Friday, October 07, 2022

Cinta Maria..

 



Tahun 2011 saat business trip ke Zurich, saya sempatkan mampir ke Amsterdam. Kebetulan  sahabat  saya, Anneke mau antar saya. Sekalian ke rumah orang tuanya. Kami mengendarai BMW. Anneke yang supir. Saya duduk manis saja di sebelahnya. 


“ Mau ngapain weekend ke Amsterdam? kamu kan bukan tipe pria yang doyan belanja Sex.” Kata Anneke tersenyum.


“ Saya mau ke  kawasan  lange duitse dwarsstraat.” 


“ Di situ ada restoran italia enak. Nanti aku traktir. Mau ya” Kata Anneke. “  Di Amsterdam engga berlaku AMEX centurion Card. “ Lanjut Anneke dengan cepat. Seakan dia ingin menegaskan bahwa saya adalah tamunya. Amsterdam adalah kota kelahirannya.


Jam 4 sore kami sudah sampai di Amsterdam. “ Kita langsung aja ke Lange Duitse Dwarsstraat, ya” kata Saya. 


“ Ada apa sih kamu? pengen banget ke sana. Ada memori yang saya tidak tahu. Kamu punya kenangan dengan nona Holand ya.” 


“ Engga juga. Nanti saya ceritakan.”


“ Ya ok. Saya senang dengar kamu cerita.” Kata Anneke mengarahkan kendaraan ke tujuan kami. Sampai di kawasan itu, saya lama termenung menatap dari jendela kendaraan. “ Dulu ini daerah elite, B. Kini jadi kota tua. Tetapi tetap dijaga kelestariannya. Mari kita parkir kendaraan. Kita ke Restoran


“ Ceritalah say” kata Anneke. Dia sahabat saya dan juga team profesional bidang financial. Dia cerdas dalam usia mature. Single parent.  Saya nikmati kopi yang terhidang seraya menikmati angin bulan november yang lumayan dingin.


“ Dulu era kolonial Belanda di negeri kami.” Kata saya mengawali cerita “  Di kawasan lange duitse dwarsstraat  tepatnya di restoran Bohemian,  itu tempat para pemuda Eropa sosialis berkumpul. Di cafe itu mereka menghabiskan waktu berdiskusi tentang banyak hal. Duel ide dan gagasan secara terpelajar. Diantara pemuda itu ada beberapa mahasiswa Indonesia seperti Hatta, Tan Malaka, Sjahrir dan lain lain. Dari diskusi itu para mahasiswa Indonesia yang beraliran sosialis mendirikan perhimpunan mahasiswa sosial demokrat. Saya ingin cerita tentang seorang anak manusia bernama Sjahrir. Karena dia berasal dari kampung sama dengan saya. Orang minang juga. Ini kisa tentang  cinta dan realita” Kata saya. 


“ Hmm.” Anneke menganguk. “ Menarik, lanjutkan ceritanya” 


“ Sjahrir lahir pada 5 maret 1909, di Padang panjang, Sumatera Barat. Dia terlahir dari keluarga bangsawan kesultanan Deli. Ayahnya jaksa di Medan. Makanya dia punya akses kepada pendidikan, yang dikala kolonial itu hampir tidak mungkin bagi kaum pribumi bisa dapatkan. Setelah lulus dari  Meer Uitgebreid Lager Onderwijs,  dia melanjutkan sekolah ke Algemeene Middelbare School di Bandung. Setelah lulus dari AMS, melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Tinggal bersama Kakak perempuanya yang ikut suaminya dalam program belajar di Belanda.


Pada 193 kakak iparnya menyelesaikan tugas belajar. Kembali ke Hindia Belanda. Dia terpaksa tinggal ngekos di apartement sahabat Yahudinya, yang juga aktifis sosialis, Namanya, Salomon Tas. Sebagai sahabat Tas tidak merasa keberatan menerima Sjahrir tinggal bersama walau di rumahnya udah sesak dengan istrinya, Maria Johanna Duchateau, dengan dua anaknya, dan teman istrinya yang bernama Judith van Wamel. 


Tapi kamu kan tahu. Cinta itu tidak mengenal batas. Selalu ada alasan untuk orang jatuh cinta. Itu manusiawi. Ternyata diam diam, Sjahrir jatuh cinta dengan Maria. Namun karena menghormati Tas, dia jaga lakunya dihadapan Tas. Dia berusaha sesopan mungkin. Adat kami orang minang diajarkan soal itu. Tahu diri menumpang di rumah orang. Tas sering tidak pernah pulang karena kesibukannya sebagai aktifis. Maria menjadikan Sjahrir tempat curhat kesepiannya. Kadang mereka nonton   teater di Stadsschouwburg. Kebetulan mereka punya hobi sama.


Akhirnya Tas mengetahui hubungan asmara antara Sjahrir dengan Maria. Tas relakan Maria diambil oleh sahabatnya, Sjahrir. Karena Tas sebenarnya diam diam menjalin cinta dengan teman istrinya, Judith van Wamel. Namun, kedekatan itu hanya berlangsung semusim. Karena pada akhir tahun 1931, Kakak angkatnya Hatta, memintanya agar pulang ke Hindia Belanda untuk memimpin PNI.


