Saturday, May 24, 2025

Sikap mental bertumbuh

 



Awalnya salah satu teman ajak kumpul ngopi. Saya sanggupi, Saya jadi pengundang. Mereka senang. Saya pilih tempat yang enak untuk rendezvous . Yang datang hanya enam orang aja. Yang perempuan ada 2 orang. Pria ada 4 orang. Kami berteman sejak usia 20.  Kami tadinya satu team group Salesman pada PMA, Hanya beda product. Saya sales supply chain industry. Mereka product jadi. Belakangan satu demi satu berhenti.


Aldi, berhenti karena diterima di universitas di Surabaya. Dia milih kuliah.  Setelah itu berkarir di BUMN. Doni, dia juga berhenti kerja karena harus pulang kampung ke Medan. Orang tuanya meninggal. Dia berkarier di Pemda. Rizal,  berhenti karena diterima kerja di perusahaan Minyak lepas pantai. Rizki, juga berhenti karena diterima kerja di Pertamina. Mira, dia pulang ke Kalimantan karena orang tuanya minta dia menikah. Linda, berhenti kerja karena diterima di UI.


“ Nasip Kalimantan sejak era Soeharto sampai sekarang jadi bancakan. Selalu SDA nya dikuras. Tadinya hutan ditebang oleh industriawan kayu. Kemudian kulit bumi di kupas penambang batubara. Kemakmuran masih kalah jauh dengan salah satu negara bagian Malaysia. Bagaimana mungkin SDA tidak bisa mendisitribusikan keadilan bagi rakyat Kalimantan” Kata Mira.


“ Exploitasi sumber daya itu karena bisnis. Dan kalau terjadi ketidak adilan, itu juga bisnis. Biasa saja.” Kata saya tersenyum. Berusaha berdamai dengan realitas.


“ Biasa gimana? Mira mengerutkan kening. “ Negara lain bisa kok menciptakan kemakmuran lewat SDA. Tuh lihat Malaysia. Bahkan yang engga punya SDA bisa tetap Makmur. Tuh contohnya Singapore “ Lanjut Mira.


“ Kalau Malaysia makmur dan Singapore makmur, itu juga karena bisnis.  Rakyatnya memang qualified mengelola sumber daya tanpa tergantung asing. 90% mereka bisa Bahasa inggris. Dan penguasanya manfaatkan itu untuk tumbuhnya ekonomi. Beda dengan kita. Yang punya mindset pedagang tidak lebih 10% dari populasi. Apalagi yang punya mindset industry, lebih sedikit lagi. Selebihnya mindset pegawai. 


Misal, kalau ada asing datang untuk minta konsesi SDA. Pemerintah memberi izin untuk pengusaha lokal karena uang. Pengusaha lokal mau jadi proxy asing karena uang. Sampai kapanpun proses kemandirian tidak akan terjadi. Pengusaha dan pemerintah lebih memilih jadi sleeping partners dan rakyat jadi pekerja. Pemerintah dan rakyat sama saja. Pemeritah kan cermin dari masyarakatnya. Ketidak berdayaan dan lack vision  memang cenderung membuat orang mudah korup.  “ kata saya tersenyum. 


“ Nah artinya kan soal Pendidikan. “ kata Aldi. “ Mengapa pemerintah tidak focus aja dulu perbaiki kualitas Pendidikan agar kita bisa kelola sendiri sumber daya alam kita. Itu lebih baik daripada menyerahkan kepada asing dan pemodal.” Lanjut Aldi.


“ Masalahnya Pendidikan itu kan engga gratis. Perlu ongkos untuk guru dan sarana pendukungnya. Perlu perbaikan gizi agar otak anak didik bisa tumbuh baik. Sementara biaya itu uang cash. Kan engga bisa belanja pakai asset SDA yang belum diolah. Darimana duitnya ? tanya saya.


Mereka terdiam saling pandang.


