Saturday, September 04, 2021

Pelacur...

 



Malam itu aku mendatangi Bar yang dimaksud untuk menemui wanita teman kencan Fernandez. Mungkin karena aku datang lebih ‘pagi’, pengunjung belum begitu ramai. Aku mendatangi petugas Bar untuk menanyakan wanita yang ingin kutemui. Petugas kafe itu menunjuk kesudut ruangan. Nampak seorang wanita duduk sendirian. Wajahnya berhias senyuman menggoda. Tinggi sekitar 167 cm lebih tinggi dariku. Hidung mancung dan kulit putih. Rambut sebahu. Usia sekitar 30an. Terdengar alunan musik lembut menambah nuansa romantis pembangkit imaginasi syahwat. 


Aku melangkah ke arah tempat wanita itu duduk. Namun seorang pria dengan setelan jas mendatangi wanita itu lebih dulu. Aku pun terpaksa berbelok, menyingkir. Tempat duduk di kafe ini dirancang untuk membuat pengunjung merasa nyaman duduk berlama-lama. Kursi berbentuk setengah lingkaran yang bersebelahan dengan kursi lainnya. Menjamin tawar-menawar dan acara ngobrol basa-basi berjalan santai. 


Aku pun mengambil tempat duduk di sebelah, sambil menunggu pria itu berlalu. Dengan jarak yang lumayan dekat, aku dapat mendengar dengan jelas apa saja yang mereka perbincangkan. Samar-samar aku juga dapat melihat posisi mereka. Maklum, lampu memang dibuat muram agar nyaman untuk melampiaskan syahwat.


“Kamu sendirian, ya?” tanya pria itu basa-basi. Sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke wanita itu.


“Bapak lihat, apakah ada orang lain menemaniku?”


“Aku kan, hanya ingin memastikan saja.”


Wanita itu tersenyum sambil melirik pria di sampingnya. Dia menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap rokok dari sudut bibirnya. “Mungkin malah Bapak yang sedang ditunggu seseorang?” kata si wanita, balik bertanya. “Aneh pertanyaan Bapak ini. Di sini, semua wanita tentu menunggu.” 


Pria itu tertawa kecut seakan menertawakan dirinya sendiri yang bodoh, karena sedang berada di sebuah tempat di mana semua hal bisa dibeli. 


“Aku baru kali ini melihatmu,” kata si pria mulai serius.


“Sama! Aku juga baru kali ini melihat Anda.”


“Boleh duduk di sebelahmu? Siapa namamu?” Kata pria itu sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh wanita.


“Berapa Bapak bisa membayarku?” tanya wanita itu tanpa basa-basi. Datar, tanpa ekspresi.


“Apakah aku terlihat seperti sedang manawar?”


Wanita itu memicingkan mata kearah tamunya, “Lantas untuk apa Bapak mendekatiku, di tempat seperti ini?”


“Aku tertarik dan ingin tahu saja.”


“Tertarik apa? Ingin tahu apa?”


“Kamu nampak berbeda dengan yang lainnya.”


“Di tengah kompetisi, kita harus menentukan cara unik menarik pelanggan. Aku tidak mau seperti yang lain dengan turun ke lantai bar, memamerkan tubuh untuk ditawar.”


“Jadi, sikap kamu sekarang adalah sikap menjual dengan cara yang kamu yakini benar dan efektif untuk menarik pelanggan?”


“Ya! Sebutkan berapa harganya?”


“Aku tidak mau transaksi seks walau aku memang butuh seks malam ini.”


“Mengapa?”


“Aku ingin menikmati seks tapi tidak mau membeli untuk itu.”


“Mengapa?”

“Aku tidak ingin membeli, tapi aku ingin menikmati dan di layani seperti selayaknya aku membeli.”


“Mengapa?”


Pria itu terdiam. Wanita itu mengerutkan kening. Sepertinya dia mulai kesal karena pria itu tidak bisa menjawab rasa ingin tahunya. Sepertinya ini pertanyaan yang mudah tapi juga sulit untuk dijawab.


