Sunday, August 07, 2022

Shanghai malam hari






James melaporkan kepada saya bahwa Li Wei, CEO unit bisnis SIDC bidang Elektronik gagal mendapatkan kontrak supply chain pada Industri telpon selular di Hangzhou. “ Anggaran untuk persiapan menjadi rekanan Apple habis. Dia panik. Apa yang harus dilakukan? Tanya James. Saat itu tahun 2013. Li wei memang berencana mendirikan pabrik supply chain untuk industri Selular. sebenarnya program expansi dari yang sudah ada di Shenzhen.


Saya temui dia di kantornya di Shanghai. Dia terkejut saat saya masuk ruang kerjanya. Dia langsung berlutut depan saya.” Maafkan saya B. Saya rencana mau datang sendiri ke Hong Kong melaporkan. Tapi saya bingung sendiri. Rasanya saya lebih baik bunuh diri daripada menanggung malu atas kegagalan ini.” Katanya dengan menundukan wajah. Saya mengerutkan kening. “ Berdiri kamu! Kata saya. Dia mendongak dengan wajah pucat.  Dan kemudian berdiri dengan tetap menundukan wajah


“ Kamu pikir saya pecundang dihadapan kamu yang cantik? mau saja investasi besar tanpa mikir. ingat! Saya tidak pernah tertarik dengan kamu kecuali respek atas struggle dan effort kamu yang besar untuk sukses. Kemana spirit itu sekarang? Kata saya. Dia terdiam. “ Jawab! “ Bentak saya. Dia menangis.  “ Lain kali saya tidak mau mendengar keluhan dan putus asa seperti ini. Paham!  Dia mengangguk.  Hening. Saya biarkan dia dengan terisak isak. Setelah itu saya keluar ruangan.” Temui saya jam 7 malam di lobi hotel. Temanin saya makan malam “ kata saya saat keluar ruangan. 


***

Jam 9.00 malam Li Wei mendampingi saya makan malam bersama  relasi saya. Langit gelap, dan perut kami sudah kenyang sehabis makan malam berkelas. Penuh dengan makanan dan anggur yang kaya dan mahal. Kami memutuskan untuk berjalan beberapa blok ke timur yang akan membawa kami ke Wai Than. Pada malam hari, Wai Than diterangi dengan cahaya spektakuler. Bangunan bersejarah era kolonial di seberang kawasan pejalan kaki Wai Than sangat mempesona.


Memang di seberang Sungai Huangpu terdapat banyak gedung pencakar langit, termasuk Menara Mutiara Oriental, yang terus berganti warna lampunya. Beberapa perahu ada di sungai dan semuanya juga menyala. Ini adalah cara yang menyenangkan untuk menghabiskan malam dengan berjalan-jalan di sepanjang kawasan pejalan kaki di tepi sungai sambil mengagumi cakrawala Shanghai yang mengesankan.


Saat kami menaiki tangga kecil untuk mencapai kawasan pejalan kaki. Di belakang kami terdengar suara dan tawa berbaur dengan deru lalu lintas di jalan. Pencakar langit Pudong yang futuristik menjulang di atas air dengan lampu berkedip, warna pelangi memantulkan riak dan gelombang dari kapal kargo yang lewat di bawah. Seperti Times Square tepi laut. Li Wei lebih banyak diam. Mungkin dia masih grogy karena tadi siang saya marah.  Dia antar saya sampai loby hotel. 


Keesokan pagi dia sudah ada di loby menemui saya. “ mari temanin saya sarapan pagi, Kata saya melangkah cepat. Dia setengah berlari mengikuti langkah saya ke restoran. Dia pergi ke table buffet ambil secangkit kopi untuk saya. Dia letakan di meja saya. Saya asik baca news lewat gadget. Kemudian dia datang lagi bawa roti lapis dan omelet. Dia memang tahu kebiasaan saya sarapan pagi. Tak berapa lama petugas restoran mengantar tamu ke table saya. Li Wei membungkuk depan orang itu. “ Saya diminta Pak Hwang ketemu anda. Kami sudah setuju menunjuk perusahaan anda sebagai salah satu rekanan kami. “ Katanya kepada saya. 


“  Kenalkan “ kata saya lirik Li Wei,” ini direktur saya. 


“ Saya sudah kenal pak” katanya melirik Li Wei. 


“ Tadinya kami tolak proposal kemitraan karena satelah kami audit fasilitas pabrik  ibu Li Wei di Shenzhen tidak memenuhi qualifikasi  kami. “ katanya.  Kemudian dia menjelaskan apa saja kekurangan kami dan harus kami perbaiki. Li Wei menjawab tegas akan segera penuhi standar kualitas yang ditetapkan. Kemudian dia minta izin undur diri karena harus balik ke kantor.


” Saya tunggu ya  bu di kantor untuk teken kontrak” Katanya pada Li Wei saat akan pergi. Saya senyum saja.


“ Terimakasih B. “ kata Li wei berlinang airmata. Saya tatap dia dengan seksama. Dia salah tingkah. 


“ Wei, saya datang ke China tidak untuk jadi pecundang. Sejak tahun 2004 setelah bangkrut di Indonesia, saya memindahkan bisnis ke China, tepatnya di kota Shenzhen. Saya mengawali bisnis management supply service. Saya menyewa mesin di pabrik orang lain untuk proses produksi barang jadi. Omzet export saya lebih besar dibandingkan dulu ketika  punya pabrik di Indonesia. Bukan hanya di China, tapi juga di Korea. Setelah itu barulah saya bangun pabrik sendiri lewat kemitraan dengan mereka yang punya talenta berproduksi dan passion sebagai wirausaha.  “ Kata saya. Wei menyimak.


