Friday, November 12, 2021

Mencitai karena Tuhan.

 





Di sampingku nampak pria itu tertidur dalam posisi telentang. Dia memang selalu tidur begitu. Tidak pernah memeluk guling. Tak ada nampak dia terlelap dalam kelelahan.Kecuali kepasrahan. Padahal dia bekerja mungkin 18 jam sehari. Pria itu adalah suamiku. Namanya Hardi. Aku memanggilnya Bang Hardi. Kami sama sama orang Sumatera. Kalau hidup penuh rencana dan pernikahan adalah teraktualnya rencana jadi kenyataan, namun menjadi istri Bang Hardi tidak direncanakan. Terjadi begitu saja. Aku dalam posisi tidak bisa memilih dan entahlah bagi Bang Hardi. Mungkin dia beruntung mendapatkan aku istri yang cantik.

Seharusnya pria yang tidur di sisiku adalah Bang Maskur. Tetapi Bang Maskur pergi meninggalkanku setelah 6 tahun pacaran dan tentu menikamati prawanku. Apapun alasanya, aku tetap tidak bisa menyalahkan Bang Hargi.  Ternyata setelah 15 tahun aku menikah dengan Bang Hardi, dia tidak pernah menikah. Itu artinya perpisahan denganku adalah penyesalahan tak bertepi bagi Bang Maskur.


Teringat kali pertama aku bertemu, disaat aku sedang galau kehilangan Bang Maskur.  Ada sejuta tanya yang tidak pernah bisa aku jawab sendiri. Mengapa cinta suci yang dijaga bertahun tahun akhirnya kandas. Setelah Bang Maskur tamat kuliah di Jakarta, dia kembali ke kampungnya. Hanya karena orang tuaku tidak merestui hubungan kami. Mengapa begitu lemahnya bang Maskur memperjuangkan cintanya.? Padahal aku ada disampingnya untuk menghadapi segala rintangan. “ Restu orang tua, adalah ridho Tuhan. Tak elok kita mementingkan diri kita sendiri. Tanpa orang tua, kita tidak akan pernah ada. “ Demikian bang Maskur.


Bang Hardi tidak segagah Bang Maskur. Dia tidak terpelajar. Hanya tamatan SMA. Sementara Bang Maskur sarjana.  Kulit Bang Hardi gelap. Bang Maskur putih. Bibir merah. Karena Bang Maskur  tidak merokok. Beda dengan Bang Hardi yang merokok. Bang Maskur sangat pintar membuatku tertawa. Sementara Bang Hardi adalah pria pendiam. Satu satunya yang menarik dari Bang hardi adalah senyumnya. Dia mudah sekali tersenyum dalam situasi apapun. Walau dia tidak pintar agama seperti Bang Maskur namun dia pria yang taat beragama. Usia bang Hardi terpaut 1 tahun dariku. Aku lebih tua darinya.


***


Malam pertamaku dengan Bang Hardi tanpa kesan. Bahkan bukan malam yang kunantikan sebagaimana pengantin baru. Wajah masamku menyambutnya masuk kamar tidak membuat Bang Hardi tersinggung. Dia senyum saja ketika masuk kamar. Aku tidur memunggungi dirinya. Sejam dan dua jam dia tidak berusaha menyentuhku, dan akhirnya aku terlelap. Namun tengah malam, aku tahu dia terbangun. Mungkinkah dia menuntut haknya untuk menggauliku? ah tidak. Ternyata dia sholat malam. Terus dilannjutkan dengan zikir sampai datangnya sholat subuh. Aku baru bangun, setelah dia usai sholat subuh. Itu berlangsung 1 tahun, dan akhirnya aku luluh. Dia sentuh aku setelah aku membuka diri untuk disentuhnya.


Pagi pagi dia sudah di dapur dengan dibantu oleh satu orang anak buahnya. Sebetulnya itu bukan anak buahnya. Tepatnya ponakannya. Masak menu makanan untuk warung makanya di Pasar, terminal Bus. Aku hanya rebahan di ruang tamu.  “ Yan, mau teh ya. Aku buatkan.” kata Mas Hardi dengan senyum. Itu kebiasaanya setiap pagi untukku. Pergi ke pasar jam 7 pagi dan kembali pulang jam 10 malam. Waktu berlalu bersama Bang Hardi memang membosankan. Menjadi lebih terasa hidup setelah anak kami lahir satu demi satu. Anak tertuaku , Herman. Bungsu Wati. Setiap hari waktuku hanya sibuk dengan anak. 


Selama berkeluarga, memang aku tidak pernah merasakan kekurangan materi walau kami tidak pernah kaya. Tidak pernah ada kemampuan piknik keluar negeri. Tidak punya tabungan. Apalagi asuransi. Bahkan seragam sekolah anak anak, dia jahit sendiri. Satu waktu setelah Herman tamat SMU dan diterima di Universitas negeri. Aku mulai bingung. “ Bunda sudah ingatkan dari dulu. Ayah kamu miskin. Jangan bermimpi jadi Sarjana. “ Kataku. Aku ingin anakku realistis.


