Saturday, October 28, 2023

Jadi narasumber TA mahasiswa.

 




Saya kebetulan diminta oleh mahasiswa yang sedang TA sebagai narasumber. Dia perlu wawancarai saya. Setelah sebulan lebih WA nya baru saya sanggupi untuk bertemu. Saya menerimanya di kantor saya di Jakarta Barat. Di hadapan saya ada mahasiswi. Dari matanya dia keliatan cerdas, dan penampilannya pernuh percaya diri.Saya suka. Ini ciri khas generasi Z. 


“ Apa yang bapak pahami tentang industri kreatif ? tanyanya. Saya tahu dia bertanya kepada saya sebagai praktisi, bukan akademis. 


“ Hape yang ada ditangan anda itu  berasal dari industrin kreatif yang terpadu. Biaya material produksi 1 unit hape Iphone hanya USD  120. Circuit elektronik nya dibuat dari powder nickel. Satu hape unsur nikel hanya 2% saja. Harga Iphone dijual USD 1000/unit. Value Nickel nya hanya 0,1% dari total harga jual Iphone. Selisihnya adalah nilai ekonomi kreatif. “ Kata saya.


“ Apa saja konten ekonomi kreatif nya? 


“ Ya Software OS untuk berjalannya beragam aplikasi telp pintar, yang harus didukung oleh  design material, processor, memory. Yang berasal dari SDA hanya 0,1%. Sisanya 99,9 % adalah sumber daya manusia. “ kata saya.


“ Itu barang tambang. Bagaimana dengan bahan dari pertanian.


“ Ok. Kita ambil contoh perkebunan kapas. Pakaian itu bahannya berasal dari kapas, dan fibre. Di proses lewat industri tekstil dan garmen. Biaya buat satu lembar kaus tanpa kerah  D&G USD 4 tapi dijual di market USD 40. Nah perbedaaan USD 36 itu adalah nilai kreatifitasnya. Artinya 90% bukan berasal dari SDA tapi berkat SDM.  Sampai disini paham ya.” Kata saya.


“ Paham. “ jawabnya tersenyum. “ Lanjut pertanyaan saya. Apakah cukup sebatas produksi saja ekonomi kreatif terlibat ?


“ Tidak. Masih diperlukan kreatifitas intelektual untuk memasarkannya. Tanpa iklan, tidak mungkin D&G dikenal orang. Tidak mungkin Iphone menjadi hape premium. Di dalam iklan itu tentu ada seni yang ditampilkan lewat mix media. Tanpa art design, copy writer, visual effect, creative media, engga mungkin rancangan pakaian D&G menarik untuk dibeli orang dan tidak mungkin orang mau merogoh dompet diatas USD 1000 per unit Iphone.


Semua benda modern yang ada disekitar kita hanya 10% berasal dari SDA. Sisanya berasal dari intelektual manusia. Kalau nilai ekspor kita katakanlah USD 100 maka nilai tambah output yang didapat oleh industri di Jepang ,Korea, China dan AS, itu mencapai sedikitnya USD 10.000. Jadi paham ya, Mengapa gaji dan upah negara yang tergolong maju itu berkali kali lipat dari upah di Indonesia. Karena value SDM kita hanya 0,1% terhadap output produksi. Jadi jangan bangga bicara hilirisasi kalau industri kreatif tidak tumbuh. Bahkan sama dengan kebodohan. “


Dia mengangguk. 


“ Bagaimana pendapat bapak terhadap bonus demograpi dimana penduduk indonesia itu mayoritas  generasi Y dan Z. Apakah itu bisa jadi potensi besar bagi Indonesia menjadi negara maju. “ Tanyanya lagi.


“ Mengapa kamu tanyakan itu ? 


“ Generasi Y dan Z kan generasi milenial. Mereka yang lahir tahun 81 keatas dan tumbuh dewasa ditengah kreatifitas kemajuan IT dan atau 4G. “ Tanyanya. Saya tersenyum. 


“ Thomas Jefferson pernah berkata. “ Kata saya mencoba mencerahkan. “ Kata katanya yang terkenal, Saya harus belajar politik dan perang agar putra-putra saya mempunyai kebebasan untuk belajar matematika dan filsafat. Putra-putra saya harus belajar matematika dan filsafat, geografi, sejarah alam, arsitektur angkatan laut, navigasi, perdagangan, dan pertanian, agar anak-anak mereka berhak belajar seni lukis, puisi, musik, arsitektur, patung, permadani, dan porselen.  Dari kata kata jefferson itu ada tiga genrasi. Yaitu pertama kita sebut saja generasi jadul. Doyan politik dan perang. Kedua, Generasi Modern. Doyan matematik dan filsafat. Ketiga disebut generasi Milinelial atau 4G. 


Generasi jadul itu sibuk belajar ilmu politik dan perang. Orientasinya memburu kekayaan dan tahta. Apapun dia lakukan untuk mencapai itu, termasuk menjajah atau kolonialisasi. Tidak ada nilai nilai demokrasi, apalagi HAM. KKN udah jadi air susu ibu. Terbelenggu hubungan Patron-Clients. Generasi ini ditutup dengan adanya perang dunia pertama dan kedua.  


