“ Teman kita Akok, masih ingat kan. Dia ingin jumpa kau. Dia udah setahun di penjara. Kalau sempat temuilah dia” Itu SMS masuk dari sahabatku Badar. Aku termenung. “ Akok? Bukankah dia tajir dan sukses sebagai pengusaha. Diantara teman teman saat jadi group sales perusahaan Jepang, dia lebih dulu sukses dibandingkan kami. Akok memang creative dan penampilan dia memang lebih cakap dibandingkan aku. Pernah satu waktu tahun 80an. Photonya hanya bersempak terpajang di Majalah Mode berkelas khusus Pria.
“ Tak malu kau dengan photo ini? Kataku.
“ Ah manapula aku pikir malu kalau uang yang kudapat dari berphoto ini cukup untuk bayar sewa bilik sebulan. “ Katanya cuek dan terbukti semua teman teman kagum dengan dia. “ Tubuhnya atletis dan giginya rata serta wajahnya seperti orang Philipina. Memang dia punya nilai jual kalau di photo ini. Walau ini majalah pria, tetapi konsumennya para wanita” kata teman temanku. Tahun 85 Akok kembali ke Medan. Dia sepertinya tidak sanggup bersaing di Jakarta. Gagal. Sejak itu kami tidak lagi berkomunikasi.
Tahun 90 aku bertemu lagi dengan Akok di Singapore. Dia cerita bahwa dia buka usaha kebun Sawit. Bagaimana dia bisa langsung sukses hanya 5 tahun setelah pulang kampung dalam keadaan gagal di Jakarta.
“ Tahun 88 “ Katanya mulai cerita. “ aku dapat tawaran dari relasi di Singapore. Dia minta aku membangun kebun sawit dan kemudian dia akan beli kebun itu dengan harga ditentukan didepan. Bagaimana modal? Engga usah kawatir. Dia akan beri pinjam. Nanti akan diperhitungkan ketika lahan siap ditanam. Katakanlah perhektar dia buka harga Rp. 25 juta. Sementara ongkos real untuk buka lahan hanya Rp. 20 juta. Jadi aku untung Rp. 5 juta. Nah kalau 5000 hektar , hitung sendiri berapa aku untung?
Keliatan sederhana ya. Tapi prosesnya tidak sederhana. Dari ceritanya aku tahu. Dia buat PT untuk dapat izin Perkebunan Besar Sawit. Bila lahan masih hutan, dia tebang. Kayunya dia jual. Hasil jual itu masuk ke kantongnya. Kalau lahan rakyat , dipaksa jual oleh aparat dengan harga murah. Lahan dibersihkan dengan menyerahkan kepada kontraktor land clearing agar bisa ditanam sawit. Setelah proses land clearing selesai, tuganya selesai. Selanjutnya transaksi jual beli saham antara dia dan pengusaha Singapore dilakukan. Pengusaha singapore menunjuk proxy lokal sebagai pemegang saham. Dia menerima uang penjualan saham itu setelah dipotong modal awal yang dia terima. Kesimpulannya dia tidak keluar modal. Hanya andalkan kedekatan dengan penguasa, dia bisa kaya raya tanpa resiko apapun.
Dari ceritanya, aku dapat simpulkan. Banyak pihak yang tanpa alasan rasional menerima uang. Aku katakan tidak rasional karena memang tidak ada alasan yuridis atau moral mereka terima uang. Siapa itu ? Lurah, camat, Bupati sampai Gubernur kebagian uang. Termasuk Menteri, TNI dan POLRI juga kebagian. Termasuk elite politik. Semua yang terkait dengan perizinan dia suap.
Kemudian para kotraktor land clearing mendapatkan uang tidak wajar. Karena mereka hanya membakar lahan dan engga peduli dampak lingkungan. Konsultan lingkungan dapat uang tidak wajar. Karena mereka buat studi hanya copy paste dari studi yang pernah dibuat tanpa melalui studi menyeluruh secara objective. Konsultan projek membuat perencanaan juga dapat uang tidak wajar. Karena mereka juga hanya copy paste.
Seharusnya mereka dibayar karena skill nya tapi mereka kerja ala kadarnya. Karena tahu pekerjaannya hanya pelengkap formal syarat dikeluarkannya izin. Dan tahu bahwa pejabat juga tidak peduli kalau syarat itu benar valid atau tidak.
Kemudian, lanjut ceritanya. Setelah transaksi pelepasan saham di lakukan, pengusaha singapore menyediakan equity 30% dari nilai proyek kebun sawit + PKS, dan 70% dari bank lokal untuk melakukan proses penanaman dan produksi. Ketika produksi, CPO dibeli oleh pengusaha singapore dengan harga murah. Maklum itu memang kebun dia sendiri. Pemegang saham hanya proxy saja. Jadi kesimpulannya pengusaha singapore dapat resource dan dapat juga modal dari bank lokal. Dan mereka mendapatkan laba dengan pengorbanan kecil.
Dari skema bisnis inilah membuat para pejabat kaya raya, anggota DPR kaya, Konsultan kaya, kontraktor kaya, LSM dan Ormas kaya, semua kecipratan uang dari menjarah sumber daya lahan nasional. Mengapa ? karena merekalah gerombolan bandit kelas menengah yang saling melindungi agar hidup makmur. Mereka membuat singapore makmur. Mereka bergaya hidup hedonisme dikota kota mahal di luar negeri. Memanjakan diri di tempat berkelas. Punya selir di semua apartemen mewah yang di belinya, anak anak sekolah di luar negeri.
