Sunday, January 28, 2024

Anak berbakti



 



Tahun 1995


Hari telah mulai gelap. Murni melangkahkan kakinya menyusuri lorong kampung kearah rumah kontrakannya. Tentu tadi siang dia baru menerima gaji mingguan hingga ada uang sedikit lebih untuk membeli makanan kesukaan suaminya.


“ Mas , Ini aku belikan pecel lele kesukaan Mas. “ kata Murni kepada suaminya yang sedang tiduran di sofa butut. Suaminya menatap sinis kearahnya.  “ Aku tidak mau makan! Kamu saja yang makan. “ Teriak suaminya dengan suara menggelegar. Murni terkejut. Belum usai keterkejutannya, suaminya melempar makanan itu kearah mukanya. Bungkusan nasi itu tumpah bertaburan dilantai dan sebagian sambalnya mengenai tubuhnya.


” Ada apa , Mas. ? Murni terkejut dan takut. Dia berusaha menahan tangis ketika airmata seketika hendak jatuh


” Ah , jangan tanya. Mana upah  mingguan kamu. ” Bentak suaminya. Tanpa memperdulikan Murni yang masih terkejut dengan tumpahan Nasi dilantai, suaminya dengan cepat merampas dompet ditangannya. Namun Murni berusaha menahan dompetnya dari hentakan tangan suaminya. 


” Tolong Mas, Jangan ambil uang ini. Kita butuh makan. Aku sudah tidak bisa lagi berhutang di warung.” Kata Murni dengan memelas. Wajahnya yang memelas itu bukannya membuat suaminya luluh malah yang datang tamparan” Pang...” tepat diwajahnya. Terasa asin mulutnya. Murni tahu bahwa itu darah.  Tangan suaminya dengan keras memelintir tangannya untuk merampas dompet. Dengan mudah dompet itu berpindah tangan. 


Suaminya mendorongnya hingga dia jatuh telentang di lantai. Dia lihat suaminya berusaha menarik tubuhnya kembali untuk memukulnya. Murni menutup wajahnya sambil berkata terbata bata ” Mas. Tolong jangan sakiti aku. Sudah, sudah, Ambil lah uang itu. ” katanya memelas berusaha menyentuh dua kaki suaminya berlutut. 


” Makanya jangan sok jago kamu. Berani melawan ya. ” Kembali suaminya bersuara lantang. Murni hanya terdiam sambil terduduk memagut kedua lututnya di pojok ruangan. Dia tak berani menatap wajah suaminya. Dia merasa takut dan sakit. Walau ini acap dilakukan oleh suaminya namun rasa sakit dan takut selalu hadit ketika suaminya marah. Jantungnya berdetak kencang. 


Apalagi ketika suaminya kembali menghampirinya dengan menarik rambutnya. Murni terdongak keatas. Nampak wajah suaminya sangat dekat dengan wajahnya ” Aku hanya ingin kamu mau turut apa kataku. Kita akan hidup lebih senang kalau kamu mau nurut. Bukan hanya uang mingguan yang tak lebih seharga sebetol minuman keras untuk ku. Paham“ Kata suaminya. “ Dan lagi jangan sok moralis. Toh kamu kan sebelum ketemu aku memang pelacur. Sekarang aku jadi mucikari kamu. Kita nikmati uang itu untuk hidup keluarga kita.” Sambung suaminya dengan nada sinis.


Murni hanya diam. Pedih rasanya dipukul dan terlalu pedih bila sudah sampai pada kehendak suaminya agar dia menjual dirinya untuk uang. Murni ikhlas bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan makan tapi tak pernah siap untuk menjual dirinya lagi. “ Mas…aku cinta Mas…” Murni memelas dan berharap suaminya kembali mengerti perasaannya.


“ CInta..cinta…aku tidak mengerti apa itu cinta. Aku hanya ngerti bagaimana hidup kita senang tanpa kerja keras. …” jawab suaminya sambil melotot. Ini membuat Murni kembali terpukul. Begitukah harga cintanya dihadapan suaminya. Memang dia pelacur dimasa lalunya. Apakah tidak ada hak untuk bertobat dan menikmati kebahagian dicintai dengan tulus? Kehidupan seperti ini telah berlangsung bertahun tahun. Bentak, marah dan akhirnya memukul adalah keseharian yang dia terima dari suaminya. Padahal Pria yang dulu begitu diharapnya sebagai suami untuk melindunginya


Seperti biasa setelah puas marah , suaminya pergi keluar dengan uang mingguan dari hasil kerja keras Murni. Tentu suaminya baru akan pulang setelah dini hari dalam keadaan mabuk. Murni hanya dapat memandang pergian suaminya. Dia hopeless. Cukup sudah. Sabar ada batas nya.