Kemudian muncul Generasi modern yang merupakan kelanjutan dari revolusi industri. Generasi ini menjadikan sains sebagai obor  dan alat mencapai kemakmuran. Orientasinya pengakuan diri atas dasar intelektual. Apapun sistem negaranya namun nilai nilai demokrasi dihormati. Hukum tegak. Riset dan pengembangan menjadi ciri negara modern. Tiap negara maju berlomba lomba meningkatkan anggaran risetnya. IPTEK minded. Sayang sekali kita tertinggal soal  alokasi anggaran riset., Kalah jauh dengan anggota G20. Tertinggal jauh soal nilai nilai demokrasi. Artinya mindset kita membangun tetap jadul walau kita hidup di era modern.


Berikutnya, generasi 4G ya gemar belajar seni atau art.  Pekerjaan kasar mengolah SDA sudah tidak lagi menggunakan tenaga manusia tetapi robot. Pengendalian proses produksi sudah menggunakan AI. Kedepan, yang bisa unggul dan survival adalah mereka yang punya skill kreatif seperti art designer, arsitektur, engineering, dokter, Financial analysis dan Financial engineering, media planner dan creative media, lawyer, product development designer, dan lain lain. Mereka menikmati financial freedom karena kompetensi.


Mereka yang hidup dari skill profesional itu sebagian besar menggunakan otak kanan. Orientasi berproduksi patuh kepada standar ESG. Tidak lagi focus mendapatkan pengakuan diri dari luar. Tetapi lebih focus kepada nilai nilai dari dalam dirinya sendiri atasa dasar nilai nilai spiritual. Nah karena mereka punya kemampuan mengakses informasi, mereka kaya akan literasi. Membuat mereka berpikir terbuka tanpa harus menjadi follower buta. Mereka tumbuh dan berkembang diluar bayang orang tuanya dan tidak terikat dengan patron. Mereka sangat mandiri dari standar nilai jadul dan tidak terpengaruh dampak buruk dari modernitas yaitu hedonisme. “ Kata saya. Seruput kopi. Dia menyimak.


“ Nah kalau anda paham yang saya maksud dengan generasi milenial seharusnya anda juga paham bahwa milinenial itu bukan pada usia tapi mindset. Walau usia anda termasuk milienial tapi sikap hidup dan gaya hidup jadul ya tetap aja jadul. Tidak bisa dikatakan sebagai bonus demograpi yang bisa menjadi mesin pertumbuhan menuju negara maju.  Paham ya.” kata saya. Dia menggangguk. Pertemuan itu berakhir karena saya masih ada janji dengan tamu. Tapi mahasiswi itu mengatakan sudah cukup puas dengan penjelasan saya.

Sunday, October 22, 2023

Anak ayam dan kupu kupu

 




Saat masuk SMP tahun 1976, aku punya tetangga. Namanya Agus. usianya lebih tua dariku. Aku kelas 1 SMP dia sudah kelas 3 SMA. Adiknya Dita, satu SMP denganku. Agus memang orangnya pendiam. Lebih sering di kamarnya. Jarang dia bermain dengan teman temanya sebaya. Dia pintar di sekolah. Selalu juara. 


“ Kamu harus tiru Agus. “ Kata Pamanku sambil pegang kepalaku. “ Utamakan belajar agar bisa berguna nanti. Jangan main dibanyakin” Nasehat pamanku. Aku hanya mengangguk. Bagaimanapun aku belajar keras. Jangankan juara sekolah. Masuk rangking 10 saja di kelas aku tidak mampu. Entah mengapa aku lemah sekali pelajaran hapalan.


Ibuku buka warung kebutuhan hari hari di depan rumah. Sore biasanya bapak bapak kumpul di depan warung. Mereka cerita kalau Agus diterima di PTN di Bandung. Lulus lewat test. Ayah Agus cerita bagaimana bangganya dia saat antar putranya ke Bandung. Melihat kampus yang megah. Ayah Agus kerja di stasiun kereta, tentu sangat berharap putranya bisa jadi sarjana dan bekerja instansi yang punya masa depan baik. Setidaknya hidup Agus akan lebih baik dari ayahnya.


“ Biasanya Sarjana ekonomi kerjanya di bank” Kata ayahnya depan bapak bapak.  Para bapak bapak menampakan wajah kagum kepada Ayah Agus. Malam itu pamanku berkata kepadaku. “ Kamu harus tiru Agus. Sekolah pintar dan terima di PTN. Itu membanggakan sekali.” 


“ Ale, sekolahnya engga pintar. Tamat saja dia SMA sudah alhamdulilah.” Kata Ibuku. 


“ Entah bagaimana masa depan anak ini. Sekolah tidak pintar dan orang tua tidak mampu. Kepada siapa dia akan bergantung nanti” kata Pamanku.


“ Anakku punya Allah dan tentu Allah lah tempat dia bergantung. Uni hanya bisa berdoa saja untuk Ale. Apalagi dia anak laki laki tertua kami” Kata Bunda.


***

Tamat SMP , orang tuaku pindah rumah. Aku tidak lagi bertetangga dengan Agus. Dan lagi selama kuliah di Bandung dia tidak pernah pulang. Kelas 2 SMA aku dapat kabar dari Dita, Agus sudah kembali ke rumahnya. Dia sudah sarjana. Menurut Dita, Agus selalu di rumah, Tidak kemana mana. Hanya setahun nganggur, setelah itu dia kerja di Bank. Itupun berkat ayah pacarnya. Tercapai juga cita cita ayah Agus.


Setamat SMA tahun 82, Aku sempat ke rumah Dita sebelum pergi merantau ke Jawa. “ Ale, rencana kuliah di Jawa Ya ? tanya ayah Agus.


