Entah kenapa setelah meeting dengan relasi dari luar negeri di hotel di Kawasan Sudirman. Saya batalkan pulang. Sebentar lagi maghrib. Kawatir maghrib di jalanan. Lebih baik saya nongkrong di café yang ada di hotel itu. Cari tempat yang ada smooking room. Saya duduk dan bersibuk diri dengan baca berita news dari gadget. Baru lima menit duduk. Kopi yang dipesan belum datang. Terdengar suara wanita menyapa. Saya mendongak. “ Eh Dian.” Kata saya berdiri. Dia menyalami saya. “ Apa kabar, bang Ale.”
“ Baik baik saja.” Jawab saya dengan merentangkan kedua tangan saya. Dia mememeluk saya. “ kamu gimana ? tanya saya setelah lepas pelukan. Dia hanya tersenyum. “ Bang Ale sama siapa ?
“ Sendirian. “
“ Boleh Dian temanin sambil tunggu tamu Dian datang.”
“ Tentu..” kata saya melonggarkan ruang untuk dia duduk.
“ Yuni di Hong Kong ya. “ tanyanya.
Saya mengangguk.
“ Enak hidup Yuni. Dengan kabar dia udah CFO di Holding Company MNC. Memang perjuangan tidak pernah mengingkari hasil.” Kata Dian seperti bicara kepada dirinya sendiri. Saya menyimak saja.
“ Sekarang banyak boss pura pura happy. Padahal setiap hari seperti duduk diatas tungku. Apalagi di era Prabowo. " Kata Dian. Waitress datang. Dia pesan teh. " Tadinya berharap Prabowo akan menjalankan program keberlanjutan Jokowi. But, he is a player. Semua hanya ada di mulut. Prakteknya dia ingkari. “ Kata Dian menyalakan rokok. Itu rokok Korea low tar. “ APBN tersendat dengan alasan penghematan. Saya dengar. Beberapa menteri dan anggota DPR udah ngeluh akibat sistem anggaran ketat. " lanjut Dian. Dian terdiam sambil mengembuskan asap rokok dengan halus.
" Tadinya 3 juta hektar lebih lahan sawit illegal sudah masuk program pemutihan sesuai UU-CK. Kini dibatalkan. Harus dikembalikan ke negara dan harus pula bayar denda. Padahal lahan itu sebagian besar sudah digadaikan ke bank. Pusing engga mikirin Topup collateral. Kena pula aturan pajak Ekspor CPO 10%. “ lanjut Dian geleng geleng kepala.
Saya menyimak saja.
“ Bisnis batubara juga sudah sulit dapat cuan seperti 5 tahun lalu. Harga terus turun. Sementara ongkos rente tidak bisa kurang. Kalau kita kurangi, akan sulit eksploitasi dan loading cargo di Pelabuhan. Pajak Royalti dinaikan sampai 19%. Sesak napas. Belum lagi kontrak jual nikel ke smelter sudah tersendat. Karena harga nikel jatuh di pasar dunia. Sementara ongkos jaga preman dan aparat di lapangan engga bisa dikurangi atau ditunda. Bikin sesak napas. “ Kata Dian dan kemudian menatap kosong.
Saya bisa mengerti keluhannya " ibarat gunung emas. Dari sejak 10 tahun lalu fundamental ekonomi negara digergaji dari bawah. Memang tidak keliatan dan tidak terasa. Karena puncaknya masih berdiri kokoh. " Kata saya. Dian mengangguk.
" Walau setiap tahun terus berkurang tingginya gunung, namun orang tidak peduli. Karena proyek PSN yang massive bidang infrastruktur ekonomi menjadi penghembus citra pemerintah. Bahwa kita sedang berjalan di jalur yang benar. Belum lagi program bantalan ekonomi lewat Bansos mengalir terus. Namun lambat laun likuiditas berkurang. Defisit APBN semakin melebar dan ruang fiscal semakin sempit. Puncaknya di era Prabowo baru disadari. Terutama saat ingin melaksanakan program populisnya, MSB. Tidak cukup uang tersedia di APBN. " Kata Dian.
" Kalau dipaksa maka defisit APBN akan melewati batas pagu yang ditetapkan UU. Tentu rasio utang akan melewati 40%. Sementara DSR sudah diatas 30%. Berat, jauh lebih berat dari apa yang dirasakan oleh pengusaha. Apalagi ini taruhannya soal nasip lebih 60% rakyat yang miskin, yang sangat rentan dengan goncangan krisis." Kata saya.
