Showing posts sorted by relevance for query Tejo. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query Tejo. Sort by date Show all posts

Thursday, May 07, 2020

Tuhan telah tunaikan niat Tejo.




Sepuluh tahun di rantau. Sepuluh tahun jauh dari sanak keluarga. Sepuluh tahun dibawah gelombang jauh ketengah laut. Akhirnya akupun kembali kekampung ini. Tak ada perubahan berarti dikampung ini. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hingga tak membuatku asing untuk kembali. Pasar desa sudah diramaikan oleh suara musik dari toko penjual kaset. Wanita desa sudah banyak yang menggunakan baju gaya orang kota. Namun selebihnya adalah sama. Tak ada kemajuan. Itulah sekilas yang kutahu ketika menginjak kaki di senja hari. Didesaku , dimana aku dilahirkan.
“ Nah , Jono ,ya “ Terdengan suara sapa dari arah belakangku. Nampak wajah tua yang tersenyum dengan gigi yang menghitam.
“ Bu, Barijah ? Kataku pasti. Ya , Dia ibu dari sahabatku yang bersama sama denganku merantau ke kota.
“ Mana , Tejo. ? “ Tanyanya. Suara agak lambat. Namun wajahnya seakan menyiratkan cemas “ Belum sempat pulang ya..” Sambungnya. Kemudian matanya mengarah ketempat lain. Dia terduduk didekat pintu stasiun.
“ Bu..” Seruku sambil memegang bahunya “ Tejo sibuk sekali dikota. Dia belum sempat datang. “ Kataku membujuknya.
“ Tapi ada suratnya kan.”
Aku terkejut. Surat !
“ Ya , Ada. “ Secepatnya aku menjawab dan langsung mengeluarkan kertas dari dalam tasku. Sebetulnya itu bukan surat. Hanya secarik kertas yang hanya coretan tanganku. Tapi setidaknya ini dapat melepaskan rindunya kepada anaknya.. Diciumnya surat itu berkali kali dengan mata berbinar “ Bacakanlah untukku…tolong ya “ Kata Bu Barijah. Aku tahu dia tidak bisa membaca.
Akupun membacakan surat itu dengan karanganku sendiri. Kata demi kata meluncur dengan berat. Setiap gerak bibirku diperhatikan oleh Bu Barijah seperti dia sedang membayangkan Tejo didepannya. Usai membaca surat dia , tertawa dan tersenyum kepada kesemua orang yang ada didepan stasiun itu. “ Tejo akan pulang. Kalian dengar itu..Anakku akan pulang.” Suaranya agak meninggi kegirangan. Orang orang yang lalu lalang di stasiun hanya tersenyum. Ada juga yang melihat aneh kearah Bu Birjah. Tapi Bu Birjah tak peduli.