“ Ya dari hutang. “ Saya jawab sendiri seraya tersenyum. “ Nah, engga ada skema hutang bisa di-apply kalau tidak pasti sumber pembayarannya. Kreditur usulkan agar kita membuka peluang investasi asing pada SDA. Dari investasi itu akan mendatangkan pajak dan bagi hasil atau royalty. Berhutangpun bisa qualified. Kitapun punya uang untuk berinvestasi pada Pendidikan. Itulah business. Uang adalah akal sehat dan selalu hukum kausalitas berlaku. Engga ada yang gratis” Lanjut saya. 


“ Sekarang kan banyak orang terpelajar lulusan universitas terbaik dari dalam maupun luar negeri. Mengapa tidak diambil alih peran asing itu. Dan olahlah SDA itu seluas luasnya untuk kemakmuran domestik. Mengapa ? tanya Aldi. Itu pertanyaan lebih kepada kebingungan sendiri melihat realitas negeri. Sulit berubah karena debt trap, yang memaksa negeri ini  harus exploitasi semua sumber daya untuk bayar utang yang dari tahun ketahun terus bertambah. Jumlah penduduk besar tidak jadi asset malah jadi liabilities.


“ Masalahnya Al, rakyat tidak punya akses permodalan. Modal dikuasai oleh segelintir orang dan mereka dekat dengan ring kekuasaan. Kita, jangankan modal, ketemu pejabat saja susah sekali. Kecuali watu pemilu. Gimana kita mau olah SDA?  Jawab  Rizal atas pertanyaan Aldi. Jawaban atas ketidak berdayaan dan skeptis.


“ Itulah masalah kita. Masalah sebagian besar rakyat. Awalnya Pendidikan sebagai alasan tidak bisa olah SDA.. Setelah dapat Pendidikan, beralasan lagi karena tidak ada modal. Andai modal diberi, ada lagi alasan, tidak ada tekhnologi. Kalaupun tekhnologi disediakan, alasanya akan ada lagi. Engga ada market ekspor. Kalaupun market ada, alasan ada lagi. Susah market ekspor ketat kompetisinya. Ya kan. “ Kata saya tersenyum “ Artinya sumber masalah itu bukan pada Pendidikan, tetapi soal mindset. Ya kebanyakan mindset survival daripada mindset growth..” Sambung saya.


“ Bisa jelaskan apa itu mindset survival ? Tanya Rizal. Saya senyum aja. " Lebih 30 tahun kita tidak jumpa. Ale, berubah. Jadi pencerah dia. " Lanjut Rizal melirik kepada yang lain. Munngkin satire.  Karena hanya saya yang tidak sarjana. Tetapi tidak ada salahnya  saya jawab pertanyaannya. 


“ Kamu lebih memilih jadi pegawai daripada wirausaha. Karena kamu takut ambil resiko hidup sebagai wirausaha yang tidak pasti income nya. Kamu selalu kawatir dengan masa depan yang belum terjadi, makanya mudah terjebak dengan paranoia. Polis Asuransi jadi tempat berlindung. Bank tempat menabung. Sifat memilih jalan aman. Padahal ketika kamu merasa aman sebenarnya kamu tidak aman. Pendidikan proses belajar berhenti setelah jadi sarjana” Kata saya.


“ Kalau mindset growth ? tanya Aldi.


“ Kamu focus kepada pengembangan diri. Bisa aja sebagai pengusaha atau professional. Sebagai pengusaha kamu membangun network lewat komunitas bisnis dalam dan luar negeri. Meningkatkan kualitas skill dan menegement lewat kursus dan Pendidikan. Dari itu kamu berkembang karena waktu. Dalam prosesnya kamu bisa saja gagal, jatuh, terluka. Kamu akan terus berusaha untuk bangkit lagi. Bagi kamu pengalaman sumber pendidikan dan belajar sepanjang usia“Kata saya.


“ Apa motivasi untuk terus bangkit dari kejatuhan ? Tanya Mira. 


