Thursday, April 30, 2020

Kau menuntunku ke mata air







Aku sendiri, ketika itu sedang berada dalam satu fase yang sangat genting dalam hidupku. Boleh kubilang ketika itu hidupku tak punya arah sama sekali. Benar bahwa aku baru saja memulai bisnis di zuhai. Sesuatu yang baru dari dunia yang baru sama sekali. Dunia yang dulu kutekunin berakhir karena krismon akibat negara salah urus moneter. Kutinggalkan semua harapan di Indonesia dan mencoba nasip di negeri dengan 1,8 miliar penduduk. Aneh dan beresiko. 

Satu demi satu sahabat pergi meninggalkanku. Hanya istri yang memberikan semangat untuk berani hijrah. Meyakinkanku bahwa semua hal di rumah akan baik baik saja selama aku berjuang di rantau. “ Jangan ragu melangkah. Anak anak butuh hero. Dan itu hanya kamu. “ Singkat pesan istriku namun pesan itu membuat aku punya prinsip sekali melangkah no way return. Kemungkinan gagal lebih besar daripa sukses. Apalagi dengan bekal uang tak seberapa. Hanya cukup untuk bertahan hidup tak lebih 3 bulan. Itupun aku harus bersiasat agar tidak kena overstay visa dinegeri orang. Aku tahu banyak lelaki berlari dari masalahnya. Dan tidak bagiku. Aku harus mencari jalan untuk menyelesaikan masalah walau itu hanya setitik noktah yang tak bermakna. Melangkah keluar adalah takdir bagi seorang laki laki. 

Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di Wanchai tempat dimana banyak orang asing sama sepertiku menenggelamkan dirinya dengan minuman dan harapan. Dibalik Gedung cafe itu , ada Financial Center tempat harapan menang dan tentu kalah digelar oleh bursa yang bukan 24 jam. Di sebuah cafe itulah kita bertemu. Aku harus berterima kasih kepada Mark sahabatku orang Swiss itu. Karena kalau tidak dari dia manapula aku tahu cara efektif mendapatkan network di kota kosmopolitan Hong kong ini.  Aku tidak merasa asing di lingkungan itu. Karena di Jakarta aku sudah terbiasa. Namun melihat wanita di cafe yang tak jelas mana hoker dan tidak. Itu yang membuat aku bingung. Aku lebih memilih untuk focus dengan teman teman Mark yang dikenalkan kepadaku. Kamu datang ke tableku. Alasannya hanya karena aku orang asia di tengah para bule sahabatku. Kamu tertarik kenalan. 

Aku masih ingat, kamu menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa aku dari Indonesia. Ya, Indonesia, kamu sangat mencintai negeri itu. Entah mengapa, banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. ”I love Indonesia so much,” katamu.


Dan sejak itu kita jadi sering bertemu. Aku tahu kamu berkarir di sebuah perusahaan investasi yang khusus mengelola dana private. Mungkin karena kesamaan pengetahuan kita jadi akrab. Kuhormati kamu karena tidak minum alkhol karena aku juga tidak, Tapi apa peduliku. Mungkin saja kamu sedang berusaha ramah terhadapku. Hidup ini, katamu, yang diperlukan adalah semangat untuk memulai dan tahu dari mana memulainya dan tahu pula kapan harus keluar. Itu orang cerdas. Aku bersimpati akan sikap hidupmu. Dalam dunia keuangan, katamu orang kadang tidak butuh terlalu pintar tapi kehebatan merebut hati orang lain untuk dipercaya, itulah yang penting. Selanjutnya banyak hal dapat sinergikan dalam posisi equal. 

Sejak itu kita semakin sering bersama. Sekadar minum bir. Nonton film. Main bowling. Sekadar menyapa MSN messenger. Atau saling mendengarkan keluhan masing-masing. Aku takkan pernah lupa ketika suatu malam kamu datang mengetok kamarku dengan wajah yang amburadul seperti lalu lintas Jakarta dan mengajakku keluar.

Sepanjang perjalanan ke kawasan Central , oh ya kita selalu jalan kaki dari Time Square Hong Kong, kecuali pernah satu kali kita nongkrong di Wanchai  ketika aku membawamu pakai taksi dari Exelso hotel pada malam menjelang subuh itu, kamu bercerita tentang tasmu yang hilang. Kartu-kartumu yang ada di dalamnya. Kartu kredit, kacamata, serta HP-mu dengan stiker gambar yang sangat kamu sayangi. Beberapa hari kemudian kita mencoba mencarinya. Karena ada orang yang mengirim e-mail padamu dan mengatakan bahwa ia menemukan Tas mu. Kita ke sana, sebuah apartemen di kawasan Aberdeen. Agak kaget pada awalnya. Karena kamu berjanji dengan seorang perempuan, tetapi yang menerima kita malam itu adalah seorang lelaki yang mengaku sebagai pacarnya. ”I don’t believe that man,” katamu begitu kita meninggalkan rumah itu. Agak aneh memang karena orang itu tidak menyebutkan di mana dia menemukan tasmu. Dia bilang dia lupa karena ketika itu lagi mabuk. Apa boleh buat, kita sama-sama tidak percaya pada orang itu. Tetapi, tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kecurigaan padanya.