Dia pandang balitanya yang lelap tertidur. Gadis mungil itu akan bernasip sama dengan dirinya kalau tetap bersama suaminya. Mungkin Tuhan tidak menerima tobatku, tetapi aku tidak akan membiarkan putriku jadi korban kelemahan dan kebodohanku. Kata Murni dalam hati. Dia ambil baju Balitanya dan dia masukan ke dalam tas. Bajunya hanya dua setel dan pakaian dalam. Semua dia masukan kedalam tas.  Diapun pergi menembus malam pekat bersama balitanya. Dengan uang tersisa di dompetnya sebesar Rp. 5000. “ Aku tidak dendam kepada suamiku dan juga tidak akan mengeluhkan ketidak adilan terhadap takdirku. AKu hanya ingin pergi saja.” Tekad Murni.


***

Murni  lahir yatim dan setelah Balita ibunya pergi entah kemana. Sampai akhirnya dia dijual ke rumah pelacuran. Dia tidak tahu kemana akan pergi. Yang penting pergi saja. Dia setop Mikrolet tujuan Tanah Abang -Kota. Dia turun dari kendaraan depan stasiun kota. Saat itu jam 10 malam. Dia duduk pinggir jalan seraya gendong Balitanya. Dia dekap balita itu dengan segenap cintanya. “ Tuhan hukumlah aku, tetapi jangan hukum anakku. Aku siap menderita walau sampai ke neraka. Aku ikhlas, tetapi beri kesempatan kepada putriku untuk hidup lebih baik” Doa Murni. Hujan di bulan oktober turun rintik rintik. Dia berjalan kearah halte BNI.


Hujan semakin deras. Halte itu tidak cukup untuk mereka berteduh. Balitanya mulai terjaga. Menangis dalam basah kuyup. Mungkin lapar. Murni berusaha membujuk putrinya. Akhirnya bisa diam dalam pelukannya. Ada kendaraan berhenti depan halte itu.  Seorang pria  keluar dari kendaraan. Mendekatinya. “ Ibu mau kemana ? tanya pemuda itu.


Murni hanya menggeleng gelengkan kepala.


“ Ini sudah jam 11 malam. Tidak ada lagi angkot, Kereta juga sudah tidak ada. “ kata pria itu. 


“ Saya tidak tahu harus kemana. Saya pergi dari rumah. “ kata Murni menangis. 


Pria itu tertegun.  Kemudian nampak berpikir. “ Bu, ikut saya aja. “ Pria itu menawarkan diri. Murni tetap menunduk. 


“ Ibu untuk sementara tinggal di rumah singgah di Rawa Mangun. Mau ? kata pria itu. Murni menatap dengan seksama pria itu. Tubuh pria basah karena hujan. Dia melirik ke dalam kendaraan sedan yang berhenti. “ Itu supir saya. “ kata pria itu. Mau ikut ya” Pria itu kembali menawarkan diri. Murni mengangguk. Dia memilih duduk di depan. Menolak halus ketika dibukakan pintu belakang kendaraan. 


Walau malam sudah mendekati dini hari. Namun jalanan jakarta masih macet. Apalagi hujan deras. Murni diam saja. Pria itu juga tidak bertanya lagi. Namun Murni mendengar pria itu bicara lewat telp genggamnya. Pasti pria itu kaya. Punya kendaraan bagus dan hape. Pikirnya. “ Siapkan kamar untuk tamu baru. “ Kata pria itu bicara lewat telpnya “ Dia datang bersama putrinya. Siapkan saja” .


Sampai di rumah. Ada wanita berpayung membukakan pintu pagar. Rumah itu cukup mewah dan berada di daerah elite. “ Ini rumah singgah yang saya maksud.” Kata pria itu saat menuntun Murni masuk ke dalam rumah. Wanita itu mengambil balita dalam pelukan Murni. “ Ibu, duduk aja dulu di ruang tamu.Saya bereskan dulu tempat tidur. Putri ibu bisa tidur duluan di kamar” Kata Wanita. Murni menunduk ketika duduk di ruang tamu yang luas. “ Itu tadi Dina. Dia salah satu penghuni rumah singgah ini” Kata Pria itu. Ketika  pria itu bertanya ihwal kepergian Murni dari rumah. Ceritapun mengalir begitu saja. Dia tidak curhat tetapi berusaha jujur kepada orang yang tulus membantunya. 


1996


Murni tidak lagi bekerja di pabrik. Kawatir suaminya mencarinya. Berkat bantuan pria itu, Murni bisa kerja di percetakan. Sementara dia tetap tinggal di rumah singgah. Berselang satu tahun. Murni dapat jodoh di tempat kerjanya. Dia memutuskan menikah untuk sebuah kesempatan kedua. Walau pernikahan pertama dia tidak ada surat nikah. Namun pernikahan kedua ini dia menikah resmi di KUA. Puja puji Tuhan. Pria pemilik rumah singgah itu melalui Dina memberinya uang sebagai kado. uang itu dia belikan mesin jahit untuk membantu biaya hidupnya.Maklum suaminya hanya buruh kasar. 


Tidak lebih 1 tahun, setelah pernikahan itu. Murni kembali ke rumah singgah. “ Suamiku meninggal karena kecelakaan motor di jalan. Saya tidak ada uang lagi untuk bayar sewa rumah. “ katanya. Dina atas izin pemilik rumah singgah berela hati menerimanya. Satu waktu Murni berniat kerja di Batam. Namun dia tidak bisa membawa putrinya.  Dia berjanji kalau kerjanya mapan dia akan jemput putrinya. Pemilik rumah singgah menyanggupi menjaga putrinya. 


