Ale gagal diterima di universitas. Itu aku tahu sebelum jadi istrinya. Karena dia bukan orang lain. Dia bagian dari keluarga besar kami. Kadang Ale ditertawakan oleh sepupuku dan kakak kakaku. Itu hanya karena Ale yang miskin dan tidak kuliah berusaha mendekat kepada keluarga kami yang berada. Tetapi Ale tidak pernah tersinggung orang lain merendahkannya. Pernah ditawari oleh orang tuaku agar Ale mengelola kios di Tanah Abang. Ale menolak dengan santun. “ Aku tak ingin jadi beban Paman.” Katanya. Sebenarnya aku pernah tanya, jawaban Ale. “ Semua orang berdagang yang sama pada tempat yang sama. Tidak ada tantangan yang berarti. Masa depan seperti apa yang kuharapkan dari situasi itu ? Katanya. Sangat logis dan rendah hati.
Belakangan aku tahu Ale sudah bekerja sebagai Salesman di perusahaan Asing. Memang dia bisa bahasa inggris walau hanya tamat SMA. Dan setelah itu orang tuaku mengatakan bahwa aku dijodohkan dengan Ale. Aku terima begitu saja. Ale sempat ragu aku akan menerima pinangannya. Tetapi semua keraguan itu terhalau saat kami bersanding di pelaminan. Setelah menikah aku tahu Ale bukan orang yang suka bicara kalau tidak ditanya. Dia lebih banyak diam. Dia sangat hebat menyembunyikan suasana hatinya. Hobi membacanya adalah hal yang sangat aku sukai. Engga kebayang. Ale mau terus belajar dan membaca. Padahal dia bukan mahasiswa. Setiap bulan dia pasti mampir ke toko buku untuk membeli buku apa saja.
Empat kali dia bangkrut dan empat kali dia berganti usaha. Ale tidak pernah dan tidak ingin mengulang kegagalan ditempat yang sama. “ Aku mungkin engga dapat uang dan harta karena bangkrut. Tetapi aku dapat pengalaman. Kalau aku tetap di bidang yang sama. Pengalamanku tidak akan bertambah kecuali usia. “ Katanya.
Dia suka sekali tantangan. Bagi orang lain tidak masuk akal dan beresiko, tapi bagi Ale itu peluang besar. " Apalah aku ini. Mungkin peluang semacam itu hanya untuk orang seperti aku yang miskin dan tidak terpelajar" Katanya saat kali petama bangun pabrik amplas dan terus berkembang ke pabrik pengolahan rumput laut. Walau akhirnya dia bangkrut karena dizolimi orang lain. Dia tidak bangkrut dengan beban utang terus dipundaknya.. Dia sangat disiplin pisahkan uang bisnis dan uang pribadi. Jadi walau dia berhutang tapi itu hanya untuk bisnis. Makanya saat dia bangkrut tidak sulit bagi Ale untuk lunasi semua utang. Semua aset perusahaan yang didapat dari utang dijualnya. Jadi setelah itu dia tidak punya beban apapun kecuali focus mencari peluang usaha baru.
Dalam keadaan bangkrut. Ale tidak berdiam diri di rumah. Dia malah gunakan waktu untuk kursus dan seminar. Apa saja. Biasanya dari kursus dan seminar itu dia dapat teman baru untuk bisnis baru. Saat dia memulai bisnis baru, dia benar benar dengan semangat dan percaya diri tinggi sekali. Seakan dia tidak punya trauma atas kegagalan yang pernah dia lalui. Entah bagaimana akhirnya Ale dapat modal untuk bangkit lagi. Memang Aku tahu, dia tidak punya banyak sahabat. Hanya segelintir saja. Tetapi yang segelintir itu dia jaga dengan tulus. Tak lama dia bisa sukses dan setelah itu dia akan jatuh lagi. Dalam 15 tahun usia pernikahan kami, Ale tidak pernah suskes dalam arti sesungguhnya. Dia hanya berusaha bertahan hidup dan belajar dari segala hal.
“ Orang yang lebih pintar menggilas aku. Padahal dia mitraku. Pengetahuanku memang terbatas. Aku yang salah. “ Katanya. Kadang aku marah dan kesal dengan sikapnya. Apalagi dia gagal diatas kerja keras yang tak terbilang. Aku tahu betul dia dipecundangi oleh mitranya. Tapi Ale tidak ingin mengeluhkan itu, apalagi menyalahkan orang lain. “ Mungkin karena aku berusaha ingin melewati bayanganku dan tentu pastilah kegagalan yang aku dapat. Ya aku harus tahu diri jadi orang. Ukur diri.” Katanya. Nah gimana engga kesel. Tetapi begitulah Ale ku. Sehingga aku tidak lagi berharap banyak dari dia, kecuali berharap dia sehat dan kami bisa sekolahkan anak sampai pergurun tinggi. Setidaknya mereka akan lebih baik dari kami.