Entah berapa bar yang sudah kita singgahi di seputaran Wanchai, aku sudah tidak ingat. Atau Bar Spicy. Aku suka suasana di sana. Senang karena tidak sebesar bar-bar di seputaran Wanchai, ada ruang bebas merokok sepuasnya diteras , dan tentu saja tertawa. Aku senang kalau kamu senang, katamu suatu ketika. Dan aku pun demikian. Tak masalah, meski aku yakin kalau ada orang yang mendengarkan kita, kadang-kadang pasti akan merasa janggal. Bagaimana tidak janggal, ketika aku tanya kamu bagaimana rasa bir gratis pada gelas besar yang kamu dapat dari bartender sebagai hadiah ulang tahunmu itu, kamu menjawabnya dengan sendawa dan menyambungnya sesaat kemudian, ”That’s all my answer”. Ha-ha-ha… orang-orang bule tidak suka dengan sendawa. Mereka menganggap itu tidak sopan. Tetapi, kita tertawa sambil salah satu telapak tangan kita beradu di udara.

Kamu suka sekali musik dan berdansa. Aku, sebenarnya tidak terlalu familiar dengan suasana itu. Tetapi, kamu begitu sabar. Menata gerakanku yang menurutku tidak selaras sama sekali. Atau, persisnya aku mengikuti iramamu saja. Aku bisa bilang begitu karena ketika kamu memegang tanganku, aku hanya membiarkanmu saja menariknya ke sana kemari.
”I’m a cow,” kataku suatu ketika soal selera musik dan dansaku.
”No, do not say that, you are not a cow,” balasmu
“”Yeah.., following another cow.”
”What? Ha-ha-ha….”

Harus kuakui memang, untuk urusan berdansa dan bernyanyi, aku memang idiot dan hampir-hampir tak punya ide soal gerakan apa yang akan kulakukan. Mungkin aku harus ngambil kursus salsa suatu saat. Sementara ini tidak masalah, semuanya berjalan lancar pada malam itu. Kita bergoyang sampai larut. Meskipun sebenarnya beberapa kali aku hanya duduk dengan birku dan merokok sambil tersenyum-senyum melihatmu yang bergoyang lepas mengikuti irama musik.

”I’m a girl baby, I’m a girl baby,” katamu salah tingkah ketika aku memergokimu sedang berkaca di dinding bar sambil mengibas-ngibaskan rambutmu. Aha.., aku tambah tersenyum melihatmu begitu. Itu momen belum tentu datang seratus tahun sekali. Sayang sekali aku tak bisa melihat rona wajahmu ketika itu karena lampu bar yang remang-remang. Jadi aku cuma bisa menebak-nebak saja. Dan tentu saja aku takkan menceritakan seperti apa wajahmu dalam tebakanku. Yang jelas, malam itu aura perempuanmu benar-benar keluar. Jauh dari penampilanmu di hari-hari biasa yang sedikit tomboi.

Malam semakin larut. Dan kita merasa lapar. Seperti biasa, titik berikutnya adalah penjual makanan  India, kebab yang buka 24 jam. Biasanya kita makan lebih banyak diam. Tetapi, malam itu kamu terus berceloteh. Sementara aku tak banyak bicara. Mungkin karena aku lapar, atau juga mungkin karena aku memang serius makan. Dari sana kita pindah ke East Tsim Sham Shui di kawasan Kowloon. Aku pikir waktu itu sudah sekitar pukul 3 pagi. Menghabiskan sebatang rokok  di kursi panjang. Begitu rapat kita duduk karena memang pagi semakin dingin di pinggir dermaga. Apalagi kalau tiba-tiba ada angin. Meski tak kencang, tapi bagiku itu sangat menyiksa. Dinginnya terasa sampai ke tulang.

Perjalanan pulang ke Causeway bay penuh dengan tawa. Tidak ada hujan, tidak ada badai, tetapi kita bersedekat. Satu dua orang melihat dan mendengarkan teriakan kita, kemudian sambil tersenyum mereka berlalu. Beberapa orang yang kita teriaki pagi itu sama sekali tidak menoleh, mungkin mereka sudah sering melihat pemandangan seperti kita Ketika kita melihat dua orang laki-laki hitam berdansa di tengah jalan mengikuti gerakan cahaya lampu bergerak yang datang dari salah satu puncak bangunan di sekitarnya. Barangkali kata-kata bermakna sama diucapkan diam-diam oleh orang-orang yang kita teriaki pagi itu. Tidak ada urusan. Kita tetap tertawa. Apalagi setelah kamu bilang bahwa kamu hampir percaya bahwa matahari sedang mengintip. Aku menghentikan taksi untuk kembali ke Exelsior hotel. Kamu melambaikan tangan. Besok sorenya kita bertemu kembali. Kamu mendengarkan semua rencanaku. Dengan dukungan network yang kamu punyai membuka jalan bagiku untuk memulai bisnis di china. Kaulah yang menuntunku ke mata air.. 
.

1 comment:

Unknown said...

Babo sahabatnya banyak ya .....
Benar benar kiriman Tuhan

Ekonomi hanya size

  Kantor Yuan di Singapore menyiapkan ticket penerbangan pagi untuk saya. Kemungkinan weekend saya di Singapore. Karena harus briefing team ...