“Mengapa?” dia mengulangi pertanyaanya.


“Aku ini orang terhormat yang percaya tentang moral. Membeli seks adalah perbuatan tidak bermoral. Itu selera rendahan. Bukan selera manusia sepertiku.” Pria itu tersenyum bangga. Seolah di telah berhasil membuka mata perempuan yang ada di sampingnya tentang siapa dia sebenarnya.


“Tapi tetap saja, Bapak tidak bisa lari dari kebutuhan seks dan selera rendahan,” balas wanita itu dengan senyum mencibir. Pria itu tampak terkejut dan menatap tajam wanita yang ada di sebelahnya, “dengar baik-baik!” kata pria itu setengah berteriak agar wanita itu dapat mendengar dengan jelas “Bisakah kamu lupakan tentang harga dan tarif untuk kencan? Kamu akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kamu terima selama ini.”


“Tidak bisa! Aku ini pedagang. Harga harus ditetapkan sebelum kita sepakat. Beda dengan istri kamu di rumah yang tanpa tarif tapi memeras kamu setiap hari.”


“Kamu pelacur. Ingat itu!”


“Iya, aku tahu dan ingat betul!” Jawab wanita itu mencibir dan berani.


“Aku ini orang yang paling dihormati, bagian dari segelintir orang di negeri ini. Aku ini pejabat!”


“Apa bedanya?”


“Tentu ada bedanya. Kamu hanyalah wanita murahan yang terdampar di dunia remang-remang. Siapapun bisa membeli kamu. Jangan sombong. Sangat beda denganku, seorang pejabat negara yang mewakili rakyat banyak. Aku punya misi untuk kesejahteraan mereka. Termasuk manusia terlantar seperti kamu.”


“Tetap tidak ada bedanya. Siapapun bisa membeliku, asal ada uang. Banyak tamuku cerita, bahwa mereka biasa membeli orang-orang seperti Bapak untuk kelancaran bisnisnya. Aku tidak sombong dengan profesi ini. Sedang kamu terlalu naif, bercerita tentang tugas terhormat. Padahal kenyataannya, setiap hari kamu juga melacurkan diri dengan jabatanmu.”


Aku mendengar pembicaraan itu dengan jelas dan semakin tertarik. Ternyata wanita yang pernah bersama Fernandez ini bukanlah wanita biasa. Dari gaya bicaranya, tahulah aku bahwa dia wanita cerdas.


“Kamu pelacur murahan!” balas pria itu dengan ketus. Namun tetap duduk merapat dengan wanita itu.


“Soal murah atau mahal, itu hanya soal tarif. Toh, tetap saja kamu dan aku sama-sama pelacur. Sama, kan?”


“Apa kesamaannya, heh?!” tanya pria itu lantang. Tampaknya dia mulai kesal dan marah.


“Sama-sama melacurkan diri untuk uang. Aku melacurkan tubuhku untuk uang dan kamu melacurkan jabatan untuk uang. Sama, kan?!”


“Tapi, tetap saja kamu beda denganku.”


“Apa sih bedanya antara aku dan kamu? Sama-sama mendapatkan uang dari cara yang tidak bermoral. Kamu melindungi diri dengan pangkat. Aku melindungi diri dengan parfum dan make up.,kadang pakai baju gamis dan jilbab. Semakin tinggi pangkat seorang pejabat, semakin tinggi pula tarif komisi haramnya. Begitupula dengan kami, semakin mahal parfumnya, semakin mahal pula tarif kencan kami. Bila kamu bilang, mendapatkan uang untuk kesenangan dan kebahagiaan keluarga maka akupun melakukan profesi ini dengan alasan yang sama! “


“Semua orang tahu bahwa profesi kamu adalah profesi terhina di dunia,” balas pria itu emosi.


