Wednesday, April 28, 2021

Hikmah perjalanan hidup

 





Perjalanan hidup saya mungkin lebih banyak berkisah tentang kegagalan dan pecundang. Tidak ada yang perlu dibanggakan. Tahun 83 saya sebagai perantau yang hidup melata. Terseret dalam arus mencari jati diri. Saya ikut pengajian radikal. Menentang rezim Soeharto. Aktif terlibat dalam diskusi gelap bersama gerakan marhaen. Aktif dalam kelompok agama yang menentang pemerintah. Kelompok apapun yang punya semangat menentang Soeharto, saya ikuti.  Tahun 84 saya masuk penjara. Karena tersangkut kasus Tanjung Priok. 


Di penjara walau hanya 7 hari namun seperti 7 abad. Setiap hari  dua atau tiga jam saya disiksa. Disebelah sel saya, ada ruang interogasi. Setiap jam saya mendengar suara lulungan dan tangisan memohon ampun. Setelah itu saya melihat orang diseret dari ruang interogasi dengan kepala dan  wajah berdarah. Bahkan ada wanita diseret dengan menarik rambutnya dalam keadaan tak berdaya setelah disiksa.  Saat itu sepertinya saya kehilangan jatidiri. Merasa kalah dan tak berdaya.


“ Apakah kamu kira yang kita perjuangkan ini sudah benar? tanya teman satu sel dengan saya. Saya terkejut. Tak bisa menjawab. Saya sedang berada dititik terendah keimanan. 


“ Tahukah, kamu. Kisah Nabi Yunus. Kapten kapal yang sedang menghadapi badai, perlu mengurangi penumpang. Saat itu dia melakukan undian siapa yang pantas dibuang kelaut dan siapa  tetap tinggal di kapal. Ternyata, Nabi Yunus harus keluar dari kapal. Saat dia terjun ke laut. Saat itu juga ikan Paus menyambutnya dengan menelannya. Di dalam perut ikan yang gelap. Malaikat mengajarkanya berdoa. Kamu tahu doa apa yang diajarkan malaikat ? 


“Apa ?


“ Itu bukan doa. Tetapi pengakuan diri bahwa “ tiada tuhan selain Allah, sesunggunya aku termasuk yang zolim”. 


“ Oh…


“ Kamu bisa bayangkan, disaat Nabi  Yunus merasa paling benar sehingga pantas meniggalkan kaumnya demi menjauh dari kemaksiatan. Merasa yakin Allah akan menolongnya dalam undian. Tetapi ternyata dia kalah. Orang yang dianggap maksiat justru selamat dan tetap di kapal. Sementara dia sebagai Rasul, terlempar dari kapal. “ kata teman satu sel saya dengan tersenyum. Dia mendekati tempat saya duduk di lantai. 


“ Saudaraku, Yang jahat dan baik itu selalu bersanding di dunia ini. Kita tidak diminta Tuhan memerangi yang buruk. Kita diminta menyampaikan kebaikan dengan cara baik melalui perbuatan dan sikap kita. Agar apa ? agar terjadi perubahan lebih baik. Dan setiap perubahan itu tetaplah kehendak Allah yang berlaku. Jadi tugas kita hanya menyampaikan kebaikan dengan rendah hati dan bersabar. Artinya, sebaik apapun niat kita , kalau disampaikan dengan cara yang salah, tetap saja salah di hadapan Allah.” Katanya dengan bijak. 


Saya terhenyak. Setelah itu setiap detik napas saya berdoa dengan melapalkan “ Tiada tuhan selain Allah, sesungguhnya aku termasuk orang yang zolim. Saat saya terpuruk, yang saya ingat adalah kezoliman saya, bukan kehebatan saya dalam beragama. Tuhan ingin saya mendapatkan hikmah dari keadaan saya, dan itu adalah rendah hati dan bersabar pada batas tak tertanggungkan. Seharusnya bagi mereka yang dulu pernah merasa benar melaksanakan fatwa ulama menjatuhkan dan menghina Ahok, dan kini mereka hidupnya terpuruk, mereka harus melapalkan " Tiada tuhan selain Allah, sesungguhnya aku termasuk orang yang zolim." Sebuah sikap kerendahan hati dan malu di hadapan Allah. Karena sikap itulah pertolongan Tuhan akan sampai. 


***

Setelah peristiwa Tanjung priok, saya melupakan soal amarah kepada rezim Soeharto. Saya berusaha berdamai dengan diri saya dan semakin membuat saya berserah diri kepada Allah. Saya focus kepada bisnis. Karena bisnis juga saya berinteraksi dengan rezim Soeharto melalui kroni , ormas dan Golkar. Saya tidak merasa berdosa bila saya ambil bagian dari kemaksiatan itu. Namun satu waktu, saya bertemu Gus Dur. Dia membantu saya dapatkan SPK proyek dan juga fasilias kredit bank. Begitu sakti surat Gus Dur sehigga bisa membuat segan Pak Harto dan banker. 


