Saya datang ke Cafe itu dengan agak males. Karena ini cafe anak muda yang ada di jantung kota di puncak office tower. Entah mengapa Alisa undang saya ke cafe ini. Saya datang, dia sendiri belum datang. Ah ya. Saya datang lebih awal. Ya udah saya tunggu aja. Saya perhatikan sekeliling ruangan. Sore itu beberapa anak muda kelas menengah sedang menghabiskan waktunya di cafe itu. Tentu mereka tidak datang sendirian. Mereka datang ke cafe itu bersama teman. Ada juga yang satu table 5 orang. Kadang terdengar mereka tertawa.
Menurut Bank Dunia, yang masuk kelas menengah itu adalah yang punya pengeluaran perbulan perorang maksimum Rp 6 juta. Jadi kalau satu keluarga ada 4 orang, pendapatan keluarga sekitar Rp. 24 juta. Ya kisaran gaji diatas Rp. 15 juta perbulan. Bagi yang belum berkeluarga, pendapatan sebanyak itu memang memabukan dan mudah terjebak konsumerisme dan investasi bodong. 1 dari 5 orang Indonesia adalah kelas menengah atau populasinya sekitar 50 juta orang. Memang jumlah yang menggiurkan untuk sumber pendapatan pajak dan bisnis domestik. Itu sama dengan 10 kali penduduk Singapore.
Di negeri ini kelas menengah memang tak henti di palaki oleh sistem. Pendapatan mereka sudah terjerat dengan biaya cicilan beli rumah, kendaraan, credit card. Sulit bagi mereka menabung untuk secure life. Saat negara pusing mikirkan inflasi. Suku bunga di kerek. Biaya bunga hutang bertambah. Itu memenggal pendapatan tetap mereka. Saat negara ingin tingkatkan tax ratio, beragam pajak dan tarif diterapkan. PPN naik jadi 12 %. Mereka tidak bisa menghindar. Maklum mereka berkonsumsi bukan di kaki lima tetapi di mall dan outlet yang pasti terdaftar wajib pajak. Itu akan menambah spending mereka. Pasti mengurangi daya tahan pendapatan mereka.
Dari arah pintu masuk cafe keliatan Alisa dan 3 orang temannya . Dia melambai kearah saya, berjalan ke arah table saya. “ Maaf, Bang Ale, telat 5 menit ya “ katanya melirik ke jam tangannya. Saya senyum aja.
“ Ok. Engga apa apa ? Kata saya cepat. “ Katanya ada yang penting mau dibicarakan. ?
“ Ya. Ini kenalin dulu teman teman saya “ katanya perkenalkan satu persatu temannya. Dua orang pria, satu wanita. Saya mengangguk saat mereka menyerahkan kartu nama. Dari kartu namanya saya tahu mereka bekerja di perusahaan berbeda. Dari jabatannya saya tahu mereka terpelajar dan kelas menengah di Indonesia.
“ Ale, mereka punya bisnis plan untuk kembangkan start up IT. Bisnisnya bagus. Mereka mau bangun aplikasi untuk ekosistem pertanian dari market place sampai kepada logistik.” Kata Alisa. Artinya mereka ingin berwirausaha bidang IT. Mereka menyerahkan proposal ke saya. Ada 12 lembar. Itu materi presentasi bisnis. Saya baca cepat. Hanya 10 menit. Saya menatap mereka semua. “ Ada yang mau kalian sampaikan ? tanya saya.
“ Kami sebenarnya sudah ada deal dengan venture fund. Mereka sudah punya bisnis plan dengan masuk pada investasi seri A , mereka minta value 4 kali dari investor seri B. Mereka confident bisa dapatkan investor seri B dan seterusnya, Skema investasi dengan venture fund adalah hutang konversi” Kata salah satu mereka. Ini taktik kuno menekan psikis dan provokasi calon investor. Mereka juga jelaskan panjang lebar cara meningkatkan value bisnis. Cara bicara kaum kapitalis namun dihadapan saya tak ubahya dengan sales panci. 40 tahun lalu cara itu sudah saya lakukan. Biasa saja.
Saya senyum aja dan tak bertanya atau komentari presentasi mereka. Namun saya jamu mereka dengan hospitality. Setelah itu“ Gimana pendapat kamu? Tertarik kah dengan bisnis mereka ? Tanya Alisa.
“ Saya tidak melihat ada aliran uang masuk, yang ada hanya uang keluar. Dan uang keluar itu berkaitan dengan biaya tetap, seperti gaji karyawan yang paling kecil Rp. 7 juta. Biaya sewa gateway internet. Amortisasi biaya investasi aplikasi. Sewa kantor dan lain lain.Setiap pengembangan, biaya tetap itu terus meningkat. Sementara pendapatan hanya bersifat asumsi dengan term berat lewat promosi dan ketergantungan dengan stakeholder. “ Kata saya.
