Awal januari 2022, di Club Oriental, Mandarin Singapore. Saya duduk sambil menikmati teh sore hari. Dari arah pintu masuk, Florence melangkah kearah saya. Dia tersenyum saat saya menggeser kursi untuk dia duduk dengan nyaman. “ Wenny udah datang ?Tanya Florence.
“ Sedang on the way “ kata saya.
Dia letakan buku diatas meja. Saya lirik buku itu. Judulnya Fulfilling the Sustainable Development Goals. “ Sekedar killing time selama dalam perjalanan dari London. Membaca memang pilihan yang tepat. Apalagi usia seperti kita, sulit tidur dalam perjalanan “ Katanya.
“ Apa menariknya buku itu” Tanya saya berkerut kening melirik buku diatas meja tiu. Bagi saya usia seperti sekarang tidak suka membaca buku sampai habis. Biasanya dari kata pendahuluan sudah dapat menyimpulkan hal esensi dari buku itu. Tapi florence memang bukan tipe orang yang hanya focus kepada hal esensi. Dia suka membaca jalan pikiran orang lewat tulisan.
Ya, kata Florence. Buku ini mengurai secara terperinci bagaimana mengimplementasikan agenda pembangunan berkelanjutan agar bisa diterapkan oleh negara maju, negara berkembang, dan negara terbelakang. Tujuan dari pembanguna berkelanjutan adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Pada waktu bersamaan melindungi planet dan alam dari kerusakan lingkungan. Yang jadi peradox selama ini adalah dengan alasan mengejar pertumbuhan ekonomi, manusia terjebak melakukan apa saja. Yang rusak bukan hanya lingkungan alam, tetapi juga lingkungan sosial, yang ditandai rasio GINI terus melebar.
Makanya perlu paradigma baru mengatasi berbagai masalah di bidang pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, dan memerangi perubahan iklim. Caranya tentu dengan meningkatkan teknologi dan memperluas infrastruktur untuk menyediakan layanan yang berkelanjutan untuk semua orang. Mempromosikan ekonomi kreatif dan inklusif, yang berbasis kepada tekhnologi tepat guna dan tersedianya sumber daya berkelanjutan, ya semacam Green Economy.
Dunia memang sedang berubah. Orientasi bisnis tidak bisa lagi bertujuan penguasaan modal saja. Tetapi lebih penting lagi bagaimana bisnis bisa ambil bagian dalam program Sustainable Development Goals. Termasuk didalamnya kepatuhan terhadap ESG. Dengan itu business model juga berkembang, yang lebih utamakan kolaborasi dalam bentuk supply chain global. Demikian uraian Florence. Yang membuat suasana minum teh sore hari terasa nikmat. Florence adalah sahabat dan juga mitra bisnis saya. Dia Komut pada salah satu anak perusahaan Yuan Holding di Jakarta.
“ Saya dapat informasi NBL Holding itu Chaiman nya Wenny Poh. Padahal Wenny poh kan juga CEO dari Yuan Holding. Benar ?
" Ya" Kata saya.
“ Kok kamu tidak pernah beri tahu saya ?
“ Tidak semua harus kamu tahu. Kadang saya juga tidak tahu detailnya ” Kata saya tersenyum.
“ Apa beda NBL Holding degnan Yuan Holding ?
“ Beda bisnis model dan partner nya aja.”
“ Engga ngerti saya. Kita berteman dari sejak remaja, soal bisnis banyak hal yang kamu tidak pernah ceritakan. "
“ Apanya engga ngerti ? Kata saya.
“ Itu NBL kan raksasa. Dia menguasai ekosistem bisnis pertanian. Itu mencakup biji bijian, pakan ternak, minyak goreng, beras dan benih, kapas, karet, trade financing, logistik trading, industri pengolahan, Industri pupuk dan limbah pertanian, stockis, perkapalan. Holding ini menguasai market share ke India, Amerika latin, Afrika dan ASEAN. Kantornya aja ada 300 an di beberapa negara. Apa beda skemanya dengan Yuan? Tanya Florence.
“ Yuan itu bisnis model nya penguasaan Pasar. Menguasai sumber daya lewat skema offtake market, PI dan couter trade. Sedangkan NBL, bisnis model nya penguasaan pasar. Menguasai sumber daya lewat kepemilikan saham pada supply chain pertanian. Keduanya berkembang karena collaboration dengan visi sustainable growth . " Kata saya mencoba menjelaskan secara sederhana.