Tapi ketika proyek selesai, dan saya dapat untung besar dan saya datang ke Gus Dur. “ Saya dapat untung. Berapa Gus perlu uang dari keuntungan ini” kata saya dengan jujur. 

“Saya tidak perlu kamu beri. “.” Katanya.

“ Mengapa Gus ?

“ Agar kamu tidak perlu datang lagi ke saya. Bukankah kamu sudah kaya. “


Saya tersentak. Saat itu juga ada cahaya kebenaran datang ke dalam sanubari saya.  Kalaulah dekat kepada rezim untuk berdamai dan kaya mudah, tentu Gus Dur lebih kaya dari saya dan orang lain. Tetapi Gus Dur tetap hidup sederhana. Dan tidak tergoda dengan pengaruhnya di hadapan politik kekuasaan.? Berdamai adalah keikhlasan. Keikhlasan yang benar apabila diikuti sifat istiqamah. 


“ Apa nasehat Gus untuk saya”


“ Pertama, selalulah berniat baik, Tidak penting orang suka atau tidak suka.  Karena niat itu hanya antara kita dan Tuhan saja yang tahu. Kedua, berusahalah memberikan petunjuk kepada orang lain termasuk mereka yang berbeda agama dengan kamu. Ketiga, caranya selalu bersikap adil dari sejak dalam pikiran sampai pada perbuatan.  Keempat, lakukan itu dengan cara yang manis dan egaliter. Jangan membuat orang lain merasa berjarak, kalau bisa dengan canda yang becanda juga engga apa apa. Kelima, Rendah hatilah selalu.” Kata Gus Dur. 


Sejak itu saya tinggalkan semua bisnis yang berhubungan dengan fasilitas pemerintah dan proyek pemerintah. Saya ingin ikhlas dan istiqamah. Saat itulah saya menemukan jatidiri. Usia saya saat itu 32 tahun. Selama 7 tahun atau sampai usia 40 tahun. Usaha yang saya lakukan jalan terseok seok. Kadang terheti tanpa harapan. Kemudia bergerak lagi dengan terseok seok. Saya tidak lagi melihat hasil sebagai tujuan. Tetapi proses yang bertumpu kepada ikhlas dan istiqamah.


Ketika Gus Dur dilengserkan dan keluar dari istana dengan celana pendek,  saya menangis. " Tuhan, engkau tunjukan kepadaku hakikat ikhlas dan istiqamah dari seorang pemimpin yang engkau pilih. Apalah arti deritaku dibandingkan Gus Dur dalam berjuang secara ikhlas dan istiqamah. "  Samahalnya drama penyalipan Yesus, dalam derita dia masih berdoa kepada Tuhan" Ampuni mereka Tuhan, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan" 


***


Setelah bangkrut. Apa yang harus aku lakukan adalah tetap move on. Namun dengan sumber daya keuangan yang kering memang tidak mudah. Untuk sementara yang kulakukan adalah mendatangi teman-teman yang masih longgar hidupnya. Bukan untuk meminta dan mengeluh akan nasib buruk, tapi sekedar meyakinkan mereka bahwa aku masih exist. Entah apa yang dapat mereka perbuat untuk membantuku di tengah krisis moneter paska tahun 1998. Yang penting aku akan lakukan apa saja untuk mereka tidak merasa rugi kalau membantuku. 


Ada teman tawarkan agar aku menjadi konsultannya, ya aku kerjakan. Ada yang minta aku membantunya mencari buyer batubara, ya aku lakukan. Ada juga teman minta aku terlibat dalam aktivitas sosial, ya aku ikut. Karena memang tidak berniat menjadi broker atau penjual jasa, maka setiap peluang yang kuterima aku kerjakan dengan tulus. Kalau dikasih uang aku terima,  kalau tidak ya sudah. Di samping itu, istriku juga tampil sangat luar biasa sebagai penyelamat rumah tangga kami. Ia berdagang kecil-kecilan agar bisa membantu biaya rumah tangga dan tanpa menghalangiku untuk terus berhubungan dengan teman-teman pengusaha. Ia tidak membaniku soal biaya rumah tangga.


Pernah ketika usai libur lebaran istri mengajakku dan anak-anak pergi ke Ancol dengan bekal tikar dan makanan dari rumah. Kami duduk di pantai dengan penuh keceriaan dalam hidup bersahaja. Padahal tahun lalu kami bisa tinggal di hotel dan menikmati semua hiburan yang ada di Ancol. 


"Papa,  kapan kita ke Dufan dan tidur di hotel lagi?," kata putra sulungku sambil menunjuk hotel Horisson. Rasanya aku ingin menangis, namun istriku dengan bijak menjawab, "Tahun depan kita akan tidur di hotel dan ke Dufan lagi kalau liburan. Ayo doakan Papa bisa bangkit lagi”.


