Friday, May 01, 2020

Mama.


Mama masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah mama adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya tampa Papa.

”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada.,” kata mama kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Mama untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.

”Mama akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas mama. Mama memang tipe orang yang suka mendesak.

Sedari SLA aku tinggal di Asrama Advent Singapore. Tamat SLA aku melanjutkan pendidikan ke Ingris. Tamat kuliah, aku dapat pekerjaan sebagai analis investasi di Shanghai. Sejak SLA aku hanya bertemu mama setahun sekali. Itu hanya waktu natal. Walau jarak dekat Jakarta Singapor namun liburan aku lebih suka dengan teman temanku. Itu karena sikap mama yang paranoid. Selalu memaksakan kehendak seperti dia mau. Dihadapan mama, aku tetap bayinya yang selalu dia kawatirkan. Dan lagi mama sibuk dengan bisnisnya. Mamapun jarang sekali menjengukku di Asrama. Telp pun jarang sekali. Kalaupun telp singkat dan keras mengingatkan ku agar hati hati bergaul. Tidak boleh lupa ke Gereja. berdoa sebelum tidur.

Sebetulnya aku ingin kuliah di Jakarta dekat dengan mama dan teman SD ku. Tetapi Mama mendesakku untuk ambil kuliah di Amerika atau Inggris. Menurutku, itu karena mama engga mau direpotkan olehku. Mungkin baginya semakin aku jauh darinya semakin nyaman hidupnya. Ketika aku memutuskan pindah ke Shanghai karena dapat kerjaan disana, mama engga keberatan. Tidak ada niat mama agar aku membantunya mengembangkan usahanya. Kadang aku berpikir, benarkah aku anak kandung mama. Lantas siapa ayahku ? Dari kecil aku tidak pernah mengenal ayah. Photo keluarga tidak ada. Kalau kutanya, mama hanya jawab bahwa ayahku sudah meninggal. Tetapi dimana makamnya? Tidak tahu.

Mama selalu curiga dengan semua pria yang mampir dalam hidupku. Makanya aku malas untuk curhat soal pacarku. Kalau kini usia sudah hampir 30 aku belum menikah, mama juga engga peduli kalau anak gadisnya menjomblo.

“ Jam berapa kamu berangkat dari Shanghai. Dengan pesawat apa? “ Tanya mama sore harinya. Dia tidak butuh alasanku. Dia berhak menentukan seperti dia mau. Itulah mama. Seperti biasanya aku hanya menjawab singkat “ Ya ma. “
“ Nenek mu dari Medan, besok udah sampai Jakarta. Kamu harus sudah ada sebelum natal. Paham!”
“ Ya ma.”

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Mama terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Mama di gereja ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman masa kecilmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Mama sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.

Sejak aku tiba di rumah Mama, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu mama. Satu satunya kebahagian adalah kehadiran nenek di rumah. Usia nenek belum 70 tahun. Tetapi wawasan nenek dan bijaknya jauh sekali bila dibandingkan mama. Padahal nenek hanya ibu rumah tangga. Tidak sekolah tinggi seperti Mama.

Kami berada satu meja. Ada mama, aku dan nenek. Walau usia mama mendekati 50 tahun namun kencantikannya tidak berkurang. Seperti usia 30 tahunan. Bentuk wajah oriental dan hidung yang agak mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.

Pembicaraan kami lebih banyak tentang rencana Mama yang mau mendirikan pusat pengolahan ikan di Vietnam. Kemudian aku lebih sibuk menjawab pertanyaan nenek soal kerjaanku, kehidupanku di Shanghai. Tak lupa nenek tanyakan kapan aku menikah. Apakah sudah ada pacar. Aku berusaha menjawab sekenanya, dan seraya melirik mama yang tampak tidak berkesan atas obrolanku dengan nenek.

Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Mama tengah duduk sambil mengisap rokok.

