Esther datang ke Jakarta. Dia lahir dan besar di Indonesia. Namun usia 28 tahun dia hijrah ke Hong Kong. Akhirnya jadi permanent residence HKSAR. Posisinya sekarang sebagai CEO MNC, perusahaan China. Sebelumnya Director pada Bank Eropa Papan Atas di cabang Hong Kong. Dia lahir di Yogya. Esther pernah cerita bahwa ibunya jadi Tapol karena terlibat PKI. Saat itu usianya masih Balita. Sahabat ibunya menyelamatkannya. Mungkin karena wajahnya mirip orang Eropa. Maklum ayahnya Gen Eropa. Nasip baik ada keluarga di Jakarta mengadobsinya.
“ Ale, benarkah Tan Malaka itu Komunis? Tanyanya saat ketemu saya tadi sore di Ritz.
“ Secara personal, Tan Malaka bukan komunis. Dia pria minang yang menjadikan Islam sebagai jalan hidup dan adat dalam berbudaya. Namun kalau dia jadi anggota Gerakan komunis International di zamannya, tak lain itu hanyalah metodelogi dia berjuang melawan imperialisme yang mengusung kapitalisme. Itu smart menurut saya. Karena saat itu gerakan yang terorganisir dan punya pengaruh mendunia melawan imperialisme adalah komunis. “ kata saya.
“ Kalau memang dia islam, mengapa dia tidak gunakan Islam sebagai metodelogi berjuang melawan imperialisme.” Tanya Esther.
“ Tan Malaka sendiri pada konferensi kominten di Moscow, dengan berani menyampaikan gagasan Pan Islami sebagai aliansi komunis melawan imperiliasme. Walau tidak ditanggapi serius oleh peserta Konferensi. Namun saat dia kembali ke Indonesia, dia berhasil mengajak tokoh islam. HOS Cokroaminoto bergabung dengan Gerakan komunis. Tahu mengapa ? bagi Tan Malaka, islam atau komunis hanyalah metodelogi berjuang. Bukan tujuan berjuang. Tujuan tetap yaitu menghapus penjajahan. “
“ Maksudnya penjajah Belanda ? Tanya Esther.
“ Bukan hanya itu. Tetapi lebih luas lagi“
“ Jadi apa ?
“ Penjajahan pemikiran. “
“ Maksudnya ?
“ Suatu bangsa tidak akan merdeka dalam arti sesungguhnya kalau kebebasan berpikir tidak ada pada setiap orang. Nah paham kan. Artinya dia tidak percaya dengan komunis yang membelenggu orang dalam manifesto. Juga tidak percaya dengan agama yang membelenggu orang dengan sikap taklig. Apalagi dengan kapitalisme yang membuat orang terbelenggu dengan modal. Tentu tak ingin orang terbelenggu dengan sosialisme yang berujung pada feodalisme. “ Kata saya.
Esther termenung seakan berpikir berusaha mencerna kata kata saya. “ Artinya Tan Malaka mengajak orang melakukan revolusi berpikir. Agar orang terbebas dari belenggu konsepsi yang dijejalkan lewat sistem dan aturan. Cara berpikir seperti apa yang Tan Malaka inginkan? Tanya esther.
“ Kamu pernah membaca buku Madilog, Material dialektika dan logika.? Tanya saya balik. Esther menggelengkan kepala. “ Bacalah buku itu, kamu akan tahu seperti apa kebebasan berpikir yang dimaksud Tan.” Lanjut saya.
“ Jelaskan saja. Apa esensi dari buku Madilog itu .” Kejar Esther.
“ Dalam pengertian filsafat dan sains. Materi itu tidak ada. Hanya ilusi dalam rangkaian persepsi dan konsepsi. Makanya apapun konsep harus terbuka ruang dialektika agar logika tercerahkan dan peradaban tidak terjebak dengan isme dan taklik buta.Yang menang adalah akal sehat. Bola bisa gilindingkan karena bulat. Konsesus pasti terjaga. Karena kehendak dan keinginan bertaut. Itu karena agama jadi obor, kebudayaan jadi pakaian.
Dari buku itu kita tahu jalan pikiran Tan Malaka. Sebenarnya yang diperjuangkannya adalah lahirnya kemerdekaan intelektual dan spiritual bagi setiap orang Indonesia. Kata kuncinya ada pada pendidikan. Makanya dia menolak apapun jalan perundingan dengan Belanda yang dimediasi AS dan Eropa. Dia memilih jalan revolusi total. Tetapi kala itu tidak semua elite memahami jalan pikiran Tan. Mereka focus kepada kemerdekaan formal, yang tahun 1950 diakui PBB.
Makanya jangan kaget, setelah Indonesia merdeka. Sistem demokrasi liberal diterapkan. Indonesia menghadapi perpecahan. Terjadi pemberontakan DII/TII, PRRI Permesta. Walau bisa diatasi dengan kekuatan Militer. Bukan berarti selesai. Sampai kini, persatuan dan kesatuan tidak jadi asset nasional untuk kemakmuran dan keadilan. Yang ada hanya aneksasi. Tidak ada bedanya dengan system kolonialisme. Ya neokolin “ Kata saya.
