Tadi siang saya bertemu dengan Aling dan Ira. Kedua mereka adalah sahabat masa muda saya. Walau Ira berkarir sebagai profesional namun hubungan persahabatan dengan saya dan Aling yang pengusaha tidak berubah. Kami makan siang di restoran di Plaza Indonesia. Yang menarik baik Ira maupun Aling keduanya lulusan luar negeri. Aling S2 dan Ira , S3. Hanya saya yang tidak pernah masuk universitas. Tapi mereka tetap mau menjadi sahabat saya.
“ Pada bulan juli lalu Windu Aji Sutanto, mantan relawan Presiden Joko Widodo di Jawa Tengah ditetapkan sebagai tersangka ilegal mining nikel di Blok Mandiodo, Sulawesi Tenggara oleh Jaksa Agung. Ini secuil rangkaian dari ekspor ilegal nikel 5 juta ton yang tak jelas ending kasus TPPU nya. Sebelumnya ada kasus judi online ilegal menyebut angka diatas Rp. 100 triliun dan kasus TPPU diatas Rp. 300 triliun. Kedua kasus itu gelap. Kasus BTS Menkoinfo tidak menjangkau korporasi dan anggota DPR dan Parpol. Mengapa sisi penegakan hukum pemberantasan korupsi jadi melemah. Data index korupsi memburuk. Balik lagi ke tahun 2014.” Kata Aling.
“ Masalah pemberantasan korupsi di Indonesia memang buruk. Korupsi tetap menjadi bagian integral dari sistem politik negara dan, jika tidak ada revolusi politik, kemungkinan besar tidak akan hilang dalam waktu dekat. “ Kata Ira.
“ Sejak era Soeharto, korupsi membantu indonesia mencapai stabilitas politik. Itu juga tetap menjadi perekat NKRI. Sistem ini begitu mengakar sehingga bahkan ketika reformasi, tokoh partai yang tadinya oposisi terhadap Soeharto mengambil alih kekuasaan lewat Pemilu , KPK dibentuk tapi nyatanya sejak era Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi trend korupsi terus meningkat, bahkan menurut Mahfud MD, lebih buruk dari Soeharto. “ Kata Aling.
Saya tersenyum mendengar kata kata mereka. “ Sis, masalah korupsi Indonesia bukanlah produk kebetulan. Sistem politik di Indonesia yang murni idealis adalah paska Pemilu 1955. Namun karena idealis itu diantara partai yang dapat kursi di Konstituante gagal membuat sistem yang ideal. Akhirnya kembali kepada UUD 45. Soekarno mengkonsolidasikan kekuatan politik Nasionalis, agama dan komunis. Dia memberi mereka akses ke pos-pos pemerintah. Jadilah kabinet 100 menteri. Sistem yang dihasilkan didasarkan pada transaksi sederhana: kesetiaan kepada presiden, di semua lembaga politik dan peradilan, dengan imbalan akses kekuasaan politik. Tentu ini menimbulkan kecemburuan bagi TNI yang merasa ikut saham mendirikan republik ini.
Era Soeharto , era ABRI berkuasa. Sejak saat itu, jabatan-jabatan pemerintah, baik yang dipilih maupun yang ditunjuk, telah diberikan sebagai bagian dari proses negosiasi tanpa henti untuk mempertahankan kendali kelas politik atas negara dan sistem. Pejabat melihat posisi mereka sebagai peluang untuk menghasilkan uang lewat pemberian fasilitas kepada konglomerat menguras SDA. Mereka tidak kawatir. Karena kejahatan laten di era Soeharto bukan korupsi tetapi menentang presiden atau dianggap tidak lagi loyal. Tidak ada perbedaan antara partai politik dalam upaya ini. Semua patuh kepada Soeharto.