“ Ya pak. “Kata salah satu mereka. “ Tapi value nya setiap tahap meningkat sampai nanti kita bisa dapatkan aliran deras uang masuk seperti GoTo” Itu lah salah satu ciri khas kelas menengah. Mudah sekali terjebak dalam proses yang too good to be true. Padahal itu menyesatkan. Ilusi yang menyia nyiakan waktu dan biaya.
“Kalau anda pahami bisnis process pertanian, termasuk tataniaganya di Indonesia, saya yakin tidak mungkin anda buat bisnis plan seperti itu. “ Kata saya. Mereka semua terdiam. Mereka bukan pertani dan tidak pernah memahami petani. Sistem IT berbasis komunitas tidak akan sukses di Indonesia. Itu karena petani dijerat dengan tataniaga yang sudah estabilished lewat aturan dan UU. Tataniaga yang memungkinkan rente terjadi meluas dari hulu sampai hilir. Mau mengubah gimana? semua rezim berkuasa, menikmati rente komoditas pertanian, yang sehingga ketahanan pangan kita hanya bisa ditopang oleh impor, bukan swasembada.
Saya panggil waitress untuk bayar bill. “ Maaf, saya masih ada janji lagi untuk ketemu orang. Nanti kapan kapan dilanjut lagi ya” kata saya terseyum.
Setelah mereka pergi. Alisa tetap di table saya. “ Boleh aku bicara dan temanin abang sebentar? Katanya. Saya senyum aja. Dia mungkin kangen. Karena lama engga ketemu. Pasti dia punya masalah. “Bang Ale, saya ada masalah ? katanya.
“ Masalah apa ?
“ Kendaraan saya mau diambil leasing. Sejak anak saya kuliah di luar kota, biaya cicilan rumah naik, engga bisa lagi saya bayar angsuran kendaraan. Padahal tinggal Rp. 25 juta lagi lunas” Katanya. Saya beri USD 2000. Dia terharu. “ Aku malu, udah lama kita kenal. Bang Ale terus bantu aku.” Katanya menitikan airmatanya. Dia tenaga fungsional di kementrian. Tentu dia tidak punya akses dapat uang proyek. Menurutnya take home pay nya sekitar Rp. 30 juta sebulan. Namun sejak dia bercerai menanggung 3 anak, memang tidak mudah. Padahal dia lulusan luar negeri tugas belajar dari negara.
“Kamu juga banyak bantu saya. Kamu kenalkan saya dengan orang orang berpotensi dalam bisnis. Bukan kaleng kaleng mereka yang kamu kenalkan itu. Walau belum ada yang deal engga apa apa. Terus aja berproses. Jangan menyerah. “ Kata saya meremas jemarinya sekedar menentramkan hatinya. Hening dan akhirnya dia bisa tersenyum.
“ Pajak naik, kurs melemah dan harga harga narik. Susah juga ya kelola ekonomi negara itu.” kata Alisa kemudian. Menurut saya tidak juga susah. Sederhana saja. Sesederhana hukum persamaan filosofis ekonomi yaitu I= C+ S. Setiap individu punya hak menentukan sendiri pilihannya untuk mendapatkan income. Setiap Income digunakan untuk pengeluaran konsumsi. Sekaya apapun orang, makannya hanya tiga kali sehari. Nah kelebihan dari pendapatan setelah konsumsi itu mereka salurkan ke tabungan. Tabungan itu bukan hanya di bank tetapi juga dalam bentuk investasi.
Mereka yang mampu menabung di bank hanya 1% saja dari populasi negeri ini. Bahkan menurut OJK yang punya tabungan diatas 2 miliar hanya ada 300 ribu something, kurang dari 1% populasi. Tapi dampaknya terhadap fundamental ekonomi kita sangat significant. Kalau mereka tidak dikendalikan, diarahkan berinvestasi ke sektor real, ekonomi kita akan terancam. Kamu kan tahu, rumus I=C+S, fenomena ekonomi terjadi secara makro. Seharusnya kebijakan negara menginfluence terjadinya perubahan pada sisi S (saving). Ini berkaitan dengan behaviour economy dalam masyarakat kelas atas, yang kadang terjebak dengan kebutuhan Maslow. Makannya diperlukan ilmu diluar ekonomi untuk melahirkan kebijakan yang bisa memacu proses social engineering terhadap kelebih pendapatan. Dalam study public policy, social engineering itu dipelajari.