“ Memang hina. Tapi anda tahukan,  profesi pelacur di negeri ini menduduki peringkat kedua di dunia setelah Ukraina. Kalau kalian keliatan terhormat itu karena Tuhan tutup aib kalian.  Hebat? Bahkan lembaga pendidikan pencetak generasi bangsa yang dikelola oleh para professor dan Phd, faktanya tak pernah berhasil masuk universitas terbaik di dunia. Dengan singapore saja kalah”


“Tapi bagaimanapun, keberadaan orang seperti kamu merusak kehidupan moral kota. Kalian teroris moral” kata pejabat itu.


“ Rakyat jelantah seperti saya ini jadi korban persepsi salah dan benar, moral dan amoral. Kalian melihat amoral terlalu jauh dari posisi kalian berada. Padahal musuh kota dan negara adalah orang yang ada di dalam ring kekuasaan, seperti kalian itu. Jauh lebih amoral dan jahat, daya rusaknya lebih dahsyat dibandingkan teroris sekalipun. Kalian selalu meniupkan kebencian kepada pelaku maksiat, pelaku teror, itu cara kalian menutupi diri , menipu rakyat agar kalian bebas korupsi tanpa tercela. Tetap merasa terhormat. Hipokrit !”


Pria itu tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir wanita itu. Dia merasa tersudut. Sebuah tesis gemilang dari seorang wanita yang hidup dari dunia remang-remang telah dipaparkan dengan begitu baik.


“Lebih baik aku akhiri di sini saja. Kelihatannya Bapak tetap dengan pendirian Anda untuk membeli seks tanpa mau disebut melacur. Kita akan tatap sama dalam cara dan perbuatan kita. Sama-sama pula dikutuk oleh semua orang yang masih menghargai moral. Sebaiknya Anda tetap setia kepada wanita di rumah yang selalu mau melayani. Walau dia sadar sedang ditiduri oleh pria yang setiap hari melacurkan jabatannya demi membayar dan memuaskan wanita, yang disebut sebagai istri itu. Itulah beda kami dengan wanita di rumah, istri seorang koruptor. Entah mana yang lebih hina? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang!”


Wanita itu berdiri, lalu melangkah menjauh dari si pejabat. Aku segera mengikutinya dari belakang. Kemudian dia duduk di meja bar. Aku menyusul dan ikut duduk di sampingnya.  Aku menegurnya dalam bahasa inggris. “ Are you Philipino ya.” Katanya. Kami bicara dalam bahasa inggris. Dari dia saya dapat informasi tentang Fernandez. Itu penting untuk bisnis saya.


“ Do you have an idea tonight. “ Katanya mesra merapatkan wajahnya di kuping saya. Terasa susu kenyal menempel di bahu saya.


“ No. But I'm glad to meet you.. “Kata saya menyerahkan 3 lembar pecahan 100 lembar.

“ Thank. You paid me for drinking time, while there was a guest that was too much talk but bullshit” Katanya. Saya hanya tersenyum dan melangkah keluar dari Bar &Cafe itu. Dia tidak pernah tahu saya orang Indonesia. Dia hanya tahu saya orang asing yang sedang kiling time di cafe berkelas di Selatan Jakarta


Friday, September 03, 2021

Kelap kelip lampu di kota..

 






Di ruang Spa di hotel bintang V, Julius menepuk  bahu Robi. “ Ada apa ? tanya Robi mengerutkan kening. “ Luci semakin lengket denganku.  Hebat sekali dia di tempat tidur.”  Kata Julius. Robi hanya diam. Dalam situasi sulit dan seluruh asset tergadaikan kepada Julius, dia hanya menyerah ketika Julius terobsesi meniduri istrinya.  Apalagi secara seksual dia sudah tidak mampu memuaskan  Luci. Namun yang membuat dia sedih dan pencudang, dia membiarkan Luci masuk perangkap Julius tanpa dia berusaha menghalangi


“ Kamu harus top-up loh jaminan saham transaksi REPO kita. Harga saham kamu turun terus. “ Kata Julius. “ Terus kas bon keluargamu juga udah diatas limit. Mana jaminan yang kamu janjikan?. Saham hotel aja dech saya pegang. “ Julius melanjutkan.