Suatu waktu istriku punya tabungan dan berniat untuk memberangkatkan ibuku pergi haji. Aku tersentak. Di tengah kehidupan yang sulit, istriku begitu lapang hati berkorban untuk ibuku. Alasannya semoga ibuku dapat pula mendoakan kami agar suatu saat dapat pergi haji. Kalau tidak ada rezeki, kami berharap anak-anak dapat mengirim kami ke Baitullah. Akhirnya ibuku berangkat haji. Setelah itu kami tidak punya lagi tabungan. Kalau sakit, entah bagaimana kami bisa selamat. Karena kami juga tidak punya asuransi kesehatan.


Suatu hari, dengan bus Patas AC aku meluncur dari terminal di pinggiran Jakarta ke arah jalan Sudirman, pusat kota. Mengapa aku bilang ke arah Jalan Sudirman? Karena aku sendiri pun tidak tahu mau ke mana. Aku hanya tahu bahwa aku harus keluar rumah dan berharap akan ada peluang. Tapi ke mana?  


Entahlah. Aku turun di halte Gedung Arthaloka. Tak ingin terlalu lama bengong di halte, kaki aku langkahkan ke Hotel Reagent yang berada di belakang gedung Landmark. Berharap di hotel itu aku bertemu teman yang sedang ngopi, atau setidaknya aku bisa istirahat barang sebentar. Sesampai di hotel, karena tidak ada Credit Card, dan tidak ada uang di dompet, maka seperti biasa aku hanya duduk di lobby sebentar. Kalau lewat 1 jam tidak ada ketemu teman, ya aku pergi dari hotel itu sebelum diusir oleh Satpam.


Baru saja aku mau melangkah ke arah pintu keluar, aku bertemu dengan teman lama, warga Singapore. Ia minta aku menemaninya melakukan negosiasi dengan relasinya orang Indonesia. Usai negosiasi ia ajak aku makan siang. Ia berjanji akan memberikan fee kalau transaksinya dengan relasinya tadi berhasil. Benarlah, seminggu kemudian ia telepon aku mengabarkan bahwa aku bisa ke Singapore untuk mendapatkan fee yang ia janjikan. Tapi dari mana ongkos ke Singapore?  Ada teman yang kutemui mau menolong. Sore harinya, ia memberi aku uang untuk ongkos ke Singapore. Katanya uang itu didapatnya dari menjual HP Communicatornya. Menurutnya begitulah caranya berterimakasih karena ingat dulu aku pernah menolongnya. Aku terharu. Aku berjanji akan mengembalikan uangnya.


Sesampai di bandara Changi, temanku mengabarkan via telepon bahwa ia sedang berada di Johor Bahru. Malam baru kembali. Ia minta aku tunggu di hotel. Hotel mana? Aku tidak punya uang untuk sewa kamar. Uang di kantong hanya SGD 20. Tapi bagaimanapun aku putuskan datang ke hotel agar ia mudah menemuiku nanti.  Dengan taksi aku sampai di Hotel Central di kawasan Orchard. Dari jam 1 sampai jam 5 sore aku menantinya di lobby tapi yang kudapat malah teleponnya mengabarkan bahwa Ia tidak bisa menemuiku. Kemungkinan baru besok pagi bisa bertemu. Nah sekarang tidur di mana? Perut lapar. 


Nasib baik datang. Aku bertemu teman dari Jakarta. Ketika itu jam 7 malam. Aku diajaknya makan malam. Tapi usai makan malam, ia sibuk menerima telepon dan akhirnya pergi ke luar hotel untuk bebas bicara. Dan sampai jam 10 malam tidak kembali lagi ke restoran. Petugas restoran minta bill ditutup. Darimana aku punya uang?  Terpaksa aku menyerahkan pasporku untuk jaminan. Bahwa besok aku berjanji akan membayar setelah temanku datang. Untung manager restoran percaya, atau mungkin ia kasihan. Kini aku tidak punya paspor, tidak punya kamar untuk tidur. Tidak punya uang. Ada di negeri orang. Kalau besok temanku tidak datang maka kemungkinan urusannya harus ke polisi. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa.  Saat itulah aku teringat akan istri dirumah. Untuk mengisi kekosongan waktu dalam penantian yang tak pasti. Aku keluarkan pulpen dan mulai menulis di buku agenda yang selalu ku bawa. 


Istriku ....Tak ada orang yang ingin menulis surat seperti ini, tapi aku cukup beruntung memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang sering lupa kukatakan. Aku mencintaimu, Sayang. Kamu sering berkelakar bahwa aku lebih mencintai bisnisku  daripada kamu karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Aku memang punya obsesi dalam hidup ini. Obsesi seorang yang terlahir sebagai pria. Yang harus berbuat lebih. Tapi, tahu tidak? Aku mencintaimu karena alasan yang sama. Semoga ini dapat kamu pahami, sayang.


