Kemarin aku ke SQ. Meeting dengan Tom dari NY. Dia investment banker. Bersamanya juga ikut banker dari London. Aku tidak mau pertemuan di ruang publik. Dan tak ingin ada penyadap dari tempat tersembunyi. Jadi, pertemuan diadakan di ruang sauna di Hotel Bintang V.
Saat masuk lounge SPA, aku melihat wanita dari masa lalaku. “ Ale…” sapanya. Aku lihat di bet nya ada nama perusahaan. Itu nama bank yang CEO nya akan bertemu denganku di tempat sauna. “ Lailah..sehatkah kamu ? tanya ku. Dia mengangguk. Namun karena dikejar waktu. Aku tidak sempat menyalaminya. Aku hanya melempar senyum dan terus jalan ke arah ruang sauna.
Kami semua bugil di ruang sauna. Banker itu perhatikan perut kami. Perut saya dan Tom memang tidak buncit “ Kalian memang pria petarung. Keliatan dari tubuh kalian terawat baik. Pasti jaga makan dan tidur. “ kata banker.
“ Bukan itu” kata Tom “ Saya dan B tidak punya liabilities selain bini di rumah. Kami bisa happy di mana saja dari tempat low class sampai high class, bahkan di tempat hiburan kelas dunia. Tanpa ada beban apapun melobi elite politik yang tak henti meminta.. “ kata Tom.
“ Ya karena kalian jadi predator kepada orang seperti kami. Gimana bisa stress. Happy terus..” kata banker itu tersenyum masam.
Saya dan Tom ketawa dan duduk dengan menyender menikmati hawa panas steam.
“ B, dia ada reksadana struktur, value nya hanya 10%. Dia butuh likuiditas 10% atau asset busuk itu. Dia bisa Repo dengan harga diatas 5% pada harga tebus setahun kemudian. “ Kata Tom.
“ Boleh aja. Tetapi kita engga kasih duit. Tetapi kita bantu aja hidupkan likuiditas Reksadana nya sampai 10%. Dari itu dia bisa window dressing atas asset busuk nya itu.” Kataku.
“ Duh B..” Kata banker itu merengut meliatku“ Kami udah boncos karena ulah kalian. Kenapa sekarang kalian suruh kami tipu market “ kata banker itu.
Aku dan Tom menatap banker itu. “ Itu setidaknya bisa menunda kamu masuk bui dan tahun depan kamu masih bisa dapat bonus besar. Apa kurang baik kami? “ Kata Tom.
“ Atau kami akuisisi bank kamu lewat pasar negosiasi. Jadi soal reksadana itu sama saja kami bailout. Gimana ? kataku.
“ Itu sama saja kalian hostel TO. “ Kata Banker itu keluar dari ruang sauna. Dia merengut. Kami senyum aja.
Aku minta Tom dan banker jangan keluar dari hotel tempat sauna sebelum aku sudah di bandara. Dia tersenyum.” Perfect hidden” Katanya menepuk bahuku.
Di bandara, Tom telp aku.” Dia setuju kita akuisisi banknya. “
“ Ya udah kita rock. Kirim team ke London. “ Kataku.
“ Siap B..”
***
Ingatanku seolah segar kembali menoleh ke puluhan tahun lalu. 1984 tragedi Tanjung Priok berdarah. Walau saat itu terdengar massa semakin banyak datang ke Tanjung Priok. Suara Toa terdengar keras mengutuk pemerintah. Namun aku tetap dengan aktifitasku. Aku bukan demontran. Aku hanya pedagang ikan. Kebetulan memang kantorku ada di Kawasan Tanjung Priok. Jalan Cilincing raya tidak jauh dari pusat Demo. Malam hari lampu kota padam. Sekonyong konyong terdengar suara rententan senjata. Para demontran berhamburan tak jelas arahnya.
Saat dalam kebingungan dan suasana mencekam itu, aku terus melangkah ke arah kantorku, Di jembatan Cilincing. Ada wanita berjilbab berlari kearahku. Di belakang nya tentara mengejarnya. Wanita itu melompat ke bawah, jatuh ke sungai. Mungkin malam hari tidak begitu jelas. Tentara itu berlalu tanpa peduli dengan nasip wanita itu. Kejadian cepat sekali. Dengan replek. Aku turun ke bawah kolong jembatan. Ternyata wanita itu sedang berpagut kepada tembok jembatan.
