Friday, May 01, 2020

Nuri...





Tahun 1999
Di jalan Mh Thamrin , tepatnya di gedung Sarinah. Ketika itu jam 2 dini hari. Saya baru saja usai mengajak tamu asing makan di restoran Mc Donald. Ketika akan sampai dipelataran parkir nampak di luar pagar ada gadis kecil ( mungkin usianya tak lebih 9 tahun ) sedang ditarik tangannya secara paksa oleh pria perkasa. Saya tertegun melihat pemandangan ini. Karena gadis kecil itu dua kali terjatuh ketika berusaha melepaskan diri dari pagutan pria perkasa. Di belakangnya ada seorang wanita dewasa memandangi keadaan itu dengan tatapan kosong. Tak banyak orang yang melihat peristiwa itu. Tamu saya langsung beraksi untuk memberikan pertolongan kepada wanita itu. Sayapun secara replek membantu.

“ Ada apa ini ?“ Kata saya

“ Lo jangan ikut campur !! “ teriak pria berorot itu dengan muka garang. Sementara gadis kecil itu terus berontak tapi tidak ada air mata kecuali matanya memancarkan rasa takut teramat sangat. Naluri kemanusiaan saya bangkit “ Anda tidak lepaskan, anda harus berhadapan dengan kami “ kata saya sambil memandang tamu saya. Karena tamu saya bertubuh besar, membuat sedikit nyali pria itu mengendur. Kesempatan ini saya gunakan untuk menarik gadis kecil itu. Pria itu langsung berjalan menjauhi kami dengan tatapan penuh amarah .

Gadis kecil itu menatap saya dengan tatapan kosong penuh takut sambil melirik kearah pria itu berlalu dari hadapannya.

“ Terimakasih Pak..” Kata wanita dewasa yang segera menarik gadis kecil itu dari saya “ Itu tadi preman jalanan. Dia memang sering datang kemari untuk meminta uang kepada kami yang mangkal di sini. Minggu lalu saya tak bisa kasih uang tapi anak saya dibawanya pergi. Saya tidak tahu apa yang dilakukan pria itu tapi setelah itu anak saya sangat tekut bila bertemu pria itu”

“ Ini anak Ibu ?“

“ ya pak..

“ Dimana suami ibu ?

“ Di senen pak.. “

Setelah berpikir sejenak akhirnya saya memutuskan untuk mengantarnya kepada suaminya “ Tidak usah pak. Kami tidak punya rumah. Saya dan suami saya tidak tentu dimana harus tidur. Kami hidup di jalanan. Saya pemulung dan anak saya mengamen, juga suami saya pemulung “

Saya terhenyak. Di depan saya ada dua orang wanita. Lemah dan teramat lemah. Anaknya adalah generasi masa depan bangsa dan orang tuanya adalah generasi yang gagal dimanusiakan oleh negara. Akankah kelak , nasip anaknya akan sama dengan orang tuannya. Tak banyak yang dapat saya katakan untuk membantunya kecuali berdoa dan memberi sedikit uang untuk dia bertahan, entah sampai kapan.

Ketika saya keluar dari pelataran parkir, saya melihat gadis kecil itu kembali dalam keadaan yang sama. Berusaha melepaskan diri dari cengkaraman wanita dewasa itu. Tapi kini dia meraung. Sayapun mengarahkan kendaraan kearah mereka. Ketika saya turun, wanita dewasa itu berlari meninggalkan gadis kecil itu sendirian. Nampak gadis kecil itu terduduk di jalan setengah membungkuk. Betapa terkejutnya saya , tangan gadis kecil itu berdarah. Segera saya gendong gadis kcil itu ke dalam kendaraan untuk membawanya kerumah sakit. Didalam kendaraan gadis kecil itu badannya menggigil dikecam rasa takut. Matanya meredup dan tubuhnya menyender kejok kendaraan. Tamu saya menatap dengan air mata berlinang..

‘ Kenapa kamu tidak mau ikut dengan ibumu ? tanya saya dengan lembut kepada gadis kecil ini.

“ Dia bukan ibu saya..bukan…” Katanya lirih. Saya terhentak. Bagaimana mungkin seorang ibu yang dapat berkata begitu manisnya untuk dipercaya sebagai pelindung tapi ternyata tak lebih rubah yang juga pemangsa manusia yang lemah. Tak ada bedanya pria dewasa yang berbadan kokoh tadi.
“ jadi ..ibu kamu dimana , nak “
‘ Saya tidak tahu…”

Kembali saya terhenyak. Anak seusia ini harus menanggung kerasnya kehidupan disebuah negeri yang akrab dengan musim semi, yang di kelilingi oleh kekayaan alam melimpah, yang berbudaya dalam didikan agama samawi. Akankah anak ini mengerti semua apa yang ada disekelilingnya. Akankah …bila setiap hari keamanannya terancam oleh wajah wajah bertopeng malaikat namun berhati iblis. Kemana dia harus berlindung dan siapakah yang harus bertanggung jawab dengan ini semua. Ada lebih 300.000 anak jalan seperti ini di Jakarta. Nasipnya mereka tak jauh beda. Terancam dan terexplotaisi oleh orang orang dewasa yang perkasa…

Sepulang dari Rumah sakit, anak ini baru kami ketahui nama lengkapnya adalah NURI. Tiga hari di opname anak ini sehat kembali. Tamu saya berkebangsaan Amerika berbulat hati untuk mengadobsi anak ini.

Tahun 2009
Di Bandara , di terminal kedatangan saya lihat dari kejauhan nampak Tom berjalan kearah saya. Di sampingnya nampak istrinya dengan dua orang gadis belia. Dua duanya adalah wanita. Namun satu berkulit coklat dan satunya lagi berkulit putih. Yang berkulit coklat berlari kencang kearah saya “ I miss you so much..uncle..” sambil memeluk saya erat . Nampak Tom tersenyum dan istrinya menatap haru. Memang sejak Nuri tinggal bersama Jhon, kami sering video call lewat skype.  Nuri selalu ikut dalam video call tersebut.

