Esther pensiun tahun 2020 sebagai banker di Hong Kong. Usia pensiun dia menetap di Bali. Rumah dan tanah itu sudah aku persiapkan 10 tahun lalu. Setiap tahun dia liburan ke Bali. Januari tahun 2023 aku sempatkan berkunjung ke rumahnya di Bali. Aku terkejut. Rumah itu sudah sangat berbeda dari 10 tahun lalu saat aku perintahkan Awi beli. “ Maafkan aku. Ale. Aku rombak rumah ini tanpa minta persetujuan kamu.” Katanya dengan suara lambat. Dia menunduk. Dia tahu aku sedikit trampramental soal respect.
Aku keliling ke setiap sudut rumah. Tadinya Rumah itu ukuran 300 meter diatas lahan 3000 meter. Kemudian dia rumbuhkan. Dia ganti dengan rumah ukuran 78 meter namun menyatu dengan design rumah taman. Rumah ukuran 78 meter itu hanya ada ruang tamu, kitchen set dan kamar tidurnya. Sama seperti apartementnya di Hong Kong. Namun bedanya, semua ruangan itu menghadap ke taman yang asri dengan pembatas dinding lebar yang transfarant dari resin tahan api. Di kamanya ada photo kami berdua saat di Bali tahun 1996. Photo itu terbingkai dengan indah di dinding kamarnya. Di sebelah rumah itu ada gerasi yang di belakangnya menyatu dengan dua kamar ART.
Di lahan yang luas berpagar pohon bambu itu, dia bangun tiga bungalow yang dihubungkan dengan jalan terowongan bunga rambat. Satu bungalow ukuran 150 meter. Untuk tempat hobi Esther melukis dan menulis, lengkap dengan perpustakaanya. Satu lagi bungalow ukuran 200 meter persegi untuk kamar tamu. Ada 3 kamar tamu. Walau terkesan sederhana dari luar. Namun interior kamar seperti hotel bintang 5. Satu lagi bungalow khusus untuk nge Gym dan latihan Yoga. Ukuran 72 meter.
“ Engga apa apa Ka.” Kataku tersenyum. “ Apapun yang menurut kamu baik dan nyaman. Lakukan. Tak perlu minta pendapatku. “ Lanjutku memeluknya untuk menentramkan hatinya.
“ Kapan kamu pulang? tanyanya dengan nada kawatir.
“ Sore ini aku ke Medan. Izinku dari istri mau tinjau Kebun Sawit di Sumut. “ Kataku sambil lalu berjalan lewat trowongan bunga rambat ke rumah utama. Esher terdiam berjalan di sampingku. Sampai ruang tamu. “Ale baca ini..” Katanya menyerahkan buku kusam dengan air mata berlinang. Ada apa ini? mau drama lagi. Ah sudah nenek dan saya kakek kakek kok masih main drama. Apa engga capek. Kataku dalam hati. Aku baca juga buku kumal itu.
Akhir Oktober 1965, Mas Bram, dicari-cari tentara. Katanya Mas Bram aktivis PKI. Mas Bram orang german dan aku gadis Solo. Tidak mungkin terlibat G30S PKI. Sehari hari Mas Bram tidak pernah jauh dari tugasnya sebagai watawan. Belum seminggu mas Bram tidak pulang. Tentara datang menangkapku di rumah. Aku diseret tentara. Anak perempuan balitaku berusia tiga tahun menangis. Tentara itu tidak peduli. AKu tidak tahu bagaimana nasip dengan anak balitaku tanpa aku disisinya..
Bagaikan pelacur gudikan tak tahu malu dan tak laku, bokongku ditendang sepatu lars, dan aku dijorokkan bagai sampah ke dalam kamp konsentrasi—pusat penahanan yang tiba-tiba menjamur di kotaku menyusul peristiwa berdarah di Jakarta. Mereka interogasiku dengan membentak, di mana suamiku, aku menjawab tak tahu.
“ Kamu guru, mengapa berbohong?! Dasar lonte.! pekik tentara memaksa. ”Saya memang tak tahu, Pak. Kami bukan suami istri, mengapa saya harus berbohong,” jawabku, membuat berahi si tentara terbakar. Kejujuran yang dititahkan kepada setiap guru yang baik, selalu menjadi pelita hatinya. Tetapi, di depan interogator yang haus darah, juga nyawa, pengakuan apa adanya hanya memancing bencana. Dia disiksa, diperkosa, untuk memperoleh pengakuan yang, demi Tuhan, memang mustahil.
Suatu hari, seorang perwira muda mendatangiku. Untuk seseorang yang baru disiksa habis-habisan, sikap perwira itu luar biasa. Dibelainya rambutku. ”Kau bukan PKI. Kau aku bebaskan. Ikut aku,” katanya. Dia dinaikkan ke jeep, dan diturunkan di sebuah rumah di luar kota. ”Bantulah aku, cuma berdua kita di sini,” rayu sang perwira. Aku mencuci pakaian kotor yang dibiarkan perwira itu berantakan di bawah tempat tidur. Aku juga menanak makanan untuk dia. Ya aku dimanfaatkan sebagai budak.