Ingat ketika aku membicarakan niat untuk bisnis. Aku tau kamu tidak mengerti. Kamu hanya tau kalau akhirnya bisnis  ini tidak cukup membuat kita bahagia. Aku tidak pernah tau arti uang dan kamu menanamkan arti uang dan kebijakan kepada anak anak hingga membuat mereka rendah hati dan sangat bangga akan aku. Aku sering  mengeluh kepadamu tentang bisnisku , tapi aku tak pernah mendengarmu mengeluh .Seandainya pun kamu mengeluh, mungkin aku tak mendengarnya. Aku terlalu terlena oleh masalahku sendiri sehingga tak pernah memikirkan masalahmu.


Aku memikirkannya sekarang, semua yang kamu korbankan untukku. Pakaian, liburan, pesta, dan teman-teman. Kamu tak pernah mengeluh dan entah bagaimana aku tak pernah ingat untuk berterima kasih padamu. Padahal itu sangat penting bagi dirimu. Saat aku duduk minum kopi bersama teman-teman, aku selalu membicarakan business dan obsesiku , tantanganku , peluangku. Rupanya aku lupa bahwa kamu adalah mitraku meskipun kamu tak berada bersamaku. Pengorbanan dan keteguhan hati menemaniku jualah yang akhirnya mengantarkanku aku dalam dunia yang tak terbayangkan.


Aku begitu puas dengan posisiku dihadapan teman- temanku, hingga rasanya seperti ingin mendapat pujian darimu. Tapi kamu tetap tidak mengerti antara aku dan temanku. Dengan kelakar kamu mengatakan kepadaku bahwa temanku pantas mengharapkan bisnisku karena mereka tidak perlu pusing untuk membiarkan istrinya bergelut dengan masalah sehari hari yang membosankkan. Sayang, ketahuilah bahwa aku bangga akan dirimu walau itu tak pernah kukatan. Aku menganggap kamu pasti sudah tahu, tapi andai aku melewatkan waktu untuk mengobrol denganmu sama banyaknya dengan rapat bisnisku, mungkin aku akan mengatakannya.


Aku memikirkan ulang tahunmu dan ulang tahun pernikahan kita yang terlupakan. Drama sekolah anak anak dan pertandingan olahraga yang kamu hadiri sendirian karena aku sedang diluar rumah. Bila aku di luar negeri …Aku memikirkan malam-malam sepi yang kamu lewatkan seorang diri, bertanya-tanya di mana aku berada dan bagaimana keadanku. Karena kamu memang tidak mau menghalangi kemana aku pergi. Aku memikirkan semua saat aku ingin meneleponmu hanya untuk menyapa tapi tak pernah jadi kulakukan. Aku memikirkan perasaanku yang damai karena tahu kamu berada di rumah bersama anak anak menungguku.


Tiap kali ada acara keluarga, kamu selalu harus menghabiskan seluruh waktumu untuk menjelaskan kepada orang tuamu mengapa aku tak dapat hadir. Aku sibuk dengan urusanku, menjawab telp temanku , menganalisa data bisnis atau aku sedang tidur karena harus berangkat pagi pagi esoknya. Selalu ada alasan, tapi rasanya sekarang alasan itu tak begitu penting. Aku ingin merubahnya , sayang. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah berhenti untuk mencintaimu. You were always on my mind.


Waktu kita menikah, kamu tak tahu cara  mengendari motor dan mobil. Tapi, setelah beberapa tahun, kamu menjadi supir yang hebat karena kamu harus selalu  menemani kegiatan sekolah anakmu. Sementara aku sibuk dan melakukan banyak perjalanan keluar negeri. Aku banyak berbuat kesalahan dalam hidupku, tapi seandainya aku pernah mengambil satu keputusan bagus, itu adalah saat aku melamarmu. Kamu tak akan pernah bisa mengerti apa yang membuatku terus memburu obsesiku. Aku juga tak mengerti, tapi itulah cara hidupku dan kamu hadir melengkapi hidupku. 


Masa susah, masa senang, kamu selalu ada. Aku mencintaimu, Sayang, dan aku mencintai anak-anak. Tulisan itu berakhir dengan air mataku berlinang. “ Tuhan beri kesempatanku untuk memuliakan istriku. Setidaknya membawanya ke Baitullah.” 


Mendekati dini hari, teman yang tadi mengajakku makan malam masuk ke dalam hotel. Aku mengejarnya sampai ke lift. Ia terkejut. Ia pikir aku sudah pergi. Aku jelaskan bahwa aku tidak punya uang sama sekali. Juga tidak bisa membayar bill restoran. Apalagi sewa kamar. Ia tidak menyangka begitu parah keadaan hidupku. Padahal beberapa tahun lalu aku pernah meminjaminya uang. 


Dengan tersenyum ia mendatangi manager restoran untuk melunasi bill dan juga sewa kamar untukku. Kami bicara di kamarnya cukup lama. Ia menawarkan pekerjaan untuk aku mengurus pendanaan proyeknya. Dengan terus terang aku katakan bahwa aku tidak punya uang untuk bergerak. Jadi aku tidak bisa berjanji apapun untuk bisa menolongnya. Ia hanya tersenyum. Semoga ia maklum. 