Sesampai dirumah. Ibu menyambut hangat kedatanganku.Begitupula dengan ayah dan adik adiku. Walau tak banyak uang yang kubawa namun kebahagiaan mereka dengan kehadiranku lebih dari segala galnya. Malamnya ibu berkata kepadaku “ Jo, Kamu bertemu dengan Barijah di stasiun ?
“ Ya, Mbok..”
“ Sudah hampir setahun dia selalu ada di stasiun menanti kedatangan Tejo. Kadang sampai ketiduran di Stasiun. Akhirnya dia tak mau lagi pergi meninggalkan stasiun. Semua orang menyangka Barijah sudah gila. Tapi dia tetap waras. Ibu tahu betul itu. Dia hanya rindu anaknya. Kapan ya Tejo pulang. Gimana kabarnya..”
“ Lantas siapa yang kasih dia makan. “
“ Orang orang yang ada di stasiun. Mereka iba dengan nasip Barijah yang punya anak tunggal yang pergi merantau dan juga menjada ditinggal mati oleh suami. “
Aku hanya terdiam. Bayanganku langsung kepada Tejo, sahabatku dari sejak kanak kanak. Kami memang tak pernah menyelesakan sekolai SLTA.Kami hanya tamat SLTP. Sebagai anak petani yang miskin ,memang kami tak berharap banyak dari orang tua. Ada rasa tanggung jawab untuk membahagiakan orang tua untuk sekali seumur hidup. Setidaknya itulah harapan Tejo untuk membawa ibunya ke Haji. Mungkin naïf rasanya bila berharap terlalu jauh nasip akan berubah bagi kami anak desa yang tak berpendidikan. Tapi , tekad sudah bulat. Kami harus meninggalkan desa. Sebelum berangkat sebetulnya Tejo agak berat langkahnya pergi meninggalkan ibunya. . Dia anak tunggal. Apalagi ayahnya sudah meninggal.
Terbayang wajah Bu Barijah melapas kepergian kami di stasiun kereta. Wajahnya nampak kawatir.Air matanya berlinang. Tak lepas pagutan matanya memandang kereta melaju sampai hilang ditikungan. Tejo nampak tegar. “ Aku harus segera kembali kedesa dengan sukses Jo. Aku ingin membahagiakan si Mbok. Syukur syukur aku bisa bawa si Mbok ke Mekah..” Itulah kata Tejo yang tak pernah kulupakan. Setelah menempuh perjalanan yang panjang. Akhirnya sampailah kami di kota. Sanak famili tak ada. Kecuali teman teman sekampung yang dituju. Itupun rata rata mereka hidup sangat serba terbatas. Tinggal dirumah reot ,dipinggir kali.
Di kota kami bekerja apa saja, Kadang jadi kuli bangunan. Kadang jadi pedagang asongan. Kadang jadi pengais sampah. Tak terasa waktu berlalu. Keakrapan bersama Tejo lambat laun semakin memudar. Tejo sudah jarang dapat ditemui. Belakangan yang kutahu dia sudah beristri dan tinggal di Tempat Pembuangan Sampah. Daerahnya cukup jauh dari tempat tinggalku.. Akupun sudah disibukan dengan hari hariku . Tapi batin ku tak pernah melupakan Tejo.
Suatu hari pada Jumat malam. Aku tersentak dari tidur ku. Aku bermimpi tentang Tejo. Dalam mimpiku tejo berkata “ Aku akan bersama sama si Mbok ke rumah Allah.” Paginya, aku langsung ke tempat Tejo tinggal. Setelah bersusah payah bertanya tempat tinggal Tejo, akhirnya aku dapat menemukannya. Tapi …apa yang kudapi. Tejo sudah dipanggil oleh Allah. Tadi malam tepatnya. Dia meninggalkan seorang Istri dan anak. Sebetulnya bukanlah istri sesungguhnya. Wanita itu seorang janda dengan satu anak yang tak jelas siapa bapaknya. Tejo melindungi janda itu dan menafkahinya.
“ Tejo ,orangnya baik sekali. Tak pernah sungkan untuk menolong siapapun. Tak pernah bertangkar dengan siapapun. Semua kami mencintainya. Pernah kami disini mau sokongan untuk mengobati penyakit paru parunya tapi dia menolak. Dia selalu tegar dengan penyakitnya. Entah apa yang membuat dia begitu tegarnya…” demikian teman temannya.
“ Lebih empat tahun dia melindungi saya. Selama itu dia tidak pernah menyentuh saya. Walau dalam sakit sekalipun dia tetap bekerja untuk menafkahi kami. Dia ingin sekali menikahi saya setelah dia dapat membawa ibunya pergi haji. Tapi….” Demikian wanita itu berkata tentang Tejo sahabatnya. Wajah wanita itu sembab karena lelah dalam kesedihan teramat dalam.
“ Jono…Kamu melamun ya..” Teguran ibu membuyarkan lamunanku.
“ Eh ya mbok. Oh , ya sejak kapan Bu Barijah mulai sering menanti di stasiun itu “ tanyaku
“ Sudah hampir setahun. Atau tepatnya ketika adik kamu menikah. Hari jumat malam. Ibu ingat betul itu. Karena malam itu dia datang ke rumah di tengah acara perkawinan. Dia bilang tak bisa lama lama karena harus menjemput Tejo di Stasiun untuk kereta sore..” . Oh itu tepat hari kematian Tejo.
Seusai makan malam aku sempatkan datang kestasiun untuk menemui Bu Barijah. Kedatangaku disambut hangat oleh Bu Barijah. Dia duduk dipinggir stasiun dengan tikar lusuh. Bajunya lusuh. Udara malam dibalutnya dengan sarung.
“ Jo.. terimakasih. Tadi Tejo sudah datang temui ibu. Dia sehat Jo. Dia peluk ibu. Dia ingin ajak ibu pergi kerumah Tuhan..”
“ Oh Ya bu..” aku pikir Bu Barijah sudah gila atau berhalusinasi karena kerinduan teramat dalam kepada Tejo.
“ Ya Jo. Dia datang kuda putih. Gagah sekali Jo. Ibu mau ikut Tejo..” Kata Bu Barijah nampak ceria.
“ Ya Mbok…”
“ Kamu jangan pergi dulu ya. Tejo sedang pergi sebentar. Dia janji akan jemput ibu..tunggu ya..”
Aku tak bisa berlama lama bersama Bu Barijah.Semakin lama aku disini bersamanya semakin tertekan jiwanya. Semakin dalam kerinduannya kepada Tejo. Karena bagi Bu Barijah aku dan Tejo adalah dua anak yang selalu lekat dalam pikirannya. Apalagi , waktu dulu ibu sedang sakit, Bu Barijah lah yang menyusuiku. Karena waktu kelahiran Tejo dan aku hanya berjarak dua hari. Akupun kembali kerumah dengan langkah berat. Ingin rasanya membawa Bu Barijah pulang. Ingin rasanya aku menyampaikan hal yang sebenarnya tetang Tejo yang sudah almarhum. Tapi semua itu tak bisa bibirku bergerak.
Pagi harinya. Suara diributkan oleh orang kampung yang mengabarkan bahwa Bu Barijah meninggal tadi malam di stasiun. Orang kampung, termasuk aku berlari ke stasiun untuk membawa jenazah Bu Barijah. Jasadnya yang membeku di stasiun itu, nampak dalam keadaan tersenyum bahagia sambil memegang erat kertas yang tadi kubacakan sebagai surat dari Tejo…
Aku terkesiap memandangi jasad Bu Barijah. Airmataku berjatuhan. Aku menangis sejadi jadinya. Ibu memelukku. “ Kabarkanlah kepada Tejo…” suara ibu berbisik kepadaku…

