Kemarin saya bertemu dengan Hendra dan Faisal. Mereka sahabat lama saya. Kami pernah tahun 1983 sebagai satu team Salesman di perusahaan asing. Tahun 84 saya keluar dari salesman dan terjun berwiraswasta. Setelah itu kami masih sering ketemu. Namun setelah 87 kami berpisah karena kesibukan masing masing. Faisal pindah ke kota kelahirannya. Setelah krismon, Hendra pindah ke Malaysia dan sukses mengembangkan bisnis manufaktur dan property di sana. Saya sendiri hijrah ke China dan berkembang disana. Sementara Faisal stuck di kota kelahirannya. Secara ekonomi hidupnya tidak berkembang. Masih sibuk bermimpi tentang kemakmuran dari pemimpin yang terpilih. Masih larut dalam narasi politik hipokrit.
“ Gimana sih caranya negara kita bisa lunasi hutang tanpa harus membebani APBN. Kan sayang sekali, sekita ratus triliun rupiah habis begitu saja untuk bayar bunga. Padahal uang sebanyak itu bisa digunakan untuk macam macam meningkatkan ekonomi dan perluasan infrastruktur.” Kata Faisal. Saya dan Hendra hanya senyum. Kami sebenarnya ogah bicara politik. Saya dan hendra tahu. Kalau kami bertemu, itu cara Faisal butuh subsidi dari kami. Dia tidak meminta tapi kami tahu diri saja. Setelah bertemu, saya dan hendra akan kepalkan uang ketangan Faisal.
Hendra yang ikut serta santai di cafe menjawab” Ah gampang itu. Kita bisa bayar cepat hanya dengan cara merawat hutan. Emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton, dan pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD5-10 di pasar karbon, Mudah itu. Hitung aja. Potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar atau setara dengan Rp8.000 triliun.”
“ Wow wow… Faisal terperanjat. “ benar begitu caranya? Mudah banget. Utang lunas kitapun bisa makmur.” Kata Faisal. Wajar Faisal terkejut. Karena lebih setengah abad dia tinggal di lingkungan negerinya yang masyarakatnya miskin literasi. Mana terjangkau otaknya soal kredit carbon.
“ Ya. Itu pendapatan pertahun. “ Kata Hendra.
“ Terus kenapa itu tidak dijadikan solusi? Tanya Faisal.
“ Ya kalau kita sepakat masuk ke pasar kredit karbon, dan berharap mendapatkan income dari pasar karbon, ya kita juga harus patuhi standar Environment Social Governance atau ESG. Artinya Negara kita jangan hanya jualan credit carbon, harus juga punya aturan denda kepada perusahaan dalam negeri yang melewati ambang batas karbon. Sehingga demand and supply credit carbon tercipta dan harganya bisa terus naik tergantung pasar. Nah dengan begitu, upaya pengurangan emisi karbon dapat terjadi berkelanjutan dan meluas “ kata saya.
“ Siapa saja yang bakalan kena denda itu ? Kata Faisal
“ Setiap usaha atau badan usaha yang terhubung dengan terjadinya pencemaran dan pengurangan penyerapan emisi karbon atau yang mengakibatkan deforestasi. “ Kata saya.
“ Contohnya ?
“ Seperti pengusaha tambang batubara, pabrik kendaraan non baterai, pembangkit listrik bertenaga batubara, pengusaha sawit , ya semua jenis usaha yang terhubung dengan faktor pencemaran udara dan deforestasi. "Kata saya tersenyum.
Mereka berdua saling pandang. Akhirnya hening. Saya asik aja merokok. Faisal terdiam dan Hendra tersenyum. Perbedaan yang kotras. Antara kami dan Faisal. Hanya karena lingkungan yang berbeda. Padahal sebelumnya kami pernah satu team dengan Faisal. Tapi karena proses waktu kami berubah dan Faisal tidak.