Pemerintahan Soeharto berganti dengan rezim reformasi. Meskipun semua partai didirikan sebagai partai pembaharu, namun amandemen UUD 45 tetap saja memberi celah korupsi untuk mengamankan loyalitas di seluruh arena politik. Selama era reformasi, Indonesia telah mengalami dua proses amandemen UUD 45. Di satu sisi, persetujuan DPR atas RUU liberalisasi besar-besaran, khususnya di bidang energi, minerba, telekomunikasi, dan investasi. Reformasi ekonomi disetujui melalui pengaturan antara partai politik besar. Kesepakatan itu mengakibatkan partai oposisi harus dibungkam lewat kriminalisasi atau ambil bagian korup. Akibatnya mereka , kehilangan kredibilitasnya, karena publik anggap mereka sama saja dengan koalisi partai pemenang. Semua pengesahan UU Itu dilakukan melalui korupsi, dengan suara yang dibeli, yang memungkinkan aktor ekonomi mendapatkan keuntungan dari sumber daya ekonomi. " Kata saya.
“ Ya.korupsi tiba-tiba menjadi raison d'ĂȘtre komunitas elite. “ Kata Ira. “ Korupsi telah menjadi motif utama orang terjun ke politik. Betapapun mereka menyangkalnya. Faktanya subjek di mana pembahasan APBN, pastilah transaksional diantara mereka. Dan UU KPK dibentuk, hanya untuk menyenangkan para aktivis. Dan puncaknya era Jokowi, saat DPR 80% dikuasai Partai koalisi pemerintah, UU KPK direvisi. KPK dibonsai sudah.
Walau retorika begitu indah tentang nilai demokrasi, tetap saja itu semua omong kosong. Mengapa?Pertama, belum ada UU pembuktian terbalik dan perampasan aset koruptor. Secara lebih luas, undang-undang anti korupsi yang ada sebagian besar membahas gejala epidemi korupsi, sehingga membantu mempertahankan status quo. Ia tidak bertujuan untuk menghilangkan sebab-sebab korupsi, seperti halnya lemah nya check and balance antara executive dan legisltatif.
Penting untuk diingat bahwa sistem korup Indonesia tidak hanya mencakup lembaga dan partai politik, tetapi juga sistem peradilan. Aturan hukum yang mengatur institusi politik selalu didefinisikan dengan cara yang ambigu dan diskresioner. Sehingga memungkinkan mereka untuk mempolitisasi tuduhan korupsi sesuai keinginan mereka. Sebagai sarana untuk menghukum musuh politik dan menjaga disiplin politik. Justru karena korupsi merajalela, selalu menjadi cara termudah bagi mereka yang berkuasa untuk menyerang dan melemahkan musuh politik mereka.
Kekuasaan Presiden yang tidak terkendali digunakan pejabat pemerintah, di semua tingkat pemerintahan, untuk mengkorup APBN dan menguras SDA. Ini juga menyisakan terlalu banyak kekuasaan untuk memutuskan apa yang harus diselidiki di tangan pejabat yang ditunjuk yang terikat pada bos Partai politik. Politisi seenaknya mengabaikan orang-orang yang kritis. Meradang marah ketika pemimpin dihujat. Yang kritis dipersekusi dan dikriminalisasi. Sementara politisi dan pemerintah tidak malu bila fakta index korupsi terus memburuk. “ Lanjut Ira.
“ Lantas bagaimana mengubah itu semua ? tanya Aling.
“ Saat sekarang sebagian besar rakyat tidak memiliki akses ke sumber daya dan miskin literasi. Dan, justru karena alasan itu, mereka tidak terlalu peduli dengan sistem yang korup. Kekhawatiran dan kepentingan rata-rata rakyat malah berkisar pada hal-hal yang lebih mendasar dalam hidup, seperti keamanan, pekerjaan, dan pendapatan. Itupun dengan standar minimal. Kalau yang minimal itu pemerintah bisa develivey, mereka puja pemimpin seperti Nabi. " Kata saya.
" Tapi kalau minimal itu tidak terpenuhi ?Tanya Aling.
" Ya bersualah seperti kata Tan Malaka, Revolusi tidak bisa di create tapi terjadi dengan sendirinya karena situasi hopeless.. Maka yang terjadi, terjadilah..” Kata saya. Kami semua terdiam. Usia kami sudah menua. Tentu harapan kami agar semua baik baik saja...karena kami tidak pernah berhenti mencintai republik ini.
No comments:
Post a Comment