Sebenarnya Hatta saat itu diminta untuk memimpin PNI, tapi karena Hatta belum selesai studinya. Hatta meminta Sjahrir untuk pulang sementara ke Hindia Belanda untuk menggantikannya memimpin PNI dan berjanji akan pulang setelah Studinya selesai, dan setelah itu Sjahrir bisa kembali ke Belanda untuk melanjutkan kuliahnya kembali.


Sjahrir mengajak Maria untuk ikutnya ke Hindia Belanda. Tetapi Maria tidak bisa. Dia sedang mengurus perceraiannya. Maria baru ke Hindia Belanda  tahun 1932. Itu setelah empat bulan sejak desember 1931 Sjahrir pulang. Mereka menikah di Medan pada 10 April 1932. Pernikahan secara muslim. Yang tragis adalah pernikahan itu tidak diterima oleh komunitas Belanda yang saat itu berkuasa di Hindia Belanda. Walau Maria sudah mengenakan kebaya dan berkain sarung, tetap saja dianggap tabu menikah dengan pria pribumi yang berkulit coklat.


Berita media massa heboh soal pernikahan itu. Akhirnya memaksa polisi melakukan investigasi. Ternyata Maria belum resmi  bercerai. Pernikahan itu tidak sah. Polisi memulangkan Maria ke Belanda. Padahal saat itu Maria sedang hamil.  Belakangan dia dapat kabar dari Maria bahwa bayi yang dikandungnya meninggal saat proses melahirkan. Sjahrir sangat sedih. Dia mendapatkan pendidikan terbaik bersama sama orang Belanda. Tetapi politik kolonialis membuat dia tak pantas menikah dengan wanita kulit putih. Dia tetap pribumi. Second class.. 


Kerinduan Sjahrir kepada Maria begitu membuncah. Dia bertekad untuk segera menyusul Maria ke Belanda. Apalagi Hatta sudah selesai dengan pendidikannya dan siap memimpin PNI. Namun belum sempat berangkat. Sjahrir ditangkap aparat Polisi. Karena dituduh membuat gerakan melawan pemerintah kolonial Belanda. Sjahrir dibuang ke ke Boven Digul, Banda Neira, Papua. Dalam pengasingan itu Maria berusaha mengulang pernikahan itu secara jarak jauh. Diwakili oleh Salim, sahabat Sjahrir. Dia tidak tahu kapan akan dibebaskan. Masa depan yang dia cita citakan seakan gelap.  Dia mengusulkan agar Maria datang ke Banda Neira tinggal bersamanya. Tetapi Maria tidak cukup uang untuk ongkos. Sjaharir tahu. Saat itu Eropa sedang depresi. Semua orang susah. Sjahrir minta tolong kepada adiknya Sutan Sjahsam untuk kirim uang kepada Maria. 


Kamu tahu, sampai tahun 1940 surat yang dikirim Sjahrir berjumlah 287. Itu surat-surat disimpan oleh Maria, lalu dijadikan buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen yang terbit pada tahun 1945 di Amsterdam. Dalam surat itu sjahrir mengungkap kejujurannya tetang dia dan Maria. " Apa yang aku tak temukan di dalam studiku, apa yang tak kutemukan di dalam filsafat, aku temukan pada dirimu". Itu katanya dalam surat.


Setelah 15 tahun tidak bertemu dengan Maria, akhirnya Sjahrir bisa bertemu kembali pada 1947 di New Delhi. Saat itu Sjahrir sudah Perdana Menteri negera Indonesia yang baru lahir. Pertemuan itu diatur oleh Nawaharlal Nehru Perdana Menteri India saat itu yang sangaja mendatangkan Maria dari Belanda.  Di Bandara, Sjahrir bertemu dengan Maria. Sjahril memeluk Maria dengan hanya menempelkan pipinya. Pertemuan yang dingin dan canggung. Tidak ada kehangatan seperti dulu. “


“ Ternyata waktu mengubah perasaan. Apakah ada WIL?


“ Sebenarnya bukan soal WIL. Karena ada perbedaan mendasarkan diluar cinta kasih.”


“ Apa itu? 


“ Maria itu seorang komunis. Jelas berbeda dengan Sjahrir yang sosialis. Ternyata waktu membuat Sjahrir harus bersikap.  Mungkin perbedaan idiologis yang prinsip itu membuat hubungan  perkawinan tidak bisa diteruskan. Akhirnya pada 12 Agustus 1948, keduanya memutuskan untuk bercerai.” Kata saya.


“ Terus..?


“ Walau mereka sudah bercerai. Hubungan mereka tetap terjalin  sebagai sahabat. Maria bisa move on. Tidak menolak ketika atas saran Sjahrir  untuk menerima pinangan adiknya bernama Sutan Sjahsam. Mereka menikah dan hidup tentram di Belanda.. Sjahrir tahun 1951 menikah dengan Poppy, sekretarisnya. Hidup bersama sampai ajal memisahkan.”


