Sarman. Dia sebenarnya mentor kehidupan bagi saya. Sebelum menikah, kalau hari libur ada waktu luang, saya berkunjung ke rumahnya. Tinggalnya di daerah Kota Bambu Tanah Abang, Jakarta. Tepatnya di pinggir kali ciliwung. Hidupnya sederhana. Sehari harinya dia berdagang di tanah Abang. Dia tamatan USU dan istri tamatan IKIP. Sebenarnya keluarga ini dari segi pendidikan adalah kelompok menengah. Dia punya dua putra masih berusia Balita. Yang tertua bernama Usman dan nomor dua, Ali.
Mengapa saya suka datang ke rumahnya? Pertama dia punya ikatan keluarga jauh dengan saya. Kedua. Saya suka berdiskusi dengan dia. Karena wawasannya luas. Di lemarinya banyak buku. Dia memang gemar membaca. Kadang saya pinjam bukunya untuk saya baca. Setelah saya kembalikan buku itu. Dia ajak saya diskusi soal buku yang sudah saya baca. Saat itu saya sedang jatuh cinta dengan paham tasauf. Dia dengan sabar mendengar argumentasi saya soal agama. Tetapi setiap dia bertanya, seakan menggiring saya untuk bertanya sendiri untuk cari tahu apakah argumentasi saya benar. Sementara dia tidak pernah salahkan saya.
Akhirnya saya kebingungan sendiri dengan pengetahuan saya tentang tasauf. Satu saat dia berikan saya buku. “ Baca buku ini.” Katanya. Itu buku tentang Ihya Ulumudian, Karya AL Ghazali. Tentu saya senang. Satu jilid dia pinjamin. Setelah baca, saya langsung suka. Akhirnya saya beli sendiri buku untuk jilid berikutnya. Sejak saya baca buku Ihya itu, diskusi jadi nyambung.
“ Kehidupan di dunia adalah kebohongan yang indah dan menggoda. Namun kematian adalah kebenaran yang menakutkan. Kita merasa pintar, sebenarnya kita dungu. Orang yang cerdas, pastilah dia beriman. Dia percaya dunia ini senda gurau saja dan lucu. Tetapi kelucuan membuat dia bijak. Jadi kalau mau tahu siapa yang Maha Lucu, ya Tuhan. Karena dia mendidik kita dengan kelucuan dan senda gurau saja. Makanya orang yang serius amat dengan dunia, wajarlah disebut dungu.” Katanya yang tak pernah saya lupa. Tertulis rapi dalam buku harian.
***
Satu saat setelah menikah. Saya mengalami kebangkrutan. Dalam kondisi terpuruk itu. IBu saya datang menemui saya di Jakarta. Ibu saya memeluk saya. Karena melihat kemiskinan saya. Tetapi saya tenang saja. “ Hidup ini hanya senda gurau saja. Engga perlu serius. Dunia engga penting.” Kata saya menyikapi hidup saya. Ibu saya berkerut kening. Saya ceritakan kepada ibu saya soal buku Ihya Ulumuddin.
“ Zeli, baca buku tafsir Al Azhar, karya Buya Hamka” Kata ibu saya dengan bijak.
“ Kenapa Mak” Tanya saya
“ Hamka itu sepupu nenek kamu. Ayah dari nenek kamu itu dengan ayah Hamka, adalah putra dari Amrullah. Nenek kamu bernama Nurbaya Amrullah. Hamka bernama lengkapnya Haji Abdul Karim Amrullah. Buyut kamu Tokoh islam moderat. Jadi bacalah buku dari Hamka. Dia kakek kamu juga.”
“ Ya mak.”
“ Hamka ditangkap oleh rezim Soekarno karena politik. Dia kehilangan ketenaran dan penghasilan sebagai penulis novel. Saat dia dipenjara, para penerbit bukunya menghentikan honor kepadanya. Dia ditangkap tanpa proses pengadilan. Nak, kamu bayangkan. Buya kehilangan penghasilan, kehilangan ketenaran dan hidup dibalik dinding penjara. Namun Buya tidak menyerah. Imannya semakin kuat.
