Friday, March 03, 2023

Kemana devisa kita ?

 




Ira undang saya dalam seminar terbatas di kantornya. Saat saya datang sudah berkumpul beberapa orang. Yang datang semua tentu seperti Ira, S3. Maklum kantor tempat kerjanya bergerak bidang penelitian geostrategis dan geopolitik. Kajian menyangkut politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sebagian besar jasanya melayani pemerintah. Setiap tahun mereka membuat laporan  dan analisa kepada publik, yang disebarkan lewat media massa.  “ Terimakasih, lue udah sempatkan datang. Padahal lue sibuk ya” Kata Ira menyambut saya.


Diskusi berlangsung santai tapi serius sekali. Maklum dihadapan saya disamping akademisi juga mereka yang sudah terbiasa melakukan riset.  Topi yang dibahas sekarang adalah soal “Export proceeds and tax avoidance” ( Dana hasil Ekspor dan Penghindaran pajak). Sepanjang diskusi saya lebih memilih menyimat. Karena ini menyangkut teori akuntasi dan perpajakan, dan dikaitkan dengan daya tahan ekonomi nasional soal Tax ratio terhadap PDB.


“ Coba kita dengar teman saya untuk menjelaskan dari perspektif dia sebagai pengusaha. Tentu dia akan jelaskan secara praktis. “ Kata Ira melirik saya. Ada keraguan saya menjelaskan. Karena apa penting masalah praktek lapangan dimengerti oleh peneliti akademis. Apalagi praktek ini kan berkembang dari waktu ke waktu. Namanya pengusaha kan berusaha untuk ngakali pemerintah sebagai cara mereka survival. Tapi karena Ira sudah terlanjut memperkenalkan saya, ya udah saya bicara aja.


Saya berdiri menuju ke depan. Ada whiteboard.  Saya buat gambar skema hubungan antara PT. ABC sebagai perusahaan di Indonesia yang sudah go publik. Ada perusahaan Singapore, EXZ sebagai agent ekspor dan collateral provider. Ada perusahaan DFG di luar negeri. Setelah selesai saya gambar. Saya tatap mereka satu persatu. Kemudian saya putar lagu “ Ibu Pertiwi” lewat Iphone. Suara saya perbesar.  Saya diam dan merenung sampai lagu itu selesai. Mereka semua saling tatap. Tetapi tetap focus menanti saya menjelaskan gambar skema itu. Setelah lagu usai, saya mulai menjelaskan. 


“ Ada perusahaan Tbk katakanlah PT. ABC di Indonesia. PT ABC sudah IPO. Jadi sebagian sahamnya dari publik. Kemudian,  adalagi  perusahaan, Katakanlah PT. DFG. Produksi PT. DFG ini sama dengan produksi PT. ABC, hanya bedanya PT. DFG berada di luar negeri. Cerita berikutnya. PT. ABC mengakuisisi DFG. Tujuanya agar ekspor lebih mudah menguasai pasar di luar negeri dimana DFG beroperasi. Akusisi ini dibiayai oleh PT. ABC dari hutang bank di luar negeri. Tentu  kelak bunga dan angsuran menjadi beban PT. ABC.


Ternyata pemegang saham pengendali pada DFG adalah, katakanlah Abidin, yang juga pendiri dari PT. ABC. Walau tidak ada hubungan istimewa ( Afiliasi) antar dua perusahaan, tetapi pemegang saham pengendali sama.  Untuk membiayai akusisi ini, PT. ABC pinjam uang ke bank di Singapore. Pinjaman itu tidak pakai collateral dari PT. ABC. Ia tidak bersifat secure tapi unsecure. Artinya yang punya collateral itu adalah pihak ketiga, katakanlah XYZ investment. Umumnya jaminan dalam bentuk sekuritisasi offtake market.


Dengan aksi korporat seperti itu. Apa yang terjadi ?