Tejo memang berhasil membawa ibunya kerumah Tuhan. Memang Tejo tak berharta. Dia Maskin. Namun Akhlaknya yang mulia melindungi seorang janda yang terabaikan dengan seorang anak terlantar adalah harta tak ternilai untuk membawa ibunya kerumah Tuhan dengan senyum. Allah tak melihat dari apa yang kita berikan kepada Ibu kita tapi seberapa jauh kasih sayang dan cinta kita dibalik pemberiaan itu , walau itu hanya sebatas niat yang tak tertunaikan .Selagi ada niat untuk berbakti kepada ibu , selagi akhlak mulia bertaburan dimuka bumi maka selama itupula seorang ibu pantas melahirkan kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah telah menunaikan niat Tejo .

Thursday, April 30, 2020

Narasi kerinduan




“ Lue harus bisa menghayati kesedihan seorang Ibu. Apa susahnya , lue kan cewek. “ kataku kesal ketika melihat Wina membacakan monolog. Udah berulang rulang kali namun tetap tidak seperti yang aku mau sebagai penulis monolog itu.
“ Gua memang cewek tetapi gua bukan emak emak, bego luh. “ katanya ngambek.
“ Ya setidaknya dalam diri elo ada cinta ibu, yang bisa memahami perasaan seorang ibu.” Kataku balik kesel. 
“ Capek gua, dari kemarin lue  salahin gua terus” 
“ Ya memang salah. Mau dipuji? Lu yang bego” 
Wina menangis. Masuk ke kamarnya. Ibunya dengan tersenyum mengatakan agar aku pulang aja. “Wina sedang ngambek. Nak Ale pulang aja. Maafin Wina ya Nak. “  Kata ibunya. Aku pulang. 

Keesokannya di sekolah, Guru pembimbing bertanya “ Win gimana latihan baca cerpennya? Tulisan Ale bagus sekali. Ibu yakin kamu cocok sekali membacakan cerpen itu. Pasti kelas kita juara nanti.”  
Wina menatapku dengan cemberut. 
“ Memang kenapa ? Ada apa Ale?  “ kata Guru pembimbing
“ Engga ada apa apa bu.” Kataku melirik ke Wina sambil tersenyum.  Guru pembimbing berlalu dari hadapan kami. 
“ Gua  tunggu lue di rumah gua. “ kata Wina, itu artinya dia tidak lagi ngambek.

“ Cerpen gua itu sebetulnya hanya pendek aja.  Ini soal Tejo si anak semata wayang pergi merantau. Terus engga pulang pulang. Ibunya kangen banget. Tejo engga pernah pulang. Karena Tejo meninggal di rantau. Akhirnya ibunya meninggal dalan kerinduan kepada anaknya. Gitu aja.” Kataku  ketika mulai latihan membaca.