Kitab Tafsir itu Buya tulis di dalam penjara. Setelah dia bebas dari penjara. Dia kembali aktif menulis dan berdakwah. Dia focus dengan bisnisnya bidang penerbitan dan berdakwah saja. Tak ada satupun dia menyesali sikap Soekarno menangkapnya. Dalam ceramahnya dia tidak pernah menghujat Soekarno. Bahkan buya memimpin sholat mayit untuk bung Karno. Tidak ada dendam. Itulah buah iman, anakku. Bahkan ketika dia berbeda pendapat dengan Soeharto, dia memilih mundur sebagai ketua MUI. Tidak ada dia hujat Soeharto. Tidak ada kebencian. “
Kalau kamu punya talenta berdagang itu karena kakek buyut kamu Amrullah adalah ulama yang juga pedagang hebat. Lihatlah Hamka. Walau dia ulama tetapi dia tidak cari uang lewat dakwah. Dia hidup dari bisnisnya sebagai penulis Roman dan Novel, penerbit dan pendiri Majalah Panjimas.” Kata Ibu saya yang sangat mencerahkan saya. Sejak itu saya gemar membaca kitab tafsir Hamka. Saya merasa seakan kakek menasehati saya untuk hidup berakal mati beriman. Sehingga saya paham makna tentang " hidup itu senda gurau saja." Benarlah, hanya kurang lebih setahun, saya sudah bisa bangkit lagi.
**
Sarman datang ke saya, Karena dia bangkrut. Saya terima dia bekerja di bisnis saya. Tetapi hanya berlangsung setahun, saya terpaksa berhentikan. Mengapa? Dia pahami hidup ini senda gurau dan karenanya dia tidak serius dengan pekerjaannya. Saya merasa rugi bayarnya. “ Dalam dimensi Tuhan, Hidup itu memang senda gurau, namun bukan berarti kita juga boleh bersikap sama dengan Tuhan. Kalau kita beriman kepada Tuhan, tugas kita menjalani hidup ini dengan serius.
Karena hukum ketetapan Tuhan, itu hukum kausalitas. Hukum sebab akibat. Yang lemah dimakan oleh yang kuat. Orang bodoh dimakan orang pintar. Engga kerja engga makan. Engga dapat untung kalau engga siap rugi. Engga mungkin menang kalau tidak siap kalah.” Alasan saya memecatnya. Namun secara personal, kalau dia datang ke rumah selalu saya terima dan beri uang untuk keperluan hidupnya.
Tahun 1997 putra tertua Sarman, Usman masuk Ponpes. Tahun 2002 putra keduanya, Ali, diterima kerja di Pemda. Sejak tahun 1998 saya tidak pernah ketemu lagi dengan dia. Karena kesibukan saya sebagai team asistensi pemerintah untuk economy recovery. Tahun 2004 saya hijrah bisnis ke luar negeri. Saya dapat kabar bahwa istrinya sudah meninggal karena kanker usus. Tahun 2016 saya dapat kabar dia berencana menetap di kampung, di Maninjau. Saat saya ada di Jakarta, dia datang ke rumah saya.” Sepertinya saya tidak bisa lagi bertahan tinggal di Jakarta. “ Katanya.
“ Gimana dengan anak anak” tanya saya.
“ Ali udah menikah. Hidupnya sudah stabil. Tetapi tidak pernah ingin bertemu saya. “ Katanya dengan wajah mendung. Saya bisa bayangkan. Hidup dimasa tua, miskin, terabaikan. Itu sangat menyakitkan.
“ Usman sudah tamat dari Ponpes. Hidup sebagai guru ngaji. Dia belum juga menikah. Mungkin tidak ada wanita suka dia. Karena dia miskin. “ Katanya. Saya terharu. Saya beri dia ongkos untuk pulang kampung.
***
Tahun 2021 saya pulang kampung bersama keluarga. Saya sempatkan melihatnya. Namun dapat kabar di kampung bahwa dia ada di bukit tinggi. Menurut putranya dia kena kanker getah bening.” Usman engga ada uang. Papa terpaksa Usman titipkan di rumah singgah yang dekat rumah sakit. Biar mudah lakukan terapi.”
“ Ali gimana? Sudah tahu dia kalau papanya sakit?
“ Dia sudah tahu. Hanya sekali videocon tetapi tidak ada uang dia kirim.
“ Ini uang untuk biaya berobat papa kamu” Kata saya menyerahkan uang ke Usman. Kemudian saya pandang dia lama. “Rawat papa kamu dengan baik. Selalulah ada dekatnya. Biaya hidup kamu selama merawat ayah kamu, saya tanggung.” Lanjut saya.
Setelah itu saya termenung lama. Mungkin Usman terpengaruh dengan sikap hidup papanya. Dan Ali, termasuk yang memberontak dengan sikap hidup papanya. Saya tidak tahu soal kebenaran sejati di hadapan Tuhan. Hidup memang soal pilihan. Salah benar, kepada Tuhan semua kembali.
No comments:
Post a Comment