Pertama. Abidin berhasil memindahkan aset dari PT. ABC ke luar negeri untuk tujuan Akuisisi DFG. Abidin sebagai pemegang saham pengendali DFG dapat uang tunai dari PT. ABC. Karena pemegang sahamnya sama, tentu harga bisa diatur sendiri. Biasanya biaya goodwill digedein. Akuisisi ini sama saja dengan  transaksi transfer pricing yang cash advance. Selanjutnya bunga akan menjadi beban PT. ABC sebesar 60% dari Opex. Setiap tahuh laba PT. ABC akan berkurang karena beban bunga dan tentu pajak juga berkurang.


Kedua. PT. ABC menyerahkan penjualan ekspornya kepada XYZ investment limited di Singapore. Dengan demikian hasil ekspor disimpan di rekening XYZ di Singapore, sebagai sikap jaga jaga kalau utang default ke bank dan collateral terancam disita, ya skema back to back. Dengan demikian Devisa  Hasil Ekspor punya alasan diparkir di luar negeri. Kita dapat cerita akuntasi doang. Padahal perusahaan itu berdiri berkat fasilitas pemerintah lewat perbankan dan konsesi tarif bahan baku dan lain lain. Tapi yang menikmati justru negara lain. Kita hanya dapat sampah doang.


Nah demikianlah uraian singkat tekhnik menghindari pajak secara jenius tanpa melanggar aturan pajak. Contoh kasus diatas terjadi pada ICBP yang akuisisi Pinehill Co Ltd. Hampir sebagian besar perusahaan CPO, Tambang juga melakukan modus semacam itu.  Apa hasilnya untuk Indonesia? cerita doang. Sementara untuk nutupi cadev yang berkurang kita terpaksa berhutang ke luar negeri. Ratio pajak terhadap PDB tidak bisa dua digit. Dah gitu aja.” Kata saya memaparkan secara sederhana.


“ Pak Ale, “ kata salah satu mereka. “ Tentu selain faktor tax avoidance, apa sebenarnya motif mereka tempatkan dana di luar negeri.” Tanyanya.


“ Ok lah. Uang itu sudah sama seperti komoditas. Nilainya turun naik atau volatile. Orang kalau punya uang banyak pastilah dia harus kelola uang itu lewat portfilio investasi uang. Mengapa ? pergeseran kurs 1% saja, kalau uang jutaan dollar, besar sekali pengaruhnya. “


“ Ok paham. Tetapi mengapa tidak tempatkan saja valasnya di Indonesia. Karena bisa dikelola dari sini. Perbankan kita kan sudah dapat insentif untuk punya kelonggaran kelola valas, Apalagi suku  bunga juga sudah tinggi. “ tanya mereka.


“ Masalahnya pasar uang di negara kita sempit. Walau kita menganut pasar bebas, tetapi ruangnya tidak longgar. Management likuiditas tidak mendukung. Beda dengan di luar negeri seperti Singapore, Hong Kong atau Eropa. Mereka punya sistem dengan yield yang lebih tinggi dengan volatilitas yang relatif rendah. Mereka juga punya pasar otomatis dan likuiditas juga otomatis. Berapapun kita mau hedging pasti ada. Engga pake nunggu dan ribet. Jadi pemegang valas nyaman, ongkos transaksi juga murah.”


“ Duh ini masalah teknis sekali” kata mereka. “ Bisa beri contoh?


“ Gini contoh sederhana. Pertamina atau PLN mau bayar utang. Apa gampang dapatkan valas? engga mudah. Itu artinya pasar hedging terbatas. Bayangin aja, perusahaan sekelas PLN dan Pertamina dengan turnover miliaran dollar setahun, tidak ada jaminan hedging yang solid. Mereka terpaksa dealing dengan shadow banking di singapore untuk amankan kewajiban valasnya. Nah mau engga mau, mereka harus tempatkan valasnya di luar negeri. Begitu juga dengan konglomerat” Kata saya.


“ Kan udah ada jalur swab  billateral. Itu kan bisa digunakan” Kata mereka.


“ SWAP bilalateral dengan China, Singapore dan lain lain, itu engga significant dan engga ngaruh.  Karena ada limitnya. Yang unlimited kan the Fed. Nah kita engga punya otomatis SWAP settlement dengan the Fed. Ini justru membuat tingkat kepercayaan kepada Rupiah jadi rendah. Ya ngapain nempatkan dana ke posisi rekening  bank dalam negeri.”