“ Nur , diterima di Universitas . Dia cerdas sekali. Selalu rangking terbaik di sekolah.” Kata Jhon.
“ Ketika kami menanyakan hadiah apa yang dia inginkan atas diterimanya di Universitas, maka dia memilih untuk mengunjugin Jakarta. “ Kata istri Jhon.
“ Kamu cinta Indonesia, sayang “ tanyaku sambil tersenyum
“ Ya Om” Nur berkata dengan mata memerah seakan menahan tangis. Dia mungkin merindukan teman temannya yang entah bagaimana nasip mereka. 

***
Mengingat Nur mengingatkan saya kepada anak anak terlantar di jalanan yang kini menurut data 2019, masih ada 12.000 anak terlantar yang tinggal di jalanan. Mereka korban dari orang tua yang gagal. Tetapi jauh lebih gagal negara dalam menjaga mereka. Mengapa Negara lebih pedui kepada anak Ex ISIS yang dididik untuk menjadi monster, sementara anak jalanan tidak terpikirkan seperti negara memikirkan anak anak ex kombatan ISIS. Ketika cinta by conditional, maka politik pun menampilkan drama kepedulian kepada anak, dan itu anak Ex Kombatan ISIS. Sikap hipokrit politik memang menyedihkan.


Thursday, April 30, 2020

Selamat tinggal Ben,...





Sore itu ada pria berdiri depan pagar rumahku. Tadinya aku pikir petugas pos. Ternyata bukan. Wajahnya membuat aku terkejut. Betapa tidak? Dia adalah pria dari masa laluku. Tapi mengapa dia tampak kumuh dan kurus? 


“ Mira, aku mohon maaf. Entah kemana lagi aku akan pergi. Aku butuh uang untuk anakku yang sedang sakit keras. “ katanya ketika ada di depanku. Aku terenyuh dan sedih. Dia dulu yang kubanggakan. Kini nampak lemah dan kalah. 


“ Berapa kamu perlu uang, Ben?


“ Rp. 2 juta saja. Maaf, kalau itu memberatkanmu.” Katanya. Aku masuk kamar dan segera menyerahkan uang itu. Dia terpana dengan uluran tanganku. “ Terimakasih, Mira. Maaf. Aku tidak bisa lama lama. Harus segera pulang” Katanya berlalu. " Di luar aku lirik ada wanita kumuh berdiri agak jauh dari depan pagar rumahku. Mungkin itu istri Beni.


***

Dulu, ketika aku masih remaja. Saat senyumku masih seranum mangga muda. Dengan rambut tergerai hingga di atas dada. Ketika aku yakin tak mungkin bahagia tanpa Beni. Ah, aku jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara rasa gemetar dan malu-malu. “ Bagiku, kamu adalah cinta pertamaku. Bagimu aku cinta pertamamu. Tetapi ketika menikah nanti, kita akan menjadi produk masa depan. Yang lalu hanya tinggal catatan. “ kataku


“ Maukah kamu berdamai dengan kenyataan, bahwa proses masa depan itu belum tentu seperti kamu mau. Karena kita tidak hidup dalam dimensi pikiran kita, tetapi dalam dimensi pikiran Tuhan. Memahami itu,  kita dipaksa bersabar akan sebuah proses yang terus berlanjut sepanjang usia. “ Ben menimpali.


“ Bukankah Tuhan berkata, sabarlah dan sholatlah? Sabar lebih dulu dipahami sebelum kita diharuskan melaksanakan Sholat”  Kayak


” Ya sabar itu semudah mengucapkan, namun tidak banyak orang menyadari bahwa sabar itu adalah kepatuhan akan sebuah proses sunatullah. Kadang orang percaya kepada Tuhan, tapi tidak percaya kepada hukum ketetapan Allah. Naif sekali ya Mir.”


“ Kadang sunatullah, itu menghadapkan orang dengan dilema. Baik menurut akal tetapi tidak sesuai dengan kehendak hati. Sesuai dengan kehendak hati, tetapi tidak sesuai menurut akal.” Aku tersenyum, karena aku sendiri tidak akan pernah bisa memahami kalau dilema itu terjadi.


“ Dan karena itu, manusia harus memilih. “ Kata Ben cepat.


Aku mengangguk. “ Dan tidak ada satupun pilihan yang sempurna.“ 


“ Aku selalu membayangkan, apapun pilihan, kamu akan tetap yang utama” Kata Ben. Ben tersenyum, kemudian menciumku pelan. 


”Tapi bukankah kamu mengatakan kita hidup dalam dimensi pikiran Tuhan, bukan pikiran kita .” Kataku


”Hahaha,” Ben tertawa renyah. ”Benar, tetapi Tuhan maha pengasih lagi penyayang, dimensi pikiranNya akan sama seperti dimensi pikiran kita” 


”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila pikiran kamu tidak seperti pikiran Tuhan?


”Aku akan protes kepada Tuhan.” Kata Ben. Aku tertawa.


