Di kawasan PIK di Cafe, saya dan Awi santai di Cafe. Kami bersahabat sejak usia muda. Kini kami sudah menua. “ Saya kadang heran. Orang Padang itu kebanyakan selalu berseberangan dengan pemerintah. Tapi anehnya sejak saya kenal kamu. Engga ada kesan kamu seperti orang padang kebanyakan. Kenapa ?
Mungkin bagi orang Jawa, berbeda pendapat dengan orang lebih tinggi, atau pemerintah, itu tabu. Di Minang sudah biasa perbedaan sikap itu. Engga aneh kalau diantara mereka saja saling kritik. Dari sikap kritis itu , dialektika terjadi. Perubahan berpikir terus terjadi dari waktu ke waktu. Orang Minang itu tidak banyak. Populasinya mungkin hanya sebanyak Kecamatan di Jawa. Namun sejarah mencatat bahwa dari komunitas kecil itulah lahir beberapa orang yang disebut bapak pendiri bangsa. Mereka jadi pembaharu di zamannya dan pendobrak status quo feodalisme dan kolonialisme“ Kata saya.
“ Siapa saja itu mereka itu ?
“Muhammad Hatta, Sutang Sjahrir, Agus Salim, Muhammad Yamin, Muhamamd Natsir, Tan Malaka, HR Rasuna Said. Mereka semua adalah sahabat Soekarno semasa perjuangan merebut kemerdekaan dan paska kemerdekaan. Mungkin kamu menganggap mereka semua satu aliran? tidak. Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, walau mereka sama-sama belajar Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda namun mereka berbeda pandangan soal politik.
Secara adat, Tan Malaka mendapat kedudukan terhormat tapi miskin, sedangkan Hatta-Sjahrir dalam strata ekonomi adalah kelas menengah. Masa kanak Tan lebih banyak di desa belajar agama. Sedangkan Hatta dan Sjahrir besar di kota dan hidup di lingkungan keluarga pedagang kaya. Tan mendapat kesempatan belajar ke Belanda karena beasiswa, sementara Hatta dan Sjahrir atas biaya sendiri karena keluarga mereka mampu.
HR, Rasuna Said juga anak saudagar kaya di Minang, namun karena dia wanita tidak punya kesempatan sekolah ke luar negeri. Namun Rasuna otodidak sejati dan besar dari geraka pembaharuan Islam. Agus Salim juga sama dengan Tan. Lahir dari keluarga miskin. Dia tida seberuntung Hatta, Sjarir dan Tan Malaka. Dia tidak sekolah ke Belanda walau RA Kartini mengorbankan beasiswa ke Belanda demi Agus Salim, namun ditolak oleh Agus Salim. Agus Salim banyak memahami Politik dari komunitas Syarikat Islam. Latar belakang itulah yang membuat mereka berbeda.
Hatta sangat menentang komunisme dan sosialisme. Namun dalam hal metodelogi perjuangan ekonomi, dia banyak kesamaan dengan sosialisme. Dia menganjurkan gerakan koperasi. Sebaliknya, Tan tidak menolak komunisme tapi menolak kerangka berpikir komunisme. Komunisme hanyalah metodelogi menjalankan revolusi. Makanya Tan percaya, jika digabung, Islamisme dan Komunisme, Indonesia akan digdaya.
Namun baik Hatta maupun Tan Malaka punya pandangan sama soal bagaimana Indonesia merdeka. yaitu melalui revolusi Rakyat. Sjahrir ? Dia tidak sejalan dengan Hatta dan Tan soal itu. Sjahrir dan Rasuna Said percaya kemenangan hanya bisa dicapai lewat diplomasi. Dan itu perjuangan kaum terpelajar. Tetapi Soekarno percaya kepada Sjahrir dan Rasuna Said.
Perselisihan antara Tan Malaka VS Sjahrir makin meruncing ketika Sjahrir menjadi Perdana Menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer. Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Karana itu Soedirman bergabung dengan Tan Malaka menentang kebijakan Sjahrir. Hatta menarik massa Islam Masyumi untuk mendongkel Sjahrir. Diantara konflik ini, Soekarno tetap berada di tengah. Walau karana itu Soedirman sempat kesal dengan Soekarno yang bersedia ditahan Belanda ketika class kedua dengan Belanda. Soekarno lebih mendengar saran Sjahrir daripada ikut Soedirman masuk hutan untuk bergerilya.