“Kan kita udah ada REPO Line dengan the Fed “ Kata mereka.


“ Repo line itu di drive oleh BI. Itupun tidak leluasa digunakan BI. Engga otomatis.”


“Duh kenapa begitu ?


“ Rekening Cadev kita tidak terbuka, rekam jejak kebijakan yang  tidak sehat dan stabil. Atribut penting dari cadangan  devisa itu adalah  fundamental ekonomi dan kedalaman instrumen keuangan, kebijakan yang transparan dan dapat diprediksi. Dengan kata lain, stabilitas ekonomi unsur penting untuk diakui pasar. “ 


“ Contohnya pak ” kata mereka


“ Gini ya. Analisis regresi Cadev itu diukur dengan biaya CDS,. Bukan hanya tingkat CDS yang rendah. Tetapi yang penting semakin kecil ketergantung kepada Valas. Artinya kemandirian yang terus meningkat dan kepercayaan yang semakin besar. Stabilitas politik yang terjamin. Nah kita kan semua serba rentan. Ketergantungan modal, tekhnogi,  dan jasa  sangat tinggi kepada Asing. Politik multipartai menciptakan ketidak pastian.”


“ Tapi kan pak, kalau dengar cerita pejabat dan menteri, kita kan hebat.” 


“ Pasar engga dengar orang bacot. Pasar itu ditentukan oleh pemain yang tidak melihat retorika tetapi laba rugi. Mereka menghukum pemerintah yang lemah dengan cara pindahkan posisi aset ke negara lain. Kalau tetap mau dapat devisa, ya utang. Yang gratis mana ada’


“ Terus dimana nasionalisme ?


“ Duh ini era globalisasi, istilah nasionalisme udah basi.” Kata saya. Kembali memutarkan lagu “ ibu Pertiwi”. Kini mereka semua terdiam.


" Kalian semua kaum terpelajar menanggung beban dan tanggung jawab sangat besar di hadapan ibu pertiwi dan Tuhan untuk mengangkat mereka yang miskin dan duafa. Negeri ini merdeka karena semangat kebersamaan. Nyawa dikorbankan oleh para suhada dan martil, untuk sebuah hope. Apa jadinya kalau hope itu kalian hancurkan karena kerakusan yang tidak habis habisnya.  


Bayangkanlah. Saat kalian euforia di rumah besar dan mewah, ada sebagian besar rakyat yang tidak punya tanah dan rumah. Disaat kalian duduk di dalam kendaraan mewah, ada sebagian besar rakyat harus memenggal 2/3 pendapatan bulanannya untuk bayar angsuran Motor dan rumah. Di tengah tumpukan uang kalian di bank, ada jutaan mereka dalam situasi derita miskin yang tak tertanggungkan. Karena PHK, imbal hasil tani yang terus turun, harga kebutuhan pokok yang terus naik dimakan inflasi. 


Mereka tidak bisa lagi teriak. Mereka hanya diam saat dapat BLT. Sama dengan kaum budak tempo doeloe dihadapan kaum kolonial. Dan ketahuilah doa orang yang diam jauh lebih buruk dampaknya daripada orang yang teriak teriak... Karena dia serahkan urusan itu ke Tuhan. Itu artinya kalian berperang dengan Tuhan. Camkan itu!" Kata saya mengakhiri pembicaraan. Nah sekarang mereka menangis. Hening...

3 comments:

Anonymous said...

Babo...tolong dibahas bagaimana seharusnya kebijakan politik pemerintah untuk mengangkat petani dan dunia pertanian agar petani bisa berdaya dan sejahtera..
Maturnuwun..🙏🙏🙏

Muri abdi said...

berperang dengan tuhan, istilah yang menyayat hati

Anonymous said...

Ada beberapa perusahaan yg mengelola bisnis dari hulu sampai hilir, bagaimana ini bisa terjadi, sementara rakyat sebagian besar hanya menjadi kuli dan buruh kasar

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...