“ Karena kamu tahu arti berkembang, yaitu keras kepada diri sendiri, kerja keras dan resilience karena Tuhan.  Tadinya jalan setapak keatas bukit itu tidak ada. Tentu itu bukan jalan. Tetapi karena ada satu orang lewat, jalanpun tercipta. Artinya mindset growh membawa kita kepada hikmah. Menjadi visioner dan kreatif ditengah keterbatasan yang ada. Walau high profit namun tetap  humble. “ Kata saya. Mereka terdiam. Hening. Saya seruput kopi.


“ Bagaimana bisa memahami itu. Terutama kamu.? Kita kan berteman sejak muda. Saya kenal kamu miskin dan tidak terelajar “ Tanya  Linda. Dari tadi dia hanya menyimak. Dia tanya itu saya maklum. Karena dia bekerja kepada pengembangan SDM.


“ Pemahaman itu tidak datang dari bangku sekolah formal. Tetapi datang dari keluarga. Didikan keluarga. Dari kecil, saya udah dididik orang tua untuk mengutamakan akal. Budaya Minang memang begitu. Hidup berakal agar mati beriman. Kami dipaksa menerima realitas namun tidak dikendalikan realitas. Orang lain berkata. Hindari resiko. Kami memilih hadapi resiko dan mengubahnya menjadi  peluang. Setiap daerah punya adat dan kebudayaan luhur untuk menjadi manusia berakal. Hanya mungkin karena pengaruh luar rumah dan pergaulan membuat orang terdistorsi dari nilai nilai budayanya.” Kata saya.


“ Ale, kata “ Aldi. “ Diantara kita hanya kamu doang yang giginya masih utuh. Dan belum tua banget dibandingkan kami. Masih fresh banget. Padahal usia kita sama. Hanya bertaut 1 atau 2 tahun doang. Ada penyakit bawaan ?


“ Alhamdulilah engga ada penyakit bawaaan. Saya  sehat saja. Gula, kolestrol  asam urat  dan darah normal semua. Tapi tetap aja tua.  Penampilan doang keliatan fresh “ kata saya.


“ Ah pasti ada resepnya. Apa? Kata Mira. Saya senyum aja sambil kibaskan tangan “ Jawab dong” Kejar Mira.


“ Mungkin saya beda dengan kalian. Kalian jadi sales hanya batu loncatan karena tidak diterima di universitas atau daripada nganggur. Kalau ada kesempatan yang lebih baik ya kalian pindah. Hidup kalian  terencana dengan baik. Kapan tamat kuliah, kapan kerja tetap dan kapan menikah. 


Saya engga begitu. Saya engga punya kemewahan memilih. Ada barang, engga ada pembeli ya saya cari pembelinya. Ada pembelinya, engga ada barang. Ya saya cari barangnya. Engga ketemu, ya saya bikin barang itu. Gitu aja. Muter gitu saja. Karena saya engga punya sumber daya di tangan untuk berkembang mudah. Ya dapat uang saya putar ke bisnis , ada kesempatan kursus ya saya tambah pengetahuan, Gitu aja.” Kata saya.


“ Terus..” Kejar linda.


“ Ketemu perempuan ya saya pacarin. Saya ajak nikah, dia engga mau, ya saya terima aja jodoh dari orang tua. Setelah itu saya jaga aja istri sampai setua ini. Gitu aja. Karena  saya sendiri tidak punya pilihan banyak. ”


Linda ketawa. “ Kenapa lue ketawa? tanya Aldi.


“ Inga Ale pacaran sama Aling. Aneh ya cewek cantik mau aja sama dia. Dia kan mixlife dengan Aling. “ Kata Linda.


“ Hah..Rizki terperangah. " Aling top sales kita dulu ya” lanjutnya.


“ Ya” kata Linda seraya melirik saya dengan tersenyum. Saya senyum masam.


“ Kok di kantor keliatan mereka tidak pacaran “ Rizki mengerutkan kening. " Justru Aling keliatan pacaranya sama David. " Lanjut Rizki.