" Ya. Dian maklum. Struktur ekonomi tidak lagi sehat. Penerimaan pajak menurun, akibat daya beli domestic dan international melemah. Ditambah kondisi suku bunga tinggi dan volatilitas kurs IDR melebar. Sejak sebelum COVID, Gelombang PHK terus membesar. Keadaan ini tidak bisa lagi ditutupi dengan data BPS yang bias. Bank Dunia sudah dengan tegas menyatakan 60% lebih orang Indonesia hidup miskin, yang seakan mengolok ngolok status Indonesia sebagai Negara G20. "
Dian menghela napas.“ Memang bisnis sedang tidak baik baik saja..” Katanya “ Pendapat abang gimana ?
“ Pemerintah tidak punya banyak pilihan untuk meningkatkan penerimaan. Memang selama ini kontribusi pajak terbesar berasal dari korporat. Karena kue pembangunan 90% yang menikmati korporat. Nah ketika likuiditas mulai kering, dan ruang fiscal sangat sempit, ya kepada siapa lagi pemerintah berharap? Kecuali kepada korporat. “ kata saya tersenyum.
“ Apa berharap kepada Rakyat kebanyakan ? kan engga mungkin. Bukankah, selama ini rakyat hanya jadi penonton dibalik deru bulldozer menggaruk tanah, bukit hutan untuk menghasilkan mineral tambang dan kebon besar. Gerogoti Dapen dan Bank lewat bursa. Bancakin PSN sehingga ICOR diatas 6. Di balik aksi korporat itu semua membuat pengusaha dan penguasa makmur. Membuat rasio GINI semakin melebar. Maklumi aja. “ Kata saya.
“ Seharusnya pemerintah kurangi belanja. Kan bisnis begitu” Kata Dian mengerutkan kening. “ Kalau penerimaan turun ya kurangi belanja. Engga bisa paksa korporat harus berkorban mengatasi belanja APBN yang boros. Kalau ekonomi baik baik saja sih, engga ada masalah. Kan ini kita semua sedang pusing. Mikirin market drop dan cashflow yang macet. “ lanjutnya.
“ Seharusnya memang begitu. Tapi negara ini, kan dijalankan dengan politik kekuasaan. Kita kita kaya raya karena adanya politik kekuasaan. Disaat ekonomi slow down rakyat kebanyakan yang harus dijaga lebih dulu. Nah kalau belanja APBN dikurangi. Dampaknya sangat luas terhadap rakyat, yang 60% miskin. Bisa chaos politik dan kita akan jadi negara gagal. Akhirnya kita semua rugi. Think about it.” Kata saya.
Diam terdiam. Saya diam juga. Hening. Saya seruput kopi. “ Baru saya sadari. Kini gunung emas itu sudah nampak rendah. Engga lagi menghalangi sinar matahari. Engga lagi penuh kewibaan. Yang ada kecemasan dibalik tawa hipokrit para elite dan tentu juga termasu kita kita. “ Lanjut Dian.
Saya senyum aja. Kami berteman namun tidak bersahabat. Dian saya kenal 10 tahun lalu. Kini usianya 45 tahun. Dia tidak punya suami. Namun dia bermitra bisnis mining dan kebun sawit dengan konglomerat yang juga TTM dia. Perusahaannya terdaftar di Singapore.
“ Bang Ale pernah ketemu Koh Aming “Tanyanya.
“ Pernah tahun lalu waktu di Sheraton Singapore. Koinsinden aja. Dia cerita mau lepas sahamnya di tambang dan sawit.” Kata saya.
“ Dian sudah 3 tahun pecah kongsi dengan dia. Dia buang Dian begitu saja. Memang sih itu semua modal dari dia. Tetapi kan hubungan Dian dan dia bukan sekedar mitra. Dian punya anak dari dia. Apa dia engga mikir masa depan anaknya? Kata Dian nelangsa. “ sejak tiga tahun lalu Dian jadi broker trader.Tapi engga bagus bisnis terutama sejak tahun 2024 sampai sekarang.” Lanjutnya.
Saya diam saja. Engga perlu saya ladenin keluhan personalnya. Setidaknya saya tahu bawa hubungan Dian dengan Aming bukan hal luar biasa. Hanya hubungan kapitalis. Walau dibumbui dengan sex tapi tidak ada cinta. Samahalnya hubungan pemerintah dengan oligarki. Adalah hubungan kapitalis. Tidak ada idiologi dibalik itu kecuali uang. Kalau uang mulai seret, satu sama lain akan saling menghabisi. Siapa yang kuat tentu dia yang menang. Kompromi yang akan berujung aneksasi bukan ketulusan. Cerita lama akan terus berulang, yang korban tetap rakyat jelantah.
Dian menoleh ke arah pintu masuk. Dia berdiri dan memeluk saya. “ Sehat selalu ya bang. “ Katanya pamit dan berlalu menghampiri tamunya. Saya panggil waitress. Bayar bill dan pergi ke mushola untuk sholat maghrib. Pulang.
No comments:
Post a Comment