”Aku akan protes kepada Tuhan….” aku masih ingat keluguan Ben. Aku selalu membayangkan itu. Karena keluguan itu aku larut dalam cinta buta. Membiarkan Ben melucuti pakaianku. Meniduriku. Hari itu aku serahkan harapan dan kegadisanku. Keesokanya Ben pergi ke kota lain untuk melanjutkan pendidikannya. Aku tetap di kotaku melanjutkan ke universitas. Aku akan menanti Ben 


***

Budi tadinya tukang kebun di rumahku. Dia hanya tamatan SMP. Ayahku memberi kesempatan Budi sekolah sampai tamat SMA. Setelah tamat SMA, Budi bekerja membantu ayah di pabrik Bata. Tidak ada yang istimewa tentang Budi. Wajahnya keras. Pendiam. Taat beragama. Terkesan pemalu terhadap wanita. Ketika ayah meninggal, Ibuku percayakan pabrik itu kepada Budi untuk kelola. Aku sebagai anak tunggal sangat diharapkan ibu bisa secepatnya tamat kuliah dan menikah untuk melanjutkan usaha keluarga warisan Ayah.  Benarlah. Aku tamat kuliah.  Terlibat langsung di pabrik Bata. Budi jadi asisten pribadiku. Ben kembali ke kotaku. Dia sudah sarjana. Aku berharap Ben melamarku. 


”Aku memilih menikah dengannya, karena aku tahu, hidup akan menjadi lebih mudah dan gampang ketimbang aku menikah denganmu.” Kata Ben setelah dia puas mencumbuiku.


“ Siapa wanita yang telah membuatmu berani menikahinya ? Kataku.


”Itu tak penting kamu ketahui.  Jangan hubungi aku! Karena ini  sebenarnya, bukan pernikahanku tetapi perkawinan diatara keluarga yang ingin mengembangkan usahnya semakin besar. Tepatnya pernikahan kapitalis.” kata Ben dan berlalu. 


Aku tidak menyesali yang sudah terjadi. Itu pasti terjadi. Ben telah menentukan pilihan. Barangkali, segalanya akan menjadi mudah bila saat itu diakhiri dengan pertengkaran seperti kisah dalam sinetron murahan. Misal: dia menamparku sebelum pergi. Memaki-maki, ”Kamu memang hina, Selingkuh dibelakangku i!” Atau kata-kata sejenis yang penuh kemarahan. Bukan sebuah cumbuan yang tak mungkin aku lupakan.  Ben pergi dan tak kembali lagi.


***

IBu tahu aku hamil. IBu tahu itu perbuatan Ben. Ibu tahu betapa sakit hatiku ditinggal pergi oleh Ben untuk menikah dengan wanita lain. “ Ibu sudah bicara dengan Budi. Dia mau menikahi kamu. Dia akan jaga rahasia keluarga kita.  Engga perlu ragu.  Dia sudah ibu anggap seperti anak sendiri. “ Kata ibu dengan hati hati. Aku tersetak. 


“ Mengapa pentingnya nama baik keluarga. Ini perbuatanku. Aku dengan diriku. Risikoku. Apa peduli dengan orang lain. Mengapa demi nama baik keluarga, aib yang harus ditutupi, aku harus menikah dengan pria yang tak pernah aku cintai. “ Itu kata kata yang hendak aku pakai berargumen menolak usulan ibu menikah dungan Budi. Tapi kata kata itu tertahan di tenggorokan saja. Aku tidak bisa membiarkan ibu menderita karena kebodohanku. Aku terima usulanku. 


Pada pesta perkawinan yang megah, orang tersenyum bahagia.  Tapi tidak bagiku. Budi terlalu mudah mendapatkanku. Walau Ben brengsek tapi dia berjuang panjang selama 3 tahun menaklukanku.  Walau Ben pergi tapi aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Dia pria yang merenggut kegadisanku. Kalau Ben tahu, bahwa pada akhirnya aku menikah dengan Budi, itu tidak akan menyakitkan bagi Ben. Dia tahu siapa Budi. Aku dapat tong sampah.


”Aku hanya pria miskin. Kalaulah tampa kebaikan hati ayah kamu, tidak mungkin aku bisa tamat SMA dan akhirnya dipercaya megelola pabrik Bata” Kata Budi pada malam pertama kami.” Kalau memang aku tidak pantas jadi suamimu. Tak apa. Aku sabar sampai kau menemukan pria lain. Setelah itu aku siap menceraikan kamu untuk pilihanmu menikah dengan pria pilihanmu.” Lanjut Budi. 


”Baik.  Yang harus kamu ingat. aku tak akan pernah mencintaimu. Jadi jangan berusaha untuk membuat aku jatuh cinta. Walau kita sudah status suami istri.”  kataku.


”Baik Mira. Aku akan ingat itu.” Kata Budi. Malam pertama dan kedua tidak terjadi apapun. Memang tidak ada dorongan untuk bersetubuh. Satu saat aku terjatuh di tangga kantor. Kandunganku keguguran. Selama di rumah sakit, Budi dengan telaten merawatku. Tak pernah dia tinggalkan aku barang sedetikpun selama dalam perawatan. 


*** 

2 tahun berumah tangga dengan Budi berjalan hambar. Dia seperti pegawai kusaja. Aku tidak pernah bisa mencintainya. Beni datang lagi menemuiku. Dia dalam keadaan terpuruk akibat perceraiannya. 


“ Kesalahanku membuang berlian ditangan untuk dapatkan emas berkarat. Ternyata setelah itu aku dibuang seperti sampah.” Kata Beni dengan wajah sedih. “ Kalau istriku minta cerai aku bisa maklum. Karena aku tidak pernah bisa melupakanmu. “ Lanjutnya.  Yang membuat aku terpesona dan tersanjung. Budi tidak bisa menolak ketika aku utarakan niatku untuk bercerai dan menikah dengan Beni. Ibuku juga tidak bisa berbuat banyak. Setelah bercerai,  Budi keluar dari perusahaan Dia pergi merantau ke kota. Aku tidak tahu bagaimana nasipnya. Apa urusanku.?


