Saya bertemu dengan Florence di cafe pavorit kami. Wajahnya nampak murung. Galaukah dia? saya diamkan saja. Tetapi dia menutup mata saya dengan telapak tangannya “ Kenapa sih pandangin gua terus? emang gua anak ABG? Gua udah tua tahu! “ Kata Florence.
“ Lue sahabat gua sejak saya usia 20 tahun. Gua suka lu. Salah!
“ Ya gua tahu. Tapi udah dech jangan seperti kita muda dulu. Engga perlu goda gua. Genit luh .” Katanya merengut.
“ Ada apa kamu? kenapa nampaknya seperti galau?
“ Coba dech lu bayangin. Rakyat yang tinggal turun temurun sebelum Indonesia merdeka, mau diusir begitu saja dari lahan mereka di Pulau Rempang hanya karena membela kepentingan investor “ kata Florence. Oh ini soal Pulau Rempang. Saya mengangguk. “ Lantas apa bedanya dengan era Kolonial ? lanjutnya.
“ Ah kamu aja yang baper. “ Kata saya santai. FLorence meolotot mau tabok saya. “ Kamu terlanjur punya persepsi bahwa kemerdekaan itu adalah hak semua rakyat atas sumber daya dan lahan. Engga begitu say. Merdeka kita itu adalah kelanjutan dari sistem kolonialisme. Walau berganti era namun esensinya tetap sama. yaitu kekuasaan kaum pemodal. Itu tidak pernah berubah sejak sebelum Indonesia di proklamirkan. Hanya saja jalan perubahan itu berliku..” Sambung saya. Sepertinya Florence mengerutkan kening dan termenung. “ Coba jelaskan mengapa gua terjebak soal persepsi kemerdekaan itu” tanya Florence
Saya senyum aja. Engga mau jelaskan. Nanti dia makin stress. Usianya tidak beda dengan saya. Usia 60 tahun. Dulu masih muda dia marah, saya engga kawatir. Tapi usia menua, kawatir darah tingginya naik. Saya inginkan dia sehat. “ Jelek, “ teriak Florence. Kalau suasana hatinya tidak sedang blue selalu panggil saya dengan sebut jelek “ Jelaskan ke gua. Apa maksud lue soal persepsi merdeka yang salah itu. “ Kata Florence.
“ Ok gua ceritain tapi jangan dipotong kalau gua sedang bicara”
“ ya gua siap menyimak “ katanya. Saya seruput kopi dan entah mengpa saya termenung ke sejarah masa lalu.
“ Dibalik sejarah kisah proklamasi kemerdakaan yang kita baca. Apakah kita pernah merenung tentang suasana kebatinan Soekarno dan Hatta saat akan memproklamirkan kemedekaan Indonesia. Para pemuda pelopor yang mayoritas kaum kiri maksa Soekarno Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan. Jepang sudah jatuh. Apalagi yang ditunggu, kata para pemuda militan itu. Tapi Soekarno dan Hatta menolak. Bahkan para pemuda itu sempat menculik mereka berdua dan diancam akan dibunuh bila tidak segera memproklamirkan kemerdekaan. Tetap saja mereka berdua menolak. Nah cobalah renungkan. Renungkan suasana batin mereka..Bahkan saat akhirnya Kemerdekaan Indonesia di proklamirkan juga, di kediaman Soekarno di Jalan Penggansaan, Jakarta, Soekarno sedang sakit malaria. Dia juga tidak serius amat. Terpaksa saja. ” Kata saya. Florence bengong.
‘ Mengapa Soekarno Hatta sampai ragu memproklamirkan kemerdekaan Indonesia ?
“ Kala itu, Soekarno , Hatta sangat tahu diri. Mereka bukan siapa siapa dihadapan Pemerintahan Dai Nippon. Jepang walau sudah kalah perang dunia kedua tidak punya legitimasi menentukan masa depan Indonesia. Yang berhak itu adalah pemenang perang, dan dalam hal ini adalah Belanda dan sekutunya. “Kata saya. Saya seruput lagi kopi dan hisap rokok dalam dalam.
“ Tantangan yang dihadapi mereka dalam mencapai kemerdekaan adalah Belanda yang ingin kembali berkuasa di Indonesia. Di sisi lain, Belanda mengakui juga kaum feodal yang bernaung dibawah sistem kerajaan yang sudah eksis sebelum Indonesia merdeka. Soekarno Hatta bukan keluarga kerajaan. Mereka berdua sama dengan elite pergerakan yang tidak legitimit. Kalau diibaratkan era sekarang, mereka berdua dianggap pemberontak, kaum radikal dan para pemuda kiri pendukungnya dianggap teroris.