Ketika luka siksaan yang aku tanggungkan berangsur sembuh, sang perwira merapat, merayu, dan menggiringku ke dalam kamar, mencumbuiku habis-habisan, hingga perwira jelmaan musang berbulu ayam itu, terkulai di puncaknya. Hari-hari aku dilalui tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam aku lewati tak lebih dari sekadar segumpal daging simpanan. Akhirnya satu waktu permira muda itu mengabarkan dia ditugaskan ke kalimantan. Dia tidak peduli dengan nasipku. Yang pasti aku diusir dari rumahnya dan janjinya akan mempertemukan aku dengan balitaku. tidak dia penuhi. Hanya janji kosong.
Aku hijrah ke Yogya. Aku bekerja sebagai pelayan di rumah batik. Sebelum berangkat kerja, aku mencari penghasilan tambahan, berjualan kue di sekolah. Malamnya, barang satu-dua jam, aku sempatkan berdagang bandrek di pangkalan becak. Ketika merasa sudah cukup modal untuk hijrah ke Jakarta, aku bulatkan tekad berhenti kerja. Itu karena aku dapat kabar dari Mbak Yu Lik, katanya Balitaku di bawa ke jakarta oleh perwira tentara. Mbak Yu Lik sebut nama perwira itu.
Aku terhenti membaca buku harian itu. Aku lirik Esther terus menangis. Dia tidak meratap tapi air mata terus jatuh. Aku usap air matanya. Esther ambil buku harian itu. Dia membalik balik halaman dan minta aku membaca halaman yang dimaksud. AKu mulai baca…
Hanya sebulan di Jakarta. Aku bisa mendatangi rumah perwira itu. Tapi hanya bisa melihat dari kejauhan. Penjaga rumah membentakku untuk menjauh dari pagar rumah. Walau tak pernah ada kesempatan bertemu dengan balitaku, tetapi tidak menghilangkan tekadku untuk menemunya. Setelah 10 tahun berlalu, tak terhitung kalinya aku datang ke rumah perwira itu, dan tak pernah ada kesempatan mendekati pagar, akhirnya perwira itu itu pindah entah kemana. Belakangan dari koran sore aku tahu perwira itu ditugaskan sebagai Dubes di Eropa. Tentu balitaku dibawanya.
Tahun 1979 Mbak Yu Lik dan suaminya yang juga perwira dan punya hubungan dengan kerabat keraton Solo, bermurah hati untuk mengantarku ke rumah balitaku. Aku memang berjanji tidak akan mengenalkan diriku sebagai ibu dari putriku, dan tidak akan bercerita tentang masa laluku. Aku tidak akan merebut putriku dari keluarga perwira itu. Akhirnya aku bisa bertemu dengan putriku. Dia tidak lagi balita. Telah tumbuh nenjadi remaja yang cantik. Benar benar cantik. Wajah indonya sangat kontras dibandingkan dengan wajah perwira dan istrinya. Aku senang dan bahagia. Walau revolusi memisahkan aku dan putriku, tetapi revolusi juga yang merawat putriku… Biarlah aku saja yang menelan semua derita. Jangan putriku…
“ Sekarang dimana mama kamu, Ka ? ” Tanyaku kepada Esther.
“ Kamu tahu, Kata Esther mengusap air matanya. “ tahun 93 setelah ayahku meninggal, Aku baru tahu bahwa aku anak angkat. Ternyata selama ini aku orang asing diatara keluarga besarku. Aku tanyakan ke ibuku. Dimana mamaku? Akhirnya mengantarkan aku bertemu Bude Lik di Semarang. Mereka ceritakan. Mamaku meninggal karena TBC. Itu setahun setelah mamaku bertemu denganku di Jakarta. Bude Lik hanya memberikan buku hari ini sebagai warisan dari mamaku." ”
“ Terus papa kamu ? dimana sekarang ? tanyaku.
“ Tahun 2000 aku dapat alamat tempat tinggal papaku. Dia tinggal di Berlin. Sudah jadi warga negara Jerman. Aku temui dia. Tetapi dia tidak begitu terkesan ketika tahu aku putrinya. Alasannya dia tidak pernah menikah resmi dengan mamaku. Dan lagi dia sudah punya keluarga sendiri. “ Kata Esther dengan raut wajah sedih.
“ Terus Bude Lik itu apa hubungannya dengan mama kamu?
“ Oh dia teman kuliah mamaku waktu di UGM. Mereka bersahabat sejak remaja. Menurut cerita Bude lik, papaku kenalan dengan mamaku saat mama jadi aktifis GMNI. Saat itu papaku seorang jurnalis asing yang ditugaskan di Yogya.” Kata esther.
