Usai mendampingi Awi d kantor Notaris. Saya bersama Awi dan Afin pergi makan siang di restoran Jepang di Kawasan PIK. Saya bertemu dengan Awong. “ Ale, mau kemana ? “ sapanya.
“ Mau makan. “ kata saya tunjuk restoran itu.
“ Gua juga mau makan disana. Tapi gua lagi tunggu teman gua. “
“ ya gabung aja dulu sama gua. " Kata saya tebuk bahunya.
“Lue mau meeting atau santai saja” katanya melirik ke Awi dan Afin.
“ Santai lah. Ini orang gua. “ kata saya tunjuk Awi dan Afin. ‘ ayolah gabung aja.” Lanjut saya ajak Awong masuk ke dalam restoran. Kami pilih room agar enak ngobrolnya.
“ Kebetulan teman gua juga lue kenal.” Kata Awong.
“ Siapa ?
“ Aming dan Anan. “
“ Oh mereka. Boss KL “ kata saya tersenyum. “ Lagi bisnis apa dengan mereka.?
“ Ya masih penjajakan. Kebetulan mereka sedang di Jakarta. Ya gua ajak makan lah.” Kata Awong.
Tak lebi 10 menit. Aming dan Anan sudah datang. Anan rangkul saya. Dia etnis india. Saya pernah ada bisnis dengan dia. Aming salami saya. Saya kenal cukup lama namun engga ada bisnis. Awi dan Afin diam saja melihat saya beramah tamah dengan Awong, Aming dan Anan.
“ Saya dengar kabar Danantara akan membangun refinery dengan kapasitas sekitar 500.000 barel. Itu akan menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia. Planning nya untuk memperkuat ketahanan energi nasional. “ kata Awong mengawali bicara setelah ramah tamah dan order menu
“ Engga ada refinery yang profit kalau engga terintegrasi. Untuk bisa terintegasi perlu dukungan strategic partners mem- backup pasokan Crude oil, technologi petrokimia, logistic. Yang jadi masalah adalah engga ada yang bisa jamin pasokan crude dengan harga fixed price. Kalau harga floating, udah pasti engga secure. Mending beli BBM di pasar spot aja. “ kata Aming seraya ambil irisan tuna. “ Tanpa dukungan logistic yang kuat, sulit dapatkan pasokan crude yang on time production. Belum lagi khusus petrokimia tidak mudah dapatkan support Teknologi.” Kata Aming.
“ Untuk proyek greenfield memang engga mudah dapat teknologi petrokimia. “ sambung saya.
“ Kenapa susah dapatkan teknologi nya ? tanya Awong.
“ Karena high tech dan sophisticated. Mencakup steam cracking, catalytic cracking, reforming, hydrocracking, alkylation, aromatics extraction. Pemainnya engga banyak di dunia seperti LyondellBasell, Shell, UOP/Honeywell, Linde, BASF, Technip Energies dan lain lain. Mereka big shot“ Kata Aming.
“ Oh baru ngeh saya. “ Awong mengangguk. “ Pantes Pertamina bangun refinery di BalikPapan dengan kapasitas 260.000 barel per hari. Itu hanya produksi gasoline, diesel, avtur dan fasilitas peningkatan kualitas BBM agar sesuai Euro IV. Engga terintegrasi dengan Petrokimia. “ Kata Awong.
“ Padahal cuan refinery itu justru ada pada Petrokimia. Kalau hanya fuel, yang tekor lah” Sambung Anan.
“ Ya wajar. Karena Pertamina engga qualified deal dengan mereka. Mereka sangat selektif memilih mitra. Utamakan mitra yang sudah teruji melaksanakan praktek bisnis good governance. Dan terkait dengan geopolitik. Kalaupun setuju mereka menentukan term sheet. Diktator banget “ Kata Aming.
“ Padahal katanya Danantara akan dapat dukungan pembiayaan dari Sovereign Wealth Fund dari UEA, Bukankah nama besar mereka cukup untuk memastikan rancana proyek refinery itu dapat dukungan dari vendor tekhnologi ? Kata Awong.
“ Engga juga mudah. Pembiayaan dan tekhnologi support adalah dua hal berbeda. Yang pasti UEA tidak punya tekhnologi. Mereka juga tergantung dari vendor. Kalaupun katanya UEA siap biayai. Itu juga absurd. “ Kata saya. Aming dan Anan tersenyum.