“ Happy ending. “ Kata Anneke tersenyum. “ Terus apa orientasi politik kamu ? Sosialisi atau agama? tanyanya. Saya lama menatapnya. Saya tersenyum “ Anneke, Perjalanan hidup saya mengajarkan kepada saya satu hal. Jangan pernah hidup kita dipengaruhi oleh narasi Idiologi dan Agama. Sekali kita hidup dipengaruhi oleh dua hal itu maka kita akan jadi dungu. Korban predator. “


“ Duh kenapa begitu say”


“ Baik saya jelaskan secara sederhana. “ Kata saya seraya seruput kopi. “ Kita percaya kepada Idiologi. Dengan idiologi itu, kita punya impian keadilan sosial bagi semua. Itu tertuang semua dalam konstitusi. Bacalah, visi dan misinya itu sama dengan kitab suci agama apapun. Tapi nyatanya di Indonesia,  50 orang Indonesia menguasai 1/3 sumber daya keuangan. Dimana keadilan sosial? Omong kosong! Itu sama saja dengan era kolonialisme. Sudah lebih setengah Abad kami merdeka. Kami termasuk 10 negara dengan SDA terbesar dunia. SDM nomor 4 dunia. Apa yang kami dapat? Kami masih termasuk 100 negara miskin di dunia. Jarak kaya dan miskin semakin melebar.


Kami itu selalu membahas yang tidak substansi. Di era modern masalah idiologi dan agama itu bukan substansi. Itu semua omong kosong. Finlandia, bukan negara agama, tetapi makmur. Aceh yang berlaku hukum syariah islam, ternyata terkorup di Indonnesia dan masuk daerah miskin. Padahal SDA Aceh besar sekali. China itu komunis. Kurang SDA. Tetapi mereka berhasil angkat 800 juta rakyat dari kubangan kemiskinan.”


“ Jadi yang substansi itu apa ?


“ Mindset personal orang perorang. Nah kalau mindset personal itu menjadi budaya maka itulah yang akan menjadikan kita negara besar dan makmur. “


“ Maksud kamu ?


“ Pertama punya rasa malu. Malu kaya dengan cara tidak jujur, apalagi korup. Malu dengan tangan dibawah. Kedua, Mandiri. Dengan adanya rasa malu itu, membuat kita menjadi masyarakat berbudaya, tahu diri, Kita tidak memelas pekerjaan, tetapi pekerjaan butuh kita karena kita punya kompetesi. Jadi focus mengembangkan kompetensi, bukan mengeluh engga ada lowongan. Punya kreatifitas untuk survival sehingga setiap hari kita adalah kinerja dan harapan. Besar kecil hasil itu relatif, yang pasti engga akan bokek orang kreatif. Jadi focus kepada kreatifitas untuk memenangkan kompetisi. Sjahrir berkata, Hidup yang tak dipertaruhkan tidak akan dimenangkan


Nah dua hal itu saja. Kalau dua hal itu jadi mindset, saya yakin, mana ada waktu lagi kita mikirkan orientasi politik idiologi atau identitas. Karena politik itu seni berbisnis ala modern juga. Cara orang terpelajar menguasai sumber daya untuk hidup senang dan manapula mereka jadikan rakyat sebagai prioritas, Yang percaya politik pro rakyat. Pasti hidupnya halu dan engga punya mindset mandiri. “ Kata saya.


“ Terus kalau bukan idiologi dan agama, siapa yang mempengaruhi hidup kamu ? tanya Anneke


“ Pertama adalah orang tua. Karena mereka mencintai saya dengan tulus. Tak berharap apapun. Hanya ingin saya baik baik saja. Kedua, adalah istri. Karena dia tak berharap apapun kecuali yang terbaik untuk saya. Ketiga, sahabat yang selalu inginkan saya bahagia. “


Malam menjemput, kami menghabiskan malam minggu di Bar HotShots Amsterdam yang ada di jalan Lange Leidsedwarsstraat 64. Anneke kembali ke rumah orang tuanya tetapi dia antar saya ke Hotel. 


“ Pastilah Sjahrir itu pria cerdas. Wanita Belanda suka dengan pria yang cerdas. Apalagi wanita mature seperti Maria. “ 


“ Oh ya..? 


“ Ya buktinya wanita di hadapan kamu ini. “ Kata Anneke. Kiss dried saya. Engga sempat ngeles saya. " Kalau diizinkan, aku nginep aja di hotel kamu"bisiknya.

5 comments:

Irman said...

Nah ambo impian Anneke....

Yurzinal said...

Cerita yg luarbiasa penuh hikmah dan pembelajaran

Anonymous said...

merdeka.....

Anonymous said...

Politik itu seni berbisnis ala modern.

Anonymous said...

Mareeee kita ngopi sz....
Rasa tergantung kita mo manis pahit terserah krn gak terikat dogma yg harus dan kudu.....

Siluet kekuasaan dan kemiskinan.

  “ Mengapa kapitalisme disalahkan ? tanya Evina saat meeting di kantor Yuan. Dia CEO pada perusahaan di Singapore. Dia sangaja datang ke J...