“ Kenapa kita harus miskin, Bunda, Sial banget nasip aku. Teman temanku orang tuanya gembira mendengar anaknya diterima di Universitas. “


“ Herman, Ayah bangga sayang. Bangga sekali kamu diterima di PTN. Ayah akan siapkan uang kuliah kamu dan ayah akan terus dukung kamu sampai tamat. “ Kata Bang Hardi. Tetap tersenyum. Tidak ada kesan sama sekali dia ragu dalam kemiskinannya.


Setelah itu dia pergi keluar rumah. Entah darimana dia dapat uang. Malam itu dia serahkan uang kepadaku.” Ini uang untuk Herman. Uang itu cukup untuk bayar kost nya dan biaya kuliahnya.” Katanya.  Belakangan aku tahu dia pinjam uang ke rentenir. Tiga bulan setelah itu, warungnya disita oleh rentenir. Bang Hardi berdagang buah di Pasar. Karena kami harus kirim uang Rp. 1 juta sebulan untuk anak kami ngekos di Malang, bang Hardi malamnya kerjanya di konveksi jahit kodian. Upahnya untuk biaya Herman. Hasil dari dagang buah untuk biaya hidup kami. 


Dua tahun kemudian, Wati tamat SMU. Diterima di UI. Dia terpaksa ngekos di DEPOK karena jauh dari rumah kami. Bang Hardi terus bekerja keras demi anak anaknya. Untung kami tidak perlu sewa rumah lagi karena sudah lunas dicicil. Suatu hari aku bertemu lagi dengan Bang Markus lewat pertemanan di Sosial Media. Ternyata dia merindukanku. Bang Markus tinggal dan bekerja di Riau sebagai PNS. Dia sudah berkeluarga. Menurutnya perkawinannya tidak bahagia. Dia tidak pernah bisa mencintai istrinya. Aku jadi tempat curhatnya. Setahun setelah pertemuan kembali itu, cinta yang dulu bersemi kini membara. 


Setelah berpisah dengan Maskur, barulah 15 tahun kemudian dia menikah. Itu bukti dia tidak pernah bisa melupakan aku. Aku percaya tentang ketidak bahagiannya. Seperti yang aku rasakan kini. Punya suami tetapi bukan yang pria yang aku cintai. Orang barat berkata, lebih baik hidup sehari dengan orang yang dicintai daripada hidup 1000 tahun dengan orang yang tidak dicintai.  Bukankah hidupnya hanya sekali. Untuk apa membuang umur dalam derita dan kepasrahan. 


Kedua anakku mendukung hubunganku dengan bang Maskur. Apalagi setelah tahu bang Maskur pejabat dan berjanji akan menceraikan istrinya. Mungkin karena mereka selalu dekat denganku dan tahu perasaanku“ Kenapa  bunda menikah dengan ayah yang miskin. Pahal bunda cantik.” kata putriku. Mereka terpengaruh suasana hatiku yang tidak mencintai ayahnya. Apalagi aku sampaikan itu ditengah kemiskinan kami. Lingkungan pergaulan anak juga mempengaruhi. Walau suamiku miskin tetapi tidak pernah membuat anak anak lapar dan tidak bisa bergaul dengan teman temannya orang mampu.


“ Bang.” kataku suatu malam. “ Ceraikan saja aku bang.” 


“ Yan, ada apa kamu. “ Kata Bang Hardi dengan wajah tidak percaya atas apa yang baru saja aku katakan. “ Apakah abang ada salah? Kalau ada salah, maafkan abang.” Lanjut bang Hardi berusaha tenang.


“ Aku tidak pernah bisa mencintai abang. Walau aku berusaha, tetapi tidak pernah bisa, bang. “Kataku terbata bata. Bang Hardi diam. Lama dia terdiam.


“Aku beri waktu kamu berpikir 1 bulan.  Untuk sementara aku jatuhkan talak 1. Kalau kamu berubah pikiran, kita rujuk lagi.” Kata Bang Hardi dengan tersenyum. Sebulan kemudia, aku tetap tidak berubah pikiran. Akhirnya kami proses perceraian itu di pengadilan. Di pengadian, Mas Hardi tetap tenang. Dia tidak satu kalipun menyalahkan ku sebagai istri yang tidak pernah menghormatinya. Tidak pernah membuatkan kopi untuknya. Yang sering menolak  berhubungan di tempat tidur. 


Usai sidang di pengadilan agama, aku dijemput dengan kendaraan oleh Bang Maskur. “ Yan, kamu tidak berhutang apapun kepadaku. Aku menikah karena Tuhan, dan apa yang kulakukan seama ini juga karena Tuhan. Justru maafkan aku bila tidak bisa memmbahagiakan kamu. Apa boleh kita tetap bersahabat setelah ini. Sebagai sahabat, aku akan selalu ada untuk kamu bersandar dan tubuhku akan selalu ada untuk kamu berlindung.  Boleh ya”  Kata Bang Hardi. Tetapi aku diam saja seraya memagut lengan Bang Maskur dan  terus melangkah kearah kendaraan.  Dari jauh aku lihat Bang Hardi jalan kaki keluar dari Gedung Pengadilan. 