Tahun 2003 kami pergi ke Baitullah melaksanakan rukun Islam ke Lima. Aku tahu saat itu Ale sedang berjuang untuk bangkit lagi. Dia tidak bisa menolak keinginanku melaksanakan ritual haji. “ Waktu papa bangkrut, semua orang dan keluarga yang tadinya memuji berbalik menghina. Papa diam saja. “ Kataku di Makkah. ALe jawab. “ Sebenarnya hinaan itu jauh lebih baik bagi kesehatan mental kalau kita hadapi dengan sabar. Karena pujian jauh lebih buruk untuk kesehatan mental. Biasanya kita tidak bisa sabar dengan pujian. Akhirnya kita larut dalam kesombongan. Sementara sombong itu adalah kebangkrutan spiritual. Kita bisa jatuh ribuan kali bangkrut dan akan selalu bisa bangkit lagi asalkan secara spiritual kita tidak bangkrut. "
“ Dan mereka kadang membenci saat kita jatuh bankrut. Papa diam saja “ Kataku. Ale menjawab. Kalau orang membenci kita. Engga apa apa. Karena mereka merasa tidak mampu sebaik kita. “
“Kalau orang merendahkan dan berghibah tentang kita ? tanyaku. Ale menjawab, “ Tidak apa apa orang lain rendahkan kita. Karena itu artinya kita diatas mereka. Orang berghibah tentang kita?. Abaikan saja. Itu artinya mereka tidak punya waktu memikirkan dirinya sendiri kecuali diri kita. Mereka tidak akan lebih baik dari kita. Yang harus kita lakukan adalah focus kepada diri kita aja dan terus berusaha lebih baik karena waktu. Apapun yang terjadi antara akita dengan orang lain, sebenarnya itu antara kita dengan Tuhan. Untuk menguji keimanan kita “ Saat itu aku tahu. Ale sudah sampai pada tahap menemukan kesejatian dirinya. Hanya ada antara dia dan Tuhan saja.
Tahun 2004, Ale menyerahkan usahanya yang di Jakarta dikelola oleh sahabatnya dan dia sendiri pergi hijrah ke China. Sebisaku mendukungnya dengan amanah menjaga kedua putra putri kami saat dia sedang di luar negeri. Aku tidak tahu apakah Aleku akan bisa bertahan di negeri orang. Aku hanya bisa memberi dia semangat dan percaya diri. Selebihnya aku berdoa siang malam untuk kesuksesannya.
Tahun 2006 aku pergi liburan ke Hong Kong bersama kedua anakku. Ale saat itu jemput kami di Bandara Hong Kong. Tetapi keesokannya Ale pergi ke Beijing dan terus ke Seoul. Dia berat untuk membiarkan aku bersama anak anak tanpa dia selama liburan di HongKong. Tetapi aku bersikeras agar ALe focus ke bisnis saja. Aku tahu dia pasti punya hutang dengan mitra dan bank. Itu lebih penting dia jaga daripada kami. Toh itu sudah tugasku menjaga anak anak. Saat kami akan pulang ke Jakarta. Ale minta aku mampir di Singapore. Karena dia dari Seoul akan mempir di Singapore.
Keesokannya Ale datang ke Singapore. Langsung ke Mandarin. Executive Floor tempat kami menginap. Kami makan di restoran Hotel itu. Aku tetap dengan pakaian muslim. Ale menggunakan setelah jas. Karena dia ada breakfast meeting dengan cliennya. Ini kali pertama aku lihat Ale diantara teman teman internationalnya. Dari caranya bicara tidak ada kesan dia rendah diri. Percaya dirinya tinggi sekali. Saat itu juga aku tahu Ale telah menjelma jadi elang. Tidak lagi ayam kampung. Pengalaman jatuh bangun mengubahnya…Setelah itu, tahun tahun berikutnya Ale semakin tinggi terbang. Semakin tak terjangkau olehku. Tapi Aku yakin Ale akan baik baik saja.
Lantas apa arti pencapaian yang Ale dapatkan ? Baginya hidup adalah perjalanan spiritual. Bagaimana kita bisa bersabar dalam keadaan sempit maupun lapang. Disaat sempit kita bersabar atas kekurangan. Disaat lapang, kita bersabar untuk rendah hati dan bersukur. Begitu aja. Memang sederhana sikapnya. Sesederhana orang kampung berpikir. Itu sebab mengapa selama menikah Ale tidak pernah membentakku atau memarahiku dengan bahasa yang kasar. Dia sangat lembut sekali memperlakukanku dan menjaga suasana hatiku. Yang pasti Ale tidak akan pernah menjadi pria sempurna, karenanya dia butuh aku melengkapinya.