Tidak lebih 2 tahun. Pabrik bataku mengalami masalah besar. Utang semakin besar. Produksi menurun. Banyak pesanan gagal delivery. AKu baru sadar, selama ini aku percaya saja kalau disuruh teken untuk hutang Bank. Beni terjebak dengan kebiasaan judi. Di tengah prahara itu Beni pergi dari rumah. Aku harus menyelesaikan sendiri masalahku. Rumah dan pabrik disita. Lewat tiga bulan Beni tidak datang ke rumah. Hanya surat cerai untukku.  Aku jatuh miskin dan menjada. Ibu sudah sering sakit sakitan.  Kami tinggal di rumah kontrakan ukuran 21 meter. 


Saat itulah Budi datang menemuiku. Dia menawarkan agar ibu dan aku ikut bersamanya tinggal di kota lain. Itu semua dia lakukan hanya ingin melaksanakan pesan dari alhmarhum ayah untuk menjaga ibu dan aku. Baru aku tahu, di kota lain Budi sudah mendirikan sendiri pabrik bata berkat bantuan rekannya yang menjadikanny sebagai mitra.


Setahun setelah itu. Budi kembali melamarku. Sebelumnya dia dipaksa menikah denganku demi menjaga kehormatan keluargaku. Tetapi kini dia melamarku hanya untuk melindungiku dan ibu. Itupun karena amanah dari Ayah. “ Kalau kamu tidak bisa mencintaiku, tidak ada Mar. Tapi demi kesehatan ibu, cobalah bersabar. Aku akan tetap hormati privasi kamu. Kapanpun kamu bertemu dengan pria yang cocok untuk kamu, pergilah. Aku akan ceraikan kamu.”  Kata Budi.


***

Kedatangan Ben ke rumahku. Seakan memberikan cahaya dalam sanubariku. Setelah 10 tahun menikah, ini kali aku merasakan cinta dan syukur sekaligus kepada Tuhan atas keberadaan Budi, suamiku. Ben memang mencintaiku tetapi Ben, bukan bagian dari kreatifitas Tuhan untuk aku berevolusi dan berbiak.  Mencintai adalah pilihan, tetapi menikah adalah kerendahan hati menerima proses kreatifitas Tuhan. 


Selamat tinggal Ben. Maaf, besok aku tidak akan pernah membuka pagar rumahku, tanpa izin suamiku. Nanti sore setelah suamiku pulang kerja, aku akan  berkata “ aku mencintaimu, dan akan terus mengabdi sepanjang usiaku. “ seraya memberikan senyum  terindah dan terikhlas untuk Budi, suamiku. Tidak ada istilah terlambat mencintai. Setidaknya dari Budi aku tahu bahwa cinta itu bukan sekedar diungkapkan dengan kata kata. Bukan sekedar bersentuhan. Bukan sekedar merasa memiiki. Bukan sekedar merasakan euforia. Tetapi cinta itu adalah sikap menerima dan berdamai dengan kenyataan tanpa amarah, dendam, benci dan memaksa. Semua adalah ujian kesabaran dalam berkorban dan memberi, yang selalu indah pada akhirnya.


Narasi kerinduan




“ Lue harus bisa menghayati kesedihan seorang Ibu. Apa susahnya , lue kan cewek. “ kataku kesal ketika melihat Wina membacakan monolog. Udah berulang rulang kali namun tetap tidak seperti yang aku mau sebagai penulis monolog itu.
“ Gua memang cewek tetapi gua bukan emak emak, bego luh. “ katanya ngambek.
“ Ya setidaknya dalam diri elo ada cinta ibu, yang bisa memahami perasaan seorang ibu.” Kataku balik kesel. 
“ Capek gua, dari kemarin lue  salahin gua terus” 
“ Ya memang salah. Mau dipuji? Lu yang bego” 
Wina menangis. Masuk ke kamarnya. Ibunya dengan tersenyum mengatakan agar aku pulang aja. “Wina sedang ngambek. Nak Ale pulang aja. Maafin Wina ya Nak. “  Kata ibunya. Aku pulang. 

Keesokannya di sekolah, Guru pembimbing bertanya “ Win gimana latihan baca cerpennya? Tulisan Ale bagus sekali. Ibu yakin kamu cocok sekali membacakan cerpen itu. Pasti kelas kita juara nanti.”  
Wina menatapku dengan cemberut. 
“ Memang kenapa ? Ada apa Ale?  “ kata Guru pembimbing
“ Engga ada apa apa bu.” Kataku melirik ke Wina sambil tersenyum.  Guru pembimbing berlalu dari hadapan kami. 
“ Gua  tunggu lue di rumah gua. “ kata Wina, itu artinya dia tidak lagi ngambek.

“ Cerpen gua itu sebetulnya hanya pendek aja.  Ini soal Tejo si anak semata wayang pergi merantau. Terus engga pulang pulang. Ibunya kangen banget. Tejo engga pernah pulang. Karena Tejo meninggal di rantau. Akhirnya ibunya meninggal dalan kerinduan kepada anaknya. Gitu aja.” Kataku  ketika mulai latihan membaca.

“ Gua tahu itu. Engga usah ulang ulang terus. Tapi yang panjang itu narasi elo menggambarkan perasaan ibunya Tejo. Itu yang sulit gua pahami. Gimana gua bisa paham soal perasaan seorang ibu? Kita kan masih anak SMP. Gimana sih lue tahu segala soal perasaan seorang ibu? 

“ Ya susah kalau elo tanya ke gua. Itu hak gua sebagai penulis. Tugas lue ya ikuti mau gua aja dech. Berkali kali gua ajarin lue cara membacanya, setiap paragrap dengan mimik dan intonasi. Tetapi gimanapun itu tidak menyatu dengan tulisan gua. Karena gua cowok. Lue kan cewek , pasti tahu memaknai cerita itu dan tahu gimana mengungkapkan perasaan pada setiap paragraf.”  kataku berusaha mencerahkan.  Namun tetap gagal. Aku berusaha sabar.  Pada suatu hari entah mengapa aku mencium Wina. Cepat sekali. Wina lari masuk ke dalam rumah. Masuk kamar. Tidak keluar lagi. Tinggalah aku di teras.  Merasa bersalah. Sejak iitu aku takut bertemu Wina.  Moga Wina bisa menghayati tulisan cerpenku.  Akupun tak mau lagi paksa dia seperi aku mau. 