“ Apa salahnya isme dari Barat. Bukankah demokrasi dan capitalism itu lahir dari proses abad pencerahan di Eropa dan menjalar ke AS. Terbukti mereka bisa makmur dan menjadi pemenang perang dunia kedua “ Kata Esther masih bingung.
“ Dalam hal konsepsi tidak ada yang salah dengan isme barat. Tetapi tidak bisa jadi standar. Penerapannya akan sangat bergantung budaya masing masing negara. Lain lubuk lain belalang. Misal Trias Politika lewat multi partai. Itu bagus aja. Tetapi Trias Politika dalam satu partai juga engga salah. Atau istilahnya demokrasi terpimpin atau sosialisme terpimpin atau pasar terpimpin.
Mungkin itu terkesan otoritarian bagi Barat dan AS. Apa salahnya otoritarian, kalau itu lahir dari kebudayaan yang sudah mengakar. Bukankah kebudayaan sudah terbentuk jauh sebelum republik lahir. Sudah terbentuk jauh sebelum agama modern diperkenalkan. “ Kata saya.
Esther masih bingung.
“ Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan. Pancasila dijadikan dasar negara oleh bapak bangsa. Apakah itu sejalan dengan pemikiran Tan Malaka? Tanya Esther kemudian.
“ Bisa jadi itu lahir dari pemikiran Tan Malaka. Karena yang pertama kali memperkenalkan system republik Indonesia adalah Tan Malaka. Dalam bukunya yang terkenal, Naar de Republiek Indonesia. Tan Malaka menolak system monarki dan federasi. Dia memilih republik. Namun menolak idiologi dari luar secara taklik. Kalaupun diterapkan maka harus sesuai dengan agama, budaya dan adat. Buku itu jadi inspirasi bagi tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesai saat itu dengan lahirnya Pancasila.
Nah kamu perhatikan. Apakah ada dalam Pancasila itu menyebut idiologi? Kan engga ada. Artinya benar, Pancasila itu hanyalah tuntunan kita berpikir dan bersikap dalam konteks kebangsaan. Hanya saja dalam bentuk imajiner. Bukan dalam bentuk manifesto atau dokrin. Tapi kebudayaan. Makanya ukuran kompetensi elite itu adalah punya rasa malu, yang didasarkan kepada kuatan iman dan luasnya pengetahuan. Bukan mereka yang paling banyak di vote dalan pemilu. ” Kata saya.
“ Tetapi terkesan utopia. “ Kata Esther.
“ China sudah terapkan. Kan tidak ada masalah. ? kata saya tersenyum.
“ Maksud kamu? Esther berkerut kening.
“ China awalnya menerapkan Komunisme sebagai metodelogi perjuangan kelas terhadap kekuasaan nasionalisme yang feodal dan pro asing. Lewat revolusi kebudayaan. China bangkit dengan nilai nilai kebudayaan. Setelah itu China bisa menerima kapitalisme dan juga sosialisme namun tetap disesuaikan dengan kebudayaan. Trias Politika diterapkan dalam system dewan negara. Pemilu Langsung diterapkan untuk anggota Komite Rakyat dan Dewan Pekerja. Namun menolak multi partai. Mereka memilih jalan demokrasi terpimpin, yang tentu pasar terpimpin. “ kata saya.
" Dari tadi saya terus mendengar istilah kebudayaan. Apa sih maksudnya.? tanya Esther.
" Kebudayaan itu akar katanya budaya. Asalnyanya dari bahasa Sanskerta "buddhayah" yang berarti akal atau budi. Nah akal budi ini hal yang imajiner. Hal yang hanya bisa dirasakan kehadirannya lewat rasa malu. Sementara rasa malu itu pakaian orang beriman dan berpengetahuan. Dalam Bahasa mesranya orang berbudaya itu disebut hikmat dan bijaksana.
Tahu diri. Malu korupsi. Malu hidup hedonisme. Malu berbohong. Malu sombong. China menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Bagi Barat itu melanggar HAM. Tapi dalam konteks kebudayaan, orang korupsi itu sudah hilang rasa malu. Artinya sama dengan Hewan. Yang dihukum mati itu bukan lagi manusia tetapi hewan " kata saya tersenyum.
Esther mengangguk.
“ Nah China menerapkan kebudayaan dalam menjalankan system. Itu tercermin dari kebijakan Nasional. Dalam bidang ekonomi dimana kurs mata uang ditentukan negara. Hak kepemilikan privat dikontrol negara. Menerapkan subsidi produksi. Menolak proteksi pasar dan tentu menolak pasar bebas. Mengutamakan sains dalam membangun peradaban. Walau dalam bidang social menolak kebebasan pers dan berpendapat yang tak bertanggung jawab. Namun menjamin kebebasan professional dalam bekerja dan berbisnis. Menjamin good governance dan law enforcement “ lanjut saya. Esther mengacungkan jempol.
“ Kangen engga dengan Indonesia ? Kan kamu ada rumah di Bali. Nanti kalau pensiun pulanglah.” Kata saya tersenyum.
“ Tadinya memang ingin mati di Indonesia. Tetapi …” Esther terdiam. “ Yang penting dimanapun kita berada bermanfaat bagi orang lain. Kebetulan di Indonesia saya tidak berguna. Daripada jadi beban negara, sebaiknya saya tetap di Luar negeri aja yang memang butuh saya. “ Sambung Esther berusaha bijak. Saya hanya menghela napas.