“ Engga ngerti gua” Kata FLorence. Saya senyum aja. Wenny datang ka club. Saya memang datang ke singapore untuk meeting dengan Wenny. Kebetulan Florence ada bisnis trip dari London dan mampir di Singapore semalam.
“ Maaf bu Wenny.” Seru Florence “ Tadi saya tanya ke Mr. B apa hubungan NBL dengan Yuan holding. Mengapa dalam portfolio Yuan holding tidak ada nama NBL holding ? Tanya FLorence.
“ Oh NBL memang bukan milik Yuan. Tapi Yuan mengontrol bisnisnya. “ Kata Florence
“ Kok bisa begitu ?
“ Yuan Holding kan punya business service provder untuk menjamin supply chain bidang pertanian, pertambangan, oil and gas. Nah NBL itu kan bisnisnya dibidang supply chain pertanian. Kita mendukung Sovereign wealth fund negara Arab untuk akuisisi NBL melalui penyediaan jaminan resiko jangka panjang. Ya otomatis kita jadi S/A atau special assignee dari investor. “ Kata Florence tersenyum
“ Jadi Yuan Holding yang keluarkan jaminan? Tanya Florence berkerut kening. Menurut logikanya, jaminan juga adalah uang. Harus tercatat dalam neraca.
“ Secara sederhana ya begitu. Tapi sebenarnya penjamin adalah Pihak lembaga keuangan. Mereka mau memberikan jaminan resiko karena mengakui reputasi kita sebagai pengelola supply chain global. Arab juga aman menempatkan dana SWF pada NBL karena dapat financial guarantee dari lembaga keuangan. Nah NBL itu sendiri akan memperkuat jaringan supply chain yang sudah ada pada Yuan. Semakin luas jaringan semakin kokoh pengendalian resource dan market” Kata Wenny.
“ Ok, saya focus kepada Wenny. Ini saatnya saya bicara bisnis dengan Wenny. Florence tahu diri. Dia menyimak saja. Rencana usai meeting kami langsung pulang ke Jakarta.
“ Wen, kamu paham tentang Circular Economy dan Sustainability untuk Industri Kimia. “ Tanya saya mengawali meeting.
“ Ya paham. Itu mendorong penerapan metode produksi close-the-loop untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya, memodifikasi proses kimia, dan meningkatkan umur produk dan material. Itu bagian dari Agenda PBB 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan itu, 14 di antaranya menyerukan penerapan konsep dan pola Green Chemical yang tepat. “
“ Artinya, peran kimia dalam peralihan menuju model yang lebih berkelanjutan sangat penting, ya “ Kata saya.
“ Tentu. Itu sebagai dasar untuk produk baru yang terbuat dari bahan baku terbarukan dan dirancang untuk digunakan kembali, didaur ulang, atau dipulihkan dengan persyaratan energi minimum. Kata Wenny.
“ Ok. Good. “ Saya tersenyum puas. Artinya engga perlu briefing lagi soal product knowledge. “ Wen, Ahmed mitra kita di NBL punya saham di Industri Petrokimia di China. Kamu tawarkan kerjasama dengan dia untuk bangun pabrik metanol dari limbah Petrokimia nya. Proyek ini akan menjadi yang pertama di dunia. Menggunakan proses Carbon Capture Utilization di tingkat industri. Mengubah emisi karbon dioksida dari operasi Petrokimia, bersama dengan biogas dan hidrogen terbarukan untuk menciptakan metanol yang berkelanjutan. “ Kata saya.
“ OK. Tapi B..” kata Wenny dengan jidat berkerut. “ Industri ini memerlukan banyak disiplin ilmu dan keahlian bidang organic chemistry, catalysis, biocatalysis, polymer chemistry, analytical chemistry. Ini berkaitan erat dengan fermentation technology, molecular biology, biomass pretreatment technology, separation technology and process modelling”
“ Ya paham saya. Itu sebabnya kamu harus akuisisi perusahaan yang punya tekhnologi itu. “ Kata saya seraya mengirim file dokumen via smartphone ke email Wenny. “ Baca itu “ Kata saya. Wenny buka smartphone nya. Dia membaca dokumen itu dengan seksama.
“ B, seru Wenny “ Bagaimana akuisisi perusahaan ini? Tanya wenny setelah baca file yang saya kirim.
