Saturday, September 04, 2021

Pelacur...

 



Malam itu aku mendatangi Bar yang dimaksud untuk menemui wanita teman kencan Fernandez. Mungkin karena aku datang lebih ‘pagi’, pengunjung belum begitu ramai. Aku mendatangi petugas Bar untuk menanyakan wanita yang ingin kutemui. Petugas kafe itu menunjuk kesudut ruangan. Nampak seorang wanita duduk sendirian. Wajahnya berhias senyuman menggoda. Tinggi sekitar 167 cm lebih tinggi dariku. Hidung mancung dan kulit putih. Rambut sebahu. Usia sekitar 30an. Terdengar alunan musik lembut menambah nuansa romantis pembangkit imaginasi syahwat. 


Aku melangkah ke arah tempat wanita itu duduk. Namun seorang pria dengan setelan jas mendatangi wanita itu lebih dulu. Aku pun terpaksa berbelok, menyingkir. Tempat duduk di kafe ini dirancang untuk membuat pengunjung merasa nyaman duduk berlama-lama. Kursi berbentuk setengah lingkaran yang bersebelahan dengan kursi lainnya. Menjamin tawar-menawar dan acara ngobrol basa-basi berjalan santai. 


Aku pun mengambil tempat duduk di sebelah, sambil menunggu pria itu berlalu. Dengan jarak yang lumayan dekat, aku dapat mendengar dengan jelas apa saja yang mereka perbincangkan. Samar-samar aku juga dapat melihat posisi mereka. Maklum, lampu memang dibuat muram agar nyaman untuk melampiaskan syahwat.


“Kamu sendirian, ya?” tanya pria itu basa-basi. Sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke wanita itu.


“Bapak lihat, apakah ada orang lain menemaniku?”


“Aku kan, hanya ingin memastikan saja.”


Wanita itu tersenyum sambil melirik pria di sampingnya. Dia menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap rokok dari sudut bibirnya. “Mungkin malah Bapak yang sedang ditunggu seseorang?” kata si wanita, balik bertanya. “Aneh pertanyaan Bapak ini. Di sini, semua wanita tentu menunggu.” 


Pria itu tertawa kecut seakan menertawakan dirinya sendiri yang bodoh, karena sedang berada di sebuah tempat di mana semua hal bisa dibeli. 


“Aku baru kali ini melihatmu,” kata si pria mulai serius.


“Sama! Aku juga baru kali ini melihat Anda.”


“Boleh duduk di sebelahmu? Siapa namamu?” Kata pria itu sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh wanita.


“Berapa Bapak bisa membayarku?” tanya wanita itu tanpa basa-basi. Datar, tanpa ekspresi.


“Apakah aku terlihat seperti sedang manawar?”


Wanita itu memicingkan mata kearah tamunya, “Lantas untuk apa Bapak mendekatiku, di tempat seperti ini?”


“Aku tertarik dan ingin tahu saja.”


“Tertarik apa? Ingin tahu apa?”


“Kamu nampak berbeda dengan yang lainnya.”


“Di tengah kompetisi, kita harus menentukan cara unik menarik pelanggan. Aku tidak mau seperti yang lain dengan turun ke lantai bar, memamerkan tubuh untuk ditawar.”


“Jadi, sikap kamu sekarang adalah sikap menjual dengan cara yang kamu yakini benar dan efektif untuk menarik pelanggan?”


“Ya! Sebutkan berapa harganya?”


“Aku tidak mau transaksi seks walau aku memang butuh seks malam ini.”


“Mengapa?”


“Aku ingin menikmati seks tapi tidak mau membeli untuk itu.”


“Mengapa?”

“Aku tidak ingin membeli, tapi aku ingin menikmati dan di layani seperti selayaknya aku membeli.”


“Mengapa?”


Pria itu terdiam. Wanita itu mengerutkan kening. Sepertinya dia mulai kesal karena pria itu tidak bisa menjawab rasa ingin tahunya. Sepertinya ini pertanyaan yang mudah tapi juga sulit untuk dijawab.


“Mengapa?” dia mengulangi pertanyaanya.


“Aku ini orang terhormat yang percaya tentang moral. Membeli seks adalah perbuatan tidak bermoral. Itu selera rendahan. Bukan selera manusia sepertiku.” Pria itu tersenyum bangga. Seolah di telah berhasil membuka mata perempuan yang ada di sampingnya tentang siapa dia sebenarnya.


“Tapi tetap saja, Bapak tidak bisa lari dari kebutuhan seks dan selera rendahan,” balas wanita itu dengan senyum mencibir. Pria itu tampak terkejut dan menatap tajam wanita yang ada di sebelahnya, “dengar baik-baik!” kata pria itu setengah berteriak agar wanita itu dapat mendengar dengan jelas “Bisakah kamu lupakan tentang harga dan tarif untuk kencan? Kamu akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kamu terima selama ini.”


“Tidak bisa! Aku ini pedagang. Harga harus ditetapkan sebelum kita sepakat. Beda dengan istri kamu di rumah yang tanpa tarif tapi memeras kamu setiap hari.”


“Kamu pelacur. Ingat itu!”


“Iya, aku tahu dan ingat betul!” Jawab wanita itu mencibir dan berani.


“Aku ini orang yang paling dihormati, bagian dari segelintir orang di negeri ini. Aku ini pejabat!”


“Apa bedanya?”


“Tentu ada bedanya. Kamu hanyalah wanita murahan yang terdampar di dunia remang-remang. Siapapun bisa membeli kamu. Jangan sombong. Sangat beda denganku, seorang pejabat negara yang mewakili rakyat banyak. Aku punya misi untuk kesejahteraan mereka. Termasuk manusia terlantar seperti kamu.”