Besok pagi, temanku yang orang Singapore datang ke hotel hanya untuk mengabarkan bahwa ia belum bisa memenuhi janjinya membayar komisi. Karena terbukti relasinya di Jakarta belum melunasi komisi keagenannya. Aku tidak bisa marah, ini salahku karena terlalu berharap. Dan lagi tidak ada kontrak apa pun untuk memaksanya. Nah, sekarang bagaimana bisa pulang? Uang untuk beli tiket tidak ada. Tapi aku tidak mau mengeluh kepada siapapun. Pada saat itu aku hanya bisa berdoa. Teman dari Jakarta yang tadi malam membayar kamar dan makan malam, menghampiriku di lobby. Ia menyerahkan setumpuk dokumen.

“Ini uruslah proposal bisnis saya. Pelajari. Kalau bisa bantu, hubungi saya. Dan ini uang untuk biaya operasional kamu“, katanya sambil menyerahkan uang USD 10,000. Aku terkejut. Ia langsung berlalu dari hadapanku dengan tergesa-gesa. Sekarang aku punya uang USD 10,000. Akupun bisa pulang.


Di rumah aku ceritakan kepada istriku mengenai uang yang aku terima dan juga menjelaskan bahwa aku tidak yakin akan berhasil dengan pekerjaan ini. Istriku hanya berpesan agar aku menggunakan uang itu sebaik mungkin. Waktu aku beri uang, ia menolak dengan tegas karena uang itu amanah yang harus aku gunakan untuk bekerja. 


Semalaman aku mempelajari semua dokumen itu dan mencoba melakukan stimulasi cara yang tepat mendapatkan sumber pembiayaan. Tapi selalu mentok. Karena bunga yang ditetapkan sangat rendah. Maklum ini proyek dengan pembiayaan kredit ekspor melalui APBN. Sementara credit rating Indonesia lagi jeblok. Suku bunga pasar untuk Indonesia di atas 4 % bunga LIBOR. 


Namun akhirnya aku dapat formulasi bagaimana agar proyek ini layak dibiayai.  Sampai pagi aku menyelesaikan info memo proyek itu agar mudah bagi lender untuk mempelajarinya dan membuat keputusan. Tapi siapa lendernya? Tidak ada bank dalam negeri yang bisa membiayai. Ke mana?  Pikiranku langsung ke Hong Kong. Ya, aku harus kembali ke Hong Kong untuk menemukan sumber pembiayaan. Tapi siapa yang masih percaya denganku? Dulu saja aku gagal, apalagi sekarang hanya sebagai konsultan. Tapi aku harus ke Hong Kong. 


Di bandara aku melangkah dalam ragu. “Aku ngga tahu, Ma. Apakah aku akan berhasil? Siapa yang akan percaya denganku dengan keadaan seperti sekarang?”,  kataku kepada istri yang mengantarku ke Bandara. 

“Jangan meragukan dirimu, Pa. Aku tidak pernah memilih pria yang lemah sebagai suami. Papa tetap yang terbaik bagiku. Aku yakin Papa terlalu kuat untuk jatuh.  Sudahan ya, ragunya. Jangan sampai anak-anak melihat Papa lemah. Pergilah. Ngga usah pikirkan anak-anak. Itu urusanku. Yang penting Papa tetap tenang dan jangan menyerah”, kata istriku.


Ketika pesawat take off keyakinanku sudah bulat. Benar aku bangkrut secara bisnis, namun secara spiritual aku tidak bangkrut. Sahabat masih ada yang percaya dan mau berkorban untukku. Ada istri yang selalu bangga terhadapku. Dan anak-anak yang sehat dan cerdas. Aku harus berjuang untuk membuktikan bahwa aku tidak lemah.


Pesawat mendarat di Hong Kong. Ketika itu Hong Kong sedang memasuki musim semi. Aku tidak akan tinggal di hotel bintang 5. Aku harus berhemat dengan uang yang kurang dari USD 10,000 di tangan karena aku tidak tahu sampai berapa lama perjuangan ini akan selesai. Apakah aku akan pulang dengan tangan hampa? Segera aku menepis segala perasaan negatif. Aku hanya ingat pesan terakhir dari istri bahwa aku bukan pria lemah. 


Aku menginap di hotel kawasan Central Hollywood Street. Bukan hotel, tapi tepatnya wisma. Kamar ukuran 3 x 2,5 meter. Kamar mandi ada di dalam tapi sangat sederhana. Tidak ada TV. Aku sewa kamar untuk 7 hari. Ya, inilah markasku untuk sementara. 