Entah sadar atau tidak. Dia tersenyum menatap kearah kendaraanku. Pria yang 21 tahun bersamaku. Walau tidak romantis, tetapi dia tidak pernah membentakku. Dia memang tidak kaya. Tapi dia senantiasa bekerja keras untuk mendapatkan rezeki halal, demi tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah bagi anak anaknya. Bang Hardi tidak salah. Yang salah aku gagal mencintainya.


***


Ternyata Bang Maskur tidak pernah mampu menceraikan istrinya. Aku disewakan rumah di Riau. Hanya setahun dia bertanggung jawab mengirimi uang belanja dan biaya pendidikan anak anaku. “ Aku sedang diperiksa oleh Kejaksaan soal kasus Bansos. Mungkin sebentar lagi kasusku akan sampai ke KPK. Maafkan aku, Yan.” Kata Bang Maskur. Saat itu aku benar benar bingung. Seumur hidupku tidak pernah bisa mandiri. Bagaimana aku menghidupi anak anakku. Aku kembali ke rumah orang tua. Papa sudah lama meninggal. Tinggal ibu yang hidup dari pensiunan guru. Tabungan pemberian dari bang Markus, akhirnya habis. Herman akhirnya berhenti kuliah. Ternyata pemberian uang oleh bang Markus  selama ini membuat dia salah gaul. Wati juga.


Bang Hardi dengar kabar Herman punya masalah melarikan anak perempuan orang.  Dia datang ke Malang. Dia selesaikan dengan  menikahkan mereka. Mereka semua tinggal bersama bang Hardi. Wati hilang tanpa ada berita. Tiga bulan kemudian, bang Hardi kabarkan kepadaku bahwa Wati sudah pulang.  Namun dalam keadaan hamil tampa suami. Aku bisa bayangkan betapa berat beban dihadapi Bang Hardi.“ Mereka baik baik saja. Yan sehat?.” Katanya kalau aku bertanya soal anak anak. Sangat sederhana sikapnya. Tidak ada keluhan dan tidak pernah dendam.


***

Lima tahu setelah aku bercerai dengan Bang Maskur, aku sakit keras terbujur di Rumah sakit. Saat itu Bang Hardi datang bersama anak anakku. Tadinya anak anakku tidak mau lagi bertemuku. Karena ketika mereka ada masalah, yang datang bukannya aku, tetapi Mas Hardi. Mereka melewati masa masa sulit itu bersama ayahnya,  sementara aku menjauh. Tetapi lambat laun bang Hardi bisa melunakan hati mereka. Aku tahu, Herman sudah bekerja. Dari perkawinanya aku dapat cucu satu. Wati jugah sudah menikah. Pacarnya kembali ke-dia. Suaminya putra orang kaya dan bekerja sebagai direktur di perusahaan keluarganya.  Setelah sembuh, aku diboyong wati ke rumahnya. 


Tiga bulan setelah aku keluar dari Rumah Sakit. Anak anak memintaku agar kembai ke ayahnya. Aku setuju untuk menikah kembali. Ya Bang Hardi memang bukan yang pertama dihatiku, tetapi dia memberikan cinta terbaik untuku. Kini bang Hardi bukan hanya suamiku, tetapi ia juga adalah sahabatku. Dia akan selalu ada di sisi ku dan menua bersama. Terimakasih Bang Hardi.

10 comments:

Yurzinal said...

πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Yurzinal said...

πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Unknown said...

Kisah sedih. Memgharukan.

Uke Kusumah Diwirya said...

"Mencintai karna Tuhan"
Itu mungkin yg di sebut "Cinta bukan berarti harus memilik"

Trims Babo
Sangat menggugah sekali ��

Frank Limas said...

Sungguh kisah yang luar biasa. Sebuah kesabaran yang luar biasa dari seorang Hardi. Terima kasih sudah berbagi cerita pak.

Frank Limas said...

Sebuah cerita kehidupan yang luar biasa, sebuah kesabaran dari seorang Hardi. Terima kasih sudah berbagi cerita pak.

frank.lim21@gmail.com said...

Sebuah cerita kehidupan yang luar biasa, sebuah kesabaran dari seorang Hardi. Terima kasih sudah berbagi cerita pak.

Frank Limas said...

Sebuah cerita kehidupan yang luar biasa, sebuah kesabaran dari seorang Hardi. Terima kasih sudah berbagi cerita pak.

Nina nina wardh said...

Masih ada gak stock cowok model Hardi? Sekarang ini🀣

Relanto said...

Terimakasih....

Jalan menemukan rizki...

  “ Ale, bosoboklah kita” kata Mardi lewat SMS kemarin. Walau kami jarang sekali bertemu. Mungkin setahun belum tentu ketemu. Kami saling ma...