“ Perusahaan itu tahun lalu diakuissi oleh holding company Petrokimia. Tapi tahun ini Holding Company itu, menghadapi masalah financial. Salah satu unit business yang mau mereka lepas adalah bisnis yang kembangkan tekhnologi Carbon Capture Utilization. Bulan lalu saya udah tugaskan George di London untuk nego dengan holding company tersebut. Mereka sudah setuju melepas 100% saham. Hubungi George di London. Dia akan jadi team kamu untuk proyek ini.”
“ Wah…” seru Wenny. “ Project ini akan mengganti semua metanol fosil sebagai bahan baku produk kimia dengan metanol berkelanjutan. Menggunakan CO2 sebagai bahan baku dalam proses Carbon Capture & Utilization yang dikombinasikan dengan gasifikasi biometana dan aliran residu, terintegrasi dengan unit elektrolisis skala dunia menggunakan air limbah yang dimurnikan dan listrik terbarukan. Kalau proyek ini sukses, kita akan kembangkan bisnis model, yaitu bisnis jasa pengolahan limbah industri untuk menghasilkan produk kimia yang ramah lingkungan ” Lanjut Wenny.
“ Dananya darimana ? tanya wenny.
“ Tahap awal kamu pakai skema green bank. Setelah itu kita exit lewat GCFund. Saya udah dapat allocated fund dari BBG sebesar USD 500 juta. Kalau kurang saya bisa minta tambah. Paham ya. Kerjakan dengan baik”
“ Siap B “ Kata weeny tersenyum cerah.
" Maaf." seru Florence. " Boleh tanya ?
Saya mengangguk.
" Bagaimana dengan bisnis DME atau Dimethyl Ether dari batubara ? Tanya Florence.
“ Secara bisnis tidak layak. “ Kata saya tersenyum. Sulit jelaskan ke Florence. Karena tekhnis sekali.
“ Mengapa ? Tanya FLorence.
Saya milirik ke Wenny. Agar dia jelaskan.
“ Karena harga batu bara yang mahal. Dan lagi untuk tekhnologi teknologi Carbon Capture and Storage menangkap karbon investasinya sangat mahal. Kalau negara kerjakan sih Ok. Tetapi ini juga beresiko dalam jangka panjang. Karena negara harus terus subsidi. Maklum biaya produksnya jauh lebih mahal daripada LPG. Makanya lebih feasible gunakan limbah petrokimia. Jelas sangat murah daripada batubara.” Kata Wenny.
“ Ya udah. Saya harus kembali ke Jakarta. Karena saya tidak pamit ke istri ke luar negeri. Saya harus pulang hari. “ Kata saya berdiri dan berlalu diikuti oleh Florence dan Wenny " Kamu langsung pulang ke Hong kong ? tanya saya ke Wenny.
" Engga. Besok sore pulang. Paginya mau rapat dengan direksi NBL" Kata Wenny. Wenny antar saya sampai lobi.
***
“ Jadi sebenarnya bisnis lue memang berbasis kepada kontrol komoditi dan service. Tidak saling mematikan pesaing tetapi mendorong terjadinya sinergi untuk terjadinya sustainable growth bersama sama” Kata Florence saat kami di dalam pesawat menuju Jakarta.
“ Ya kira kita begitu. Itulah international holding company. Kerjanya memang begitu. Bukan berbisnis ala konglomerat yang hegemoni dari hulu ke hilir." Kata saya.
" Mengapa negara tidak terapkan itu pada BUMN ?
“ Di China dan Singapore mereka sudah terapkan itu pada BUMN. BUMN tidak lagi hanya pelaksana PSO, tetapi bertugas mengembangkan business model dengan paradigm baru. Mereka jadi agent of developtment untuk melaksanakan 17 program dari Sustainable Development Goals yang dicanangkan PBB. Indonesia harusnya bisa juga BUMN seperti itu."
" Mungkinkah BUMN kita bisa seperti itu?
" Kita itu negara kaya akan SDA. Kata saya dan diam termenung " Apapun kita punya. Itu rahmat Allah. Kita punya populasi besar. Demographi kita sebagian besar kaum muda. Kaum produktif. Tapi sejak era Soeharto, kita belum mampu melakukan transformasi ekonomi dari cara tradisional, jual SDA doang ke cara modern berbasis industri. " Kata saya kemudian..
" Apa pasal.? Florence berkerut kening.