Ada niatku untuk menelepon Esther sahabatku yang berkarir sebagai banker di Hong Kong. Tapi entah mengapa aku urungkan. Karena aku tak ingin merepotkannya. Pagi-pagi aku meluncur ke kawasan Financial Center Hong Kong. Dengan setelan jas aku datangi satu per satu lembaga keuangan yang aku kenal. Seharian aku mendatangi semua relasi. Mungkin ada 6 perusahaan lembaga keuangan kelas dunia telah aku datangi. Tapi semua menutup pintu.  Alasannya sama bahwa proyek itu dijamin oleh Pemerintah Indonesia dan mereka tidak melihat Pemerintah punya kemampuan membayar. Ada juga yang langsung tertawa ketika bunga yang ditetapkan sebesar LIBORr+0,5%. Padahal credit rating Pemerintah jeblok. Seharusnya bunga lebih besar dari itu. Seperti halnya Philipina menawarkan bunga LIBOR +7 atau Thailand LIBOR +5. Ada apa ini? Apakah Pejabat Indonesia tidak paham soal money market?


Sebetulnya, kalaulah mereka mau saja mempelajari info memo yang kutulis tentu mereka tidak akan bersikap seperti itu. Karena dalam info memo, aku tulis analisa resiko dan solusi memperkecil resiko, bahkan menjadikan resiko sebagai peluang. Namun sikap apatis terhadap Indonesia membuat mereka malas membaca proposalku. 


Jam makan siang aku merasa lapar. Aku berniat makan di restoran, tapi kemudian aku urungkan. Aku harus berhemat. Pilihannya adalah makan hotdog yang mangkal di jembatan di dekat taman Bank of America. Dengan duduk santai aku menikmati hotdog itu sambil  berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Saat itu terdengar suara memanggilku. Dari arah samping nampak seorang pria bule mendekatiku.“Jaka?” Teriaknya

“Mark?” kataku setengah tidak percaya.

Kami berangkulan. Ia sahabatku dulu waktu di Jakarta. Aku pernah membeli mesin chopstick darinya. Ketika itu ia sebagai agen dari perusahaan Taiwan. Kami bicara santai di taman itu. 

“Apa yang kamu kerjakan di sini?” katanya.

“Aku sedang mencari lender yang berminat membiayai sovereign guarantee Pemerintah Indonesia“.

“Boleh aku lihat dokumennya?”

Aku menyerahan dokumen yang ada, dan itu hanya copy dari info memo yang kubuat. Ia membaca sekilas. “Boleh aku bawa copy dokumen ini?”

“Silahkan”, kataku.

Ia segera berdiri karena ada urusan lain. “Segera aku kabari kalau ada kemungkinan bisa deal ,“ katanya.

Sebelum ia melangkah jauh, aku bertanya, “Mark, apa pekerjaan kamu sekarang?”.

“Jualan asuransi”. 

Hoalaaah… Aku telah menyerahkan dokumen financial solution kepada agen asuransi, kepada orang yang tidak punya financial network.  


Sore hari setelah lelah mendatangi satu per satu lembaga keuangan aku kembali ke hotel. Hari ini kosong tak ada deal dan tak ada prospek. 


Jam 7 malam telepon selularku bergetar.  “Jaka, ada berita bagus. Besok ke kantorku,  ya. Alamatnya sesuai di kartu nama kemarin yang aku berikan kepada kamu”, kata Mark di seberang. Kesannya ia antusias sekali.

“Baik. Besok tepat jam 10 pagi aku sudah ada di kantor kamu.”

“Bagus.” 


Benarlah, ketika aku datang di kantornya, Mark sudah menanti aku di ruang resepsionis. Ia menyalami aku dengan hangat dan membawa aku ke ruang meeting. Di ruang meeting ada beberapa orang. Aku diperkenalkan satu per satu kepada mereka. Ada perwakilan dari banker di Eropa, ada perwakilan dari perusahaan asuransi khusus penjaminan utang, dan ada juga supplier. Mereka minta aku mempresentasikan info memo itu di hadapan mereka. 


Dengan tenang aku jelaskan setiap tahap proses transaksi agar resiko hukum dapat dihindari, dan syarat yang ditetapkan Pemerintah dapat disiasati dengan baik sehingga layak dibiayai. Mereka perhatikan dengan seksama setiap penjelasanku. 


“Jadi, kesimpulan dari yang Anda sampaikan adalah agar tetap mengikuti syarat yang ditetapkan Pemerintah maka perlu ada lender sebagai vehicle semacam SPC di daerah bebas pajak. SPC itu yang melakukan perikatan dengan Pemerintah. SPC ini yang akan menerima dana dari bank, yang kemudian diteruskan ke supplier yang bertindak sebagai rekanan Pemerintah. Nah, karena selisih harga sangat tinggi maka resiko atas jaminan Pemerintah ditutup oleh perusahaan asuransi dengan premium sesuai dengan credit risk surat utang Pemerintah Indonesia. Biaya premium itu ditanggung oleh suplier”, kata banker yang hadir dalam rapat itu.

"Tepat sekali“ 

“Nah, apa posisi Anda sekarang?”

