Sore itu saya sedang duduk santai di Starbucks. Sekedar menanti sore lewat waktu macet di jalanan. Di luar hujan deras. Saya asik membaca news lewat media digital. Di sebelah table saya ada wanita sedang asik dengan komputernya. Memang starbucks dimana saja sama. Tempat kaum muda memanfaatkan usia emasnya berprestasi lewat dunia maya. Beda dengan usia emas saya yang harus berpeluh mengukur jalan menjajakan barang. Kartu nama keren. “ Sales representative” tetapi bekerja tanpa gaji. Hanya dapat komisi. Tak ada yang terjual, tidak ada pemasukan. Kalau lelah hanya nonkrong di Monas. Tak ada impian. Kecuali berharap hari ini ada deal terjadi.
Waktu merantau ke jakarta. Saya hanya tamatan SMA. Pertama saya datangi adalah keluarga Ibu saya. Selama tinggal di rumahnya saya tahu diri. Pagi setelah sholat subuh saya pel lantai rumah dari dapur sampai ke depan. Cuci piring kotor. Tetapi belum seminggu. Saya dibawa kerumah sepupu papa saya. Di rumah paman. Saya juga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin. Bersihkan rumah. Suapin anaknya makan. Apapun disuruh saya kerjakan.
Namun belum sebulan, saya diantar ke rumah sepupu papa saya yang lain. Baru datang. Ditanya, kapan pulang. Saya tidak menyalahkan keluarga besar ibu dan papa saya. Kalau sedara saya tidak mau dibebani itu karena bagi mereka saya tidak ada masa depan. Hanya tamatan SMA. Tidak lulus PTN. Orang tua tidak mampu. Saya tidak iri dengan mereka yang juga tinggal di rumah sedara saya, yang dapat perlakuan baik. Itu karena mereka kuliah di Jakarta. Orang tua mereka mampu biayai.
Saya tinggalkan rumah sedara saya. Saya jalan kaki dari Senen ke tanah abang dengan ransel dipunggung saya. Tidak ada tujuan. Sejak itu saya bertekad, untuk kerja apa saja asalkan dapat survival. Saya tetap mencintai sedara saya. Tidak ada prasangka buruk apapun. Itu wajar saja. Mereka pasti ada alasan. Kalau saya tidak mengerti sikap mereka. Maka yang pasti salah adalah saya. Bukan mereka. Saya harus berusaha mengerti sediri. Ini hidup saya, tentu hanya saya dan Tuhan saja. Tidak ada urusan dengan orang lain.
Di tanah abang saya buka notes kecil berisi alamat sedara saya di Jakarta. Dia dagang di tanah abang. Sampai di tokonya, dia beri alamat rumah. Saya disuruh ke rumahnya. Pertama kali saya lihat ketika pintu rumah terbuka adalah anak gadis yang masih pakai seragam SMU. “ Bang Jeli ya. Masuklah. “ Katanya tersenyum. Saya ceritakan bahwa saya dari kampung. Mau kerja apa saja. " Tinggal disini aja. Ayah ada usaha konveksi. Abang bisa jahit kan. " Katanya. Saya mengangguk. Dia adalah adik sepupu saya. Kelak 3 tahun kemudian, gadis yang buka pintu rumah ini jadi istri saya.
Seperti biasa pagi pagi saya bersihkan rumah dari dapur sampai depan rumah. Pagi saya buka toko di tanah abang. Setelah itu saya kerja jahit pakaian kodian. Hanya setahun saya sudah dapat kerjaan sebagai penata buku dan juga ngajar kursus malam hari. Saat itu saya merasa sedikit ada sayap untuk berproses jadi elang. Tidak lagi tinggal di rumah sepupu. Mandiri. Namun setiap minggu hari libur saya tetap datang ke rumah sepupu saya. Apa saja saya kerjain di rumah. Termasuk ngajarin sepupu saya bahasa inggris dan tatabuku. Kadang kerjakan PR matematikanya. Begitu cara saya berterimakasih.
Kalau akhirnya saya pindah jalur jadi pengusaha, berawal sebagai salesman. Itu karena perasaan diskrimasi sebagai anak tamatan SMU. Saya merasa lebih keras kerja. Lebih rajin tetapi tetap tidak ada harganya. Saya tahu betapa tingginya status sarjana. Sementara adik saya 5. Saya anak laki laki tertua. Kalau hanya jadi pegawai penatabuku, memang cukup untuk hidup saya. Tetapi bagaimana saya bisa membantu orang tua saya, menjadi tongkatnya dimasa tua.
Teman saya etnis Tionghoa berkata kepada saya bahwa kalau sudah tahu engga ada masa depan. Engga ada respek, ngapain terus berharap dari kerja. Rasa hormat itu kita sendiri yang ciptakan, bukan orang lain. Kalau orang lain menghargai kita, itu karena kita memang punya nilai jual. Kalau engga, itu salah sendiri. Wajar saja. Kami etnis China, jangankan jadi PNS, kuliah di PTN aja walau pintar, tetap saja sulit diterima. Ya jadi pedagang juga engga buruk. Nikmati sajalah hidup ini apa adanya dan tahu diri siapa kita
***
Tak berapa lama saya dapat telp dari luar negeri. Itu yang telp direksi saya di Hong Kong. Dia minta arahan saya. Usai bicara, wanita yang duduk sebelah table saya tersenyum. Saya balas dengan senyuman tipis. Eh dia mendekati saya. “ Maaf pak, boleh bicara ?
