penjara, tidak menjangkau actor intelektual. “ Lanjut Lina.
“ Mengapa terkesan terjadi pembiaran korupsi itu? Tanya Lina.
“ Semua karena bisnis. “ Kata saya sekenanya dan tersenyum.
“ Maksudnya ?
“ Dalam system demokrasi terbuka, kekuasaan itu just a business. Mau jadi caleg, kepala daerah, bahkan presiden, tanpa uang engga mungkin bisa lolos melewati proses yang berkompetisi. Mau berkarir bagus di BUMN, di instansi pemerintah, harus pintar dekati elite politik. Semua proses politik itu perlu ongkos. Engga ada yang gratis. Termasuk kalau semua cerita itu berujung skandal, aparat hukum juga minta uang. Siapa yang ongkosi? Ya pengusaha. “ kata saya.
“ Artinya, pengusaha lah penyebab system yang ideal terdistorsi.” Kata Lina mengerutkan kening.
“ Idealisme itu karena idiologi. Nah system yang ada menghapus idiologi. Jadi tidak ada istilah terdistorsi. Semua berlaku business as usual “
“ Tapi kan engga banyak pengusaha yang mampu capitalisasi kekuasaan untuk menghasilkan uang banyak. Apalagi keluar uang lebih dulu untuk ongkosi politik sebelum hasil didapat. “ kata Lina.
“ Benar. Karena memang create peluang rente itu tidak mudah. Perlu kecerdasan, networking business kelas dunia dan menguasai literasi keuangan dan ekonomi. Jadi untuk jadi oligarki, juga harus bersedia jadi komprador asing.” Kata saya.
“ Contohnya ?
“ Business pembangkit listrik dalam skema PPP. Dengan adanya vendor international, maka Power purchase agreement dengan PLN akan mendatangkan uang mudah dari vendor. Kamu jadi pemilik pembangkit listrik yang pasar dan resikonya dijamin oleh negara. Kalau investasi katakanlah Rp 1 triliun, kamu mark up jadi Rp. 2 triliun. Terus kamu korbankan sebesar 500 miliar rupiah untuk pejabat, elite politik, termasuk ormas. Kan bukan masalah. Its just a business.
Kalau kamu punya buyer international yang punya kapabilitas sebagai offtaker market. IUP mineral tambang yang kamu dapat dari pemerintah, itu bisa mendatangkan uang tanpa kamu keluar uang banyak. Semua proses explorasi, exploitasi, smelting di tanggung oleh buyer lewat skema counter trader off set. Kalau kamu dapat uang Rp. 100, kamu bagi Rp. 10 untuk pejabat, elite, aparat, dan ormas untuk amankan konsesi kamu, kan engga ada masalah. “ Kata saya.
“ Sekilas bisnis rente semacam itu mendatangkan pajak dan menyerap Angkatan kerja. Sama saja dengan bisnis kebun sawit. Dimana investasi dari offtaker market di Singapore, pengusaha local hanya jadi proxy aja. “ Kata Lina.
“ Tapi proses nya engga berhenti sampai disitu aja. “ Kata saya. “ Biasanya bisnis rente itu masuk ke bursa. Lagi lagi perlu dukungan elite dan pejabat otoritas untuk meloloskan agenda IPO. Engga sulit ajak Lembaga Dana Pensiun BUMN jadi standby buyer untuk create value saham diatas ratusan kali dari harga buku. Karena proses ini adalah rekayasa. Berlalunya waktu saham akan terus jatuh semakin jauh dari harga perdana.” Kata saya.
“ Ya. Akhirnya yang korban adalah dana pensiun, dana haji, dana asuransi. Karena uang yang sudah berubah jadi asset saham, nilainya susut. Bank yang ikut memberikan kredit kepada emiten itu, juga terjebak dengan collateral saham yang terus turun. Berpotensi NPL. Investor retail yang bego juga jadi korban halu bursa saham. Pada gilirannya penerimaan pajak negara juga susut. Karena business plan dari emiten memang bukan untuk create value lewat growth real, tapi hanya money game dan money laundry. “ Kata Lina menyimpulkan. Saya senyum aja.
“ Apakah kita masih bisa berharap dengan rezim yang ada sekarang? Tanya Lina. Saya diam saja.
“ Mengapa kamu peduli dengan keadaan politik? Saya mengerutkan kening. " Bukankah hidup kamu sudah aman. Sebagai dirut dari group perusahaan, kamu dapat gaji setahun diatas Rp. 5 miliar. Belum lagi fasilitas yang kamu dapat. “ Tanya saya sambil rebahkan kursi untuk siap tiduran. “Aneh..” gerutu saya.
“Memang Lina secure. Tetapi itu didapat dari profesionalitas yang tentu karena Pendidikan. 90% rakyat Indonesia tidak bisa seperti Lina. Kalau orang seperti Lina tidak peduli, lantas siapa lagi yang akan melindungi rakyat miskin dan bodoh ? kata Lina. Saya senyum aja. Dia engga tahu. Orang miskin dan bodoh sudah dibeli oleh elite untuk jadi buzzer menyerang mereka yang kritis dan ironinya dalam kemiskinan dan kebodohan, malah jadi pendukung setia.
“ Kalau ketidak adilan terus terjadi dan sangat vulgar. Lama lama rakyat miskin pasti marah. Pada akhirnya orang sepeti Lina ini engga lagi secure. “ lanjut Lina. Saya diam saja. Karena sikap Lina itu make sense. Tapi just a business. Kalau ingin hidup kita aman ya harus pastikan orang lain juga aman. Tapi itu tidak dipahami oleh orang rakus. “ Bangunkan saya kalau sudah sampai” kata saya mejamkan mata. " Apakah nasip atau kutukan bagi kita. living in a dangerous place" terdengar sayup sayup suara lina.
No comments:
Post a Comment