“ Sasa mau ikut mama…ma ma ma ma” teriak putrinya saat Murni akan melangkah keluar rumah.

 

“ Mama Sasa mau kerja. Nanti Sasa dijemput mama ya. “ Kata Dina berusaha membujuk. Sasa terus memberontak  dan teriak memanggil mamanya. Murni berurai air mata. Namun dia tidak punya pilihan. Terus melangkah pergi.


Setelah itu Murni tidak pernah datang lagi ke rumah singgah. Tidak juga ada berita. Surat dan telp tidak ada. Berlalunya waktu, Dina dapat jodoh di tempat kerjanya. Dia keluar dari rumah singgah. Namun dia berela hati membawa Sasa ikut bersamanya ke kalimantan. Kebetulan suaminya setuju.


Tahun 2014.


What a life. Tidak ada yang datang kebetulan kecuali atas kehendak Tuhan. Di cafe di kawasan Jakarta pusat. Pria remaja dan wanita muda duduk di ruang smooking “Dik, Mbak ada tabungan untuk kamu masuk PTN.” kata sang wanita

“ Jangan mbak, Itu uang mbak untuk menikah nanti.” kata Pria remaja itu. Menolak halus. 

“ Bimo biar kerja aja dulu setahun. Nanti kalau ada uang Bimo bisa kuliah.” kata pria itu berusaha bijak.

“ Engga bisa.” Kata wanita itu mengibaskan tangan. “ Kamu harus kuliah. Engga usah pikirkan Mbak. “ Kata Wanita itu. 

“ Kita miskin mbak. “ kata anak muda itu” Aku tahu diri. Biarlah aku kerja aja dulu.”

“ Dengar engga. Kamu harus tetap kuliah. Jangan patah semangat.” kata Wanita itu. 

Pria yang ada duduk disebelah table mereka bertanya “ Dari mana asalnya “ tanya kepada remaja itu.

“ Kalimantan. Tetapi kedua orang tua asal jawa”

“ Oh gitu. Om punya kenalan di kalimantan. Perempuan “

“ Siapa Om “ tanya wanita muda.

“ Dina “ 

“ Dina Priastuti. istrinya pak Drajad? kata pria remaja.

“ Suamiya tidak tahu pasti namanya. Tapi nama Dina itu tepat sekali.

“ Jadi om kenal dengan mama saya” Kata wanita muda itu. Pria itu mengangguk.

 “ OM kenal engga sama saya? sergah wanita muda itu.

“ Kamu kan Sasa ya.”Kata pria itu setelah berusaha mengingat ngingat.

Entah mengapa wanita muda itu segera berdiri menyalami pria itu. “ Om Ale kan.” kata wanita itu. “ mama sering cerita tentang Om. Setiap doa, nama Om selalu disebut.” kata Wanita muda itu lagi.

“Nih telp mama kamu sekarang” Kata pria itu. Tak berapa lama telp tersambung. “ Din, kamu sehat.?

“ Ini Bang Ale kan. “ terdengar suara Dina menahan tangis.

“ Ya Din.

“ Suaranya engga pernah lupa Dina.”

“ Kamu Sehat ?

“ Sehat abang. Sebenarnya Dina ingin telp atau kirim surat  tetapi sejak rumah singgah tutup dan Hape abang sudah ganti, Dina sulit untuk komunikasi. Maafin Dina bang”

“ Ya udah. Salam untuk suami kamu.”

“ Ya bang” 

“ Oh ya soal Bimo itu biar nanti Yuni urus untuk beasiswa dia.”

“ Abang terimakasih. Selalu Dina merepotkan abang.” Terdengar suara Dina terisak menahan tangis.


Pria itu tatap Sasa dengan tatapan teduh. Terbayang dulu saat Sasa balita kehujanan di halte dan masuk ke dalam kendaraan pria itu dalam keadaan basah. Setidaknya Sasa dibawah lindungan Tuhan bersama keluarga yang baik. Sasa tumbuh menjadi anak yang tahu berterimakasih dan berbakti, walau dia bukan anak kandung Dina. Dina juga hebat mau merawat dan membesarkan anak yang malang..


“Kamu kerja dimana Sa? tanya pria itu

“Sasa jadi perawat di Rumah sakit.”

Pria itu rentangkan kedua tangannya. Sasa menghambur dalam pelukan pria itu “ Jaga diri kamu baik baik ya sayang” Kata Pria itu

“ Sasa akan terus cari mama. Dalam doa selalu mama Sasa sebut. “ Kata Sasa. Pria itu belai kepala Sasa dengan segenap cinta kasih. Semoga Murni dimanapun berada bisa damai dengan hidupnya dan dibukakan jalan terang oleh Tuhan menemui putrinya.

2 comments:

Anonymous said...

Subhanallah

depatiayam said...

Bagus Babo

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...