“ Mbak, saya bukan tentara. Mari ikut saya. “ kataku. Dia mengangguk. Ada tiga jam kami bersembunyi di bawah jembatan. Setelah keadaan tenang. Kami keluar dari bawah jembatan. Tentara baret hijau mendekati kami. “ Kami mau pulang ke Cilincing, Pak. Itu dekat. Saya tinggal di Ruko itu. “ Aku menunjuk kantorku. Tentara itu tanpa bersuara mengibaskan senjatanya, sebagai tanda untuk kami bisa terus jalan.
Setelah sampai di kantorku. Wanita itu minta izin membersihkan tubuhnya yang kotor. Aku hanya ada kain sarung di kantor. Itupun kain sarung untuk sholat. Tapi aku berikan kedia guna menutupi tubuhnya sampai keesokan paginya. Dia cuci pakaianya yang kotor dan dikeringkan di kamar mandi. Baru keesokan paginya aku tahu Namanya, Lailah. Asal Garut.
Setelah peristiwa itu, dia dan aku jadi akrab. Dia dengan aktifis kampus dan aku pedagang. Namun walau dunia kami berbeda dalam usia tidak jauh terpaut. Kami selalu luangkan waktu untuk ketemu dan ngobrol banyak hal. Aku lebih banyak mendengar daripada bicara. Aku suka melihat bahasa tubuhnya saat bicara. Namun dia sendiri berkata jujur bahwa dia rindu denganku untuk diskusi. Katanya walau aku hanya tamat SMA tetapi teman yang enak diajak bicara intelek. Tetapi, sebenarnya dia suka karena aku tidak pernah bantah dia.
Kadang aku menerka-nerka, betulkan dia waktu itu bicara atas nama orang-orang kalah, bukan karena gelisah mencari jati diri. Bila saja sempat kutanyakan hal ini padnya, pasti dia tersinggung, lalu dengan ganas menyerangku sambil mengutip kalimat Mark sampai Andre Gunder Frank. Sumpah, kadang aku suka pada bagian dirinya yang berapi-api dan gagah. Pantas saja dia sering mendapat tugas sebagai koorlap sewaktu aksi.
“Aku hanya perempuan biasa yang mencoba membuktikan bahwa sekarang ini adalah abad perempuan. Juga berusaha dengan cara apa pun agar kami tidak hanya dipandang seperti sekerat daging,” katanya dengan nada tinggi. Lalu aku pasti akan terburu mengiyakan, khawatir kalimatnya kepanjangan.
Dia memang tipe perempuan yang mengandalkan kekayaan literasi dalam berperang. Aku paham itu. Tak mungkin rasanya dia bisa terlibat dalam organisasi kampus, LSM, dan organisasi lain di masyarakat bila hanya mengandalkan bicara dan bentuk fisiknya yang cantik. Tak ada suatu hasil terbaik tanpa konkret diperjuangkan, no pain no gain! ujarnya mengutip kata kata Soetan Sjahrir.
Setelah diwisuda dia sudah jarang bertemu denganku. Alasannya sedang berjuang dapatkan beasiwa ke luar negeri. Akhirnya diapun pergi. Tanpa meninggalkan pesan apa pun dan membuatku menunggu dalam pertanyaan sampai bertahun-tahun kemudian. Bila saatnya berpisah, maka berpisahlah. Tak ada yang kekal di dunia ini. Tetapi bagaimanapun perpisahan itu menyakitkan. Sampai akhirnya aku bisa berdamai dengan realita. Aku hanya pria yang dengan sabar menyediakan kuping untuk mendengar keluhan dan obsesi wanita.
Yang kutahu dari teman. Dia dapat beasiswa di Harvard dan bekerja pada Lembaga keuangan kelas dunia di London. Saat dia ke tanah air, dia sempatkan bertemu dengan teman temannya yang kini sudah banyak yang jadi elite. Dia tidak pernah menanyakan kabar tentang aku. Sepertinya aku hanyalah debu dalan perjalanannya.
Tapi kini mengapa dia ingin bertemu dengaku setelah 30 tahun berlalu. Apakah karena pertemuan di lounge spa Singapore itu. Aku sanggupi bertemu dengannya di café di Ritz, Jakarta. Aku tetap dia dengan seksama. Rasanya terlalu berat bagiku menafikan kesempatan melihat wajahnya sedekat sekarang. Walau tidak lagi sesegar dulu, namun sorot mata tajam dan cemerlang itu sepertinya tak pernah bisa kulupakan.