“ Saya udah perintahkan orang saya untuk menyerahkan saham hotel. Besok udah selesai penyerahan di hadapan notaris. Soal Top Up, saya nyerah. Engga ada lagi tersisa saham saya mau digadaikan. Beri saya waktu” kata Robi dengan raut putus asa.


“ Dengar kabar jadi juga reklakmasi untuk bangun pulau di teluk jakarta “ Kata Robi


“ Ya terimakasih. Kamu udah bantu saya dapatkan akses politik. Tapi komisi sudah saya bayar lunas kan”


“ Fee udah habis kapan tahu. Saya benar benar lagi sulit. Semua bisnis jatuh.  Yang enak kamu lah. Jadi penampung uang haram.” 


“ Ya mau buka usaha yang benar era sekarang sulit untung. Sementara bisnis lendir dululah. “  Kata Yulius. Robi dan Yulius memang berteman. Sama sama pengusaha.


***


Untuk kesekian kalinya Luci berusaha untuk bertemu dengan Julius dan Julius tidak bisa menolak. Sebetulnya, hubungan ini sia sia. Luci sedang dalam prahara rumah tangga dengan Robi. Mungkin karena pernikahan bertaut usia 30 tahun, Luci tidak siap bersabar dengan keadaan Robi yang sudah berusia 65 tahun.  Julius belum 60 tahun. Sementara perkawinan itu terasa hambar karena tampa kehadiran anak. Harta dan uang yang ada pada kehidupan mereka, tidak bisa membuang sepi dan meraih bahagia. 


Luci berdiri di dekat jendela. Temaram lampu kamar, membingkai bayangannya seperti setengah memanjang. Sesaat, Julius hanya menangkap nuansa kesedihan di wajah Luci. Wajah yang menyiratkan selaksa kepucatan yang membentang seperti iring-iringan awan melingkupi langit. Juius lebih banyak diam, mendengarkan suara seseorang di seberang. Julius tahu, Luci sedang menerima telepon suaminya. Tetapi, Julius tak mendengar dengan jelas: suaranya pelan setengah berbisik, seperti dengung serangga. Sesekali, ia mengangguk-angguk.


Julius masih meringkuk dibalut selimut. Tapi tiba-tiba, dia lihat segumpal warna serupa sisa badai yang menggumpal di sudut mata Luci. Mata yang membuatnya bergidik menatapnya lebih lama. Tak sampai semenit, Luci mematikan handphone, kemudian berjalan ke arah Julius ”Aku harus pulang,” suaranya datar tidak terlalu mengejutkan. Seperti hari-hari yang lain, Luci  tidak selalu mengungkapkan satu alasan pun sebelum pergi.


”Apakah Robi tahu kalau malam ini kamu di apartementku?” Kata Julius. Luci  menggeleng. “ Dia tahunya aku pergi bareng teman teman ke Sing untuk shoping. “ Sorot matanya kelabu dan ganjil serasa meninggalkan bekas luka pedih bagai timbunan kardus kumal yang teronggok di tempat sampah. Lama, mereka bersitatap pandang. Mata mendidih, serupa air yang dijerang di atas tungku. Julius ingin bertanya…, tetapi genangan hitam di sudut mata Luci itu membuatnya beringsut. Luci buru-buru berpakaian. Julius hanya menatapnya dengan diam, bahkan ketika Luci pergi dengan tergesa dan meninggalkan Julius yang masih meringkuk setengah telanjang dalam balutan selimut.