Setelah beberapa saat Faisal berkata “ Utang bukan masalah dan kita bisa bayar dengan mudah. Bayarnya cukup jual credit carbon yang memang stok kita besar. Cara membayar yang berakhlak, sekaligus memperbaiki lingkungan hidup kita dan makmur mudah. Tetapi trade off nya kita juga harus buat aturan dengan standar ESG. Apa iya pengusaha tambang, sawit, smelter dan lain lain mau dengan standar aturan ESG itu? “
“ Trade off ini yang sulit. Sulit karena sistem politik tersandera dengan oligarki bisnis. “ Kata Hendra. “ Ya sistem politik yang melegitimasi mind corruption. Seperti halnya APBN di leverage lewat proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha atau KPBU. Atas nama proyek strategis nasional skema KPBU, proyek itu menjadi sumber daya uang mudah bagi oligarki politik dan bisnis “ Kata hendra.
Saya termenung denga kata kata Hendra itu. Kalau saya mengkritisi proyek infrastruktur dengan skema KPBU seperti pelabuhan, bandara, jalan toll, PLN, Pertamina, KEK, smelter, itu karena saya orang bisnis. Logika saya, selagi proyek itu terkait dengan KPBU maka itu pasti bisnis. Soal grand design pembangunan dan niat baik demi pembangunan infrastruktur nasional, itu semua omong kosong. Mengapa? dalam proses deal bisnis, melibatkan banyak pihak dan semua pihak bicara tentang berapa dapat duit. Proses deal terjadi terus menerus dari 8 penjuru mata angin.
Yang jadi masalah adalah wawasan pemerintah terhadap proses bisnis dari adanya proyek KPBU itu sangat terbatas. Misal jalan tol. Pemerintah tidak paham bisnis model dari jalan tol. Sebagian besar pejabat menganggap jalan tol itu bagian dari PSO. Engga percaya? itu buktinya ada Kepres penugasan kepada BUMN karya untuk membangun jalan tol. Ketika negara intervensi maka terjadilah moral hazard. Memang tidak ada dana APBN keluar secara langsung, tapi keluar secara tidak langsung lewat PMN, kemudian di leverage melalui perbankan. Lucunya perbankan BUMN juga. Belum lagi, melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN), pembebasan tanah toll dibayarkan melalui APBN. Hingga Agustus 2022, LMAN telah mendanai 104 PSN dengan nilai mencapai Rp97,36 triliun. Sangat miris. Skema Bisnis tapi negara subsidi. Rente yang sangat vulgar.
Karena salah dalam strategi bisnis model, jalan tol yang dibangun tidak menghasilkan cash flow yang cukup untuk bayar bunga dan cicilan hutang bank. Akibatnya semua BUMN Karya sekarang terjebak hutang dan gagal bayar. Terpaksa akhirnya nanti di bailout negara lewat PMN. Artinya pembangunan jalan tol itu sebenarnya bersumber dari APBN. Sementara skema KPBU hanya cara mudah untuk mark up proyek dari sejak pembebasan tanah, biaya konsultant dan EPC. Engga percaya? upaya divestasi terhadap aset BUMN karya untuk lunasi utang, tidak berjalan mulus. Apa pasal? harga kemahalan. Biaya jalan tol termasuk termahal di dunia. Mencapai USD 7 juta per KM. Padahal di Eropa $1,1-1,3 juta per kilometer. Di India, $1,3-1,6 juta. Di Cina $2,5-3,5 juta.
Apa yang terjadi pada jalan tol juga terjadi pada proyek infrastruktur lainnya. Jokowi sendiri mengakui. Kualitas perencanaan program pemerintah tidak efektif. Misalnya saja, ada pelabuhan baru dibangun tapi tidak memiliki jalan akses. Beberapa Pelabuhan international seperti Sabang dan Kuala Tanjung yang sudah dibangun sepi kapal bongkar muat. Ada pembangunan waduk namun tak memiliki irigasi. Mulai dari irigasi primer, sekunder, maupun tersier.
Ada 32 bandara berstatus bandara internasional di Indonesia. Akhirnya 15 harus diubah status jadi Bandara domestik. Penyebabnya sepi penumpang. Padahal membangun bandara berstandar international itu triliunan. Dan itu akan jadi beban bagi PT. Angkasa Pura, yang tentu bersumber dari utang bank. Nanti pasti akan dibailout APBN lewat PMN. Seperti kasus LRT yang salah design. Kereta cepat yang ternyata jalan akses ke stasiun tidak tersedia. Sehingga baik LRT dan Kereta cepat Jakarta Bandung terjadi cost overrun dan terpaksa molor operasionalnya. Semua KEK sepi pembangunan industri.