Aku termenung. Selama ini Esther memang merahasiakan keadaan keluarganya dan akupun tidak mau tanya lebih jauh. Padahal kami bersahabat sejak tahun 1992.
“Ale, seru Esther. ” Kamu tahu kan. Tahun 1996, aku hijrah ke Hong Kong. Aku tahu kamu berusaha menahanku. Tapi aku tetap bersikeras pergi dengan alasan mau kembangkan karir. Sebenanya alasanku karena aku benci Soeharto. Dia yang membuat mamaku menderita dan terhina. Sementara karena G30S PKI, Soeharto jadi pahlawan dan dengan mudah melenggang ke istana negara. Padahal korban kemanusiaan akibat itu sangat besar dan tak bisa terungkapkan secara jujur sempai sekarang.
Belakangan aku bisa mengerti. Soeharto harus lakukan apa saja untuk menjaga konstitusi. Karena PKI dianggap mengancam konstitusi UUD 45. Sama halnya dulu ketika Soekarno memerintahkan tentara untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, menggayang DII/TII Kartosuwiryo, itu semua demi tegaknya Konstitusi. Mengapa? karena dibalik konstitusi itu ada falsafah agung yang menjadi pilar tegaknya negara ini. Yaitu Pancasila. Kalaupun ada perubahan konsitusi tahun 2001-2003, tetap saja dasarnya adalah Pancasila. Dan kita mendirikan lembaga MK sebagai ujud kuatan civil society dalam mengawal Konstitusi.
Sejarah paska kemerdekaan kita memang tidak sepi dari pergolakan antar anak bangsa. Dan kita tetap utuh sebagai bangsa tanpa tercerai berai seperti Union of Soviet Socialist Republics. Itu karena kita terutama kaum terpelajar sangat menghormati konstitusi. Martabat kita di mata dunia karena rasa hormat kita terhadap konstitusi. Setiap generasi telah membayarnya. Termasuk ibuku dan kini aku dan juga generasi setelah kita. itulah yang terus kita jaga dari generasi ke ke geransi dengan kelelahan, derita dan airmata.” Kata Esther dengan bijak. Sore aku terbang ke Medan.
Bulan November 2023
Aku bertemu kembali dengan Esther di Jakarta. Dia mampir semalam di Jakarta untuk keesokannya lanjutkan ke Shanghai. Memang sejak pensiun sebagai banker, dia jadi dosen terbang di Shanghai dan London. Dia berlinang air mata saat makan malam denganku “ Ada apa Ka” tanyaku
“ Tak terbilang korban untuk mempertahankan dan menghormati konstitusi. Kakeku meninggal pada agresi pertama Belanda. Dia gugur saat merebut Yogya kembali. Ibuku dibesarkan oleh pamannya Karena nenekku meningal saat ibuku usia 10 tahun. Belakangan paman ibuku juga gugur saat merebut Iran Barat. Ibuku tinggal di asrama pastor sampai dia bisa mandiri. Tapi dengar kemarin ketua MK terbukti melakukan pelanggaran etik berat, rasanya pengorbanan selama ini jadi sia sia. Ternyata musuh bangsa ini bukan idiologi dari luar seperti Islam atau komunis, tetapi sebenarnya musuh kita adalah diri kita sendiri. Ya mental anak bangsa sendiri yang rakus dan tak tahu diri di hadapan ibu pertiwi. Sejak kita merdeka, Ibu pertiwi tak henti berlinang airmata karena setiap ada konflik selalu pada akhirnya yang jadi korban anak bangsa sendiri..” kata Esther..Aku tertegun dan memeluknya.
“ Jangan telalu melankolis, Ka. Setiap generasi punya cara sendiri meyelesaikan masalahnya. Kamu dan saya pernah merasakan itu. Walau kita belum bisa memberikan sumbangsih kepada negara namun kita patuh kepada konsittus dan berusaha tidak ikut merusak negeri ini, bahkan tidak ingin membebani negara. Secara personal kita kuat dan bisa melewatinya dengan rendah hati tanpa berkeluh kesah… “ kataku menghibur Esther. Kami berdua saling hening seraya menatap keluar jendela hotel binta V di kawasan Sudirman. " Terimakasih Ale. sudah menjagaku selalu.." Esther tersenyum. Saya remas jemarinya.
5 comments:
Jadi ikut sedih saya
Cerita bagus Babo
Tahun 65 aku masih balita tapi bisa merasakan suasana mencekam, karena beberapa saudara dan tetangga menjadi korban keganasan regim orba.
Menyedihkan....
begitu banyak korban , baik kalangan intelektual atau yang cuman dijadikan kambing hitam..
semoga tidak terulang.
Post a Comment