"Saya akan jelaskan secara sederhana. Indonesia itu kultur nya memang masyarakatnya terikat dengan hubungan patron dan clients. itu sudah terbentuk sejak sebelum kita merdeka. Ukuran kita bukan pemerintah atau penguasa, tetapi tokoh atau patron yang terdekat dengan kita. Ya kalau bahasa pedagang sempak namanya feodalisme. Makanya walau 350 tahun kita katanya dijajah Belanda, kita biasa saja. Itu karena hubungan yang sangat dekat, ibarat lepet, daun dengan pisang, antara patron dan rakyat (clients). Dan kita memilih merdeka, bukan karena kehendak rakyat. Tetapi kehendak Patron. Perang rakyat semesta itu karena adanya fatwa ulama ( Patron agama), yang bisa bersinergi dengan semua golongan dan agama.
Ketika merdeka, pendekatan pembangunan itu lepas dari ikatan Patron-clients. Yang terjadi adalah patron dengan penguasa. Pemodal mempengarui patron untuk dapatkan konsesi politik kekuasaan. Padahal design bapak pendiri bangsa ini. Engga begitu. Dalam UUD 45 ada pasal 33 udah dijelaskan bahwa ekonomi kita kerakyat. Negara tidak memilik sumber daya, tetapi menguasai. Menguasai berarti mengatur distribusi sumber daya. Mengatur ini bukan bagi bagi kaveling ekonomi, tetapi bagaimana menciptakan indonesia incorporate yang mampu meleverage SDA dan pasar domestik menjagi magnit bagi modal dan tekhnologi.
Ada tiga cluster ekonomi. Yaitu, BUMN, SWASTA dan Koperasi. BUMN itu berfungsi sebagai agent of development. Ia menjadi katalisator, dinamisator, inovator antar cluster swasta dan Koperasi. Bukan predator. Artinya BUMN melaksanakan design pembangunan patron-clients dengan tujuan mengoptimalkan sumber daya yang dikuasai negara untuk tujuan nation intereset. Soal untung rugi, bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah menjadi patron bagi swasta dan Koperasi. Ya pemerintah harus lead sebagai top Patron secara nasional.
Contoh, BUMN punya pusat logistik untuk Pangan ( PT. BULOG) dan BBM ( Pertamina.). Keberadaan BULOG dan Pertamina itu ada pada kekuatan logistiknya yang menjangkau seluruh Indonesia dengan penguasaan pasar lebih besar dari Eropa Barat, atau lebih besar dari ASEAN. Bayangkan, kalau kekuatan pasar domestik ini dikelola dengan baik, tidak sulit membangun industri down stream Crude oil dan Gas secara luas sampai ke petrokimia level 36. Tidak sulit membangun agro industri berkelas dunia. Pasar ada kok. "
" Dari mana uang bangunnya. Darimana tekhnologinya ?
" Duh sayang, modal dan tekhnologi akan follow market. Dimanapun begitu. " Kata saya tersenyum." Hidup itu harus cerdas."
" Tetapi apa yang terjadi? Kata Florence. " Bulog jadi pedagang beras, Pertamina jadi pedagang minyak. Jadilah kita importir pangan dan BBM. Kan bego. Nguntungi asing. " Lanjutnya.
" Nah, kalau BUMN direstruktur sesuai dengan keunggulan komparatif kita, saya yakin transformasi ekonomi akan terjadi dengan cepat dan mudah. Tapi itu tidak diinginkan oleh Patron yang sudah terlanjur seperti dulu mereka bersenggama dengan kolonial. " Kata saya. Florence termenung.
" Ya, “ lanjut saya. Florence menoleh kesaya. “ BUMN yang ada sekarang harus direstruktur ulang dalam satu platform yang bertumpu kepada keunggulan SDA, demographi, lingkungan strategis. Nah sumber daya yang kita miliki itu bisa menjadi magnit besar menarik sumber daya financial, tekhnologi. Sehingga terbentuk sinergi berkelas dunia. Dengan itu, tujuan sustainable growth bisa tercapai. Walau platform nya terkesan state of capitalism tetapi visinya adalah humanitarian of capitalism. Sepertinya pemerintah tidak punya visi yang konkrit seperti itu. Orientasi BUMN sekarang lebih pragmatis. Ukurannya laba, bukan optimal sumber daya dan daya saing. Aset BUMN kita terbesar di ASEAN tapi value terendah di ASEAN." kata saya dan Florence berwajah sedih.
1 comment:
Tulisannya diedit ya om babo, ada yg diganti dan dihilangkan
Post a Comment