***

Dalam perjalanan pulang, Luci benar-benar merasa bergidik dan disesap rasa takut. Itu karena, dia tidak ingin pernikahannya hancur. Kesenangan hidup berakhir. Kalau sampai suaminya tahu hubungannya dengan Julius, dia tak tahu apa yang terjadi dengan perkawinannya. Tiba di rumah, dibukanya pintu dengan gugup. Lebih gugup lagi tatkala yang menyambut bukan suaminya, tapi anak suaminya dari perkawinan pertama. 


”Mami boleh bebas dengan teman teman mami, tapi tugas mami menjaga papi kami harus utamakan. Emangnya semua yang mami dapat gratis ? pandailah berterimakasih. Jangan seperti seleb gayanya.” Kata putra suaminya

”Ya, mana papi…,” jawab Luci kawatir

Hening sejenak.


”Papi sudah dilarikan ke RS karena stroke. Nih aku mau kesana” Kata putra suaminya ketus. Luci tercekat. Teringat kata kata suaminya via telp tadi siang “ Mengapa kamu selalu tidak ada disaat aku membuhtuhkan. Kalau kamu tidak suka aku sibuk, itu bukan alasan kamu bersibuk juga di luar. Dari awal kamu tahu bisnisku memang menyita waktuku. Pulanglah segera.” 


Luci  langsung ke rumah sakit dan menemukan suaminya terbaring dengan tubuh lemas di ruang ICU. Sampai akhirnya dokter mengabarkan bahwa suaminya telah pergi ke haribaan Tuhan.


***

Sebulan setelah suaminya meninggal. Luci diusir oleh keluarga suaminya dari rumah. Untuk menghidupi dirinya, dia bekerja di cafe sebagai PR. “ Eh pak Budi, apa kabar?  Kata Luci menyapa Budi ketika masuk wine cafe.“ Baik. Gimana kabar kamu? Kata Budi sambil melangkah ke ruang smoking room.

“ Saya keluar dari rumah suami tanpa harta. Karena Perusahaan Mas Robi dan termasuk hotel disita oleh Pak Julius.”


“ Terus gimana hubungan kamu dengan Julius ?


“Kok tahu hubungan saya dengan Pak Julius ? Luci terkejut. “ Jadi mas Robi tahu hubunganku dengan Pak Julius.” Kata Luci berlinang airmata dan akhirnya menangis. Budi memberikan tissue untuk Luci mengusap airmatanya. Hening. 


Luci kembali sibuk melayani tamu. Sebentar bentar dia melirik kearah Budi dan tersenyum. Dia kembali mendekati tablel Budi ketika aku mau bayar bill. “ Aku ada sedikit uang untuk kamu. Mulailah hidup baru.” Kata Budi seraya menyerahkan uang dollar.


“ Kenapa sebanyak ini kasih uangnya?


“ Robi sahabat saya. Dia pernah bantu saya ketika saya terpuruk. “ Kata Budi.


“ Saya berasa diri ini kotor dan sulit bagi saya memaafkan diri sendiri. Apalagi saat Mas Robi sakit saya sedang di kamar dengan Julius”


“ Apapun yang terjadi itu sudah jalan hidup kamu. Jadikan itu pelajaran untuk kamu berubah jadi lebih baik. “


“ Tidak mudah, Pak Budi. ” Luci menangis


“ Berusahalah untuk tegar. “ Kata Budi berlalu. 


Pernikahan Luci  dengan Robi berada disituasi yang retak. Tanpa ada rasa hormat dari putra putri suaminya dan disaat suaminya menua, dia kesepian. Sementara suaminya tidak berdaya melindungi dia dari jeratan julius. Entah siapa salah atau siapa berdosa. Robi sudah meninggal dalam keadaan bangkrut. 


Setahun kemudian  Julius ditangkap KPK karena menampung uang haram hasil korupsi lewat business money changernya. Anak anak Robi tidak bisa menahan selera hidup hedonis ketika ayahnya kesulitan keuangan. Mereka paranoid terhadap Luci padahal luci dikorbankan ayah mereka demi hutang yang sulit dibayar. Semua sudah membayar kesalahanya.  