“ Tidak kuliah pak. Hanya mau merantau saja.” Kataku. 


“ Gimana lue hidup kalau engga kerja di Jawa” Kata Agus ketus.


“ Saya akan kerja apa saja. Yang penting halal” kataku. Agus tertawa sinis. Aku diamkan saja.


Setelah itu aku pergi merantau ke Jawa.


Tahun 1984. Setelah dua tahun di rantau aku kembali ke kotaku.  Aku dapat cerita kalau Agus sudah menikah. Lengkaplah jalan hidupnya yang terang benderang. Karir agus tentu semakin baik. Tapi masih tinggal dengan mertuanya. “Agus itu hebat. Sarjana dari PTN dan karirnya bagus.” Kata Pamanku. “ Memang kalau anak itu akan sukses sudah keliatan dari kecil. Dia rajin belajar dan kurang main.” sambung pamaku yang bersatire tentang aku yang tidak kuliah dan kerja hanya salesman.


***

Sejak tahun 84 aku tidak pernah dengar lagi cerita tentang Agus. Apalagi dia sudah pindah ke Cabang Bank di Palembang untuk karir yang lebih hebat tentunya. Tahun 93 aku bertemu dengan Dita yang bekerja sebagai ajun akuntan di Pabrik Kulkas. Kantornya di bilangan kota tua.


“Ayahku sudah pensiun. Di rumah hanya ada Ayah dan Ibu. Bang Agus di Palembang dan aku di Jakarta. “ Kata Dita bercerita tentang keluarganya. “ Satu sen pun tidak pernah Bang Agus kirimin uang untuk orang tua kami. Pernah ayah dan ibu ke Palembang ke rumahnya tapi disikapi masam oleh dia dan Istrinya. Entah mengapa dia begitu. Padahal dia sudah kepala cabang.” Kata Dita dengan raut wajah sedih.


“ Ayah sangat bangga sekali dengan Bang Agus. Ayah selalu penuhi kebutuhannya waktu kuliah di Bandung. Setiap bulan ayah harus berhutang untuk bisa kirimin uang ke bang Agus di Bandung. Kami makan sangat prihatin. Hidup dari gali lobang tutup lobang. Tadinya ketika aku terima di PTS di Jakarta, aku berharap bang Agus bisa bantu uang kuliahku . Tapi bang Agus engga mau bantu apapun. Terpaksa aku kerja serabutan di Jakarta agar bisa terus kuliah. Pernah jadi SPG, macem macem kerjaan aku lakukan agar bisa terus kulaih dan lulus jadi sarjana.


Setelah aku kerja, 1/3 gajiku untuk bayar utang ayah. Baru dua  tahun bisa lunas. Tapi ayah sudah sakit sakitan. Kena Ginjal. Butuh biaya berobat. Kemudian ibuku kena penyakit gula. juga sakit sakitan. Terpaksa aku harus berkorban lagi merawat mereka.  Makanya sampai usia  30 tahun masih jomblo. Mana pernah ayah kawatirkan aku. Engga pernah tanya kapan aku akan menikah. Apakah sudah punya pacar. Sepertinya aku ini anak buangan. Tapi aku ikhlas saja” kata Dita.


***

Tahun 2009 Januari aku ketemu lagi dengan Dita. Kami bertemu dalam acara Seminar di Hotel SariPacific Jakarta. Saat itu aku jadi narasumber seminar bertema Krisis Lehman.” Emangnya Ale tadi kuliah dimana ? tanya Dita. Dia peserta seminar.


“ Aku engga pernah kuliah.Tapi entah mengapa aku dijadikan narasumber. “ kataku. 


“ Terlalu merendah Ale. Aku baca profil Ale sebagai narasumber. Hebat. “ kata Dita tersenyum bangga " Lihat Ale bicara depan peserta Seminar aku sempat mikir bagaimana Ale sahabat masa kecilku yang selalu berjalan bertelanjang kaki. Tidak punya sepatu olah raga. SMA di sekolah pavorit tetapi tidak malu dagang kaki lima. Tidak pernah mampu masuk universitas. Tapi kini bisa bicara di hadapan para sarjana hebat, bicara tentang hal yang rumit terutama bagi orang Indonesia. Dari kecil aku bangga dan senang punya Ale sebagai sahabat. Sangat penolong kepada wanita dan selalu mengalah. Aku ingat tahun 93 Ale titip uang untuk kedua orang tuaku. Halus sekali perasaan Ale saat memberi uang kepadaku. Tak ingin menyinggung perasaanku.  " Lanjut Dita, Aku senyum aja.


“ Kenapa aku harus bohong kepada sahabat masa remajaku. “ kataku tersenyum. Aku ajak Dita minum kopi di kafe di hotel itu seusai seminar.


Aku dapat cerita dari Dita tentang Agus, Abangnya. “ Tahun 2002 bang Agus kena kasus. Dia terpaksa berhenti kerja di bank. Setelah itu hubungannya dengan istri tidak lagi harmonis. Tahun 2004 mereka bercerai. Rumah dan harta semua diambil oleh istrinya. Bang Agus sekarang tinggal sendirian di rumah warisan orang tua kami. Karena ayah dan ibu sudah meninggal sejak tahun 96. “ kata Dita.


“ Oh …” aku hanya bisa prihatin saja.


