Friday, March 10, 2023

Bersama Tuhan

 






Canuk  teman masa remajaku. Dia dan aku sama sama dari keluarga miskin. Ayahnya bekerja pada Penambangan Batu Kapur.  Ibunya berdagang sayur di pasar tradisional. Ayahku bekerja sebagai supir truk. Aku berteman dengan dia sejak masuk SMP tahun 1979. Walau kemudian kami berbeda SMA, persahabatan tetap terjalin baik. Ketika SMA aku sudah mandiri. Pulang sekolah aku dagang di kali lima.  Kadang Canuk sempatkan datang ke tempatku dagang. Dia minta aku mengerjakan PR Matematika nya.


Pernah satu saat aku bertanya padanya ” Apa cita cita kamu, Nuk ?

Dia terdiam lama. Setelah itu dia hanya tersenyum memandangku. Aku tahu dia malu untuk mengungkapkan niatnya dihadapanku. Aku maklum. Kami orang miskin dan tamat SMU adalah kemewahan tersendiri.


Tak ada orang yang tak suka dengan Canuk. Dia orang yang ramah dan tiak pernah menyinggung perasaan teman. Mudah tersenyum dan tak pernah marah apalagi tersinggung. Dia juara tilawatil Quran di kampung kami. Suaranya memang merdu dan dia hampir hapal semua isi a Al Quran. Di sekolahpun dia termasuk pintar. Dia teman diskusiku berbahasa inggris. Maklum kami sama sama belajar bahasa inggris dari Siaran Radio BBC London.  Ah terlalu banyak  kenangan indah tentang Canuk. Bila kuingat ini, aku semakin merindukan dia.


Setamat SMA, aku lebih dulu pergi dari kotaku. Sebulan setelah kepergianku, Canuk menyusul. Karena kami tidak sanggup harus membayar BP3 sebagai syarat mengambil ijazah. Upacara glamor perpisahan tak kami hadiri. Bagi kami cukuplah ujian sekolah sebagai tanda kami usai dengan effort kami. Soal ijazah tak lagi kami pikirkan. Karena memang kami tidak punya cita cita lebih seperti anak remaja kebanyakan. 


Beberapa bulan setelah aku pergi meninggalkan kota, Ijazahku dikirim oleh sekolah ke rumahku. Ibuku juga bercerita dalam surat, Canuk sempat pulang kekotaku. Karena ibunya sakit keras. Canuk datang ke rumahku mengabarkan bahwa dia juga mendapatkan ijazah dari sekolah. Itu artinya kami dibebaskan dari kewajiban membayar biaya BP3. Canuk sebenarnya dapat panggilan masuk IPB di Bogor. Dan aku dapat panggilan masuk ITB MIFA. Namun itu baru kami ketahui setelah 6 bulan di rantau. Setelah itu, dalam setiap surat, ibu sering bercerita bahwa Canuk acap datang kerumahku. Dia sudah menganggap keluargaku sebagai keluarganya. Ibu juga bercerita bahwa Canuk tidak melanjutkan keperguruan tinggi. Sama denganku.


Hanya setahun Canuk tinggal di kotaku. Setelah ibunya wafat, diapun pergi merantau. Sejak itu kami disconnect. Perjalanan hidupku memang tidak sepi dari cobaan terberat di tengah keterbatasan sebagai urban di kota besar. Tapi aku bersyukur karena ketrampilanku berwiraswata cukup membuatku bisa survival. Tapi bagaimana dengan Canuk. Dia tidak terlatih untuk mandiri. Tubuhnya tidak tegap sepertiku. Dia krempeng. Apakah dia baik baik saja. 


Bulan berganti bulan dan tahun terlewati, tak terasa sudah lebih 10 tahun aku tidak lagi bertemu dengan Canuk. Aku sudah sedikit melupakannya. Namun dalam setiap reuni dengan teman teman satu gang disekolah dulu, iselalu mengingatkanku tentang Canuk. Teman teman juga tidak banyak tahu dimana Canuk kini berada. Apakah dia bisa meneruskan keperguruan tinggi ? apakah dia sudah bekerja? Dimana? Salah satu teman mengatakan bahwa ayahnya juga sudah meninggal karena kanker paru paru. Canuk sudah menjadi yatim piatu.