“Saya hanya membantu teman saya, yang juga rekanan Pemerintah”

“Bukan konsultan?”

“Bukan.”

“Ok. Saya minta teman Anda datang ke Hong Kong bertemu kami, dan juga semua pihak yang terlibat dalam transaksi ini dari Indonesia juga hadir. Kita akan proses cepat.”

“Apakah mungkin saya bisa dapat surat undangan dari Anda yang ditujukan kepada pihak Pemerintah?”

“Apa perlu?”

“Maaf, karena saya bukan siapa-siapa yang bisa meyakinkan mereka untuk datang ke Hong Kong.”

“Ok, saya akan segera buatkan undangannya. Alamat semua ada di dokumen ini, kan?”

“Ya.”

“Hari ini saya buatkan undangannya dan sekaligus surat minat.“

“Terimakasih.” 


Seusai meeting, aku keluar dari gedung itu bersama Mark. Ia mentraktir aku makan siang. Ia mengatakan bahwa Banker tadi adalah business network dari Boss-nya. Fokusnya hanya agar ia bisa menjual produk asuransi semacam surety bond. Dan skema transaksi ini membutuhkan surety bond guna meningkatkan credit rating Indonesia. Aku bisa memahami dan senang karena skema ini memberikan manfaat untuk perusahaannya.


Sorenya aku mendapat telepon dari teman di Jakarta bahwa teman bersama rombongan dari Pemerintah akan terbang ke Hong Kong besok pagi. Nada suaranya nampak ia senang sekali. Aku bersyukur karena baru dua hari di Hong Kong sudah ada progress positif. 


Malamnya aku telepon istri menanyakan anak-anak. Hanya ia sedikit repot dengan putri bungsu kami yang sulit dijelaskan kalau aku tidak akan pergi lama-lama lagi. Setiap malam ia tidak mau tidur di kamarnya. Ia memilih tidur di kamar bersama mamanya. Dan tidak mau sprei dan sarung bantal diganti. Karena ia kangen dengan aroma tubuh papanya. Aku baru sadar bahwa putriku sudah ABG dan ia mengidolakanku. 


Keesokan paginya aku terus sibuk mempertajam analisa dan membuat beragam simulasi untuk meyakinkan temanku tentang financial solution yang aku tawarkan kepada pihak lender. Aku berharap temanku dapat mengerti. Jam 2 sore aku berangkat ke bandara untuk menjemput teman dan tim dari Pemerintah.


“Kamu menginap di mana?”, tanya teman ketika dalam perjalanan ke hotel dari bandara.


“Central Park Hotel“.


“Sebaiknya kamu gabung dengan saya saja. Kami menginap di Shangri-la. Saya sudah bookingkan kamar untuk kamu. Nanti sampai hotel setelah check in ambil tas kamu”, kata teman.


“OK” 


Aku bisa akrab dengan tim dari Pemerintah karena 2 orang dari tim yang berjumlah 3 orang itu telah kukenal baik. Jadi pembicaraan kami bisa lebih santai. 


Setelah check in hotel, aku bicara dengan temanku di kamarnya. Aku berusaha menjelaskan secara rinci tahapan financial close atas skema yang aku ajukan. Ia dapat memahaminya karena aku sampaikan dengan analogi sederhana yang mudah dicerna akalnya sebagai pedagang.  “Yang penting dapat uang dan saya bisa delivery ke Pemerintah. Itu saja“.


“Kira-kira mereka bisa terima?” Kataku


“Saya rasa mereka setuju. Yang penting Pemerintah menandatangani Credit Export Contract sesuai aturan dan syarat yang ditetapkan DPR dalam APBN. Di balik itu kalau ada rekayasa mereka tidak peduli. Terlalu rumit untuk mereka pahami. Tenang saja, Jaka”. Aku senang karena temanku merasa yakin untuk memastikan Pejabat Pemerintah akan setuju dengan skema yang aku buat.


Besoknya kami berangkat ke kantor Mark. Dari kantor Mark, kami berangkat bersama ke alamat kantor bank. Proses negosiasi dari pihak borrower sepenuhnya aku yang pegang kendali. Temanku dan Pejabat Pemerintah hanya manggut-manggut saja. Usai meeting, kami sepakat untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Banker. 


Dari proses membentukan SPC, sampai buka rekening penampungan loan, sekuritisasi Government Bond yang di-back up perusahaan asuransi internasional, sampai kepada perjanjian Engineering, Procurement and Construction (EPC) kepada vendor, semua aku yang atur. Temanku hanya menandatangani, dan kalau perlu tanda tangan Pejabat Pemerintah, ia yang urus. 


Tiga hari proses itu selesai dan memuaskan. Pihak bank berjanji paling lambat hari Rabu minggu depan kredit telah cair ke rekening penampungan pada sebuah perusahaan offshore di Isle of Man. 