“ Tahun 2006 dua anak bang Agus tinggal bersamaku. Walau kami mampu biayai. Tapi aku beri mereka kesadaran bahwa mereka tidak boleh hidup dari bayang bayang orang tuanya. Apalagi bergantung dari fasilitas orang tua. Mereka juga sadar. Bahwa mereka dikirim kepadaku karena orang tuanya tidak mampu. Kini yang satu masih kuliah. Tapi kerja sambilan sebagai junior programer. Dan satu lagi masih SMU, ikut kursus jasa boga. Aku dukung aja apa mereka mau. Dan lagi keberadaan mereka karena Tuhan. Bukan aku yang minta kedua anak itu tetapi ibunya yang antar mereka ke jakarta untuk tinggal bersamaku. Untung saja suamiku mau terima.” 


“ Eh Dita udah nikah. Kapan ? tanyaku.


“ Tahun 97. Tepat usiaku 34 tahun. Suamiku dari keluarga miskin juga. Dia sukses sebagai pengusaha karena kerja keras dalam kesulitan yang panjang sampai harus terlambat menikah. Untung ketemu dengan aku yang juga perawan tua. Usianya saat menikah 45 tahuh. Ya beda 11 tahun dengan aku.” Kata Dita.


“ Punya anak berapa ?


“ Satu. Untung ya “ Kata Dita tersenyum. “ peranakan ku masih berair dan kokoh. Walau aku hamil usia 36 tahun tapi tetap sehat. “Lanjut Dita, Aku mengacungkan jempol.


“ Ale..” Seru Dita. “ setelah aku menikah. Aku baru paham makna dari perjalanan hidupku dan kedua orang tuaku. Ayahku sangat memaksakan diri agar Agus seperti apa yang dia mau. Apapun  diarahkan dan ditolong. Bahkan perjodohan Agus dengan putri pejabat Bank itupun cara ayahku agar Agus mudah kerja di bank setelah tamat kuliah. Agus memang sukses selagi ayah dan mertua masih ada. Tetapi setelah tidak ada. Dia rentan sekali dengan goncangan. Sekali kena badai dia langsung karam.  


Bang agus memang anak dari orang tuaku tapi dia bukan milik mereka. Ia milik Tuhan. Kewajiban orang tua menyayangi tetapi bukan memaksakan pikiran dan kehendak. Seharusnya ayah percaya bahwa bang Agus punya pikkirannya sendiri dan itu takdirnya. Ya seperti aku. Seperti anak ayam. Setelah besar di patok oleh ibunya  dan dicuekin agar bisa mandiri lewat proses yang panjang. Menjadi orang tua itu tidak mudah. Karena kita harus percaya kepada sunatullah. Ulat harus berjuang dalam kesakitan agar bisa keluar dari kepompong dan setelah itu dia akan berubah jad kupu yang indah. Karenanya proses penyerbuk bunga tanaman terjadi untuk terciptanya buah. Ia pun bermanfaat bagi kehidupan dan semesta. Memang begitu seharusnya. "Kata Dita..

Friday, October 20, 2023

"Om lupa ya. Aku Nani."





Malam hari di tahun 2012 “ Temanin gua makan bubur ayam di Mangga Besar 1.” kata saya kepada Awi.  Bubur ayam di Mangga besar ini makanan Favorit saya sejak tahun 80an. Kendaraan parkir agak jauh dari restoran. Karena konsumen keliatannya ramai. Saat jalan kaki ke restoran, saya dikejutkan oleh keributan. Seorang pria berusaha menarik wanita remaja ke atas motor. Wanita itu berontak. Wajah wanita itu berlumuran darah. Sepertinya darah dari kening. Tidak ada orang yang melerai

 

Saya terkejut dan replek bergerak melerai. Mungkin karena suara saya lantang meminta pria itu berhenti menyeret wanita itu. Pria itu mundur dan pacu motornya. Berlalu. Membiarkan wanita remaja itu terduduk di trotoar jalan. Wanita itu tidak menangis. Matanya masih menyiratkan rasa takut namun tegar. “ Kamu engga apa apa” tanya saya. “ mari kita ke rumah sakit. “ Lanjut saya. Dia berusaha berdiri tapi sempoyongan. Saya bopong  dia kedalam kendaraan. “ Wi, kita ke rumah sakit terdekat” Kata saya.


“ Ale, udahan dech. “ Kata Awi mengerutkan kening. “ Ini kawasan red light. Udah biasa seperti ini. Ngapain diurus segala. Wanita ini bisa urus dirinya sendiri. Mending kita biarkan saja wanita ini.” Lanjut Awi.


“ Ada apa kamu ? sentak saya. “ Orang lain boleh tidak peduli. Tapi tidak bagi saya.” Lanjut saya. Awi diam saja dan terus arahkan kendaraan ke RS. 


Sampai di UGD RS, lecet di kening wanita itu diobati dan diperban. Dua jam di UGD, wanita itu sudah tegar kembali.  “ Tinggal dimana kamu ? Tanya saya. Wanita itu diam saja. “ Om antar kamu pulang. Mau ya”  Kata saya menawarkan diri.


“ Saya tidak punya rumah. “ Katanya dengan tatapan kosong. “ Tadinya saya ngekos sama pacar saya di Mangga besar. Tapi belakangan dia paksa saya jadi PSK. Saya menolak, dia marah dan pukul saya.  Begitu aja terus. Terakhir seperti tadi. Dia pukul kening saya. “ Katanya. 