“ Ya silahkan” kata saya. Mungkin usia wanita ini tidak lebih 30 tahun. Terlalu muda barang kali.
“ Tadi saya dengar bapak bicara lewat telp. Saya tahu bapak bicara tentang supply chain berbasis ecommerce. Kebetulan saya dan teman teman sedang mengerjakan aplikasi yang sama. Apa bapak bisa bantu beri saya advice. “ Katanya.
“ Advice apa ?
“ Gimana sebenarnya bisnis IT itu”
“ IT itu bagus. Selagi dia tetap sebagai tools untuk mempercepat bisnis process dan melahirkan efisiensi tata niaga bisnis. Kalau itu terjadi, maka IT bisa sebagai sarana melakukan tranformasi ekonomi.” Kata saya.
“ Bisa jelaskan pak secara spesifik?
“ Di china banyak super market tutup karena dikalahkan oleh jaringan retail online. Itulah korban akibat tekhnologi. Tetapi ada peluang lain dari ratusan super market yang rontok itu. Ada ribuan pemasok dan pabrik kehilangan bisnis memasok super market. Ada banyak karyawan yang kena PHK. Kemudian muncul masalah sulitnya dapatkan driver untuk delivery. Karena semakin ketatnya aturan China terhadap driver ojol. Disamping dapat fee atas jasa, Pihak provider ecommerce harus memberikan UMR kepada driver ojol dan jaminan asuransi. Sementara perkembangan bisnis online semakin meluas.
Akhirnya tumbuh peluang baru. Apa itu? Outlet grosir berukuran mini atau mini grosir. Mini grosir itu juga bertindak sebagai agent langsung dari pabrik. Umumnya mereka menjual 3 jenis produk saja. Barangnya berupa kebutuhan umum dan sembako. Sistem stok menggunakan IT system. Setiap perubahan stok, diketahui secara real time oleh pabrik. Kalau stok berkurang dari based stock, tidak lebih 3 jam, barang sudah sampai di outlet. Dengan demikian, outlet grosir tidak perlu stok dalam jumlah besar. Tentu tidak diperlukan modal besar. Ukuran UKM bisa jalankan. Ada banyak outlet grosir semacam itu di China.
Hebatnya, ada lagi aplikasi yang memungkinkan setiap orang bisa jadi reseler barang. Umumnya mereka yang tinggal di apartement atau tidak jauh dari outlet grosir. Jumlah reseler ini ratusan juta di China. Mereka ambil barang dari outlet grosir itu. Di Shenzhen, saya pesan odol dan sabun melalui aplikasi. Dalam hitungan detik, ada yang accept. Dalam 5 menit sudah ada yang ketok pintu apartement saya. Penjualnya tinggal di sebelah gedung apartement saya. Ya dia hanya jalan kaki saja. Wilayah marketnya tidak jauh dari tempat tinggal dia.
Bahkan bukan itu saja. Di China sudah dilarang tempat karaoke menyediakan PL. Jadi kalau perlu teman kencan untuk karaoke. Bisa pesan lewat online. Dalam tiga detik akan muncul profile beberapa wanita yang posisinya tidak jauh dari kita. Kalau kita sudah pilih, maksimum 5 menit sudah sampai di tempat. Jadi kita pergi ke karaoke sudah dengan pasangan.
Semua transaksi itu menggunakan digital cash. Hampir semua orang CHina punya akun cash digital. Berkat IT, semua orang punya pendapatan sampingan. Semua mendapatkan peluang. Tidak saling mematikan tetapi saling mendukung. Kalau tadinya pasar dikuasai segelintir orang, kini peluang pasar terbuka lebar bagi siapa saja yang mau kerja.
Bagi anak muda Indonesia , ini peluang. Karena banyak supermarket kini yang tutup. Banyak warung sembako rumahan yang tutup karena retail Modern seperti Indomaret dll. Nah mereka warung sembako itu bisa diubah jadi outlet grosir. Ada banyak karyawan supermarket yang kena PHK. Mereka bisa jadi reseler. Tugas anda, adalah membuat software stockis online untuk mini outlet grosir dengan pabrikan dan aplikasi reseler antar sendiri. Silahkan “ Kata saya. Dia terpana. Saya diamkan saja.
“ Pak..” Serunya. “ Setelah dengar advice bapak. Rasanya masih jauh perjalanan saya untuk memanfaatkan peluang itu. Kenapa hidup saya tidak bergerak. Padahal saya sarjana. Apapun usaha dan kerja udah saya coba. Tetapi kerja engga diterima, usaha bangkrut.. Apa nasehat untuk saya pak? “ lanjutnya.
“ Berap usia kamu ?
“ 28 tahun. “
“ Kamu sedang berproses. Kegagalan dalam bisnis dan kerja, itu jalan kamu. Biasa saja. Apalagi usia kamu baru 28 tahun. “ kata saya tersenyum.