Namun Budi tidak bisa menghakimi kehidupan orang. Sebisanya membantu Luci keluar dari kehidupan malam. Moga dengan uang yang dia beri bisa sebagai modal awal Luci untuk mandiri dan mendekat kepada Tuhan


Saturday, August 28, 2021

Terimakasih Mas.

 



Aku yatim piatu. Punya kakak seperti Mas Rudi,  aku tidak merasa sendirian di bumi Allah ini. Kemarin malam aku sempat telp  Mas Rudi yang sedang business trip ke luar negerz “ Mas, tahukan besok acara nikahku. Kok mas masih di luar negeri.” 

“ Ya sayang. Mas mu sudah di Taipeh transit terus ke Jakarta. Diperkirakan subuh sudah sampai. Langsung ke Bandung. “


“ Mas kenapa engga dari kemarin marin pulang? Kataku 


“ Duh, Mas berusaha pulang dari kemarin marin tetapi urusan belum selesai. Tenang saja sayang. Mas pasti hadir di acara perkawinan kamu. Kamu kan adik kesayangan Mas. “ 


“ Ya mas harus hadir. Kalau engga hadir, Rani nangis..”


“ Ya ya..


Tapi pagi hari Mas Rudi sudah nampak. Padahal acara sejam lagi akan mulai. Kini mas Rudiku hadir diacara terpentingku. 


***


Setelah ayahku meninggal karena sakit, Ibuku menikah lagi. Ayah  tiriku membawa anak laki laki,  Rudi namanya. Ayah tiriku juga cerai mati dengan istrinya. Usia kami bertaut jauh. Aku usia 4 tahun. Mas Rudi berusia 11 tahun. Kasih sayang ibuku terhadap kami berdua sama. Ayah tiriku juga sangat sayang kepadaku. Aku pertama masuk sekolah TK diantar ayah tiriku. Mas Rudi pintar di sekolah. Dua keluarga kami sangat bahagia. Namun tahun ketiga, prahara datang. Ayah tiriku sakit jantung. Stroke. Selama 8 bulan dalam perawatan akhirnya meningal.


Setelah penguburan ayah tiriku, Mas Rudi diambil oleh Pamannya. Dia pindah ke Semarang. Waktu itu Bunda keberatan. “ Aku dapat amanah dari mendiang suamiku untuk merawat Rudi. Biarlah dia tinggal samaku saja. “Kata bunda.


“ Wah engga enak merepotkan mbak. Rudi biarlah saya bawa.”  Kata pamannya. Bunda tidak bisa berbuat banyak. Karena hak keluarga Rudi lebih besar untuk menjaganya. 


Setelah Mas Rudi pergi. Aku merasa kehillangan. Selama ini dia yang mengajarkanku membaca dan menulis. Dia yang selalu menjagaku. Dia selalu mengalah dengan kenakalanku. Bunda buka usaha warung depan rumah untuk melanjutkan hidup kami. Setahun setelah kepergian Mas Rudi, Bunda dapat kabar dari sepupu paman mas Rudi.


 “ Rudi saya liat sering di terminal. Dia seperti gembel. Tidur dimana saja.’ “ 


“ Kenapa? kan pamannya yang urus dia.”


“ Lah pamannya pergi ke Malaysia jadi TKI. “


Saat itu aku meliat bunda berlinang air mata. “ Dia anakku. Biarlah aku jemput kalau engga ada yang urus dia.” Kata Bunda.


Keesokannya, Bunda ajak aku pergi ke Semarang “ Ran, kita ke Semarang. Kita cari Mas Rudi kamu ya. “ Kata Bunda. Aku senang sekali. 