“ Nah itu memang aneh “ kata Mira. “ Saya juga engga percaya” Sambung Mira.


Saya senyum aja.


“ Sesederhana itu sikap hidup Ale. Makanya keliatan enjoy aja dia” Kata Doni menatap saya.


“ Mau gimana lagi.? Hidup ini, sesuai kata hati, pasti tidak sesuai denga kehendak hati. Begitupula sebaliknya. Ya terima saja. Mengalir saja. Kalau ada kesempatan happy ya happy lah. Walau itu dengan cara sederhana sekalipun. Kalau harus berhenti, ya berhenti aja. Kalau harus tidur ya tidur. “ Kata saya tersenyum.


“ Ah sepertinya hidup kamu terlalu utopia. Pastilah ada sisi engga enaknya. Apalagi kita kan makhluk social” kata Linda.


“ Linda, seru saya menatap sejurus dan kemudian kepada semua mereka. “ Hidup ini memang paradox. Tapi kita bisa buat apa? Banyak orang tidak logis dan egois. Kita tetap harus mencintai mereka. Kalau kita berbuat baik, orang akan menuduh kita tidak tulus. Tetaplah berbuat baik.  Jika kita  sukses, kita  akan mendapatkan teman palsu dan musuh sejati. Jangan takut. Tetaplah raih sukses itu. 


Kebaikan kita hari ini akan dilupakan besok. Tetaplah berbuat baik. Kejujuran dan keterus-terangan membuat kita rentan. Tetaplah jujur dan terus terang. Ide besar dan kerja besar bisa jatuh karena hal kecil. Apa yang kita bangun bisa hancur kapan saja Tetaplah berpikir besar dan membangun. Orang cenderung follow yang hebat dan yang lemah terabaikan. Tetaplah peduli kepada yang lemah. Orang yang kita bantu ternyata menyerang kita.Tetaplah membantu.


Jadi, hidup bukan apa yang kita pikirkan tetapi apa yang kita perbuat. Bukan apa yang kita dapat, tetapi apa yang kita beri. Bukan apa yang kita pelajari tetapi apa yang kita ajarkan. Hidup bukan mengejar jumlah tetapi nilai. Kelengkapan diri dihadapan Tuhan. “ kata saya.


Mereka saling pandang. “ Ale sama denga kita, menua. Tadinya kita prihatin dengan hidup dia yang miskin dari desa. Ternyata dia kaya, kaya spiritual. Makanya dia berubah karena waktu dan tetap sehat . “ kata Aldi. " Mungkin karena team sales dia kan kebanyakan etnis China, seperti Abeng, Akhiat dan Aming, Aling, David. Mereka  kan sekarang jadi boss semua. Tetapi hanya Ale yang masih mau berteman dan ketemu kita. Yang lain susah dihubungi. Kita juga males ketemu mereka. " sambung Aldi.  Saya senyum aja. Engga perlu saya bahas sikap personal orang lain. Setiap orang  punya hak menilai kita.

Friday, May 23, 2025

Korup dan jebakan utang

 




Saya duduk santai di teras outlet retail market. Tunggu Lina jemput saya. Mau merokok tidak ada asbak. Saya terpaksa urung merokok. Ada anak muda mendekati saya. “ Pak, ini Asbak nya. “ Katanya ramah. Sepertinya dia lihat saya mau merokok batal karena tidak ada asbak. 

“ Kamu merokok ? tanya saya.

“ Ya pak. “

“ Tarik aja kursinya ke mari. Jadi kita satu table. Merokok bareng. “ kata saya tersenyum. Dia membalas senyum dan menarik kursinya. Pria ini anak baik. Tahu sopan santun kepada orang tua seperti saya.  Sesuatu hal yang sudah jarang terjadi di era sekarang. 


Belum satu batang rokok habis. Saya lihat pria itu berdiri dan mendekati wanita yang baru turun dari motor bersama pria.  Saya tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Karena agak jauh. Namun keliatan wanita itu menunjuk nunjuk pria itu. Tak lama. Wanita pergi berlalu naik motor bersama pria temannya. Pria itu kembali ke table. Dia seperti baru tersengat listrik. Wajah nya pucat.


