Thursday, April 22, 2021

Melodrama...








Tahun 2006. Setiap akhir pekan saya pasti ke Shenzhen untuk istirahat setelah berlelah selama 5 hari di Hong Kong. Setiap saya melewati gate stasiun kereta ada wanita yang mendekati saya. “Pak, anda ingin membeli gaun atau jam  atau apa” Katanya dalam bahasa inggris terbata bata. Saya suka dengan gaya perjuangannya. Saya mengangguk seraya tersenyum. Dia membawa saya ke suatu apartemen yang tidak jauh dari mall Louho. 


Dia menawarkan beberapa barang. Memang murah sekali. Saya tahu itu semua merek palsu. Saya tidak tawar barang dia. Saya percaya saja. Itu berlangsung tiga bulan. Setiap beli barang dari dia, barang itu tidak pernah saya gunakan. Saya hanya simpan di lemari pakaian. Wenny sempat tertawa saat melihat tumpukan barang di lemari saya. “Kamu sadar ditipu dan itu berkali kali. Lucunya kamu menikmatinya.” Kata Wenny.


Saya mengerutkan kening. Seraya menghembuskan asap rokok ke udara, saya tersenyum. “ Bagiku, kehidupan bukan melodrama. Yang melihat hidup ini dari sisi hitam putih. Engga begitu say” Kata saya. 


“ Hidup ini, kan soal  salah dan benar. Makanya ideologi diperkenalkan. Agama disiarkan. Kebudayaan mengajarkan” Kata Wenny.  Dia tidak setuju dengan sikap saya.


Saya mendekat ke arah Wenny. Duduk di hadapannya di sofa“ Kalau kamu bersikap melodrama, kamu tak akan henti menyalahkan orang lain. Merasa diri kamu lebih baik dari orang lain. Kan begitu kata kebudayaan? Kan begitu kata agama?. Kan  begitu kata ideologi dan Politik?. Ya kan?. Tapi dalam kenyataannya yang terjadi adalah tragis. Tidak ada yang  sempurna. Tidak ada.” Kata saya.


Wenny termenung.


“Kamu tahu. “ Kata saya lagi. “ Bahkan revolusi yang lahir katanya dari genre dan ucapan kaum moralism dan diutarakan tanpa ambiguitas. “ Saya berdiri dengan membusung dada ” Ya di sini kaum revolusioner yang mulia. “  Kata saya menepuk dada. “ Di sana kaum kontrarevolusioner yang keji. “ Kata saya menujnuk ke depan.  Wenny tersenyum lihat tingkah saya. Saya kembali duduk. 


“ Tiap revolusi " Sambung saya " menyangka, atau menyatakan diri, membawa sesuatu yang baru. Revolusi Perancis menyatakan tahun permulaan kekuasaan baru sebagai tahun nol. Revolusi Rusia mengubah nama-nama kota terkenal St. Petersburg jadi Leningrad, juga Revolusi Indonesia menolak nama Batavia dan menjadikannya Jakarta. Nyatanya walau revolusi mudah meledak bau amis darah dan mengubah segalanya, tapi tidak pernah mencapai hasil seperti pesan moralis yang idealis. 


Melodrama itu hanya ada dalam kisah di kerajaan utopia. Di teater. Tidak di dunia nyata.  Bahkan budayawan yang bicara tentang tragedi  akan dengan cepat jadi komedi atau bahkan farce. Para pendakwah melodrama yang terus mengklaim kemurnian niatnya, akan tampak menggelikan, atau semakin tak jelas antara agama dan politik.Terutama ketika para pendakwah hidup hedonis. “ Sambung saya.

“Tapi melodrama selalu ada dalam sebuah masyarakat. “ Sergah Wenny.


“ Melodrama memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air mata. Saya suka. Tapi memandang kehidupan sebagai sebuah melodrama akan cenderung menampik kesadaran akan yang tragis, dan kita hanya akan jadi anak yang abai dan manja.” Kata saya tersenyum.


***

Suatu saat ketika keluar dari gate. Wanita itu tidak terlihat lagi. Saya sudah melupakan wanita itu. Saya pergi ke spa yang ada di Shenzhen. Saya bertemu lagi dengan wanita itu. Dia jadi petugas terapis reflexy. Keliatan dia malu memijit kaki saya. Setelah selesai di spa jam 8 malam. Di lobi saya bertemu dengan wanita itu. Dia sengaja menanti saya. “ Bolehkah saya bicara? Katanya.


“ Ada apa ? tanya saya. Dia tampak bingung. “ Gimana kalau kamu temanin saya makan malam. Saya sendirian. “kata saya. Dia terkejut seakan tidak percaya dengan tawaran saya itu. “ Benar ? Katanya dengan wajah merona.


“Ya.” Kata saya tersenyum ramah. Diapun setuju. Saat masuk restoran, dia terkesan sungkan. “ Ini terlalu mewah bagi saya. Apakah kamu sedang merayuku.” Katanya.


“ Tidak. Hayolah masuk. Kata saya. Dia masuk dengan ragu.


“ Saya mau minta maaf. “ katanya saat menanti hidangan datang  di meja makan.