Misal, agar tidak terjadi tumpukan uang di sektor moneter dan beralih ke sektor real seperti industri barang dan jasa, maka pemerintah membuat kebijakan bahwa tabungan di Bank dikenakan pajak progressive. Tentu ini ditentang oleh teori ekonomi klasik. Tapi dampaknya bagus terhadap perubahan behaviour tentang uang. Bahwa esensi uang itu adalah apabila sistem terkait produksi dan distrbusi berjalan lancar.
Nah agar aliran dana terjadi meluas dan tidak terakumulasi kepada sekelompok saja, maka pemerintah buat kebijakan anti rente. UU Persaingan usaha di-implementasikan dengan tegas. Sehingga antara yang besar dan kecil hidup berdampingan dengan sinkronize. Kebijakan ini jelas ditentang oleh teori ekonomi pro market. Tetapi bagus untuk kelancaran proses produksi. Kemudian agar sektor real bergairah, efisien atas dasar kreatifitas, pemerintah membuat kebijakan insentif pajak bagi dunia usaha yang melakukan riset IPTEK. Juga jelas tidak sesuai dengan ekonomi pasar. Tapi dari sini akan melahirkan kolaborasi dan sinergi antara akademisi, profesional dan dunia usaha. Perubahan pun terjadi.
Jadi tidak selalu harus mengikuti teori dasar ekonomi bekerja. “ Kata Aliasa. Memang teori ekonomi itu bukan ilmu eksakta. Selalu berdiri diatas asumsi ideal. Tetapi dalam prakteknya kehidupan ini tidak ada yang sempurna. Mana ada ideal itu. Artinya public policy itu basisnya adalah social engineering. Rekayasa sosial untuk terjadinya transformasi dari ekonomi tradisional ke ekonomi modern, dan itulah perlunya negara mengatur, agar terjadi proses social engineering terus menerus.
Hanya dengan social engineering ? tanya Alisa. Dalam public policy, social engineering tidak akan efektif menginfluence perubahan prilaku ( behaviour) publik kalau tidak disertai dengan proses value engineering. Kalau dianalogikan seperti teko dan teh. Social engineering itu teko. Sementara value engineering tehnya. Indah gimanapun teko tapi tehnya tidak berkualitas, ya itu namanya penampilan doang yang hebat tapi tidak ada manfaatnya. Setinggi apapun pertumbuhan ekonomi tetapi tidak berkualitas itu hanya fake growth.
“ So, Value engineering itu apa ? tanya Alisa. Rekayasa nilai terhadap kebiasaan yang menghambat kita berkembang mengikuti perubahan zaman. Kalau bahasa mesranya value engineering itu adalah spiritual. Spiritualitas bukanlah lari dari agama secara esensi dan nilai. Spiritualitas berkembang di setiap dimensi kehidupan dengan cinta, tanggung jawab, keseimbangan batin, kreativitas, dan kasih sayang. Saya peluk kamu. Itu jelas agama melarang. Karena bukan muhrim. Tetapi bagi saya memeluk itu sikap anti diskriminasi gender, meningkatkan trust dan rasa nyaman. Jadi esensinya bukan soal patut atau muhrim. Tetapi value kemanusiaan. Bahwa kasih atas dasar rasa hormat.
Kadang kita terjebak dengan standar normatif. Kita anggap hubungan resmi menikah itu standar yang solid bagi agama. Soal hak dan kewajiban belaka. Tetapi kadang esensi hubungan manusia atas dasar hormat diabaikan. Betapa banyak wanita direndahkan suami. Hanya kelambanannya, ketidak sempurnaannya dibandingkan WIL dan lain sebagainya. Itu lebih rendah dari pelacuran dan perbudakan. Sama halnya kita banggakan pertumbuhan ekonomi, tetapi demi tataniaga pasar dalam dimensi ketahanan pangan, kita korbankan petani atau produsen. Itu lebih buruk daripada kolonialisme.
Alisa mengangguk angguk.
Singkatnya value engineering itu adalah bagaimana berproses menjadi orang sabar, jujur, dermawan, sopan, rela berkorban, adil, bijaksana, dan karenanya dia bisa melewati perubahan zaman dengan rendah hati dan kerja keras. Melakukan kreatifitas dan inovasi tanpa jeda untuk peradaban yang lebih baik. Ya revolusi mental menjadi manusia free Will dan berani melakukan perubahan dan memperbaiki diri terus menerus. Kita perlu middle class seperti itu. Tidak perlu 50 juta orang. 10 juta saja, itu sudah bisa mengubah Indonesia menjadi negara besar, mandiri dan terhormat.
No comments:
Post a Comment