“ Kalau gitu kamu tinggal di hotel dulu ya. Besok saya carikan tempat tinggal kamu. “ Kata saya. Saya tahu. Dia tidak ada uang. Tadi waktu ambil KTP nya di dompet nya memang tidak ada uang. Di KTP namanya tertera “ Sumarni.”  Usia 20 tahun.


“ Duh Ale, kenapa begitu amat sih. Jadi repot kita. Kalau soal empati, terlalu banyak ketidak adilan di negeri ini. Engga akan bisa kita jangkau. Udah dech. Cukup sampai RS saja. Selanjutnya biarkan dia dengan hidupnya.Kita doakan saja dia. “ Kata Awi. Tapi karena saya bersikeras. Awi tidak bisa menolak saran saya. Malam itu saya putuskan dia tinggal di Hotel di kawasan Jakarta Timur.


“ Besok akan saya carikan tempat tinggalnya “ kata saya.


“ Ok.  “ Kata Awi. “terus apa rencana kamu untuk dia? Emang gampang mengubah hidup orang yang sudah terlanjur rusak di lingkungan brengsek. “ Lanjut Awi. Saya diam saja. Entah mengapa saya berdoa kepada Tuhan. “ Ya Tuhanku. Beri aku jalan untuk membantu wanita itu keluar dari  kelam” 


Saya book kamar seminggu.” Kamu tinggal di hotel ini ya” Kata saya. Minggu depan saya datang lagi. “ Sambung saya. “ Kalau ada apa apa kamu telp saya” kata saya memberikan kartu nama dan uang untuk dia makan.. 


Tiga hari kemudian saya dan Awi datang ke hotel tempat Sumarni nginap. Saat kami datang. Dia tidak ada di kamar. Petugas Hotel katakan bahwa dia baru saja keluar hotel. Saya segera keluar hotel. Mencari tahu kemana dia. Di pinggir jalan seberang hotel saya melihat dia sedang makan di warteg. Saya hampiri. Dia tersenyum. Saya mengangguk. Usai makan saya ajak lagi ke hotel. 


“ Kamu kan ada uang. Kenapa engga pesan makan lewat room service. “ Kata saya.


“ Mahal makannya, Om” Katanya menunduk.  “Saya harus hemat. Uang dari om lebih dari cukup untuk saya dagang.” katanya. Memang saya beri dia uang satu gepok pecahan Rp. 100.000. Itu senilai Rp 10 juta.


“Apa rencana kamu ? tanya saya. 


“ Kemarin saya telp teman. Sewa warung makan Warteg boss nya sudah habis. Boss nya mau pulang kampung. Aku mau lanjutkan sewa warung itu “ Katanya.


“ Emang kamu bisa masak?


“ Saya tadinya tamatan SMK jasa boga. “ Katanya. Saya terkejut. Ini anak terpelajar. Saya tidak mau dengar cerita kelamnya sehingga sampai masuk ke dunia kelam. Saya ingin dia focus ke masadepan dia saja.“ Kalau begitu suruh teman kamu kemari. Kita bicara soal rencana kamu buka warung.” kata saya. Saya pinjmkan Hape saya untuk dia telp temannya. “ Ya dia mau datang kemari” katanya.


Kurang dari 2 jam. Temannya sudah datang. Dari temannya saya tahu.  Sewa tempat itu Rp. 15 juta setahun. Saya  minta Awi beri dia uang Rp. 25 juta. ‘ Ditangan kamu kan ada uang Rp 10 juta yang kemarin saya beri. Jadi uang kamu ada 35 juta. Gunakan uang itu untuk sewa rumah dan warung. Juga modal kamu buka warung” kata saya. Dia terkejut. Temannya juga terkejut. Tak ada kata kata keluar dari mulutnya. Dia menangis. “ Kamu jaga diri bari baik baik ya. “ Kata saya berlalu.


***


“ Sepertinya kita baru saja dirampok oleh wanita itu.” Kata Awi dalam kendaraan. Saya temenung. Mungkin saya sedang di rampok oleh wanita itu. Sebegitu mudahnya saya terbawa perasaan sehingga uang keluar sebesar Rp. 35 juta begitu saja. Kalau di kurs kan dollar itu sebesar USD 2500. “ Tapi kalau mengingat dan membandingkan biaya bisnis relationship kita. Itu uang hanya sebesar ongkos sekali bawa relasi bisnis ke KTV. “ Kata saya.


“ Memberi uang kepada wanita yang bukan siapa siapa, jelas secara bisnis itu konyol, boss “ kata Awi ketus.


“ Keberadaan Sumarni di hotel itu karena keputusan saya sendiri.  Bukan permintaan dia. Itu bukan karena dia cantik seperti artis korea. Bukan. Itu udah nature saya“ Kata saya.


“ Ya Ale. Itu yang gua tahu tentang lue. Ingat engga. Tahun 92 gua keluar dari penjara karena judl gelap. Mau kerja, sekolah gua hanya SMP. Mau usaha engga ada modal. Engga ada teman dekat yang mau tolong gua.  Tapi lue yang baru gua kenal, begitu saja percaya gua. Dan beri gua modal untuk buka usaha. Setelah gua sukses. Gua tetap nyaman kerja sama lue. Dan lue terima gua kerja sama lue. Sampai sekarang kalau gua ingat, gua yakin lue bukan manusia normal. Lue malaikat yang Tuhan kirim ke dunia untuk membantu orang yang sudah masuk katagori sampah  bagi orang lain.” Kata Awi.