“Maaf apa? saya mengerutkan kening. Dia tidak menjawab. Wajahnya menatap kosong... 

" Apapun itu, Saya sudah maafkan sebelum kamu minta maaf. Kamu tidak usah berlebihan. Santai saja.” kata saya menenangkan hatinya.


Usai makan malam, saya ajak dia mampir ke Apartemen saya. Awalnya dia ragu. Tapi akhirnya setuju. 


Sampai di apartemen saya ajak dia masuk ke kamar tidur. Dia menolak halus. “ Saya belum siap. Maafkan saya.” Katanya. 


" Maaf. Bukan itu maksud saya. Maaf " Kata saya yakinkan dia bahwa saya tidak sedang merayunya untuk ditiduri. Saya buka lemari di kamar. Perlihatkan ke dia. Dia masuk ke dalam kamar dan melihat banyak bungkusan. “ Inilah barang yang saya beli dari kamu selama ini. Tidak pernah saya pakai. Itu hanya saya simpan” Kata saya tersenyum. “ Nah sekarang mari kita keluar kamar “ Lanjut saya.


“ Jadi kamu tahu aku berbohong?  tanyanya dengan terkejut. " Ya, saya telah berbohong kepada kamu. Berkali kali saya jual barang Itu semua bohong. Baik harga maupun merek.” Sambungnya dengan air mata berlinang


“Ya. Saya tahu.”


Tapi karena saya lihat kamu tidak merasa dibohongi dan saya dapat dengan mudah menjual. Saya menganggap saya tidak bernilai di hadapan kamu. Sejak itu saya memutuskan untuk berhenti dagang sebagai broker barang palsu. Hidup memang tidak mudah. Tetapi selalu ada pilihan. Maafkan saya.” Katanya berlinang airmata  " Tetapi mengapa kamu diam saja, menerima saja saya tipu? tanyanya.


“Saya tidak membeli barang dagangan kamu, tetapi membeli  rasa hormat kamu.”


" Rasa hormat ? Dia mengerutkan kening. Sepertinya dia tidak mengerti maksud saya. 


" Kamu tidak menggoda saya walau kamu cantik. Karenanya saya tidak merasa dipaksa untuk membeli. Kamu hanya mengajak saya ke apartemen yang menyediakan baragam barang bermerek yang palsu. 


Oh…” Dia menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.


“ Dan terbukti karena rasa hormat itulah kamu merasa tidak nyaman dan pilihan menjadi terapis pijit lebih terhormat. Saya tidak salah dengan keyakinan saya. “ kata saya.

 

“Mengapa kamu sangat yakin? Tanyanya ragu.


“Saya suka bertaruh dengan keyakinan saya. Hidup kan adalah pertaruhan tanpa jeda. Biasa saja. Everything happens for a reason.  Apa sebenarnya alasan kamu tipu saya? Itu hanya kamu yang tahu.  Saya tidak melihat hidup ini sebagai sebuah melodrama. Sehingga saya tak berhak mengadili kamu. Itu udah nature saya” kata saya. 


Dia lama terpana. 


“ Bolehkah aku memelukmu ? Katanya. Saya rentangkan kedua tangan saya. Dia memelukku. “Dari kecil saya hidup sangat miskin. Ibu saya pergi dari rumah sejak saya berusia balita. Saya dibesarkan oleh kakek dan nenek saya yang juga miskin. Papa entah dimana kini?. Ini kali pertama saya merasa dimanusiakan. “ Katanya dengan suara terisak. 


Tak berapa lama Wenny datang ke apartemen. Saya kenalkan dia kepada Wenny. Sebulan kemudian dia sudah bekerja di jaringan internasional Hotel di Luar kota Shenzhen dibawah portfolio Yuan holding yang dikelola Wenny. Setelah 10 tahun bekerja pada Yuan Holding dan mengikuti proses training, Wenny percayakan dia sebagai Head of gold trading di divisi perdagangan emas. Dia cerdas dan cepat sekali belajar. 


8 comments:

Anonymous said...

Dalam banget maknanya 👍🏻

Anonymous said...

Proses....

Anonymous said...

Indahnya keperdulian ke sesama❤️

Anonymous said...

Luar biasa

Kino said...

Dimanapun ada orang baik, itu sudah menjadi siklus dalam kehidupan dan hanya yang sanggup mengikuti proses lah yang berhasil, salut

Anonymous said...

Masyaallah. Andaikan aku bisa berbuat seperti yang dilakukan oleh Mr. B, betapalah rasa berbahagianya ... 🤭🤭

Anonymous said...

Wonderful

Anonymous said...

Hidup memang untuk menikmati apa yang telah dilakukan sebelumnya, tak lebih tidak kurang. Dan yang terbaik selalu akan menerima kebaikan. Begitulah karma yang senantiasa menjadi jalan hidup bagi yang menjalankannya tanpa melodrama kaku.

Harta hanya catatan saja

  Saya amprokan dengan teman di Loby hotel saat mau ke cafe “ Ale, clients gua punya rekening offshore di Singapore. Apa lue bisa monetes re...