“ Sejak tahun 2014 aku pembaca setia blog kamu. Aku dapat alamat blog kamu dari Burhan, teman kita dulu. Sekarang dia elite partai. “ Kata Lailah “ Mengapa pemerintah sampai terjebak kepada pragmatism dan transaksional politik sehingga ekonomi terdistorsi? Tanya Lailah.
“ Penyebabnya ada dua. Pertama. Lanskap ekonomi yang kita anut tidak didukung design pembangunan jangka Panjang yang dijamin oleh konstitusi. Sehingga siapapun jadi presiden bisa mengubahnya. Nah karena kekuasaan presiden dibatasi 5 tahun. Itu mendorong presiden membuat program populis yang punya nilai electoral untuk periode keduanya.
Kedua, Gap knowledge antara tekhnorat dan elite jauh sekali. Apa jadinya kalau politik jadi panglima? Yang terjadi adalah kebijakan datang dari bisikan para oportunis yang ada di ring istana. Yang berusaha gergaji sistem keuangan negara lewat kebijakan populis. Pada waktu bersamaan mereka menciptakan kartel pedagangan yang mengontrol kebutuhan pasar domestik. Menciptakan rente di sektor SDA. Tanpa disadari yang dirusak bukan hanya sistem keuangan negara tetapi juga sistem produksi. Maka lahirlah state capture memanjakan kekuasaan dan terlena tentunya. “ Kataku.
“ Artinya kamu tidak sependapat dengan populisme ? Seperti program pengadaan rumah murah yang angsurannya di tanggung negara sebesar Rp. 600.000/bulan. Program MSB per anak Rp. 10.000. Program pembiayaan Koperasi Desa sebanyak 70.000 unit melalui perbankan BUMN. Mengapa?
“ Kalau dananya dari APBN, itu against terhadap sekuritisasi PDB. Pasti tidak feasible lewat sistem perbankan, apalagi lewat investor institusi. Kalau dipaksakan, jangan ngeluh kalau Yield SBN akan naik, trust perbankan akan jatuh. IHSG akan jatuh“ kataku
“ Bagaimana dengan sumber dana BPI Danantara untuk membiayai PSN lewat sekuritisasi asset BUMN? Tanya Lailah.
“ Itu tidak eligible. “Kataku cepat.
“ Mengapa ?
“ Karena SBN juga dalam penerbitan SUKUK Syariah menjadikan asset BUMN sebagai underlying. Total Sukuk Syariah sampai dengan tahun 2024 mencapai Rp 2.800 Triliun dengan outstanding sebesar Rp1.600 Triliun. Sementara net worth BUMN berdasarkan neraca konsolidasi tahun 2024 hanya +/- Rp.1000 triliun. Itu sudah unsecure sebenarnya. Mau tambah lagi ? Itu sama saja bunuh diri.” Kataku. Lailah mengangguk tanda setuju.
Sebenarnya kalau kita konsisten meng-applies sistem keuangan negara dan disiplin menerapkannya. Kita sudah berada di atas sumber daya melimpah. SDA tersedia. SDM tersedia, sumber daya keuangan lewat sekuritisasi PDB tersedia, lingkungan geopolitik kita bersinggungan dengan geostrategis negara asia pasific. Kita pasti bergerak ke depan menjadi negara maju.
Tentu tidak bisa instant. Perlu proses yang Panjang. Perlu kerja keras. Perlu ketekunan melakukan R&D atas dasar visi besar. Dan yang terpenting hukum harus tegak agar sistem transfaransi jalan dan indek korupsi membaik. Tahu dirilah..” Lanjutku.
Lailah lama menatapku. “ Kamu memang sekolah sebatas SMA. Namun dalam diri kamu terbenam budaya “pembelajar”. Dengan itu kamu berproses membentuk kepribadian empat, yaitu sanguinis, melakonlis, plegmatis dan korelaris. Sehingga kelemahan masing masing sifat itu ditutupi oleh kelebihan sifat lainnya. Itu terjadi lewat proses belajar dari waktu ke waktu. Pada akhirnya “ pembelajar” akan mencari jalan Tuhan untuk sebaik baiknya kesudahan..