Alam bawa sadar cepat sekali meresponse kalau ada ketidak adilan di depan saya. Itu bukan karena saya orang baik dan sholeh.  Memori masalalu saya yang keras dalam kemiskinan dan terabaikan, membentuk empati yang kuat. Tanpa saya bisa kendalikan. Andaikan saya terlahir dari keluarga bangsawan atau konglomerat, belum tentu saya punya empati yang begitu kuat. Ini takdir saya. Akhirnya saya bisa berdamai dengan kebodohan saya yang mudah percaya kepada wanita yang baru saya kenal. 


***


Tahun 2014 saya sangat militan mendukung Jokowi sebagai capres dari PDIP, partai wong cilik. Saya tidak kenal Jokowi secara personal. Dia bukan pengusaha sekelas saya. Bisnis saya jauh lebih besar dari dia punya. Dia bukan ulama. Bukan jenderal. Bukan elite politik. Tetapi saya saksikan sendiri saat dia jadi Gubernu DKI. Saat kunjungan ke rumah rakyat miskin. Dia tanpa ragu minum kopi dari cangkir yang bau sabun. Itu artinya rakyat miskin tidak cukup dapat air bersih untuk mencuci.


Saya percaya kepada Jokowi karena mindset empati itu bukan pencitraan ala drama sabun. Bukan konsep politik populis yang dipelajari di fakultas Sospol, tentang sosialisme. Bukan. Tanpa empati yang terbentuk karena lahir dari keluarga miskin yang pernah tinggal di bantaran kali, engga mungkin Jokowi bisa begitu saja minum kopi dari cangkir bau sabun. Itu tidak mungkin ada pada Prabowo. Kalau Prabowo punya konsep kemakmuran bagi rakyat miskin, itu bukan karena empati yang terpatri lewat alam bawa sadar. Itu pasti bukan karena  dia lahir dari keluarga bangsawan. Tapi dia pelajari dari buku Ayahnya yang sosialis.  Sesuatu yang dipelajari biasanya sangat pragmatis. Tidak akan bisa tulus.


Tahun 2017


Saya mendampingi direksi BUMN dan mitra saya dari China. Kami bertemu dengan Gubernur Jateng dalam rangka lelang Jalan Toll Trans Java. Saat bertemu, Ganjar sangat santun dan humbel. Dia tidak sungkan tuangkan teh untuk saya dan mitra saya. Kalau dia terlahir dari keluarga kaya raya mana mungkin dia mau merendahkan diri depan tamu. Apalagi dia Gubernur.


“ Saya hanya peduli soal pembebasan lahan. Jangan minta kompensasi soal harga tanah. Karena saya pasti bela rakyat saya. Itu aset mereka untuk kini dan masa depan, Jadi harga tanah sangat tergantung kepada keinginan rakyat. Saya pastikan tidak akan ada mafia tanah. Dan pastikan rakyat mendapatkan harga yang pantas.”  katanya. Dia menghormati pemodal tapi dia menyayangi rakyatnya yang harus melepas tanahnya untuk Proyek Strategis nasional. Dia bisa menjaga keseimbangan itu. Itu karena dia lahir dari keluarga miskin dan pernah harus cuti kuliah karena kurang biaya. Dia tidak punya kemewahan seperti Anies yang dapat beasiswa. Kalau dia berniat membela wong cilik, itu bukan karena pencitraan. Itu udah nature dia sebagai anak yang lahir dari  kolong langit.


“Kalau China punya Mao dan Dengxioping. Indonesia punya Jokowi dan Ganjar. Keduanya walau berbeda style, namun orientasinya sama. Sama sama untuk rakyat, terutama rakyat miskin yang butuh keadilan sosial. Karena itu saya yakin Indonesia akan jadi negara besar. Itu karena pemimpin yang lahir dari keluarga  miskin dan bukan siapa siapa. “ Kata teman dari China.


Usai makan malam dengan Gubernur saya, sempatkan jalan jalan di kota Semarang. Mampir di cafe untuk minum kopi. Saat saya masuk. Belum duduk. Ada wanita menyapa saya. Saya terkejut. 


“ Kamu siapa ? kata saya mengerutkan kening. Wanita cantik.Putih lebih mirip wanita korea.


“Om lupa ya. Aku Nani. “ Katanya. Saya tetap bengong. “ Ingat engga kejadian tahun 2012. Om bantu aku di Mangga besar. Dan kemudiian beri aku uang untuk modal buka warung” lanjutnya mengingatkan saya. 


“Oh ya ya..” kata saya terpesona melihat keadaannya. 


“ Ini cafe Nani Om. “ Katanya dengan semangat. Dia semakin cantik dan penuh passion.


“ Kamu udah menikah? pertanyaan bodoh saya.


“ Belum. Tapi di rumah Nani rame anak anak om”


“ Anak siapa ?


“ Anak yatim. “ katanya. “Boleh Nani peluk om.” Katanya dengan wajah merona.  Saya langsung peluk dia.  “ sejak terakhir bertemu dengan Om, nani terus doakan om siang dan malam. Berharap om tetap sehat dan bisa bertemu lagi dengan Nani.”katanya dengan air mata berlinang.


Keesokan paginya Nani datang ke hotel saya bersama tiga anak. Dua perempuan dan satu pria. Mereka berusia dibawah 10 tahun. " Ayo salam dengan Opa" kata Nani. Mereka bertiga menyalami saya dan saya cium mereka satu persatu. Tak lupa saya genggamkan uang masing masing Rp. 50.000. Saya tatap Nani, dia berlinang air mata. 