Bahkan amanah UU Minerba untuk hilirisasi. Perencanaan dan aturan tidak mendukung substansi dari program hilirisasi itu. Terkesan tanpa perencanaan. Tidak konsisten. Seperti aturan insentif pajak dan bea atas Industri downstream minerba. Akhirnya akan dicabut. Karena tidak memberikan keuntungan bagi negara. Bahkan mempercepat habisnya SDA. Misal cadangan nikel kadar tinggi hanya tinggal 7 tahun saja. Sementara kadar rendah masih ada 33 tahun. Kadar rendah itu 15KG nikel untuk 1 ton ore. Bayangkan kerusakan lingkungan akibat exploitasi 1 ton ore agar dapat 15KG nikel. Benar benar tidak cerdas. Makanya pemerintah menghimbau agar stop smelter untuk produksi feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).
" Terima aja nasip " Kata Faisal lesu. “ Tapi bagi kalian yang sudah aman secara financial memang mudah saja kritik pemerintah. Karena kalian hidup sudah mapan secara financial dan tidak hidup dengan mimpi. Hal hitam putih di depan kalain bisa kalian lihat dengan jelas. Tapi bagi saya yang masih miskin dan tidak aman secara financial, berharap kepada pemimpin itu adalah impian. Walau impian bias terhadap realita yang brengsek, namun tetap bermimpi. Memang harus diakui mayoritas rakyat terjebak kebodohan. Itu kelemahan yang memabukan. “ Kata Faisal. Saya dan Hendra mengerutkan kening. “ Apa peduli kalian. Bagi kalian si miskin itu adalah korban dari kebodohan dan kelemahan. Sama saja dengan ikan kecil dimakan ikan besar di samudera. “ Sambung Faisal. Ada apa dengan Faisal. Mengapa dia paranoid dengan kami sahabatnya
“ Faisal” kata Hendra dengan senyum. “ Begitu banyak pihak yang mencintai negeri ini dan peduli. Kamu baca tulisan Ale di Blog. Itu semua cara dia menncintai negeri ini. Yang bagus dia support dan yang salah dia kritik. Bukan hanya Ale, tapi banyak orang lain yang berusaha mengingatkan lewat kritik tetapi pemerintah tidak mendengar. Bagi pemerintah setiap kritik dianggap politik. Disikapi sinis oleh para partai koalisi pemerintah dan relawan, influencer. Baru disadari belakangan. Tapi semua sudah terlambat. Sementara elite politik dan semua pihak yang punya akses kepada kekuasaan sudah menikmati keuntungan dari kesalahan perencanaan dan pelaksanaan tersebut.
Mereka sibuk menciptakan narasi excuse, “ oh kita masih belajar. Oh yang penting engga mangkrak. Yang penting proyek selesai. Menutup mata bila ICOR kita sangat buruk. Index korupsi memburuk. Index logistik juga buruk. Gembyar pembangunan hanya ada dalam cerita media massa yang dibayar sebagai influencer. Tak ubahnya dengan lembaga survey yang dibayar untuk membentuk persepsi bahwa tingkat kepuasan rakyat diatas 60%. Kami tahu itu. Rakyat yang percaya karena mereka bodoh. Tapi kami tidak. “ Lanjut hendra.
" Sebenarnya kalau kita membangun dengan akhlak yang baik, maka lingkungan terjaga, udara jadi bersih, ketertipan sosial terbangun dan utang masa lalu bisa dilunasi, bahkan kita bisa dapatkan kemakmuran dari menjaga lingkungan itu " Kata saya. " Tapi masalahnya menerapkan akhlak itu sulit, apalagi harus stop rakus.." Lanjut saya berusaha berdamai dengan realita, setidaknya memberikan hope tetap ada pada orang seperti Faisal…yang lemah dan bodoh.
No comments:
Post a Comment