Sementara “pengekor” seperti aku. Walau aku berkembang karena Pendidikan namun aku tidak tumbuh membangun karakter. Hidupku datar saja. Tamat kuliah dapat beasiswa ke luar negeri. Setelah itu berkarir di perbankan. Aku hidup mengadopsi pemikiran orang lain, dan tentu menjadi korban atas kelemahan pemikiran itu. Aku sadar dalam usia menu aini. Aku tidak kemana mana dan bukan siapa siapa. Selalu bergantung kepada manusia dan lupa bahwa hanya Tuhan tempat satu satunya manusia bersandar. “ Kata Lailah. Aku diam aja. Itu hak dia menilai aku.
“ Aku diminta CEO bicara secara personal dengan kamu, Ale. Berat sekali mau ketemu kamu. Aku tahu, aku salah. Tetapi itu hanya masalalu saat kita masih berjuang mencari jati diri.” Katanya. Oh mau ketemu denganku hanya karena pertimbangan pragmatis dan transakasional. Tentu terkait dengan karir nya. Soal hubungan masalalu dengan ku tidak dianggapnya serius. Walau dulu dia suka rela telanjang dalam pelukanku, Itu tida ada arti baginya.
Hening...
“ Aku heran kenapa masih bisa mengingat begitu banyak hal konyol dalam dirimu. Kadang terkesan naif dan urakan. Kamu mengajariku berpuisi tentang Tuhan, sementara bulir bir terserak di seputar bibirmu. Mungkin kau membayangkan saat itu serasa bagai seorang Abunawas, hedonis yang berputar arah menjadi seorang sufi lalu membuat syair menggetarkan dalam Al I’tiraf. Atau seperti Sutardji Calzoum Bahri yang bersyair tentang Tuhan dengan mulut penuh busa bir. “Kata Lailah.
“ Ya, Kamu sangat moderat memandang agama, namun tentu bukan seorang ateis, dan bukan tipe pria penggoda namun mudah membuat wanita pasrah. “ Lanjut Lailah.
Aku menyeringai.
“ Sekarang, setelah puluhan tahun berlalu. Kekuasaan negeri ini pun sudah beberapa kali berganti. Kurasa segala kebadungan, kebrengsekan, dan kenekatanmu di masa lalu hanya kisah perempuan yang sedang mencari jati diri. Banyak kawan seperjuangan mu dulu pun berubah. Sebagian ada di partai, sebagian memakan mentah-mentah apa yang dulu mereka maki-maki, dan sisanya tak punya cukup alasan lagi untuk tetap berjuang. “ Kataku bersatire tentang masa lalu hanya drama saja. Hanya aku terlalu bodoh percaya akan idealis orang terpelajar.
Lailah terdiam dan aku membiarkan dia dengan pikirannya. Akhirnya dia bercerita tetang pejalanan hidupnya selama ini yang tidak pernah aku dengar. “ Ale, saya dapat pesan dari CEO. Dia berharap rencana akuisisi bank kami tidak dilanjutkan. Kami berharap kamu bantu likuiditas Reksadana kami “ Kata Lailah.
Aku diam saja dan setelah sekian menit. “ Mengapa kamu berubah. Kini kamu jadi predator. ”Kata Lailah dengan suara lirih.
“ Aku tidak memangsa orang miskin dan bodoh. Aku memilih lawan setimpal. Yang kuhadapi adalah Bos kamu dan deretan pemegang saham bank. Mereka adalah para bangsawan dan terpelajar. Mereka tidak akan pernah punya empati kepada orang miskin dan tidak terpelajar seperti aku. Aku melawan, itu namanya survival. Ini soal dimangsa atau memangsa. Paham? Kataku.
" Ya paham. Tetapi aku merindukan ALe yang dulu.." Kata Lailah dengan airmata berlinang.
Aku panggil waitress dan bayar bill. “ You take care, Lailah. “ Kataku seraya melangkah pergi. Kalau aku tetap seperti Ale yang dulu, mana mungkin Lailah datang kepadaku dengan memelas setelah tanpa berdosa pehape aku...
4 comments:
Berulang kali baca nya saking ke seru nya, berulang2 pula sy baca terkait bertahan hidup
Apakah hanya Ibunda dan Oma satu-satunya wanita yg tidak menyakiti hati Uda?
Hahaha......Babo mo ikadalin dg kisah masa lalu...
Semua dari kita akan menuju kesudahan akhir.
Yang berbeda apa aja yang sudah di perbuat dalam menghabiskan hidup ini...
" Sebaik baiknya kesudahan di jalan Tuhan" semoga bisa kita lakukan, dengan kisah perjalanan yang berbeda..🙂🤲
Post a Comment