Dalam silang-sengkarut itu muncul putra Minang lain yaitu Muhammad Yamin. Yamin adalah diplomat ulung sebagaimana Sjahrir. Namun dia tidak begitu suka dengan cara berpikir Masyumi soal politik kebangsaan. Yamin percaya bahwa agama itu masalah privat. Engga bisa dijadikan platform bernegara. Hatta walau dekat dengan Masyumi, bisa setuju dengan Yamin. Tapi tidak sependapat dengan Yamin yang lebih memilih jalan revolusi untuk kemerdekaan. Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir. Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946.
Pada akhir medio 1950, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan Malaka. Ketiga Dwi tunggal ini semuanya ada putra minang. Masing masing Dwi Tunggal ini punya kekuatan bawah tanah. Soekarno -Hatta, kekuatan dominan dari golongan Islam. Soekarno dari NU dan Hatta dari Muhammadiah. Sjahrir- Amir Syarifudin didukung oleh kekuatan sosialis dan komunis, dengan motornya Aidit, yang ibunya berasal dari Minang.
Apakah selesai masalah ? Tidak. Soekarno tetap percaya kepada Sjahrir dengan memberinya mandat melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, tentara sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk Istana Negara. Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan sandera ketika Soekarno turun tangan. Itulah kehebatan Seokarno. Yang tidak berpihak kepada konflik dan mengutamakan persatuan.
Tahun 1948, Amir Sjarifuddin dieksekusi mati karena pemberontakan PKI di Madiun. Dan kelak Aidit juga ditembak mati karena G30S PKI. Tan- Soedirman, didukung oleh tentara. Namun Tan dianggap sebagai duri dalam daging bagi Sjahrir, Soekarno dan Hatta. Karena Tan menolak politik diplomasi dengan Belanda. Akhirnya Tan ditembak mati oleh Tentara. Entah siapa yang perintahkan. Sejarah masih kabur. Sejarah indonesia mencatat bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mencapai puncak legitimasi international berkat perjuangan diplomasi. Itu ide Sjarir. Namun itu tercapai berkat perlawanan rakyat semesta. Itu ide Tan Malaka, Hatta, dan Agoes Salim. Artinya perbedaan sikap itulah yang membuat mereka kuat mencapai tujuan.
“ Mengapa ?
Dalam sejarah walau Hatta, Tan, Sjahrir , Yamin berseteru karena perbedaan namun secara pribadi mereka bersahabat. Secara pribadi mereka sama. Sama sama bukan pejuang gila wanita dan tahta. Semua mereka hidup bersehaja. Agus salim, sejak keluar dari dinas pemerintah, kantor BOW, dan memilih memasuki dunia pergerakan pada 1915 hidupnya adalah seorang partikelir. Hidupnya selalu susah dan miskin. Tidak pernah punya rumah sendiri. Di Jakarta, Agus Salim pernah tinggal di daerah Tanah Abang, Karet, Jatinegara, Gang Kernolong, Gang Toapekong dan Gang Listrik.
Menjadi pemimpin itu memang harus berkorban. Termasuk berkorban menerima kritik. Yang tidak boleh dilakukan oleh setiap warga negara adalah membawa politik dalam ranah agama dan kedaerahan, suku. Itu tidak mendidik orang jadi moderat. Tidak mengajak orang melangkah ke depan. Karena takdir kita sebagai bangsa memang pluralis. Soal perbedaan sikap, itu hanya metodelogi mencapai tujuan. Esensinya adalah kebaikan diutamakan, kebenaran dibela, keadilan dijunjung. Kalah menang itu biasa saja. Bahkan mati dengan keyakinan, juga biasa saja. Engga usah diperbesar perbedaan menjadi permusuhan dan kebencian. Lima jari saja tidak ada yang sama tinggi.Berkat lima jari kita bisa menggengam dan kokoh. Diantara perbedaan selalu ada hikmah kebersamaan. Itu yang harus disadari.
Sama halnya walau Papa saya inginkan saya menjadi nasionalis seperti Muhammad Yamin. Saat baru lahir, ia beri saya nama Muhammad Yamin. Di panggil Yamin. Usia Balita, Nenek saya inginkan saya jadi Masyumi, dia beri nama saya Saleh. Dipanggil Ale. Namun akhirnya ketika saya masuk SD, justru nama saya Erizeli yang tidak ada identitas agama dan keluarga. Saya adalah produk masa depan. Sebuah kompromi yang indah” Kata saya. Awi tersenyum.
***
“ Tiga teman kita udah meninggal. Anehnya itu terjadi sejak COVID. Semua karena jantung.” Kata Awi. “ Padahal mereka tajir. Usia menuan penyakit datang macam macam” Lanjut Awi.
“Kamu tahu apa penyebabnya “
Awi diam saja.