Dan lagi Soekarno Hatta tidak punya kekuatan akar rumput. Mereka hanya intelektual yang dianggap berbahaya oleh pemerintahan kolonial. Tapi mereka punya sahabat yang cerdas dan militan. Dia adalah Sutan Sjahrir, yang punya akses kepada kekuatan akar rumput kaum kiri. Soekarno , Hatta dan Sutan Sjahrir sudah bersahabat jauh sebelum Indonesia merdeka. Walau ketiganya adalah nasionalis namun cara mereka memperjuangkan nasionalisme itu berbeda jalan. Soekarno ingin merangkul semua golongan dalam satu barisan nasional ( front nasional). Hatta condong kepada sosialis religius. Sedangkan Sjahrir adalah sosok sosialis international. Ketiga orang ini punya keyakinan sama. Yaitu anti kolonialisme.
Sebagai sahabat antar mereka tidak ada sekat. Kadang bertengkar, kadang tersenyum dan kadang saling becanda. Hubungan lebih kepada personal. Mereka bertiga pernah di penjara dan dibuang kepengasingan oleh Belanda. Hatta dan Sjahrir diasingkan ke Pulau Banda Neira. Soekarno dibuang ke Bengkulu. Setelah Jepang masuk dan Belanda terusir, mereka dibebaskan. “ Kata saya. Saya terdiam. Lama.
“ Terus..” desak Florence.
“ Ya. Selanjutnya mereka atur strategi. Soekarno dan Hatta tampil di permukaan mengutamakan jalan dialogh dengan Dai Nippon , dan kemudian dengan Belanda, walau tahu itu tidak produktif untuk dapatkan kemerdekaan. Sementara Sjahrir bergerak dibawah tanah. Memprovokasi kaum kiri (komunis ) untuk mengganyang kaum feodal. Kalau lue baca sejarah Proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur 56, tidak ada satupun wakil dari keluarga kerajaan. Sebagian besar yang hadir dalam acara proklamasi itu adalah kaum kiri. Kebanyakan mereka penghuni Asrama Menteng 31 yang diasuh oleh Sutan Sjahrir.
Kaum kerajaan yang pertama kali proaktif mendukung berdirinya republik adalah kesultan Yogyakarta dan Surakarta. Sementara kerajaan lain seperti kerajaan Melayu setuju bergabung dengan Republik tapi tidak melebur. Tetap mempertahankan kerajaan dalam sistem federal. Bisa dibaca sejarah hasil rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) di Medan pada tanggal 3 Februari 1946. “ Kata saya.
“ Tentu kerajaan yang masih eksis itu hambatan serius bagi Soekarno dan Hatta terutama dalam berunding dengan Belanda. “ Kata Florence.
“ Ya benar. Itu sebabnya Soekarno dan Hatta perintahkan Sjahrir untuk menggerakan kaum kiri melakukan revolusi sosial di Sumatera timur yang merupakan kekuasaan Kesultanan Melayu. “ Kata saya.
“ Mengapa kaum kiri? Tanya Florence. Dia sepertinya larut dalam kisah ini.
“ Karena kaum kiri udah pengalaman melakukan pemberontakan di era kolonial Belanda. Para aktifis dan organisasi bawa tanah mereka memang militan dan punya cara hebat menggerakan kaum tertindas, seperti para petani yang lahannya digusur oleh Belanda atas restu kerajaan. Para buruh kebun dan tambang yang dapat upah ala kadarnya, kerajaan malah ikut mendukung penindasan oleh kolonias Belanda.
Nah aksi ini motori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Barisan Harimau Liar (BHL). Volksfront dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) besutan Mr. Amir Syarifuddin yang berdiri November 1945. Organisasi inilah yang melakukan aksi. Walau Kerajaan islam Melayu sangat kuat dan didukung ulama, engga ada urusan bagi mereka. Tak terbilang korban dari kaum bangsawan dan raja yang dibantai mereka. Benar benar bar bar. Satu keluarga bangsawan dikumpulkan di halaman masjid dan dibunuh. Dikubur dalam satu lubang. Ya kalau boleh dikatakan revolusi Indonesia adalah revolusi kaum kiri revolusi bau amis darah.