“ Maksud saya, apa kira kira yang pas untuk jalan hidup saya ?
“ Ya engga tahu. Yang paling tahu adalah diri kamu sendiri. Kalau sampai sekarang kamu tidak tahu. Itu bagus. Karena kamu tahu bahwa kamu tidak tahu. Artinya jalan mencari ladang hidup sedang berproses. Sabar aja. Nanti juga ketemu bisnis atau kerjaan yang pas“
“ Sabar gimana Pak ?
“ Pandailah bersyukur. Dibanyak keluhan kamu itu, buktinya sampai detik ini kamu masih bernapas dan sehat. Coba kamu sedikit belajar syukur, kamu akan bisa tenang menemukan ladang yang tepat sesuai bakat kamu. Dan kelak bila kamu temukan, kamu akan bersemangat menjalankannya, tanpa rasa takut apapun “
“ Oh Terimakasih Pak. Paham saya. Jadi itu pentingnya bersukur.
“ Ya. “ kata saya tersenyum.
“ Pak mau tanya. Orang China itu kan kaya kaya. Kenapa mereka tidak berbaur dengan orang kita. Sepertinya mereka menjaga jarak dengan kita. Maunya bergaul dengan sesama mereka saja “
“ Engga juga begitu. Mereka mau bergaul dengan orang yang sama mindset nya dengan mereka. Siapapun itu. Mereka engga peduli. Bahkan dalam bisnis, walau anak atau adik sendiri engga satu mindset mereka engga mau bisnis. Walau Jawa atau padang seperti saya ini, mereka senang saja bermitra. Karena dianggapnya satu mindset. Kalau nyatanya kebanyakan mereka bergaul dan berbisnis dengan orang china juga, itu kebetulan saja. “
“ Tetapi orang china kaya kaya. “
“ Engga semua. Kamu pergi deh ke sengkawang, banyak sekali orang China hidup di bawah garis kemiskinan. Engga usah jauh jauh, di kampung Jawa, Kebon sayur jakarta, banyak orang china miskin. Tangerang di teluk naga juga banyak yang miskin. Jadi sama saja dengan kita. Ada yang sangat kaya dan ada yang blangsat. Kaya miskin itu ditentukan oleh sikap mental atau mindset. “ kata saya berusaha mencerahkan.
“ Oh kaya miskin itu tidak ditentukan oleh suku ya Pak. Semua tergantung mindset ya. “
“ Ya. Betul “
“ Bisa kasih nasehat gimana soal mindset itu “
“ Kalau kamu tak mampu menjadi beringin, yang tegak di puncak bukit, jadilah belukar, tetapi belukar yang baik, yang tumbuh di tepi danau. Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar, jadilah saja rumput, tetapi rumput yang memperkuat tanggul pinggiran jalan. Kalau kamu tak mampu menjadi jalan raya, jadilah saja jalan kecil, tetapi jalan setapak yang, menuntun orang ke mata air. Tidaklah semua menjadi kapten, tentu harus ada awak kapalnya …. Bukan besar kecilnya harta atau jabatan kamu yang menjadikan tinggi rendahnya nilai dirimu, Jadilah saja dirimu …. Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri.”
“ Indah sekali Pak. Magic word “kata wanita itu.
“ Itu bukan kata saya, tetapi itu puisi dari Taufik Ismail atau Douglas Malloch yang berjudul Be the Best of Whatever You Are. Artinya siapapun kamu, jadilah orang yang bermanfaat bagi orang lain. “ Kata saya
“ Saya kadang bingung dan sedih. Apalagi kadang di bully teman karena keadaan saya seperti ini. Apa karena saya ngotot dengan mimpi saya?
“ Ya. Kamu masih muda. Usia emas usia berkarya, usia banyak impian, tentu melakukan banyak kesalahan. Semua orang pernah muda. Akan melewati hal yang sama. Kadang diusia muda, kita ingin mengubah dunia. Tetapi yang berubah hanya usia. NIkmati saja hidup. Kerjakan apa yang bisa kamu kerjakan hari ini.
Jangan dengar apa kata orang yang merendahkan kamu. Jangan membuat kamu lemah karena itu. Focus kepada dirimu saja. Teruslah terbang tinggi. Semakin tinggi, semakin kamu akan sendirian. Karenanya, kalau ada peluang untuk menikah, menikahlah. Nikmati kebersamaan. Belajarlah dari dunia kecil itu. Ciptakan sorga di rumah itu. Lihatlah, saya menua, tetapi saya baik baik saja.” Kata saya.
“ Senang ketemu bapak. Jadi semangat untuk berjuang dengan tetap bersukur dan bersabar.” kata wanita itu. Saya tersenyum. Di luar hujan sudah reda. Malam sudah datang menjemput. Sebaiknya saya pulang.
1 comment:
Ada yang lebih penting dari mindset yaitu worldview! Cara pandang hidup dan kehidupan. Bersyukur dn bersabar itu tuntutan cara pandang religi maka mesti diamalkan untuk mbuka pintu² la git dan bumi.
Post a Comment