Namun ketika saatnya lomba baca cerpen, aku sempat merinding. Terutama disaat paragraf perpisahan Tejo dengan ibunya di stasiun kereta, Wina menangis. Benar benar menangis. Apalagi ketika Tejo tidak pulang pulang, sementara sahabatnya sudah pulang. Wina mengis terisak isak membaca setiap narasi yang menggambarkan suasana hati ibu Tejo. Sudah bisa ditebak. Para hadirin yang menonton lomba itu, termasuk juri ikut berlinang air mata.  Wina juara 1.

Tamat SMP kami berpisah. Karena SMA kami berbeda. Kalau ada waktu senggang Wina pergi ke pasar bersama orang tuanya, dia sempatkan mampir ke tempat aku jualan kaki lima di pojok pasar. Dia menyapaku. Memang pulang sekolah aku dagang untuk biaya sekolah. Tamat SMA, aku pergi merantau. Kami tidak lagi berkomunikasi. 

***
Tanpa disadari kadang kita terjebak dengan emosi bukan karena kita melihat, tetapi bisa juga yang tidak terlihat. Namun ia selalu hadir dalam pikiran kita lewat tulisan dan pesan. Itulah dunia maya, yang tahun 2000a era yahoo messenger dan MSN, membuat dunia menjadi sangat dekat tanpa batas. Sebagaimana perkenalanku lewat yahoo messenger dengan seorang wanita. Belakangan aku tahu dia bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Kalaulah dia hanya PM untuk omong kosong pasti aku reject.  Yang membuat aku tertarik, wawasannya luas. Terbukti dalam diskusi dia bisa memahami hal yang rumit dan mengimbangi ku sebagai trader pasar uang. Namanyapun di Yahoo messenger bukan nama alias. Tetapi nama asli. Rere Astuti. Itu tahun 2006.

Setiap malam dia PM saya terlebih dahulu, dan selalu diawali dengan ucapan Assalamualaikum, dan tak lupa, “ Bapak sibuk? Kalau aku tidak jawab, dia sabar menanti. Dia akan signed out bila aku juga signed out. Tetapi dia tahu, yahoo messenger ku tetap nyala sampai dini hari. Usai rehat bursa, aku sempatkan chating santai. Kadang menarik, dan tulisanku sangat cepat. Dia membalas dengan kesan yang memang dia memahami apa yang aku bicarakan. Begitulah perkenalan lewat dunia maya itu berlangsung setengah tahun. Kami tidak pernah tertarik untuk saling bertemu. 

Suatu saat yang tak pernah aku lupa dia mengatakan dalam chat " saya ingin merubah nasip saya. Tadinya saya berpikir dengan bekerja di luar negeri bisa mengubah nasip saya. Tapi kini saya yakin sekembali dari hong kong , nasib saya tidak akan berubah. Saya ingin dekat denga ibu dan anak saya" 

“ Hidup ini soal pilihan dan setiap pilihan tidak ada yang sempurna. Masalahnya bisakah kita berdamai dengan ketidak sempurnaan itu.”

“ Benar pak. Kuncinya adalah  sabar dan sholat” 

“ Kamu masih muda, masih banyak pilihan, teruslah berimprovisasi untuk yang terbaik bagi hidup kamu, passion kamu” 

“Saya punya obsesi , mau buka usaha kuliner lewat produksi. Saya pintar masak kue. Dan saya ingin buat kue yang laris di hong kong dengan kreasi tersendiri, dan mungkin lebih enak. Tapi gaya menagement nya akan saya tiru Hong Kong.  Cake itu akan jadi penganan bukan sekedar makan tetapi gaya, dan ciri khas kotaku. Tapi saya engga ada modal untuk memulai. Gaji sebagai TKW habis untuk biaya anak dan orang tuaku di kampung. Mungkinkah bapak bisa kasih saya pinjaman modal.” Katanya lewat Chat.

Kesimpulannya dia butuh bantuan permodalan untuk membuka usaha yang dia yakini bisa mengubah nasipnya. Karena dia sangat yakin akan keahliannya,yang selama ini tidak dimanfaatkan. Dia tidak mau membuang umurnya hanya sebagai ART. Bila pulang ke tanah air tidak ingin kembali ke Hong Kong. Aku tidak menanggapi dengan memberikan solusi tapi berharap dia bersabar untuk menjalani hidup ini. Setelah dialogh itu, setiap hari dia PM aku.  Namun aku jawab sehari setelahnya atau kadang aku jawab rapel di hari minggu dengan jawaban singkat. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhirnya dia pulang ke indonesia.

Suatu saat aku makan malam dengan relasi dari korea dan China. Malam itu aku membayar bill HKD 35,000. Entah mengapa aku teringat dengan dia. Dia hanya butuh uang sebanyak bill yang aku bayar itu, dan itu bisa mengubah impian jadi realita. Sementara bagiku uang sebanyak itu hanya habis tiga jam dalam kebersamaan dengan relasi. Hidup memang tidak adil, tetapi aku tidak ingin menjadi bagian dari ketidak adilan. Setidaknya aku harus mulai peduli, walau itu tidak rasional dalam kacamata bisnis. 

" walau bapak tidak pernah bertemu dengan saya..saya doakan bapak agar sehat selalu dan dimudahkan rezekinya sehingga saya punya harapan walau harapan itu tipis sekali namun saya tetap berprasangka baik bahwa Allah akan mudahkan saya..” Saya membayangkan. Kalaulah dia berniat ingin memperdayaku, tidak mungkin dia bisa bertahan hampir setahun dalam pengharapan.  Obsesinya menembuh batas rasional untuk tak henti berharap satu langkah pasti yang akan memberinya kesempatan lebih baik, menjadi lebih baik.