Benarlah sampai di terminal bus. Tidak lama mencari mas Rudi.  Dia kami dapati sedang duduk dalam kelelahan tidak jauh dari Toilet umum,  dengan bungkusan karung pemulung di sebelahnya


“ Rudi..” tegur  Bunda halus. Mas Rudi mendongak dengan raut terkejut meliat aku dan bunda. Dia segera berdiri. Bunda langsung peluk dia “ Kita pulang ya sayang. Ikut Bunda ya”


“ Tapi kata paman, aku tidak boleh tinggal sama Bunda. Karena ayahku sudah tidak ada.” Kata Mas Rudi polos.


“ Engga sayang. Ini Bunda kamu. Tidak berubah walau ayah sudah tidak ada. Mari kita pulang. “ Kata Bunda. Mas Rudi sujud di kaki Bunda. Bunda memeluknya. Akupun ikut memeluk mas Rudi. Kami seakan hari itu dipersatukan dalam cinta dan karena cinta kami akan selalu bersama tak terpisahkan.


Mas Rudi kembali sekolah kelas 1 SLTP. Mas Rudiku memang pintar di sekolah. Dia juga pintar mengaji. Pulang sekolah dia dagang asongan di stasiun. Itu caranya membantu Bunda untuk kami bisa terus bertahan dalam kemiskinan. Mas Rudi sangat sabar mengajariku matematika.  Kelas tiga SLTP dia juara sekolah, lulus dengan terbaik. 


SMU mas Rudi sudah punya lapak teh botol di stasiun. Jadi setiap hari praktis sebagian besar biaya rumah tangga yang tanggung Mas Rudi. Karena Bunda sakit sakitan. Kata dokter bunda kena radang lambung. Entahlah.Tetapi sejak itu berat badan bunda terus turun. Tidak bisa lagi sepenuhnya buka warung. Aku kelas 5 SD bunda meninggal. Karena kanker usus. Mas Rudi masih kelas 3 SMU. Kami yatim piatu. 


Keluarga ibuku membawaku pergi dan rumah dijual untuk biaya hidupku, kata Om. Soal Mas Rudi, Omku tidak peduli. Untunglah pengurus masjid dekat rumah kasihan dengan Mas Rudi. Apalagi dia sering azan sholat subuh dan maghrib di masjid. Mas Rudi bisa tinggal di Masjid. Aku berat sekali berpisah dengan Mas Rudi. “ Ran, Mas janji, tamat SMU kamu  mas jemput. Kita berkumpul lagi. Yang sabar ya Ran. “ Katanya berpesan. Ya karena situasi,  kami harus terpisahkan. Aku pindah ke Bali ikut Om. Mas Rudi tetap di Bandung. 


SLTP aku tinggal di Bali. Tamat SLTP aku dikirim oleh Omku ke rumah sepupu Om di Metro, Lampung. SMU aku di lampung . Tetapi hari hariku harus kerja keras membantu menganyam Bambu. Sejak aku pindah ke Bali dan akhirnya di Lampung aku tidak pernah bertemu dengan Mas Rudi. Aku sangat merindukan Masku. Hanya  dia satu satunya yang tulus menyayangiku. Sejak di Bali dan di lampung aku diperlakukan sangat buruk. Tapi aku ingat pesan Mas Rudi agar bersabar. Hanya sholat penolongku bertahan dari hidup yang tak ramah. Tamat SMU aku benar benar serba salah. Karena merasa dipaksa pergi dari rumah sepupuku. 


“ Asal kamu tahu aja. Om kamu di Bali tidak pernah kirim uang sejak kamu tinggal di sini. Padahal uang hasil jual rumah warisan ibumu dia yang ambil semua. Kamu itu ya tahu diri. Udah besar kok masih numpang makan di rumah. Tuh liat teman teman kamu, sudah pada pergi merantau ke jakarta. Bahkan ada yang kerja di luar negeri jadi TKW. “


Nada ketus dan tidak suka,  terasa dibebani seperti itu selalu diulang ulang. Membuat aku tidak betah. Memang apalah aku?. Yatim lagi piatu. Miskin lagi. Sementara yang kutumpangi bukan keluarga kaya. Sepupuku juga miskin. Wajar kalau mereka lelah dengan dibebani olehku. Aku menyanggupi untuk merantau ke Jakarta. Tidak ada hakku untuk bertahan.