“ Gua tahu itu. Engga usah ulang ulang terus. Tapi yang panjang itu narasi elo menggambarkan perasaan ibunya Tejo. Itu yang sulit gua pahami. Gimana gua bisa paham soal perasaan seorang ibu? Kita kan masih anak SMP. Gimana sih lue tahu segala soal perasaan seorang ibu? 

“ Ya susah kalau elo tanya ke gua. Itu hak gua sebagai penulis. Tugas lue ya ikuti mau gua aja dech. Berkali kali gua ajarin lue cara membacanya, setiap paragrap dengan mimik dan intonasi. Tetapi gimanapun itu tidak menyatu dengan tulisan gua. Karena gua cowok. Lue kan cewek , pasti tahu memaknai cerita itu dan tahu gimana mengungkapkan perasaan pada setiap paragraf.”  kataku berusaha mencerahkan.  Namun tetap gagal. Aku berusaha sabar.  Pada suatu hari entah mengapa aku mencium Wina. Cepat sekali. Wina lari masuk ke dalam rumah. Masuk kamar. Tidak keluar lagi. Tinggalah aku di teras.  Merasa bersalah. Sejak iitu aku takut bertemu Wina.  Moga Wina bisa menghayati tulisan cerpenku.  Akupun tak mau lagi paksa dia seperi aku mau. 

Namun ketika saatnya lomba baca cerpen, aku sempat merinding. Terutama disaat paragraf perpisahan Tejo dengan ibunya di stasiun kereta, Wina menangis. Benar benar menangis. Apalagi ketika Tejo tidak pulang pulang, sementara sahabatnya sudah pulang. Wina mengis terisak isak membaca setiap narasi yang menggambarkan suasana hati ibu Tejo. Sudah bisa ditebak. Para hadirin yang menonton lomba itu, termasuk juri ikut berlinang air mata.  Wina juara 1.

Tamat SMP kami berpisah. Karena SMA kami berbeda. Kalau ada waktu senggang Wina pergi ke pasar bersama orang tuanya, dia sempatkan mampir ke tempat aku jualan kaki lima di pojok pasar. Dia menyapaku. Memang pulang sekolah aku dagang untuk biaya sekolah. Tamat SMA, aku pergi merantau. Kami tidak lagi berkomunikasi. 

***
Tanpa disadari kadang kita terjebak dengan emosi bukan karena kita melihat, tetapi bisa juga yang tidak terlihat. Namun ia selalu hadir dalam pikiran kita lewat tulisan dan pesan. Itulah dunia maya, yang tahun 2000a era yahoo messenger dan MSN, membuat dunia menjadi sangat dekat tanpa batas. Sebagaimana perkenalanku lewat yahoo messenger dengan seorang wanita. Belakangan aku tahu dia bekerja sebagai TKW di Hong Kong. Kalaulah dia hanya PM untuk omong kosong pasti aku reject.  Yang membuat aku tertarik, wawasannya luas. Terbukti dalam diskusi dia bisa memahami hal yang rumit dan mengimbangi ku sebagai trader pasar uang. Namanyapun di Yahoo messenger bukan nama alias. Tetapi nama asli. Rere Astuti. Itu tahun 2006.

Setiap malam dia PM saya terlebih dahulu, dan selalu diawali dengan ucapan Assalamualaikum, dan tak lupa, “ Bapak sibuk? Kalau aku tidak jawab, dia sabar menanti. Dia akan signed out bila aku juga signed out. Tetapi dia tahu, yahoo messenger ku tetap nyala sampai dini hari. Usai rehat bursa, aku sempatkan chating santai. Kadang menarik, dan tulisanku sangat cepat. Dia membalas dengan kesan yang memang dia memahami apa yang aku bicarakan. Begitulah perkenalan lewat dunia maya itu berlangsung setengah tahun. Kami tidak pernah tertarik untuk saling bertemu. 

Suatu saat yang tak pernah aku lupa dia mengatakan dalam chat " saya ingin merubah nasip saya. Tadinya saya berpikir dengan bekerja di luar negeri bisa mengubah nasip saya. Tapi kini saya yakin sekembali dari hong kong , nasib saya tidak akan berubah. Saya ingin dekat denga ibu dan anak saya" 

“ Hidup ini soal pilihan dan setiap pilihan tidak ada yang sempurna. Masalahnya bisakah kita berdamai dengan ketidak sempurnaan itu.”