Madam Teresia pernah berkata. “ Kamu tidak akan bisa menghabiskan air laut tapi segayung kamu ambil, air lautpun berkurang. “ Kita tidak akan  bisa menegakkan sepenuhnya keadilan sosial di negeri ini tapi secuil empati kita beri, ketidak adilanpun berkurang.


Sunday, October 15, 2023

Pulanglah..

 




Tak sengaja aku membuka laci meja kantorku. Tadinya mau mencari pulpen. Yang kudapat malah surat darimu. Surat pamit bahwa kau harus hijrah ke Malaysia. Sepertinya kau tidak siap menatap wajahku ketika harus mengucapkan say goodbye. Pasti akan membuatku kecewa.  Sampai bertahun-tahun kemudian. Hingga aku paham. Ingat, kenapa beberapa hari sebelum pergi, kau selalu memandangku  dengan raut wajah muram. Sebuah keterpaksaan dan kekalahan. Hijrah sepertinya keniscayaan.

“ Ale, aku akan datang ke Jakarta. Apa bisa kita basobok” Demikian WA yang kuterima. Kau tahu nomor WA ku dari Blog. Ternyata kau pembaca setia blog ku. Konon waktu akan mampu mengurai segalanya, membuat air keruh menjadi kembali bening. Tapi, rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahmu kembali setelah 30 tahun disconnect. 

Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu, sewaktu Rezim Soeharto berkuasa. Kita pernah sama-sama dilempar ke dalam truk polisi karena dianggap menolak dan berkata tidak pada kekuasaan. Setelah peristiwa itu aku memilih menjauh dari aktifis pergerakan Islam. Namun kau masih kuperhatikan tetap rajin dalam aksi-aksi selanjutnya. Masih kokoh merapat dalam barisan. Masih berteriak sambil mengepalkan tinju. Dan tetap lantang menyanyikan mars ketidakadilan para penguasa; kita pasti menang!

Kadang aku menerka-nerka, betulkah kau waktu itu bicara atas dasar amar ma'ruf nahi munkar, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padamu, pasti matamu seolah keluar dari kelopaknya, lalu dengan ganas menyerangku sambil mengutip hadith  sampai firman Allah. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirimu itu. Berapi-api dan gagah. Pantas saja kau sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi. 

Kau seperti Leila Khaled pejuang wanita Palestina. Apa yang kau perjuangkan selalu dianggap sinis oleh sebagian orang. Seperti di mata banyak orang di Barat, “ada dua stereotip yang tertanam kuat mengenai perempuan Palestina: dia adalah Leila Khaled yang sarat granat atau dia adalah seorang pengungsi buta huruf yang rela melahirkan anak laki-laki untuk revolusi. Generalisasi ini mungkin menjelaskan lebih banyak tentang persepsi Barat daripada realitas Palestina. Begitu juga perjuanganmu di sini.

“  Aku bukan Leila Khaled. Tapi ada hal yang luar biasa harus diteladani. Apa itu? keikhlasan. Khaled menjadi sosok yang dikagumi, mempesona, dan menjadi inspirasi. Tapi dia mampu mengalahkan nafsu dipuja. Dia menjauh dari dunia selebritis  ala politisi popullis. Dia menjadikan dirinya hanya hamba Allah. Dan di dunia yang penuh kemunafikan dan demoralisasi politik, dimana korban terbesar adalah rakyat miskin, ujian terberat adalah keikhlasan berjuang. Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa perjuangan menegakkan kalamullah tida boleh berhenti, tapi kadang terbersit juga ingin dipuja seperti ustad tenar.,” katamu dengan nada getir.

Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatmu kepanjangan. Bila tidak, kau pasti dengan sukacita siap berperang kata denganku. Bisa hancur berantakan pertemanan kita bila kuladeni segala keberangasanmu itu. Padahal paling tidak, perlu waktu satu bulan berjauhan sebelum kita saling menyapa lagi.

Kau memang tipe perempuan pemberani. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya kau bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisikmu yang cantik. 

Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarmu.  Hingga saat ini, sejak tahun 1967 sudah ada 10.000 perempuan Palestina yang ditangkap. Mayoritas dari mereka mengalami penyiksaan psikologis dan perlakuan buruk selama penangkapan dan penahanan mereka, seperti pemukulan, pelecehan verbal, penggeledahan telanjang, pelecehan seksual dan kekerasan. Selain hidup dalam kondisi yang berbahaya dan sering kali dilarang untuk dikunjungi, perempuan juga mengalami tekanan dan degradasi akibat penggunaan teknik patriarki yang dilakukan oleh interogator untuk mendapatkan pengakuan. Interogator dan penjaga seringkali adalah laki-laki, hal ini bertentangan dengan hukum internasional yang menetapkan bahwa tahanan perempuan hanya boleh dijaga dan diperiksa oleh penjaga perempuan.

Mungkin kegelisahan semacam itu yang membuatmu tabah. Beberapa pengalaman mu sering kali kau bagi padaku saat kita punya kesempatan menghabiskan waktu di cafe berdua. Tentang seorang anak perempuan belasan tahun yang dijual ibunya, atau bagaimana cara perempuan  negeri ini yang sukses menghabiskan uang tamunya, para lelaki tua yang sebetulnya sangat pelit pada anak-istrinya. Kita lalu tertawa bila pada episode lucu, dan meringis pada episode yang tragis.