Disaat galau dan bersiap untuk merantau itulah, satu hari aku melihat sosok pria yang tak asing ada di depan pintu rumah sepupuku.  Masku. Mas Rudi berdiri dengan gagah. Dengan senyum khasnya dia merentangkan kedua tangannya. Aku menghambur kedalam pelukannya. Aku menangis dalam pelukannya“ Kamu ikut mas ya.” bisiknya. Keluarga sepupuku senang melepas kepergianku. 


Aku dibawa mas Rudi ke Jakarta. Ternyata Mas Rudi sudah punya rumah sendiri. Dia bekerja di perusahaan asing sebagai salesman. Sering melakukan perjalanan keluar kota dan ke luar negeri. Memang sejak SMU, Mas Rudi sudah bisa bahasa inggris. Dia juga hafid Al Quran.  Walau tidak sarjana tapi Mas Rudi  cepat sekali berkembang karirnya. Berkat Mas Rudi aku bisa melanjutkan ke universitas. Aku diterima di PTN di Bandung. Dia sendiri yang mencarikan rumah kontrakan untuk aku tinggal selama kuliah di Bandung. Setiap bulan dia tidak pernah telat kirim uang untukku. 


Setiap liburan aku tinggal di jakarta bersama Mas Rudi. Aku menyediakan sarapan paginya. Memasak untuk mas Rudi. Mencuci bajunya. Mas Rudi memang sibuk sekali. Pulang selalu larut malam. Kadang keluar kota berhari hari. Tetapi kalau di rumah dia selalu jadi imamku sholat. Selalu menesehatiku untuk mendoakan orang tua. Menasehatiku untuk jaga pergaulan. Tapi anehnya mas Rudi tidak pernah cerita soal pacarnya. Padahal dia sukses dan gagah. Apalagi sekarang dia pengusaha yang bermitra dengan asing bangun pabrik kimia. Posisii direktur  pastilah banyak wanita yang suka. Aku tidak ingin bertanya lebih jauh.


Aku tamat kuliah dapat tawaran bekerja pada perusahaan swasta di Bali. Tapi mas Rudi tawarkan aku ambil S2 di Luar negeri. Semua biaya dia yang tanggung. Selama di luar negeri aku berkenalan dengan pria. Hubungan kami sudah serius. Ayah pacarku pengusaha besar di Indonesia. Ketika aku kabarkan kepada mas Rudi. dia senang sekali. “ Jaga hubungan dengan baik. Kalau kamu akhirnya menikah, menikahlah karena Allah. “  Nasehatnya. Setelah tamat S2 aku menikah. 


***

Mas Rudi hadir mendampingiku sebagai wali di acara pernikahanku.  Lengkaplah kebahagianku.


 “ Ran, tugas mas selesai melaksanakan amanah bunda. mengantarmu sampai ke pelaminan. Apakah setelah ini mas boleh menikah?


“ Ya menikahlah mas. Mana calon mbaku. Kenalkan keaku. “kataku antusias.


Mas Rudi melambaikan tangan kepada wanita yang ada ditengah  tengah undangan resepsi pernikahan. Nampak wanita bermata sipit yang cantik menghampiriku dan mas Rudi. “ Ini calon mbaku ya mas. “ Kataku. Mas rudi tersenyum. Kami saling berangkulan. 


Semoga bunda di alam baqa menyaksikan kebahagian kami. Keikhlasan Bunda menjaga dan menyayangi Ma Rudi, anak yatim piatu yang miskin dibalas oleh Allah dengan sebaik baiknya balasan.


Tidak sulit kalau punya niat baik.

  Saya kangen Yuni. Ingat berepa tahun lalu dulu saya tugaskan dia mendampingi team Yuan dan SIDC untuk aksi akuisisi jalan tol di China. Pe...