“ Kamu baik baik saja” Tanya saya kepada pria itu. Dia menoleh kesaya. Berusaha tersenyum. “ Saya sengaja duduk disini untuk mergoki pacar saya selingkuh. Kata teman saya, dia selalu dari kantor di Sudirman diantar pria ke stasiun untuk pulang.  Tadi saya saksikan dengan kedua mata dan kepala saya. Dia mengakui.  Saya berusaha memaafkan. Tetapi sepertinya dia tidak ingin lanjutkan hubungan dengan saya. “ kata Pria itu.


“ Sabar aja. Biasa itu. Kamu masih muda. Masa depan kamu masih Panjang. Engga usah dibawa hati. Dulu waktu saya muda seperti kamu juga Mengalami hal yang sama. “ Kata saya berusaha memberi semangatnya.


“ Yang salah saya. Sudah dua tahun pacarana. Saya belum siap diajak menikah.” 


“ Kenapa ?


“ Saya kerja di perusahaan Marketing sebagai Admin online. Gaji take home pay Rp. 6 jutaan sebulan. Untuk saya sendiri saja tidak cukup. “ Katanya.


“ 6 juta kan diatas UMR. Kenapa engga cukup? Tanya saya.


“ Hitung aja.” Katanya. “  Uang kos Rp. 1,5 juta. Makan dan minum Rp. 1,5 juta. Bayar quota Rp. 200.000. Angsuran Hape Rp.500.000. Bayar angsuran motor Rp. 600 ribu. Angsuran pinjol Rp 1. Juta. “ Katanya. Sebetulnya masih ada sisa tuh duitnya. Dan tentu masih ada celah untuk berhemat. Kalau menikah, biaya hidup bisa dikelola bersama dengan istri, yang katanya juga bekerja. Tapi udahlah. Engga perlu saya pertanyakan lagi. 


Di hadapan saya adalah contoh generasi muda, yang kata statistic berjumlah 44,47 juta jiwa pada tahun 2023. Dan anak muda itu harus bersukur. Karena dia tidak termasuk dari 9,9 juta anak muda yang tidak bekerja, berpendidikan atau tidak terlatih berkerja. Harus bersukur karena tidak termasuk 40 juta orang yang bekerja dengan gaji dibawah Rp. 5 juta sebulan. Tentu tidak termasuk 60% dari populasi Indonesia yang miskin menurut bank dunia.


Tahun 1983 pertama kali kerja sebagai salesman. Gaji saya Rp. 150.000. Kalau dikurs kan dengan harga emas yang saat itu Rp. 7500 per gram. Sekarang harga emas Rp. 1,5 juta/gram. Artinya pendapatan saya sebulan setara dengan Rp. 30 juta pada saat sekarang. Makanya saya bisa merencanakan masa depan termasuk menabung. Tahun 85 saya sudah tidak lagi salesman. Dengan tabungan yang ada saya bisa jadi pengusaha formal.


Era saya generasi baby boomers, cari uang di kota itu mudah bagi yang tamat SMA. Teman seangkatan SMA saya kebanyakan memilih masuk universitas. Wirausaha dianggap orang gagal yang tidak qualified bekerja pada pemerintah. Umumnya yang sarjana engga sulit dapatkan kerjaan bergengsi di Instansi pemerintah atau BUMN atau PMA. Maklum saat itu yang sarjana tidak banyak. Makanya mudah dapatkan jodoh. Engga aneh kalau saya dapat istri karena dijodohkan orang tua.  Karena saya hanya tamatan SMA.