“Mereka, bagaimanapun adalah guruku. Orang-orang yang gagah berani hidup sekaligus berani mati. Kau pasti masih ingat Chairil pernah terpesona pada orang macam mereka,” katamu memukauku di sela suara alunan lembut musik

“Ya benar, penyair pemberontak itu pernah memang mengungkapkannya, ‘Aku suka pada mereka yang berani hidup!’ itu kan maksudmu?” ujarku menimpali.

Bila bicaramu sudah seperti ini, maka pasti kutanggapi dengan serius karena saat seperti inilah kau terlihat begitu indah. Puisi juga kadang bisa membuatmu bertingkah gila. Seperti waktu kau ajak beberapa kawan melakukan aksi dadakan di depan sebuah gedung pertunjukan. Waktu itu almarhum Rendra tampil membaca karya-karyanya.

Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Mungkin kau memang kawan perempuan paling aneh yang pernah kutemui. Yang selalu ingin mengemudikan motor bila kita pergi berdua. Yang mengajariku berpuisi tentang Tuhan, sementara bulir arak terserak di seputar bibirku. Mungkin kau membayangkan saat itu, aku bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir.

“Aku mungkin brengsek, namun bukan seorang ateis,” ujarku sambil menghabiskan bir di botol.

Sekarang, setelah  puluhan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu pasti sudah banyak berkurang. Berubah seperti juga banyak kawan seperjuangan kita dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang.

Tapi, kuyakin kau dalam hal ini masih tetap seorang pemberontak. Seperti kuduga sebelumnya, sikapmu memilih tinggal di Malaysia  sebenarnya bukan sekedar mencari suasana baru. Bagimu dimanapun bumi Allah adalah ladang ibadah untuk tegaknya kalamullah. Ketidak adilan harus diperangi. Dengan ikhlas.

“Setelah dari Malaysia, selama bertahun-tahun aku hidup seperti hippies. Berkeliling ke beberapa negara di Eropa sana. Bergabung dengan Amnesti Internasional, ikut program Greenpeace. Berteriak sebebasnya, melakukan semua yang kuingin, sampai kemudian aku rindu pulang dan menyadari bahwa tempatku memanglah bukan di sana. Alangkah bodohnya aku jika meninggalkan negeri yang sering membuat iri bangsa-bangsa lain ini,” dengan datar kau bercerita. 

Agak lama kita kemudian terdiam tanpa kata-kata. Masing-masing terdiam dalam pikiran masing masing. “Lalu sebenarnya apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku agak kaku. Sebenarnya kalimat itu terdengar terlalu kaku untuk kedekatan kita, terutama setelah lama tidak bertemu. Walau kau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah padam.

“Aku ada acara di Jakarta. Kawan-kawan mengundangku menjadi pembicara mengenai eksploitasi alam di Borneo. Pengosongan Pulau Rempang untuk kepentingan investasi asing. Perjuangan membela kehormatan adat dan suku melayu. Kupikir, aku harus bertemu denganmu. Setelah tahu kau ada di Jakarta, kusempatkan mampir menemuimu sebelum terus ke Malaysia,” perlahan sekali kau bertutur.

Kita terdiam lagi beberapa waktu. “Seperti yang kubilang, aku memang bukanlah orang taat. Hanya saja pernah seorang kyai berkata padaku bahwa satu hikmah yang terdapat dalam beberapa ritual keagamaan kita adalah silaturahmi. Orang yang berkali-kali pergi haji, dan selalu bersujud serta membaca kitab suci, belum tentu baik di mata-Nya bila hubungan dengan sesamanya buruk. Itulah yang membuatku rindu bertemu dengan mu. Tapi aku tak punya keberanian mencarimu. Jadi, maukan kau memaafkanku?”

“ Ya ampun. Alangkah hebatnya dikau Ale. Untuk kesekian kalinya kau mengajariku tentang memaafkan dan kelapangan hati. “ katamu. Tanpa mengindahkan tamu cafe itu, kugenggam tanganmu dan kau berbisik dekat sekali ke telingaku, “ seharusnya aku yang pertama meminta maaf, bukan menunggumu untuk mengatakannya. Kau sudah menjelma jadi kapitalis, tetapi humanitarian kapitalis. Kesalehan sosial lewat korporat itu lebih bernilai daripada ibadah ritual. Perjuangan kaum sufi di ranah kapitalisme. Pilihan yang tepat dan seharusnya dari dulu aku tidak merendahkan pilihanmu, Ale. 

“ Pulanglah ke Indonesia. Bukankah tempat kelahiranmu Surabaya. Bertarunglah di medan legislasi bersama kaum nahdliyin. Aku akan biayai kalau kau mau nyaleg. Aku punya teman elite partai. Di partai apa kau maunya. Pilih saja.. “ kataku. Kau tidak merespon kata kataku. Kemudian hening. Aku tetap menanti response mu. Akhirnya kau hanya menghela napas  panjang seraya berkata. “ Ale, aku udah 62 tahun. Aku tidak muda lagi. Biarlah aku damai di tanah Jiran. Namun cintaku tetap kepada ibu pertiwi, kepadamu, tentunya."


Hijrah dari atmosfir kemiskinan

  ” Udah tembus 16 ribu rupiah harga beras sekilo. Gula juga udah tembus 17 ribu rupiah. Cepat sekali berubah harga. Sebentar lagi listrik j...