***


Tahun 2009. Dalam rangka studi banding program CWDP. Aku  dan team berkesempatan untuk berkunjung ke Thailand Selatan. Ini wilayah muslim di Thailand. Dari Hong Kong aku terbang menuju Bangkok. Sesampai di Bangkok, kami dibawa kehotel Sheraton untuk istirahat dan keesokannya melanjutkan perjalanan ke Pattani dengan pesawat. Tujuan akhir kami adalah distrik Mae Lan. Ini wilayah yang merupakan populasi muslim di Thailand. Wilayah ini pernah selama lima tahun dijadikan wilayah operasi militer oleh Pemerintah Thailand karena gerakan separatis muslim. 


Wilayah ini berbatasan dengan Malaysia di negara bagian Kelantan. Walau ini adalah wilayah komplik namun kehidupan rakyat tidak seburuk yang dibayangkan. Para penduduk mengatakan bahwa tidak semua rakyat menjadi pemberontak. Hanya sebagian kecil saja.. Betapa terkejutnya aku bahwa tokoh masyarakat disana ternyata seseorang yang tak asing bagiku. Canuk. Kami berangkulan. Dia memelukku. “ Ale, aku kangen” katanya. ” Lama kita tak berjumpa ” katanya dengan airmata berlinang.


” Bagaimana kamu bisa sampai disini, Nuk ” tanyaku.


“ Panjang ceritanya. Tapi inilah sebetulnya cita cita ku sedari dulu. Namun aku malu mengatakannya kepadamu. “


“ Apa maksud kamu ?


“ Ingat dulu pernah kamu bertanya padaku. Apa cita citaku ? sebetulnya aku ingin manjawab bahwa cita citaku adalah mewakafkan hidupku untuk Allah. Aku tidak peduli seperti apa itu kelaknya. Aku hanya ingin mewakafkan hidupku di jalan Alalh. Itu saja. ”


” Oh…” aku terpesona.


’ Setahun setelah kamu pergi merantau, akupun pergi. Aku tidak tahu kemana langkah akan diayun. Kemana tujuan yang hendak kuraih. Aku hanya tahu semua tempat di bumi ini adalah milik Allah. Dimanapun aku pergi itu aku tetap dibumi Allah. Tak ada cita cita ingin jadi pengusaha seperti kamu. Tak ada cita cita ingin jadi insinyur seperti teman teman lain. Aku hanya ingin menjadi hamba Allah. ”


” Oh...” Aku terpesona dengan untain kata katanya.


” Aku tidak melihat ada kesempatan bagiku untuk terus tinggal di Indonesia. Maka hijrah adalah pilihan. Alhamdulilalh tetanggaku mengajakku pergi merantau ke Malaysia untuk menjadi buruh Kebun Karet di sana. Akupun pergi. Disela sela pekerjaanku sebagai buruh. Aku sempatkan menjadi guru mengaji. Mengajarkan anak anak kampung berhitung dan menulis di usia dini. 


Salah satu teman asal Thailand yang juga menjadi buruh sama denganku , mengajakku untuk ke kampungnya. Dia inginkan aku menjadi guru mengaji disana. Akupun ikut bersama dengannya. Sejak itulah aku tinggal di Thailand dan akhirnya menjadi warga negara Thailand. ”


” Terus ” aku semakin tertartik dengan ceritanya.


” Sebagai guru mengaji , tentu aku sering didatangi oleh penduduk kampung untuk bertanya tentang banyak hal. Sebisanya aku menjawab. Akupun diminta oleh mereka sebagai imam masjid dan sekaligus sebagai khatip. Alhamdulilah, hanya setahun aku hidup menumpang di rumah penduduk. Salah satu penduduk mewakafkan tanah yang tepat berada di samping pasar rakyat. Mereka bergotong royong membangun rumah dua lantai untukku Yang di bawah kugunakan untuk restoran dan berjualan barang barang kebutuhan hari hari. Di lantai atas kugunakan untuk tempat anak anak belajar mengaji dan juga tempat tidurku. Maka jadilah rumah ini sebagai rumah umat. 