“Tetap tidak ada bedanya. Siapapun bisa membeliku, asal ada uang. Banyak tamuku cerita, bahwa mereka biasa membeli orang-orang seperti Bapak untuk kelancaran bisnisnya. Aku tidak sombong dengan profesi ini. Sedang kamu terlalu naif, bercerita tentang tugas terhormat. Padahal kenyataannya, setiap hari kamu juga melacurkan diri dengan jabatanmu.”


Aku mendengar pembicaraan itu dengan jelas dan semakin tertarik. Ternyata wanita yang pernah bersama Fernandez ini bukanlah wanita biasa. Dari gaya bicaranya, tahulah aku bahwa dia wanita cerdas.


“Kamu pelacur murahan!” balas pria itu dengan ketus. Namun tetap duduk merapat dengan wanita itu.


“Soal murah atau mahal, itu hanya soal tarif. Toh, tetap saja kamu dan aku sama-sama pelacur. Sama, kan?”


“Apa kesamaannya, heh?!” tanya pria itu lantang. Tampaknya dia mulai kesal dan marah.


“Sama-sama melacurkan diri untuk uang. Aku melacurkan tubuhku untuk uang dan kamu melacurkan jabatan untuk uang. Sama, kan?!”


“Tapi, tetap saja kamu beda denganku.”


“Apa sih bedanya antara aku dan kamu? Sama-sama mendapatkan uang dari cara yang tidak bermoral. Kamu melindungi diri dengan pangkat. Aku melindungi diri dengan parfum dan make up.,kadang pakai baju gamis dan jilbab. Semakin tinggi pangkat seorang pejabat, semakin tinggi pula tarif komisi haramnya. Begitupula dengan kami, semakin mahal parfumnya, semakin mahal pula tarif kencan kami. Bila kamu bilang, mendapatkan uang untuk kesenangan dan kebahagiaan keluarga maka akupun melakukan profesi ini dengan alasan yang sama! “


“Semua orang tahu bahwa profesi kamu adalah profesi terhina di dunia,” balas pria itu emosi.


“ Memang hina. Tapi anda tahukan,  profesi pelacur di negeri ini menduduki peringkat kedua di dunia setelah Ukraina. Kalau kalian keliatan terhormat itu karena Tuhan tutup aib kalian.  Hebat? Bahkan lembaga pendidikan pencetak generasi bangsa yang dikelola oleh para professor dan Phd, faktanya tak pernah berhasil masuk universitas terbaik di dunia. Dengan singapore saja kalah”


“Tapi bagaimanapun, keberadaan orang seperti kamu merusak kehidupan moral kota. Kalian teroris moral” kata pejabat itu.


“ Rakyat jelantah seperti saya ini jadi korban persepsi salah dan benar, moral dan amoral. Kalian melihat amoral terlalu jauh dari posisi kalian berada. Padahal musuh kota dan negara adalah orang yang ada di dalam ring kekuasaan, seperti kalian itu. Jauh lebih amoral dan jahat, daya rusaknya lebih dahsyat dibandingkan teroris sekalipun. Kalian selalu meniupkan kebencian kepada pelaku maksiat, pelaku teror, itu cara kalian menutupi diri , menipu rakyat agar kalian bebas korupsi tanpa tercela. Tetap merasa terhormat. Hipokrit !”


Pria itu tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir wanita itu. Dia merasa tersudut. Sebuah tesis gemilang dari seorang wanita yang hidup dari dunia remang-remang telah dipaparkan dengan begitu baik.


“Lebih baik aku akhiri di sini saja. Kelihatannya Bapak tetap dengan pendirian Anda untuk membeli seks tanpa mau disebut melacur. Kita akan tatap sama dalam cara dan perbuatan kita. Sama-sama pula dikutuk oleh semua orang yang masih menghargai moral. Sebaiknya Anda tetap setia kepada wanita di rumah yang selalu mau melayani. Walau dia sadar sedang ditiduri oleh pria yang setiap hari melacurkan jabatannya demi membayar dan memuaskan wanita, yang disebut sebagai istri itu. Itulah beda kami dengan wanita di rumah, istri seorang koruptor. Entah mana yang lebih hina? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang!”


Wanita itu berdiri, lalu melangkah menjauh dari si pejabat. Aku segera mengikutinya dari belakang. Kemudian dia duduk di meja bar. Aku menyusul dan ikut duduk di sampingnya.  Aku menegurnya dalam bahasa inggris. “ Are you Philipino ya.” Katanya. Kami bicara dalam bahasa inggris. Dari dia saya dapat informasi tentang Fernandez. Itu penting untuk bisnis saya.


“ Do you have an idea tonight. “ Katanya mesra merapatkan wajahnya di kuping saya. Terasa susu kenyal menempel di bahu saya.


“ No. But I'm glad to meet you.. “Kata saya menyerahkan 3 lembar pecahan 100 lembar.

“ Thank. You paid me for drinking time, while there was a guest that was too much talk but bullshit” Katanya. Saya hanya tersenyum dan melangkah keluar dari Bar &Cafe itu. Dia tidak pernah tahu saya orang Indonesia. Dia hanya tahu saya orang asing yang sedang kiling time di cafe berkelas di Selatan Jakarta


2 comments:

Anonymous said...

Kebenaran akan mengikuti jalannya dan pada waktu yg tepat semua akan terjawab.
Yang perlu saat ini, jangan merasa paling benar dan tepat.
Tidak ada mata yg dapat melihat kebenaran itu.

Anonymous said...

Tidak ada disclaimer, berarti ini true story, Babo?

Siluet kekuasaan dan kemiskinan.

  “ Mengapa kapitalisme disalahkan ? tanya Evina saat meeting di kantor Yuan. Dia CEO pada perusahaan di Singapore. Dia sangaja datang ke J...