“ Benar pak. Kuncinya adalah  sabar dan sholat” 

“ Kamu masih muda, masih banyak pilihan, teruslah berimprovisasi untuk yang terbaik bagi hidup kamu, passion kamu” 

“Saya punya obsesi , mau buka usaha kuliner lewat produksi. Saya pintar masak kue. Dan saya ingin buat kue yang laris di hong kong dengan kreasi tersendiri, dan mungkin lebih enak. Tapi gaya menagement nya akan saya tiru Hong Kong.  Cake itu akan jadi penganan bukan sekedar makan tetapi gaya, dan ciri khas kotaku. Tapi saya engga ada modal untuk memulai. Gaji sebagai TKW habis untuk biaya anak dan orang tuaku di kampung. Mungkinkah bapak bisa kasih saya pinjaman modal.” Katanya lewat Chat.

Kesimpulannya dia butuh bantuan permodalan untuk membuka usaha yang dia yakini bisa mengubah nasipnya. Karena dia sangat yakin akan keahliannya,yang selama ini tidak dimanfaatkan. Dia tidak mau membuang umurnya hanya sebagai ART. Bila pulang ke tanah air tidak ingin kembali ke Hong Kong. Aku tidak menanggapi dengan memberikan solusi tapi berharap dia bersabar untuk menjalani hidup ini. Setelah dialogh itu, setiap hari dia PM aku.  Namun aku jawab sehari setelahnya atau kadang aku jawab rapel di hari minggu dengan jawaban singkat. Keadaan ini terus berlangsung sampai akhirnya dia pulang ke indonesia.

Suatu saat aku makan malam dengan relasi dari korea dan China. Malam itu aku membayar bill HKD 35,000. Entah mengapa aku teringat dengan dia. Dia hanya butuh uang sebanyak bill yang aku bayar itu, dan itu bisa mengubah impian jadi realita. Sementara bagiku uang sebanyak itu hanya habis tiga jam dalam kebersamaan dengan relasi. Hidup memang tidak adil, tetapi aku tidak ingin menjadi bagian dari ketidak adilan. Setidaknya aku harus mulai peduli, walau itu tidak rasional dalam kacamata bisnis. 

" walau bapak tidak pernah bertemu dengan saya..saya doakan bapak agar sehat selalu dan dimudahkan rezekinya sehingga saya punya harapan walau harapan itu tipis sekali namun saya tetap berprasangka baik bahwa Allah akan mudahkan saya..” Saya membayangkan. Kalaulah dia berniat ingin memperdayaku, tidak mungkin dia bisa bertahan hampir setahun dalam pengharapan.  Obsesinya menembuh batas rasional untuk tak henti berharap satu langkah pasti yang akan memberinya kesempatan lebih baik, menjadi lebih baik.

Sesampai di kamar, di depan komputer nampak tanda kedap kedip. Ternyata PM dari dia. Selalu dia awali dengan assalamualaikum. Apakah bapak sehat ? Langsung aku tanya nomor rekeningnya bahwa aku akan bantu proposal dia. Aku tidak perlu penjelasan lagi karena sudah cukup hampir setahun aku mendengar alasan dari dia.  Keesokan paginya saya kirim uang ke rekeningnya. 

Sempat aku berkata kepada diri sendiri " mungkin saya bodoh memberi uang kepada orang yang saya kenal hanya di dunia maya. Tapi saya tetap berprasangka baik bahwa dia memang membutuhkan bantuan dari saya dan Tuhan menggiringnya kepada saya karena doanya siang dan malam..”

Malamnya dia PM dengan ucapan terimakasih dan berjanji akan mengembalikan uang itu secepatnya. Dia dan  anaknya akan berdoa untuk kebaikanku. Setelah itu PM nya sudah tidak pernah lagi muncul di sudut komputerku. Walau terbersit rasa curiga namun aku tetap yakin aku berbuat baik karena Tuhan, cukuplah Tuhan tempat kembali semua perbuatan..