Sesampai di kamar, di depan komputer nampak tanda kedap kedip. Ternyata PM dari dia. Selalu dia awali dengan assalamualaikum. Apakah bapak sehat ? Langsung aku tanya nomor rekeningnya bahwa aku akan bantu proposal dia. Aku tidak perlu penjelasan lagi karena sudah cukup hampir setahun aku mendengar alasan dari dia.  Keesokan paginya saya kirim uang ke rekeningnya. 

Sempat aku berkata kepada diri sendiri " mungkin saya bodoh memberi uang kepada orang yang saya kenal hanya di dunia maya. Tapi saya tetap berprasangka baik bahwa dia memang membutuhkan bantuan dari saya dan Tuhan menggiringnya kepada saya karena doanya siang dan malam..”

Malamnya dia PM dengan ucapan terimakasih dan berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya. Dia dan  anaknya akan berdoa untuk kebaikanku. Setelah itu PM nya sudah tidak pernah lagi muncul di sudut komputerku. Walau terbersit rasa curiga namun aku tetap yakin aku berbuat baik karena Tuhan, cukuplah Tuhan tempat kembali semua perbuatan..

***
Tahun 2009 aku dapat email dari dia bahwa dia ingin bertemu langsung denganku. Dia datang ke Hongkong khusus untuk bertemu dengan ku. Aku balas emailnya. “ Saya undang kamu makan malam. Saya pesan tempat di restoran kawasan East Tsim Sha Sui, Kowloon karena tidak jauh dari apartment saya. Mungkin saya datang agak telat, tapi kamu tunggu saja. Cukup menyebutkan nama saya, petugas kafe akan menyediakan table untuk kamu. Karena saya sudah booking. “ jawabku dalam email. 

Ketika mau masuk restoran, di lobi aku melihat wanita sedang bermain dengan Balita. Aku tidak bisa lupa wajah wanita itu. 
“ Wina…” Seruku. 
Wanita itu menoleh ke arahku. “Ale..” teriak dalam keterkejutan. 
“ Benarkah elo le ? Ale…ale..” katanya seraya memelukku.
“ Ya gua, Win. Lu sehat ya “ 
“ Gua sehat. Lu engga berubah, Ale…” Katanya seraya menyentuh kedua pipiku. 
“ Ada apa kamu ke Hong Kong ? tanyaku.
“ Aku temanin anakku, sekalian jaga cucuku. Katanya dia mau meeting dengan relasinya.” 
“ Oh ya..Jadi kamu udah punya cucu ?
“ Ya. “ katanya tersenyum cerah.
“ Kamu ?
“ Belum” kataku. 
“ Udah berapa anak ?
“ Dua.  Suami lu gimana ?
“ Kami sudah bercerai sudah lama sekali. Gua single parent. Sekarang gua jadi momong cucu aja” Kata Wina.
“ Ya udah. Nanti kita sambung lagi ya bicaranya. Gua ketemu dengan tamu gua dulu. Hanya 15 menit. Jangan kemana mana.” kataku. Wina mengangguk.

Ketika aku masuk kafe, aku menyebut table atas namaku. Pelayan mengantarku ke table, yang sudah ada wanita duduk.  Cantik dan sangat ramah.
“ Pak Ale ya ?
“ Ya. “
Lama dia menatapku, dan akhirnya airmatanya berlinang. 
“ Ternyata inilah malaikatku. Terimakasih pak. Terimakasih. “ Katanya. Dengan airmata berinang dia bercerita bahwa nasipnya berubah berkat modal yang aku beri. Kini dia punya karyawan 8 orang. Dia juga meminta maaf karena lama tidak lagi berkomunikasi denganku namun doanya selalu ada untuk-ku.  Ketika dia mengembalikan uang yang pernah dia pinjam, aku menolak halus. Aku berharap dia bisa mengembangkan usahanya.   Sejenak kemudian, aku meliat matanya tertuju ke arah pintu masuk.  Nampak dia  melambaikan tangannya. “ Pak saya ingin kenalkan ibu dan anak saya.” katanya. 

Ketika aku menoleh kebelakang, nampak Wina melangkah ke arah kami bersama Balita. 
“ Itu ibu dan anak kamu?
“ Ya. “ Katanya.
“ Loh, Re, ini loh relasi kamu ? Kata Wina ketika sudab sampai di table
“ Ya Ma.” Wina dan putrinya saling pandang beberapa detik.
“ Berkat pak Ale yang bantu ma, sehingga aku tidak perlu lagi kembali ke Hong Kong jadi TKW, dan waktuku lebih banyak bersama mama dan anak ku.”  Kata putrinya.
“ Ale…?? ” Wina menatapku lama. Aku menanti suasana hatinya dalam keterkejutan mereda “ Lue ingat aja ya soal cerpen keriduan ibu Tejo ya. “katanya memukul lembut dadaku. Wina menangis. Aku memeluknya seraya tersenyum kepada putrinya. “ Ya dan kamu membacakannya dengan sangat luar biasa, ya kan Win.”
“ Terimakasih Ale, udah mengembalikan ReRe kepadaku, dan aku tidak perlu mengkawatirkan lagi ReRe karena sekarang kami selalu bersama. Berkat kamu, aku tidak sampai bernasip sama dengan ibu Tejo, kan.” katanya tersenyum. 
“ Siapa Tejo Ma. “ Tanya putrinya bingung.
Aku dan Wina hanya tersenyum” Engga perlu kamu tahu. Itu kisah lama, kisa waktu masih SMP. Masih jadi monyet" Kata Wina ***

Ketika Tuhan menguji..