”Wid,” ujar Mama sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng.
”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
”Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya mama yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
” Tadi mama dengar obrolan kemu dengan Nenek, Serius. pacar kamu ingin menikahi kamu?”
” Ya ma. “
“ Jadi kamu akan menetap di China, jadi warga negara China?
“ Engga ma. Calonku orang indonesia. Orang jawa tulen. Dia punya bisnis di Jakarta. “
“ Oh kamu kenal dia udah lama ?”
“ Sejak kuliah ma.Kami satu jurusan di Cambridge”
Mama terdiam. Kami pun saling bersediam. Hening.
“ Ma..” seruku dengan lembut. Terdengar suaraku sayup sayup. Aku kawatir Mama akan marah kalau kulanjutkan pembicaraan soal Papa. AKu tidak ingin merusak suasana natal. Tapi aku harus bicara sekarang. Kapan lagi bisa bertemu dengan mama.
“ Ya ada apa ? kamu mau bicara apa ? ngomong aja”
“ Ma, aku sudah engga anak anak lagi. Sebentar lagi aku mau menikah. Bolehkah aku tahu siapa papa.? Please. Apapun tentang papa, aku siap merimanya. “

Mama menatapku lama. Tidak ada kesan seperti biasanya, dengan raut wajah marah. Pandangan mama lain sekali sekarang. Nampak sejuk dan penuh keibuan. Selang beberapa detik, mama menangis. Aku memeluk mama. Akhirnya mama masuk kamar tanpa ada pembicaraan lebih lanjut. Aku merasa bersalah. Baru kali ini aku merasakan punya seorang ibu yang tatapannya sangat mencintaiku.

Tak berapa lama, mama keluar dari kamar. Mama menyerahkan photo seorang pria. “ Inilah papa kamu. “ kata mama. Aku perhatikan papa ku ganteng sekali. Tapi dia bukan etnis Tiongkhoa. Itu sebabanya wajah ku tidak begitu oriental. Aku sudah curiga dari awal.

”Mama belum siap memiliki kamu. Sementara Papa menginginkanmu sebelum kami menikah. Ketika akhirnya mama hamil, Kakek dan nenekmu menolak. Kedua orang papa kamu juga menolak. Karena beda budaya dan agama. Akhirnya untuk menutup malu, Mama dinikahkan dengan pria lain pilihan kakek. Tetapi setelah kamu lahir, Mama bercerai.”

“ Jadi aku lahir bukan dari perkawinan mama yang sah?.

“ Ya itu sebabnya semua photo pernikahan mama bakar. Agar kamu tidak mengenal pria yang pernah menikahi mama. Maafkan mama, ya sayang ”

“ Sekarang Papa di mana?

“ Papa kamu sakit setelah mama menikah dengan pria lain. Mama bisa maklum akan keadaan sakitnya itu. Karena tidak mudah bagi dia menerima kenyataan harus berpisah dengan mama. Saat kamu lahir, dia tahu, bahwa bayi itu miliknya. Darah dagingnya. Mama tahu Papa mu mencintaimu sebesar dia mencinta mama. Usia kamu dua tahun, papa kamu meninggal. Kalau ingat papa kamu, semakin membuat mama sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuat mama merasa bersalah dari waktu ke waktu karena mama tak pernah bisa mencintainya sebesar itu.

Sebelum meninggal papa mu berpesan agar mama menjagamu. Itu sebabnya mama jadikan dirimu sebagai pengganti cinta mama ke papa. Mama engga mau gagal mendidik kamu. Itu sebabnya mama selalu kawatirkan kamu dan mengirim kamu ke sekolah terbaik di luar negeri. Berat sekali berjauhan dengan mu sayang. Tapi demi yang terbaik untuk kamu, mama ikhlas dalam kesendirian. Kini jangan ragu dengan pria pilhanmu. Menikahlan karena Tuhan, tidak penting apa agamanya. Dihadapan Tuhan kita sama, apapun agamanya”

Aku memeluk mama. Kami berpelukan dalam waktu lama. Air mata kami membuktikan bahwa kami tidak akan terpisahkan. itu semua berkat pria, papa yang selalu hidup dalam diri mama, untuk mencintaiku sepanjang usia

No comments:

Jalan menemukan rizki...

  “ Ale, bosoboklah kita” kata Mardi lewat SMS kemarin. Walau kami jarang sekali bertemu. Mungkin setahun belum tentu ketemu. Kami saling ma...