***
Tahun 2009 aku dapat email dari dia bahwa dia ingin bertemu langsung denganku. Dia datang ke Hongkong khusus untuk bertemu dengan ku. Aku balas emailnya. “ Saya undang kamu makan malam. Saya pesan tempat di restoran kawasan East Tsim Sha Sui, Kowloon karena tidak jauh dari apartment saya. Mungkin saya datang agak telat, tapi kamu tunggu saja. Cukup menyebutkan nama saya, petugas kafe akan menyediakan table untuk kamu. Karena saya sudah booking. “ jawabku dalam email. 

Ketika mau masuk restoran, di lobi aku melihat wanita sedang bermain dengan Balita. Aku tidak bisa lupa wajah wanita itu. 
“ Wina…” Seruku. 
Wanita itu menoleh ke arahku. “Ale..” teriak dalam keterkejutan. 
“ Benarkah elo le ? Ale…ale..” katanya seraya memelukku.
“ Ya gua, Win. Lu sehat ya “ 
“ Gua sehat. Lu engga berubah, Ale…” Katanya seraya menyentuh kedua pipiku. 
“ Ada apa kamu ke Hong Kong ? tanyaku.
“ Aku temanin anakku, sekalian jaga cucuku. Katanya dia mau meeting dengan relasinya.” 
“ Oh ya..Jadi kamu udah punya cucu ?
“ Ya. “ katanya tersenyum cerah.
“ Kamu ?
“ Belum” kataku. 
“ Udah berapa anak ?
“ Dua.  Suami lu gimana ?
“ Kami sudah bercerai sudah lama sekali. Gua single parent. Sekarang gua jadi momong cucu aja” Kata Wina.
“ Ya udah. Nanti kita sambung lagi ya bicaranya. Gua ketemu dengan tamu gua dulu. Hanya 15 menit. Jangan kemana mana.” kataku. Wina mengangguk.

Ketika aku masuk kafe, aku menyebut table atas namaku. Pelayan mengantarku ke table, yang sudah ada wanita duduk.  Cantik dan sangat ramah.
“ Pak Ale ya ?
“ Ya. “
Lama dia menatapku, dan akhirnya airmatanya berlinang. 
“ Ternyata inilah malaikatku. Terimakasih pak. Terimakasih. “ Katanya. Dengan airmata berinang dia bercerita bahwa nasipnya berubah berkat modal yang aku beri. Kini dia punya karyawan 8 orang. Dia juga meminta maaf karena lama tidak lagi berkomunikasi denganku namun doanya selalu ada untuk-ku.  Ketika dia mengembalikan uang yang pernah dia pinjam, aku menolak halus. Aku berharap dia bisa mengembangkan usahanya.   Sejenak kemudian, aku meliat matanya tertuju ke arah pintu masuk.  Nampak dia  melambaikan tangannya. “ Pak saya ingin kenalkan ibu dan anak saya.” katanya. 

Ketika aku menoleh kebelakang, nampak Wina melangkah ke arah kami bersama Balita. 
“ Itu ibu dan anak kamu?
“ Ya. “ Katanya.
“ Loh, Re, ini loh relasi kamu ? Kata Wina ketika sudab sampai di table
“ Ya Ma.” Wina dan putrinya saling pandang beberapa detik.
“ Berkat pak Ale yang bantu ma, sehingga aku tidak perlu lagi kembali ke Hong Kong jadi TKW, dan waktuku lebih banyak bersama mama dan anak ku.”  Kata putrinya.
“ Ale…?? ” Wina menatapku lama. Aku menanti suasana hatinya dalam keterkejutan mereda “ Lue ingat aja ya soal cerpen keriduan ibu Tejo ya. “katanya memukul lembut dadaku. Wina menangis. Aku memeluknya seraya tersenyum kepada putrinya. “ Ya dan kamu membacakannya dengan sangat luar biasa, ya kan Win.”
“ Terimakasih Ale, udah mengembalikan ReRe kepadaku, dan aku tidak perlu mengkawatirkan lagi ReRe karena sekarang kami selalu bersama. Berkat kamu, aku tidak sampai bernasip sama dengan ibu Tejo, kan.” katanya tersenyum. 
“ Siapa Tejo Ma. “ Tanya putrinya bingung.
Aku dan Wina hanya tersenyum” Engga perlu kamu tahu. Itu kisah lama, kisa waktu masih SMP. Masih jadi monyet" Kata Wina ***

Hijrah dari atmosfir kemiskinan

  ” Udah tembus 16 ribu rupiah harga beras sekilo. Gula juga udah tembus 17 ribu rupiah. Cepat sekali berubah harga. Sebentar lagi listrik j...