Hari Jumat kami kembali ke Jakarta. Tapi mampir dulu ke Singapore untuk meeting dengan tim EPC. Malamnya teman mengajakku  entertain Pejabat Pemerintah di karaoke, tapi aku menolak secara halus karena harus mempersiapkan dokumen meeting besok pagi dengan tim EPC. 


Paginya seusai meeting dengan tim EPC, temanku datang ke kamarku.  “Kamu jadi pulang hari ini?”


“Ya”


“Kenapa tidak hari Minggu aja. Ini kan malam Minggu. Kita pesta dululah.”


“Lain kali saja. Oh ya, ini sisa uang yang kamu kasih minggu lalu di Jakarta. Rincian penggunaan uang ada di dalam amplop. Terimakasih“, kataku sambil menyerahkan ampop kepadanya.


“Jangan begitulah, Jaka. Kita teman. Ambil aja uang itu dan lupakan. Terimakasih sudah bantu saya”,  katanya.


Ia menyerahkan kantong plastik dan di dalamnya ada kardus kotak sepatu. “Ini oleh-oleh untuk istri kamu. Terimakasih“, katanya lagi.


Ketika mau check out, aku membuka kotak kardus itu karena terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam tasku. Tapi ketika kubuka di dalamnya ada gepokan uang dollar. Aku bingung. Ini mungkin temanku salah kasih. Segera aku telepon, “Bro, kamu salah kasih bungkusan?” 


“Ya benar. Maaf. Saya baru bisa kasih USD 800,000, sisanya USD 1 juta minggu depan setelah kredit cair. Maaf ya, Jaka” 


“Untuk apa?” 


“Itu komisi kamu sudah bantu saya. Totalnya USD 1,8 juta dari USD 76 juta atau 2,5%.“ 


“Tapi kita ngga kontrak dan kamu ngga bisnis dengan saya. Kamu hanya minta tolong kepada saya.”


“Ya, paham. Tapi saya tahu kemampuan kamu. Terimalah dan jangan sungkan. Kalau lihat cara kamu meyakinkan Banker  dan mereka yang terlibat dari proses pembiayaan, saya terharu. Terimakasih.”


“OK lah, terimakasih. Ini sangat berarti bagi saya, bukan soal uangnya tapi cara kamu menghargai saya tidak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun.” Kataku. Uang itu aku setor ke rekeningku di Singapore. Aku pulang hanya bawa receipt.


Aku kembali ke Jakarta. Sampai di rumah keesokannya, aku perlihatkan receipt kepada istri, bahwa aku menerima uang atas hasil jasaku selama mengurus bisnis teman di Hong Kong. Aku ceritakan pengalamanku. Apakah ia senang?  Tidak. Ia hanya menyikapinya dengan dingin. 


“Hati-hati ya, lain kali. Jadikan pelajaran kegagalan yang sudah-sudah“.


“Apa keinginan Mama?”

“Aku hanya ingin suatu saat kelak kalau anak-anak semua sudah menikah, Papa selalu ada waktu untuk kita berdua. Ngga lagi sering ke luar negeri. Janji ya..”.


“Aku janji. Apalagi?“


“Tahun ini kita pergi haji?”


“Ya”, kataku tegas.


Barulah istri tersenyum ketika kukatakan setuju ke Mekah. Sebelumnya aku selalu menolak karena alasan sibuk. Ketika bangkrut kesadaran itu muncul, dan istri menggunakan momen kesuksesan ini untuk aku bersyukur dengan memenuhi panggilan Allah, ke Baitullah.

***


Usia 40 tahun saya hijrah ke China. Di China saya menemukan jalan untuk bersikap ikhlas dan istiqamah. Bahkan justru karena sifat itu saya mudah mendapatkan mitra dan kepercayaan dari investor dari Eropa dan AS, termasuk kepercayaan dari pemerintah China yang memberikan peluang dan insentif setiap niat saya membangun industri. 


China bisa mereformasi ekonomi dan politik berkat Dengxioping. Dia lakukan dengan ikhlas dan istiqamah. Ketika Deng meninggal, dia tidak punya rumah pribadi. Padahal selama dia memimpin, jutaan rumah dia bangun untuk rakyat. Kalau penerusnya sama dengan Deng, itu karena rakyat juga ikhlas dan istiqmah dengan hidup mereka masing masing. Artinya harus ada sikap yang sama antara rakyat dan pemimpin. Maka perubahan yang lebih baik akan terjadi secara sunatullah.


Apa yang dapat saya maknai dalam kisah hidup saya? politik itu hanyalah ladang cobaan bagi orang beriman. Sama halnya dengan kemaksiatan. Apa yang terjadi diluar kita, itu antara mereka dengan Tuhan.  Apa yang terjadi pada kita, itu juga antara kita dengan Tuhan. Jadi tetaplah ikhlas  dan istiqmah dengan focus kepada kita sendiri. Dengan itu tanpa disadari kita sudah ambil bagian dari perubahan  yang lebih baik.


1 comment:

Unknown said...

Mengapa dengan Indonesia.....

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...