“ Umumnya mereka gagal mengalahkan diri sendiri. Walau mereka hebat menaklukan dunia tetapi itu justru menggrogoti hidupnya sendiri. Penyakit datang dan itu membuat dia cemas. Terus kawatir akan kematian menjemput dan meninggalkan semua kemewahan. “ Kata saya.
“ Ya jel.”
“ Wi, hidup ini satu satunya musuh terhebat adalah diri sendiri. Nafsu kita itulah yang harus diperangi sepanjang usia. Hilangkan perasaan kawatir, takut, sombong, euforia. Jangan perturutkan emosi yang akan merusak jiwa kita. Hidup mengalir aja. Engga usah berlebihan, Yang penting engga bokek. “ Kata saya. Awi mengangguk dan sepertinya dia memikirkan sesuatu. Saya diamkan saja.
“ Jel, ini soal yuni. Apa engga mungkin kita pensiunkan saja. Usianya udah 51“ Kata Awi.
Saya diamkan. Eh saat saya sedang melamun itu, Yuni datang ke cafe. “ darimana dia tahu, kita ada disini? Tanya saya
“Gua panggil dia” kata Awi
“ Keren ya. Kalau kita bertiga kumpul begini. Ingat tahun 2004-2006. “ Kata Yuni tersenyum duduk disamping saya.
“ Gimana pendapat lue jel. Ini orangnya udah datang. Gua perlu keputusan lue “ Kata Awi melirik ke Yuni.
Saya tatap Yuni sekilas dari samping. “ Masalahnya gua udah berusaha cari pengganti dia. Itu sejak tahun 20014. Tetapi engga ketemu. Engga mudah dapatkan pengganti Yuni. Dia itu sangat percaya sama gua. Apapun gua perintahkan dia lakukan. Dan dia mampu melakukan improvisasi di lapangan dengan lebih baik. Kemampuan belajar secara mandiri dia sangat luar biasa. Bayangin, gua disleksia. Lue hanya sekolah tamat SMP. Kita engga bisa mengelola perusahaan day by day. Yuni jago dan teliti sekali soal management. Tanpa dia, kita hanya akan tetap jadi preman jalanan.
Waktu kali pertama ketemu gua dia hanya bisa bahasa inggris dan sedikit bahasa mandarin. Kali pertama gabung, kita gaji ala kadarnya. Bisnis kita bisnis underground. Dia bisa menyesuiakan diri dan kelola bisnis di tengah resiko yang tinggi. Setelah kita punya modal sendiri. Kita masuk ke bisnis formal. Dia terima dan percaya. itu dia buktikan dengan keseriusan mengelola bisnis walau dengan fasilitas ala kadarnya.
Kini" Kata saya mengelus kepala Yuni. " berlalunya waktu. Setelah lebih 15 tahun kebersamaan kita. Dia pimpin perusahaan dengan 18 anak perusahaan. Kini dia fasih bahasa mandarin, Jepang dan Jerman, Perancis. Dia jago negosiasi dan sangat sabar menaklukan lawan. Pengetahuan financial engineering dia jauh diatas Wenny dan Risa. Semua yang gua tahu dia kuasai semua, bahkan dia lebih tahu bahasa tubuh gua dibandingkan bini gua. “ Kata saya. Yuni tersenyum dengan wajah merona. Merasa tersanjung.
“ Ya udah. Kalau gitu udah ditakdirkan kita bertiga akan terus bersama. Kita bertiga dengan latar belakang berbeda. Dengan sikap dan gaya hidup juga berbeda. Saya dan Yuni suka dengan kemewahan hidup dan menikmati itu. Tapi kamu suka dengan kesederhaan dan menikmati itu. Kita sering bertengkar yang engga penting. Kadang saling ngambek. Tapi kita saling menjaga dan setia kepada nilai nilai persahabatan. Hanya maut memisahkan kita. “ kata Awi. Saya terdiam. Yuni merebahkan kepalanya dibahu saya.
“ Lue ya Yun. Depan jeli seperti ABG. Engga keliatan dewasa. Malah keliatan oon. Manja engga hilang hilang. “ Kata Awi. Yuni senyum aja. “ Ah sudahlah. Gimana kalau kita ke Ancol. Main bowling. Udah lama kita engga main. Terakhir tahun 2007 ya.” kata Awi. Saya tersenyum dan langsung berdiri. “ Ayolah kita jalan. Main Bowling ya. Pastikan lue orang engga kalah sama gua. “ Kata saya. Kami bertiga pergi seperti dulu 15 tahun lalu. Usia kami sudah menua tapi kami akan baik baik saja.
No comments:
Post a Comment