Kalau harga CPO tinggi, mereka lakukan transfer pricing untuk menghindari pajak. Laba dan penjulan epskor disimpan di luar negeri. Negara disuruh onani aja soal surplus ekpor. Kalau harga jatuh , pengusaha sawit surrender. Yang korban ya bank dan rakyat, termasuk negara. Kelakuan pengusaha sawit tidak ubahnya dengan pengusaha rente yang kelola bisnis tambang dan lisensi impor komoditas. Bisnis mereka hanya bertumpu kepada kepiawaian suap, dan ijon kekuasaan sebelum Pilkada atau Pilpres digelar. Bagaimana dengan Rakyat kecil ? mereka hanya jadi buruh kasar. Kadang tanahnya dirampas paksa.
Tahun 2000, aku bertemu lagi dengan Akok di Singapore. Kami amprokan di hotel Mandarin Orchard. “ Kalau mau kaya raya ini saatnya.” katanya. “ Bandar ku di singapore tugasin aku beli aset lewat lelang BPPN. Harga kita atur dan mainkan. Bisa dapat diskon sampai 80%. “ Lanjutnya. Lagi lagi bisnis yang berhubungan dengan suap yang mudah mendatangkan uang.
Sejak itu aku tidak pernah lagi komunikasi dengan Akok. Apalagi tahun 2004 aku hijrah bisnis ke China. Duniaku hanyalah pedagang. Aku tidak segagah Akok yang dengan penampilan menarik mudah melobi pejabat dan aparat. Aku memang cerative tetapi tidak punya bakat menghamba kepada investor, apalagi jadi proxy asing dan terus membelai telor pejabat. Biarlah Akok kaya dengan caranya, dan aku dengan caraku. Yang harus kerja keras dan bersiap kalah dalam persaingan di negeri orang. Mungkin itu sudah jalan hidup kami.
***
Aku sempatkan juga datang ke Penjara untuk menemui Akok. Aku membayangkan wajah murung dan kesepian yang akan aku temui. Tapi apa yang kudapati saat bertemu dengan dia?. Wajahnya tidak nampak sedih. Kamar penjarannya seperti hotel berbintang. Para sipir jadi ajudan dia, yang siap dia suruh suruh. Selama aku dalam kamarnya, dia tetap sibuk mengendalikan bisnisnya dari penjara. Lewat telp selular dan telp satelit dia berbicara dengan relasinya di dalam maupun luar negeri. Kalau dia perlu sex, sipir bisa antar dia ke hotel untuk check in. Istri dan anak anaknya semua tinggal di Amerika.
“ Berapa tahun kenanya” Tanyaku untuk tahu berapa tahun vonis penjara dia.
“ 8 tahun. Tapi kalau dipotong remisi umum, remisi khusus, remisi kemanusiaan, remisi tambahan. Hukuman hanya 5 tahun. Jadi, tiga tahun di penjara aku sudah bebas bersayarat. “
“ Gimana dapatkan remisi?
“ Pakai uanglah “ katanya tersenyum.
“ Aku dengar kau sudah sukses di luar negeri.” Katanya.
“ Ah biasa aja. " Kataku.
“ Sekarang apa kegiatan kau?
" Sekarang ya, aku udah mengurangi aktifitas bisnis. Maklum usia engga muda lagi. Tahu dirilah. Walau aku tidak lagi terlibat langsung dalam menejemen namun aku tidak perlu kawatir. Semua perusahaan dikelola secara profesional dan otoritas bursa dan pajak ikut mengawasi kerja mereka. Jadi amanlah..” Kataku.
“ Ya benar itu. Karena bisnis yang kau jalankan tidak perlu elus telor pejabat dan aparat. Semua dikerjakan secara profesional. Tapi aku? engga bisa. “ katanya menggelengkan kepada. “ Semua direksi dan karyawanku menjalankan bisnis rente. Tanpa suap, engga bisa jalan bisnis.”
“ Gimana kalau kau beli aset ku. Aku punya saham di beberapa perusahaan. Aku bisa perintahkan proxyku untuk lepas saham semua kepada kau. Bantulah aku. Aku mau cutloss dan hidup nyaman di masa tuaku.” Lanjutnya. Aku hanya senyum. Aku kenal Akok. Dia temanku, tetapi dia tidak punya batasan moral yang jelas.
Penjara tidak akan mengubah dia jadi lebih baik. Jangankan teman, negarapun dia jual untuk kepentingan pribadinya. Dia sudah terlalu dalam masuk ke dalam lubang senggama kehidupan hedonis. Sulit untuk keluar kecuali kematian memisahkannya dengan kehidupan ini. Kehidupan Akok sama dengan para pengusaha rente yang bersenggama dengan pejabat dan aparat korup. Sebenarnya mereka adalah para gangster sekelas mafioso. Mereka tidak mencintai siapapun kecuali dirinya sendiri. Semua dianggapnya bisa dibeli, termasuk sex, kehormatan dan kekuasaan.
No comments:
Post a Comment