“ Lantas apakah kamu pikir itu mudah? tidak. Saya tidak datang ke China dengan modal melimpah. Tidak. Setahun berbisnis di China, modal saya habis. Saya terpaksa menguras tabungan di Jakarta dan hutang ke sahabat saya untuk bertahan. Saya pernah tidur di pabrik orang. Pernah berlutut di tengah hujan deras di hadapan boss pabrik. Pernah jatuh di jalan karena asam lambung akibat lapar. Akhirnya saya bisa sukses untuk ekspor perdana. Setelah itu berikutnya lebih mudah. “ kata saya menatapnya dengan tajam.


” Tahu apa artinya? kamu mitra bisnis saya. Bukan karyawan saya. Rasa tanggung jawab itu jangan jadi beban tapi harus menjadi semangat kamu untuk tahan terhadap segala cobaan dan tekanan. Engga boleh cengeng dan engga boleh mudah mengeluh. Laba yang kita raih adalah buah dari struggle dan  survival. Bukan proses yang mudah. Kalau mudah semua orang pasti ingin jadi pengusaha. Nyatanya lebih banyak yang jadi pegawai. Paham” kata saya. Dia mengangguk. Saya tunggu reaksi dia.


“ Saya terlalu inferior dihadapan kamu dan terlalu berhutang budi. Mungkin itu membuat saya selalu merasa tidak berguna hidup ketika gagal. “ Katanya berlinang air mata.  Saya memberi tissue untuk dia usap airmatanya.


“ Saya teringat kali pertama bertemu dengan kamu.  “ Kata Li Wei dengan mengusap airmatanya” Saya pedagang jagung rebus di kaki lima. Miskin dan kumuh. Seminggu sekali kamu datang belanja dan selalu borong dagangan saya. Dan dua tahun kemudian, kita bertemu lagi disaat yang tak terduga di KTV. Kamu tidak menyentuh saya namun kamu memberi tip besar sehingga saya punya alasan untuk berhenti dari KTV dan melanjutkan sekolah. Dan setahun kemudian kita bertemu lagi. Saat itu saya sebagai salesman. Setelah 1 bulan kamu pelajari business plan yang saya tawarkan, kamu setuju bermitra dengan saya.  Dan setelah 5 tahun, saya yang tadinya miskin dan menjadi something. Punya pabrik supply chain, menjadi mitramu. Maklumi ya B.. “ Katanya. 


“ Pinsip saya. “ kata saya. “ Saya tidak memberi kepada mereka yang memelas. Dan kamu datang ke saya selalu dengan effort besar. Walau kamu sangat sulit, kamu tidak pernah mengeluh dan minta dikasihani.  Saya bertemu dengan kamu itu diatur Tuhan. Kamu adalah jalan saya mendapatkan rezeki Tuhan. Dalam dirimu ada kekuatan besar dan itu peluang besar. Apa itu?  Mindset petarung dan survival. Saya butuh mitra seperti itu. Jadi kalau akhirnya saya memberi, sebenarnya saya menolong diri saya sendiri.” Saya rentangkan tangan saya. Dia menghambur dalam pelukan saya. “ Jangan pernah menangis lagi depan saya. Ingat! Cukup sekali ini saja. Selanjutnya pastikan terus laba tercipta“ Kata saya mengusap airmatanya. Dia mengangguk dan tersenyum. 


“  B, kemarin malam kita dinner dengan Pak Hwang ya” Katanya. Saya mengangguk. “ Dia CEO BUMN China bidang investasi riset New Technologi. Dana venture yang dikelolanya diatas USD 1 trilion. Saya perhatikan kamu sangat tulus melayani dia makan malam. Bahkan terkesan sangat menghormatinya.”  Lanjutnya


“ Kedua orang tua saya mendidik saya. " kata saya kemudian melantunkan pantun Minang. " Jika buyung pergi ke lapau. Hiu beli belanak beli. Ikan panjang beli dahulu. Jika buyung pergi merantau. Ibu cari dun sanak cari. Induk semang cari dahulu. " Saya tahu Li Wei tidak paham bahasa mingang. "  Hwang itu orang tua dan menjadi mentor bagi pengusaha yang bergerak dibidang hightech. Tentu suatu keberkahan bila saya bisa mengenalnya.  Saya tidak pernah dapatkan modal ventura dari dia. Tapi mengenalnya saja udah pintu rezeki untuk saya bisa melewati hidup berkompetisi, dan menjadi pelindung bagi direksi saya. Hubungan itu saya jaga seperti saya menjaga kedua orang tua saya…” kata saya. Li Wei mengangguk.


" Mengapa kamu tidak menikah lagi? Kan kamu masih muda" kata saya. 


Li Wei menggelengkan kepala. 


" Cukup sekali menikah dan gagal. No more. Saya focus kerja dan besarkan anak tunggal saya saja.."


" Selalu ada second chance my dear..cobalah dan beranilah.." Kata saya. Dia tetap menggeleng gelengkan kepala. .


" Dari kamu saya dapatkan lebih dari yang diperlukan oleh seorang wanita terhadap pria. Kamu selalu ada untuk saya. Kamu mentor saya, dan disaat tersulit, kamu selalu jadi malaikat penolong saya. Kadang dalam bisnis kamu sangat keras, tidak punya empati, tetapi setelah itu kamu kembali menjadi pria yang hangat dan penuh cinta kasih." Kata Wei merebahkan kepada ke dada saya.. Saya menghela napas.

4 comments:

Anonymous said...

👍👍

Anonymous said...

🙏🙏

Anonymous said...

Luar biasa

Agus Syhabudin said...

Kemampuan menjalankan exit strategy Babo sangat mumpuni... buah jam terbang, menjaga trust & sifat humble sepanjang menjadi pelaku bisnis 👍👍🙏☕️

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...