Hidupku menjanda. Akan tetapi, aku masih bisa hidup berkecukupan dalam arti tidak tergantung siapa siapa, bisa makan tiga kali sehari, punya apartement mewah, kendaraan. Tadinya waktu aku masih punya suami, hidupku seperti ayam merak. Tinggal di istana megah namun serba terkurung dalam batasan suamiku sendiri.  Dia bebas pergi kemana saja karena alasan bisnis. Mungkin saja dia selingkuh dengan banyak wanita. Tetapi itu hak dia, dan kewajibanku untuk menerima. Tapi bagaimanapun aku terima hidupku dengan suka cita. Suami kuhormati agar aku dapat ridho Tuhan. Dua anakku kurawat dengan sepenuh cinta. Para pembentu kuperlakukan dengan semanusiawi mungkin. Kujaga perasaannya walau mereka hamba sahaya.

Dari uang pemberian suami yang tak pernah kurang, aku berderma kepada orang lain yang kesusahan. Ikut dalam yayasan amal menyantuni orang miskin dan yatim. Kehidupanku begitu sempurna. Setidaknya itu menurut orang lain. Punya suami yang penyayang. Anak anak yang cerdas dan berbudi baik. Teman teman yang sangat peduli dan menghormatiku. Kehidupan sosial yang sangat menyenangkan. Itulah aku. Karenanya setiap detik helaan napasku, adalah rasa syukur kepada Tuhan. 

Namun sebanyak rasa syukur kepada Tuhan, mungkin tidak cukup bagi Tuhan. Tuhan tidak melihat retorika syukur tetapi ingin pembuktian apakah aku benar benar bersyukur. Suatu waktu yang tak pernah aku lupakan. Aku terjatuh di kamar mandi. Bukan karena stroke tetapi tergelincir, tepatnya. Punggungku terhentak ke closet. Aku terkapar dan tak bisa bangkit lagi. Walau aku berusaha tetap saja kekuatan tulang punggungku tidak mampu menopang tubuhku.  Masuk rumah sakit. Sebulan lebih di rumah sakit, punggungku tak bisa lagi membuat tubuhku berdiri. Akupun lumpuh. Hidupku mulai bergantung kepada orang lain. Apapun tergantung orang lain.

Dua tahun dalam pembaringan kelumpuhan. Suamiku jatuh bangkrut dan dia tidak ingin pulang lagi ke rumah. Mungkin dia tidak sanggup lagi hidup bersamaku yang lumpuh atau dia tak bisa pulang karena takut di kejar hutang atau apalah. Tetapi aku bisa terima. Dia tidak salah dan tentu ada alasan mengapa dia tinggalkan aku , istrinya yang sedang sakit.  Tapi aku masih beruntung, kedua anakku masih ada. Namun itu tidak bertahan lama.  Satu demi satu anakku diambil oleh keluarga besar suamiku. Alasannya mau disekolahkan.  Dalam keadaan sakit tak berdaya, aku kehilangan suami, anak dan harta. 

Aku tetap bersabar dan bersyukur. Karena bagaimanapun Tuhan mengirim malaikat untuk menolong anak anaku. Soal aku? Itu urusan Tuhan.  Teman temanku di Yayasan mengirim aku ke dinas sosial untuk masuk pusat perawatan orang terlantar. Akupun terasingkan dari lingkunganku. Sahabatku yang dulu selalu aku bantu, justru kini mereka mengirimku ke panti sosial. Aku tidak kecewa. Aku bersyukur karena mereka peduli akan hidupku yang terlantar. Kalau mereka tidak bisa membatu, tentu ada alasan. Itu harus aku maklumi agar rasa syukurku kepada Tuhan tidak berkurang. 

Suatu saat kamu datang ke Panti, kamu minta aku memohon kepada Tuhan agar Tuhan menolongku. “ Karena hanya Tuhan satu satunya yang tersisa yang kamu punya di dunia ini. Bukankah selama ini kamu hidup di jalan Tuhan. Tentu Tuhan akan mengabulkan permintaanmu”. Begitu katamu. Tetapi aku menolak. Bukan karena aku sombong dan merasa paling kuat. Tetapi aku malu kepada Tuhan. Betapa nikmat pemberian Tuhan jauh lebih banyak kudapat selama ini. Kalau kini hidupku tidak seperti dulu, itu bukan berarti Tuhan membenciku, tetapi Tuhan sedang memberiku yang terindah. Apa itu. Sabar. Tuhan berkata, bahwa sabar itu cara terbaik mendekatiNYA. Apakah ada yang lebih indah selain dekat kepada Tuhan? aku bukan menikmati cobaan ini tetapi aku berusaha mengambil hikmah dari hidupku.

Pada batas tak tertanggungkan, karena petugas sosial sepertinya sudah bosan dengan keadaanku yang lumpuh, mereka juga sudah tidak lagi ramah. Saat itu aku merasa sangat dekat kepada Tuhan. Aku tersenyum dalam  ketidak berdayaan, sakit dan terasingkan. Entah mengapa tengah malam aku terjaga. Aku melihat cahaya yang mendorongku melangkah. Petugas panti takjub melihatku bisa melangkah dan berjalan seperti orang biasa. Apalagi melihatku  pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, dan sholat. 

Keesokannya aku minta izin untuk keluar dari panti. Mereka mendoakan agar aku baik baik saja.  Aku datangi keluarga suamiku, tetapi anak anakku tidak ingin dekat lagi denganku. Mereka sudah nyaman dengan hidupnya.  Aku datangi Yayasan yang dulu tempat kubergiat, tetapi mereka tak lagi tertarik mengajakku bergabung.  Saat itu usiaku mendekati 40 tahun. Hanya satu orang yang bersedia menampungku. Ia adalah mantan Supir keluargaku. Hidupnya memang miskin. Menanggung satu istri dan 2 anak. Tapi dia merasa tidak terbebani walau pekerjaannya hanya sebagai supir taksi. Namun aku tidak ingin membebani hidupnya. Aku sehat dan bisa melangkah. Yang bisa aku lakukan, harus aku lakukan untuk hidupku, untuk syukurku kepada Tuhan.