“ Mengapa Absurd ? tanya Awong.
“ Standard compliance dana SWF itu sangat ketat dan sangat prudent. Maklum mereka tidak cari proyek untuk dapatkan uang. Mereka sudah punya uang. Prinsip mereka lets money working for them. Artinya kalau proyek bersifat greenfield, frontier market, atau belum proven kemungkinan besar ditolak kecuali punya mitigasi risiko yang jelas.” Kata saya.
“ Mitigasi resiko dalam bentuk apa “ tanya Awong.
“ Misal Danantara minta pendanaan dari UEA. Pasti mereka minta jaminan pemerintah untuk cover resiko. Resiko bukan hanya proyek gagal tetapi juga resiko kalau gagal meraih return yang ditetapkan.” Kata saya. Aming dan Anan senyum aja.
“Wah itu udah seperti shark loan. Menjajah banget “. Kata Awong tersenyum masam
“ Money is the king. Bro. “ Kata Aming.
“ And technology is a big shot“ Sambung Anan.
“ Daripada Danantara sibuk berencana untuk percepat investasi demi proyek. Akhirnya hanya bullshit. Kan wasting time. Engga reality. Terkesan mimpi. Mengapa tidak focus aja perbaiki menegement dan business model BUMN yang ada. Misal Perbaiki management Pertamina Holding agar qualified mendapatkan dukungan tekhnologi dan financial resource. Mulailah focus berinvestasi dibidang R&D agar bisa tumbuh berkembang tanpa tergantung asing “ Kata saya.
“ Ya, engga ada yang shortcut. Semua perlu proses dan niat mau bertransformasi menjadi badan usaha dengan tatakelola clean berstandar good governance dan menjamin transfaransi. “ kata Aming. Anan tersenyum aja.
“ Ya sih. “ Kata Awong. “ Tapi Chandra Asri bisa bangun Industri petrokimia. Darimana teknologi nya? Tanya Awong
“ Chandra Asri pakai teknologi UNIPOL. Untuk produksi PE atau polietilena. Sementara downstream petrokimia itu luas sekali. Bukan hanya PE. Misal yang high price seperti Polikarbonat untuk lensa, kaca tahan benturan. Epoxy resin untuk industri elektronik, pesawat, otomotif. Polyurethanes untuk busa, pelapis, isolasi “ kata saya.
Awong mengangguk dan terus menikmati makan siang. Awi dan Afin dari tadinya hanya menyimak. Usai makan siang. Kami berpisah. Awong ikut dengan Aming dan Anan. Mereka saya kenal dalam bisnis oil and gas. Awong berbisnis agent trader. Semetara Anan melalui investment company nya di Hong Kong terlibat dalamn konsorsium pembangunan refinery oil di Nigeria yang di dukung oleh China. Aming sendiri punya bisnis logistik oil and gas
“ Dengar Ale ngobrol dengan teman temannya. Enak banget. Lama lama bisa pinter gua.” Kata Afin menatap Awi. “ tapi aneh nya dalam keseharian, Ale jarang bicara. Kalaupun ketemu dengan teman teman kita, dia lebih banyak diam dan tersenyum.” Sambung Afin.
“ Orang bijak berbicara pada pantas nya dia harus bicara. Kalau engga penting, ya lebih baik diam.” Kata Awi sok bijak.
“ Gua hanya paham soal bisnis. Lainnya gua bodoh. Makanya soal hal lain, gua lebih baik diam agar tidak kelihatan bodohnya.“ Kata saya meluruskan.
Kadang Pemerintah kalau bicara proyek sepertinya terkesan too good to be true. Dengan adanya Danantara, sepertinya uang jadi mudah. Mudah juga bikin proyek. Padahal dalam bisnis apalagi proyek yang melibatkan tekhnologi tidak selalu uang menentukan. Diperlukan strategic partners yang reliable. Dan itu perlu track record good governance dan transfaransi. Mengapa tidak focus aja perbaiki kinerja dan perkuat business model BUMN agar berkelas dunia. Itu lebih realitis.
3 comments:
Kalau fokus perbaikan kinerja dan business model, ya cuan nya ga langsung dapat..
Butuh proses
Menyimak dan setuju...tapi idealnya BUMN TETAP DIPERBAIKI...Biarlah DANANTARA MEMBUJTIKAN DIRInya dan perlu BABO Awasi
Post a Comment