Tapi saya tidak bisa menyalahkan anak muda itu bila dia  tidak bisa berhemat dan bersyukur. Mengapa ? Keadaan kelas menengah seperti anak muda itu dikepung oleh ekosistem rente. Tersedianya fasilitas berhutang yang mudah lewat fintech, seperti Paylater, pinjol. Tersulut budaya konsumsi yang berasal dari social media. Yang era saya tidak ada itu. Belum lagi rendahnya literasi keuangan dalam mengelola penghasilan dan merencanakan masa depan, membuat mereka sampai tua tidak akan mengalami  financial freedom. 


Dalam skala nasional, model pendapatan kelas menengah seperti itu akan membuat middle income trap. Stuck. Maju engga bisa, malah kalau tidak ada terobosan kebijakan nasional  bisa terancam jatuh jadi negara poor lagi.  Karena jumlah penduduk terus bertambah, angka penganguran meningkat, sementara sumber daya income negara tidak meningkat significant. Negara harus terus berhutang untuk menutupi defisit anggaran. Artinya masyarakat  maupun negara masuk dalam  skema debt trap.


***

Lina akhirnya datang jemput saya untuk meeting di kantor teman. “ Pak, berita kemarin mantan pejabat MA yang kena OTT. Di rumahnya ada uang cash hampir Rp 1 triliun. Gila ya segitunya korupsi dan TPPU yang tercatat di luar system perbankan. Itu yang ketahuan, yang engga tahuan mungkin lebih besar lagi. ” Kata Lina sambil setir.


“ Sementara yang tercatat secara system perbankan lebih besar lagi. Pada tahun 2024, PPATK mengidentifikasi total transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp1.500 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp1000 triliun diduga terkait dengan tindak pidana korupsi. Selain itu, transaksi mencurigakan terkait perjudian daring mencapai 360 triliun. 


Kalau membaca data yang ada, dengan jumlah yang sangat besar itu,  tidak akan terjadi tanpa keterlibatan system kekuasaan. Dan terbukti, sekian besar korupsi tidak banyak yang masuk penjara. Kalau ada yang masuk penjara, tidak menjangkau actor intelektual. “ Lanjut Lina.


“ Mengapa terkesan terjadi pembiaran korupsi itu? Tanya Lina.


“ Semua karena bisnis. “ Kata saya sekenanya dan tersenyum. 


“ Maksudnya ? 


“ Dalam system demokrasi terbuka, kekuasaan itu just a business. Mau jadi caleg, kepala daerah, bahkan presiden, tanpa uang engga mungkin bisa lolos melewati proses yang berkompetisi. Mau berkarir bagus di BUMN, di instansi pemerintah, harus pintar dekati elite politik. Semua proses politik itu perlu ongkos. Engga ada yang gratis. Termasuk kalau semua cerita itu berujung skandal, aparat hukum juga minta uang. Siapa yang ongkosi? Ya pengusaha. “ kata saya.


“ Artinya, pengusaha lah penyebab system yang ideal terdistorsi.” Kata Lina mengerutkan kening.


“ Idealisme itu karena idiologi. Nah system yang ada menghapus idiologi. Jadi tidak ada istilah terdistorsi.  Semua berlaku business as usual “ 


“ Tapi kan engga banyak pengusaha yang mampu capitalisasi kekuasaan untuk menghasilkan uang banyak. Apalagi keluar uang lebih dulu untuk ongkosi politik sebelum hasil didapat. “ kata Lina.


“ Benar. Karena memang create peluang rente itu tidak mudah. Perlu kecerdasan, networking business kelas dunia dan menguasai literasi keuangan dan ekonomi. Jadi untuk jadi oligarki, juga harus bersedia jadi komprador asing.” Kata saya.


  Contohnya ?


“ Business pembangkit listrik dalam skema PPP. Dengan adanya vendor international, maka Power purchase agreement dengan PLN akan mendatangkan uang mudah dari vendor. Kamu jadi pemilik pembangkit listrik yang pasar dan resikonya dijamin oleh negara. Kalau investasi katakanlah Rp 1 triliun, kamu mark up jadi Rp. 2 triliun. Terus kamu korbankan sebesar 500 miliar rupiah untuk pejabat, elite politik, termasuk ormas. Kan bukan masalah. Its just a business. 