Aku diterima bekerja. Hanya sebagai sales freelance. Hanya itu yang lapangan pekerjaan yang bisa kudapat. Hampir sebulan tak ada satupun deal terjadi. Saat itu aku tidak mengeluh. Pekerja pemula selalu begitu. Butuh waktu untuk belajar. Yang aku kawatirkan rasa bersalah karena membebeni orang yang hidupya dalam kemiskinan. Rasa bersalah itulah yang membuat aku semakin dekat kepada Tuhan.

Ketika aku mendatangi salah satu target market potensial, aku mendengar sang boss sedang marah marah kepada Stafnya karena belum bisa memindahkan barang limbah pabrik dari gudang. Limbah itu berupa potongan hasil guntingan pakaian. Salah satu staf itu meminta aku segera pergi. Karena pasti boss nya menolak untuk terima tamu. Tapi entah mengapa aku tidak surut sebelum diusir oleh boss itu. Setelah melihat keadaan reda dikamar kerja boss itu, aku masuk.
“ ada apa kamu? Bentak sang boss.
“ saya mau tawarkan alat pembersih ruangan . Mungkin akan membantu membersihkan pabrik anda” Akupun menyerahkan brosur kepada sang boss. Namun Sang boss melempar brosur itu ke tong sampah. “ Gini aja, saya akan beli kalau kamu bisa pindahkan limbah di gudang pabrik saya. Bisa ?

Aku terdiam. Aku tidak melihat aku direndahkan. Aku justru melihat ini peluang dan harapan. Karena ada boss besar putus asa dan meminta aku memberikan solusi. Ini Deal bagus.
 “ beri saya waktu. Saya akan lakukan” Kataku serta merta.
“ Ya udah, cepatlah. Sekarang pergi kamu! “ kata sang bisa dengan suara keras.

Aku keluar ruangan dengan bingung. Apa yang harus aku lakukan? Ketika keluar dari kantor itu, Satpam menyapaku. “ gimana? Udah ketemu dengan boss saya”
“ Udah. Dia marah. Tapi saya ada peluang”
“ Peluang? Apa?
“ Dia akan beli alat pembersih ruangan yang saya tawarkan kalau saya bisa mengangkut limbah pabrik”

Satpam itu memintaku mendekat, dengan berbisik “ ada yang minat dengan limbah itu. Tapi terdiri dari beberapa orang pengrajin keset kaki. Kalau mereka beli sendiri sendiri engga mampu. Kalau kamu bisa koordinir mereka, tentu bisa habis itu limbah di gudang. Dan bukan engga mungkin setiap limbah terkumpul akan terus mereka terima.”
“ Mengapa tidak diusulkan kepada boss?
“ Siapa yang berani. Dia maunya cepat dan praktis aja”
“ Ok tunjukan alamatnya, saya akan datangi pengrajin itu”

Setelah itu aku mendatangi alamat pengrajin keset. Aku mendatangi satu persatu pengrajin. Semua mau terima. Dan hebatnya para pengrajin itu berani membeli dengan harga bagus. Akupun mendatangi pengusaha angkutan. Aku butuh jasa angkutan namun dibayar dari hasil penjualan barang yang diangkut. Namun kebanyakan menolak. Aku tidak menyerah. Setelah mendatangi beberapa perusahaan angkutan, ada yang minat mengambil peluang yang aku tawarkan. Akhirnya aku berhasil mengosongkan gudang limbah itu. Boss pabrik senang. Aku tidak dapat fee dari boss pabrik. Tapi Boss pabrik setuju membeli alat pembersih ruangan. Dari penjualan limbah itu akupun tidak dapat untung. Niatku hanya bagaimana mendapatkan Deal menjual barang pembersih ruangan. Namun Deal itu di bawah target perusahaan. Aku tetap diberhentikan. Aku kehilangan pekerjaan.

Akhir bulan pengrajin memintaku kembali mengirim limbah. Aku datangi boss pabrik itu kembali. Aku katakan dengan jujur bahwa aku tidak lagi bekerja. Aku hanya ingin membantu pengrajin. Boss itu dengan senang hati memberiku limbah. Dari kerjaan itu aku pabrik memberiku upah. Aku juga dapat keuntungan dari penjualan limbah kepada pengrajin. Selanjutnya hiduku berubah. Ekonomi membaik dan aku tidak lagi menumpang di rumah orang. Aku tinggal di apartement. Itu hanya berselang 3 bulan setelah aku keluar dari panti Sosial. Tuhan berbuat sesukanya. Itu kuyakini seyakin aku melewati takdirku.

Setahun setelah itu boss pabrik yang duda tanpa anak jatuh cinta kepadaku. Kamipun menikah. Empat bulan setelah acara pernikaha yang spektakuler, suamiku meninggal karena kecelakaan. Semua hartanya jatuh kepadaku. Dan aku kini jadi boss melanjutkan usaha suami. Di usia menua, mendekati 50 tahun, hidupku menjanda, anakku telah kembali kepadaku. Kehidupan kembali normal, dan aku tetap hidup di jalan Tuhan tanpa dendam apapun kepada mereka yang mengabaikan hidupku ketika aku terpuruk.  Karena ini bukanlah antara aku dengan mereka tetapi antara aku dengan Tuhan, untuk menguji keimananku dan rasa syukurku. Itu aja. Pahamkan Jeli..

Monster pemangsa

  Sehabis meeting dengan Michael Chang, saya tatap James cukup lama. Dia sempat bingung dan salah tingka karenanya. Namun akhirnya  saya ter...