Setelah itu Allah mengirim wanita untuk menjadi istriku. Diapun seorang muslimah yang taat. Kami bersama sama bertekad mewakafkan hidup kami. Kehidupan ekonomiku semakin membaik sejak aku dipercaya oleh penduduk sebagai pedagang perantara hasil pertanian. Setelah berkembang, ku-wakafkan semua hartaku sebagai modal awal membentuk koperasi bersama sama penduduk kampung.”


” Wah sangat  menginspirasi ? sergahku.


” Aku mewakafkan hidupku untuk Allah. Itu tujuanku. Bukan jutawan. Usaha yang kujalankan adalah usaha koperasi dimana semua penduduk sebagai anggota. Aku hanya membantu mengelola mereka. Setiap tahun mereka memberikanku jasa sebagai amilin. Kelebihan keuntungan lainnya disimpan sebagai tabungan koperasi untuk dana cadangan membantu mereka yang miskin, merawat tempat peribadatan , menjaga kelangsungan usaha bila terjadi masa paceklik, membantu mengirim anak anak desa yang pintar pintar untuk mendapatkan kesempatan keperguruan tinggi di kota.”


” Oh...”


” Bagaimana kamu bisa meyakinkan penduduk kampung untuk bersatu dan akhirnya maju mandiri menyelesaikan masalahnya sendiri. Inikan tidak mudah. ” tanyaku penasaran.


” Di dalam Al Quran sudah dijelaskan bagaimana caranya mengelola kebersaaan dalam perbedaan. Nabi juga bersabda, tidak beriman seseorang bila itu tidur dalam keadaan kenyang sementara dia tahu tetatangganya dalam keadaan lapar. Ya, berawal dari rumah tangga , kemudian tetangga untuk saling menjaga dan akhirnya meluas ketingkat RT , RW dan terus kekelurahan, kecamatan, kabupaten , provinsi dan akhirnya dunia. Ya kan. Nabi telah menteladankan bagaimana membangun peradaban yang dirahmati Allah. Tak perlulah teori tinggi untuk itu. Sesuatu itu menjadi rumit karena nafsu. Dan akan menjadi sederhana apabila setiap tindakan kita dituntun oleh hati kita, qalbu kita. Karena di dalam qalbu kita itulah Allah bersemayam, yang akan mendidik kita untuk selamat dunia akhirat. Sederhana kan, Ale. ”


” ya, Nuk. Kamu benar.  Bagaimana melunakan hati penduduk agar bisa menerima perbedaan?


“ Kepada penduduk aku katakan. Jangan terlalu membenci perbedaan dan jangan pula terlalu mencintai kesamaan. Karena   tidak ada manusia yang sempurna. Mengapa kita terlalu membenci seakan tidak ada kebaikan secuilpun, dan mengapa kita terlalu mecintai seakan tidak ada keburukan secuilpun. Sesuatu yang berlebihan itu akan membuat kita berlaku tidak adil.  Padahal Nabi mengajarkan kita untuk berlaku adil sejak dalam pikiran.” Kata Canuk dengan bijak.

Kunjungan singkat itu seakan melunasi rasa rinduku selama 27 tahun akan Canuk. Benarlah bila kita bertekad mewakafkan hidup kita kepada Tuhan maka Tuhan pulalah yang akan menjaga kita. Tidak akan ada rasa kawatir untuk kini dan besok. Tidak ada sesal tentang masa lalu. Yang ada hanya kemelimpahan rasa syukur. Dan kebahagian selalu hadir beriringan dengan waktu menuju sebaik baiknya kesudahan.


6 comments:

Anonymous said...

Ini cerpen paling aku suka...terimakasih babo untuk tulusan ini...inspiratif banget untuk a

Anonymous said...

Cerpen ini banyak pengetauan yg saya ambil.. terimakasih om babo udah berbagi

Anonymous said...

Sangat menginspirasi… selamat menyongsong datangnya bulan ramadhan, bulan penuh berkah

Anonymous said...

Benar Babo.... Perbedaan membuat kita jadi tau akan keberagaman. Karena perbedaan itu indah ❣️❣️

Anonymous said...

Saya ingat Bastian Tito,
Terimakasih 🙏

Anonymous said...

Mantap sekali ceritanya pak...sangat menginspirasi...

Jalan menemukan rizki...

  “ Ale, bosoboklah kita” kata Mardi lewat SMS kemarin. Walau kami jarang sekali bertemu. Mungkin setahun belum tentu ketemu. Kami saling ma...