Kalau kamu punya buyer international yang punya kapabilitas sebagai offtaker market. IUP mineral tambang yang kamu dapat dari pemerintah, itu bisa mendatangkan uang tanpa kamu keluar uang banyak. Semua proses explorasi, exploitasi, smelting di tanggung oleh buyer lewat skema counter trader off set. Kalau kamu dapat uang Rp. 100, kamu bagi Rp. 10 untuk pejabat, elite, aparat, dan ormas untuk amankan konsesi kamu, kan engga ada masalah. “ Kata saya.


“ Sekilas bisnis rente semacam itu mendatangkan pajak dan menyerap Angkatan kerja. Sama saja dengan bisnis kebun sawit. Dimana investasi dari offtaker market di Singapore, pengusaha local hanya jadi proxy aja. “ Kata Lina.


“ Tapi proses nya engga berhenti sampai disitu aja. “ Kata saya. “ Biasanya bisnis rente itu masuk ke bursa. Lagi lagi perlu dukungan elite dan pejabat otoritas untuk meloloskan agenda IPO. Engga sulit ajak Lembaga Dana Pensiun BUMN jadi standby buyer untuk create value saham diatas ratusan kali dari harga buku. Karena proses ini adalah rekayasa. Berlalunya waktu saham akan terus jatuh semakin jauh dari harga perdana.” Kata saya.


“ Ya. Akhirnya yang korban adalah dana pensiun, dana haji, dana asuransi. Karena uang yang sudah berubah jadi asset saham, nilainya susut. Bank yang ikut memberikan kredit kepada emiten itu, juga terjebak dengan collateral saham yang terus turun. Berpotensi NPL. Investor retail yang bego juga jadi korban halu bursa saham. Pada gilirannya penerimaan pajak negara juga susut. Karena business plan dari emiten memang bukan untuk create value lewat growth real, tapi hanya money game dan money laundry.  “ Kata Lina menyimpulkan. Saya senyum aja.


“ Apakah kita masih bisa berharap dengan rezim yang ada sekarang? Tanya Lina. Saya diam saja.


“ Mengapa kamu peduli dengan keadaan politik? Saya mengerutkan kening. " Bukankah hidup kamu sudah aman. Sebagai dirut dari group perusahaan, kamu dapat gaji setahun diatas Rp. 5 miliar. Belum lagi fasilitas yang kamu dapat. “ Tanya saya sambil rebahkan kursi untuk siap tiduran. “Aneh..” gerutu saya.


“Memang Lina secure. Tetapi itu didapat dari profesionalitas yang tentu karena Pendidikan. 90% rakyat Indonesia tidak bisa seperti Lina. Kalau orang seperti Lina tidak peduli, lantas siapa lagi yang akan melindungi rakyat miskin dan bodoh ? kata Lina. Saya senyum aja. Dia engga tahu. Orang miskin dan bodoh sudah dibeli oleh elite untuk jadi buzzer  menyerang mereka yang kritis dan ironinya dalam kemiskinan dan kebodohan, malah jadi pendukung setia.


“ Kalau ketidak adilan terus terjadi dan sangat vulgar. Lama lama rakyat miskin pasti marah. Pada akhirnya orang sepeti Lina ini engga lagi secure.  “ lanjut Lina. Saya diam saja. Karena sikap Lina itu make sense. Tapi just a business. Kalau ingin hidup kita aman ya harus pastikan orang lain juga aman. Tapi itu tidak dipahami oleh orang rakus. “ Bangunkan saya kalau sudah sampai” kata saya mejamkan mata. " Apakah nasip atau kutukan bagi kita. living in a dangerous place" terdengar sayup sayup suara lina.

 

Ojol dan Exploitasi lewat skema

  Kadang dalam hidup kita perlu barang sejenak untuk menjauh dari keramaian. Namun tidak jauh dari keluarga besar. Begitu juga dengan saya. ...