Walau keluarga kerajaan dibunuh dan kesultanan runtuh oleh revolusi sosial rakyat, namun tidak menghllangkan legitimasi eksistensi kesultanan itu dihadapan Belanda dan PBB. Pengakuan kedaulatan Indonesia sesuai dengan hasil KMB yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus - 2 November 1949. Mengakui keberadaan Indonesia Serikat atau negara federal. Mengapa? karena memang saat itu sudah terbentuk negara negara federasi seperti Negara Indonesia Timur (NIT) yang berdiri tahun 1946. Negara Sumatera Timur tahun 16 Februari 1946. Negara Sumatera Selatan pada 30 Agustus 1948, daerah meliputi Palembang dan sekitarnya, dengan Presiden Abdul Malik. Negara Pasundan. Negara Jawa Timur pada 26 november 1948. Negara Madura pada 21 Januari 1948.
Juga Balanda melegitimasi terbentuknya negara Kalimantan Barat, Kalimantan Timur Dayak Besar (daerah Kalimantan Tengah) Daerah Banjar (Kalimantan Selatan) Kalimantan Tenggara, Jawa Tengah, Bangka Belitung, Riau Kepulauan. Semua negara itu, delegasinya hadir dalam KMB. Mereka itu melanjutkan monarki di Indonesia. Belanda memang mendesign Indonesia seperti negara di Timur Tengah. Jadi sebenarnya Belanda ingin melanjutkan kolonialisme dalam bentuk pan nasionalis atau republik Indonessia serikat ( federal).
Namun Soekarno , Hatta dan Sjahrir smart. Mereka provokasi elite islam. Maklum anggota Parlemen Republik Indonesia Serikat mayoritas tokoh islam. Mereka tampil kepermukaan setelah kaum kiri sukses mengganyang elite kesultanan. Pada waktu bersamaan Sjahrir menggerakan mesin politik kaum kiri untuk melakukan revolusi rakyat melawan negara bentukan Belanda itu. Chaos ini memang dibenarkan oleh konstitusi RIS pada pasal 43 dan 44. Penggabungan antara negara atau daerah dimungkinkan karena kehendak rakyat.
Di tengah krisis politik itu. Parlemen setuju dengan gasasan Natsir untuk kembali ke negara kesatuan. Dengan demikian, negara RIS berakhir dan secara resmi pada 17 Agustus 1950 terbentuk kembali NKRI. Dengan Soekarno sebagai Presiden dan Moh Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Setelah itu Pemilu langsung digelar tahun 1955 untuk melegitimasi Republik Indonesia. “ Kata saya.
“ Terus dimana bedanya era sekarang dengan era kolonialsme” tanya Florence. Saya tersenyum. Memang kadang naif orang terpelajar di Indonesia.
“ Duh say, yang harus kamu tahu. “ Kata saya. “ Tanpa dukungan Politik AS terhadap Indonesia, tidak mungkin Belanda diam saja saat krisis politik di wilayah federal itu terjadi. Belanda tahu kok chaos politik itu karena rekayasa Soekarno yang memang dari awal menolak negara federal, dan tidak nyaman bila irian barat tidak termasuk yang diakui sebagai bagian dari Indonesia. Serangan militer Indonesia merebut irian barat tahun 1962 itu juga dukungan AS. Tanpa itu, tidak mungkin Indonesia bisa menang mudah dan sukses melakukan referendum Politik Irian Barat yang melegitimasi kekuasaan Indonesia. " Sambung saya. Kembali hisap rokok.
" Setelah itu " Lanjut saya. " Soekarno berusaha melepaskan diri dari jejak sejarah dukungan AS dan sekutu. Dia membentuk Gerakan non Blok setelah indonesia resmi keluar dari PBB. Dia juga berdansa dengan .China untuk mengimbangi hegemoni AS. Tapi karena itu Soekarno di jatuhkan oleh kekuatan inteligent CIA. Seoharto tampil ke panggung kekuasaan dengan bau amis darah kaum kiri. Dia patuh kepada AS, jadi golden boy pama Sam. 32 tahun kekuasaan Soeharto, hampir 90% wilayah Indonsia dikuasi AS dan sekutunya lewat konsesi MIgas dan Mineral tambang. Sementara kaum kiri diganyang dan kaum agama dibonsai” kata saya. Saya hisap rokok dan seruput kopi. Saya termenung.
“ Terus..” desak florence.
“ Era reformasi, UUD 45 di amandem. Pada tahun 2002, OECD berkantor di DPR sebagai mentor melakukan amandemen UUD 45. Semua partai yang kini berkuasa adalah mereka yang merubah UUD 45. Dari 194 ayat, 3 Pasal Aturan Tambahan, 2 Aturan Peralihan yang terdapat dalam UUD 2002 hanya 25 ayat yang terdapat dalam UUD 45 dipertahankan. Jadi ini bukan amendment tapi merubah UUD 45. “ Kata saya.
“ Bagaimana struktur Indonesia setelah perubahan UUD 45 ini ?
“ Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan langsung oleh rakyat tapi bukan lagi penguasa tertinggi. Karena MPR sebagai wakil rakyat tertinggi diubah. MPR hanyalah sekedar majelis pertemuan bersama atu joint session assembly yang tidak punya kewenangan mengubah dan menetapkan UUD, karena bukan merupakan lembaga tertinggi pelaksana kedaulatan rakyat; menggunakan sistem presidensial, dan memisahkan perekonomian nasional dengan kesejahteraan sosial.
Sehingga mengakibatkan sistem perekonomian Negara tidak lagi dilandasi oleh asas kekeluargaan untuk keadilan sosial, tetapi telah berubah menjadi sistem ekonomi individualistis dan bebas seperti pemikiran ekonomi kapitalistis. Pada tahun 2002, Asian Development Bank memberikan pinjaman lunak kepada Pemerintah Indonesia untuk mendukung Program Financial Governance and Social Security Reform senilai USD 250 juta.
Saya ingat ketika bantuan itu diberikan, salah satu teman aktifis berkata bahwa ada dua agenda besar dari program ini, yaitu mereformasi koperasi dan jaminan social dalam Blue Print Economic reform. ST-MPR 2002, secara konstitusional, bangun usaha koperasi tidak lagi dianggap perlu atau wajib dikembangkan di Indonesia. Sehingga secara konstitusi Koperasi sebagai alat perjuangan rakyat dalam bidang ekonomi tidak lagi mendapat tempat istimewa dihadapan Negara.
Kemudian diperkuat lagi dalam amandemen UUD 45 Pasal 33 dengan menambah ayat 4. Ayat ini seakan mengingkari secara halus ayat 1,2, dan 3-nya dimana perekonomian disusun secara prinsip demokrasi. Jadi tidak ada lagi perlakuan istimewa kepada satu pelaku ekonomi. Siapapun dapat mengusahakan perekonomian secara bebas alias liberalisasi perekonomian. Hal ini tertuang dalam ayat selanjutnya yaitu ayat 5 dimana ketentuan lebih lanjut diatur UU. UU yang mana? lihat saja UU penanaman modal dan UU Cipta Kerja, yang kental sekali nuansa liberalnya. “ kata saya.
“ Oh..” Florence berlinang air mata.” Ternyata persepsi saya selama ini salah. Ternyata kemerdakaan itu hanya omong kosong. Itu tak lain kelanjutan dari sistem kolonialisme dimana kepentingan pemodal dan investor sebagai prioritas.
“ Dan kamu harus tahu. Tahun 2003 keluarlah UU BUMN dan tahun 2003 juga UU SJSN masuk dalam proglegnas. Tahun 2004 UU SJSN disahkan. Dengan demikian pendekatan BUMN dan SJSN yang kemudian melahirkan UU BPJS memang bisnis oriented. Rakyat sebagai konsumen harus siap membayar atas dasar ekonomi semata. Jangan kaget kalau jasa dan Produk BUMN dan tarif BPJS tidak pernah turun, terus naik dari tahun ke tahun.
Bukan hanya dari tarif negara rampas penghasilan rakyat, tetapi juga lewat pelemahan kurs rupiah. Belum cukup puas, Lewat tangan investor dengan alasan pembangunan ekonomi, negara melegitimasi penggusuran tanah milk rakyat. Ganti untung dalam jangka pendek tapi merugikan rakyat dalam jangka panjang. “ Kata saya. Florence bengong dan akhirnya termenung. Airmatanya berlinang. Saya tahu dia marhaen sejati. Dari muda saya tahu dia sangat setia dengan idiologi Seokarno. Kaum marhaen pasti menangis kalau mendengar rintihan rakyat ditengah konflik agraria.
“ Engga usah dipikirkan terlalu jauh.” Kata saya dan rangkul dia “ Besukur saja, kita bukan korban dari sistem kekuasaan, tapi kita justru menikmati hidup makmur berkat kemerdekaan. Soal rakyat miskin, itu udan takdir mereka jadi korban kebodohan atas nama agama dan idiologi. Biarkan itu tugas pemerintah yang urus. Setiap era ada tangan Tuhan untuk mengubahnya. Sejarah membuktikan itu. “ Kata saya. Florence tersenyum.
“ Lue kan punya rumah di Singapore. Punya tabungan jutaan dollar. Kenapa engga menetapkan aja disana. Lupakan saja Indonesia. Nikmati masa tuan dengan damai disana.” Kata saya.
“ Disana engga ada lue. Engga rame hidup gua tanpa lue.” kata FLorence dengan wajah bersemu merah. Saya senyum aja.