Friday, February 03, 2023

Saling Mengerti.


 


Nama istriku Maryati. Dia menyebut dirinya Mar. Tapi aku tetap memanggil nama sayang dia semasa little girls,  Upik.  Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun. Tadi pagi sebelumk ekantor aku tahu dia kurang sehat. Tapi dia tetap mengantarku sampai masuk dalam kendaraan dengan senyumnya.


Sore aku pulang ke rumah. Di ruang tengah rumah kudapati Mar tidur tak bergerak di sofa. Napasnya halus, lunak. Dadanya bak tak beriak. Wajahnya bersih, putih. Atau, pucat? Tidak. Kulit Mar memang putih dan saat tidur mukanya kelihatan semakin bersih. Aku mendekat, kurapikan kakinya hati-hati. Aku tersenyum lega merasa kehangatan mengalir di sana.


Di luar, hari berlayar menuju petang seperti usia. Bayang pohon memanjang di halaman berlawanan dengan bayang pagi. Suara-suara pembantu senyap di belakang. Telepon bisu di sudut ruang. Di jalan agak jauh di depan rumah kendaraan lalu-lalang, bunyinya menyusup masuk usai berenang meniti daun dan bunga-bunga di halaman. Dibawanya juga harum kenanga ke dalam ruangan.


Kuamati wajah Mar sekali lagi, balik ke kursi, menonton tivi. Tidak ada yang patut. Pisah-cerai artis. Heboh, aneh, bagai pasangan hidup hanya mainan. Atau baju, sepatu, dapat kau ganti kapan mau. Tapi aku terus menonton. Di saluran lain film kartun, masak-memasak. Ah. Masakan Mar tentu mampu bersaing kalau tak lebih sedap. Tiga puluh delapan tahun seleraku dimanja, asam urat kolesterol pun tak singgah. Cuma umur, terus menjulur; meretas garis dekat ke batas.


Walau usianya menjelang 60 tahun. Namun cinta dan sayangku semakin bertambah. Kami menikah dalam usia yang sama dan tentu menua bersama. Dulu waktu anak anak masih tinggal di rumah. Mar sibuk dengan anak anak. Hari hari nya selalu bergerak. Siapkan sarapan pagi anak anak. Antar mereka ke sekolah. Mengingatkan PR mereka. Kadang ikut pula antar mereka pergi Les dan tentu menjemputnya pulang. 


Setahun kami menikah. Tuhan beri kami bayi. Setelah itu setiap dua tahun lahir anak satu, sampai empat. Usia 30 tahun. Mar tidak lagi hamil. Dia telaten mengurus rumah dan anak. Mengawasi semua aktifas anak anak, termasuk keperluan mereka, bahkan mengatur uang kebutuhan mereka ketika kuliah di luar kota. Dia selalu mengkawatirkan anak anak. Karenanya doanya sangat khusuk kepada Tuhan agar mereka baik baik saja. Aku tahu memang hidupnya hanya untuk anak anak dan aku. Walau aku hanya memberi uang, namun aku tahu betapa repotnya Mar mengurus anak anakku. Tapi Mar tidak pernah mengeluh kepadaku. Sepertinya dia nikmati kesibukannya sebagai Ibu Rumah Tangga. Padahal ketika aku nikahi dia sudah bekerja di BUMN. Hamil anak pertama, dia ikhlas berhenti kerja. Aku tidak pernah provokasi dia berkarir penuh sebagai ibu rumah tangga. Yang penting Mar bahagia dengan pilihannya.


Satu demi satu anak menikah dan pergi dari rumah. Masuk usia 56 tahun. 4 anak kami sudah menikah. Kami kembali tinggal berdua di rumah. Yang tertua anak kami, Herman. Dia jadi pengusaha. Nomor dua, Ilham, bekerja pada BUMN. Nomor tiga Ani, dan Dewi nomor 4.  Kedua anak  perempuan kami berprofesi sama dengan ibunya. Menjadi ibu rumah tangga.


“ Uda, sudah datang ? kenapa engga bangunkan Mar? kata Mar. Dia mau berdiri. Tentu dia akan buatkan teh pahit untuku ku. “ Tidur ajalah Pik. Katanya sakit.” 


“ Mar masih bisa buatkan teh untuk Uda.”


“ Biar uda buat sendiri ya.” kataku pergi melangkah. Tapi Mar, pegang lenganku. “ Jangan halangi aku mencintai Allah. Melayani suami adalah pahala tak terbilang, uda.” Kata Mar tersenyum. Itulah Mar ku. Dan karena itulah aku berkali kali jatuh cinta kepadanya. Setiap persoalan hidup menderaku dalam bisnis, Mar selalu setia bersamaku. Dia tidak mengeluh ketika aku jatuh bangkrut. Tidak juga bermewah hidup dikala ekonomi lapang. 


Mar letakan cangkir teh dihadapanku. Dia termenung. Sepertinya ada yang dia pikirkan. Aku dekati dia. Duduk di sampingnya. Kurangkul pundaknya. “ Cerita lah Pik. Apa  ada masalah ? Aku yakin ini pasti masalah anak anak. Dia berusaha menyimpan masalah anak anak di hadapanku. Dia berusaha selesaikan sendiri. Dan kalau sudah tidak bisa diatasi dia akan bergantung kepadaku untuk menyelesaikan. Itupun diiringi dengan minta maaf terlebih dahulu. Itulah kebiasaannya yang tak lekang.


“ Tapi uda maafin Mar ya. “ 


“ Uda sayang Upik. Apa pernah Uda marah ?


Mar terdiam lama. Aku biarkan dia dengan suasana hatinya. Akhirnya dia bicara juga “ Tadi siang Mar  ke rumah Ilham. Dia adakan pesta kecil kecilan. Dia naik pangkat. Mantu kita suami Dewi dan Ani bertengkar hebat dengan Ilham dan Herman ikut campur pula bela adik adiknya. Sampai mereka bertiga keluar dari Rumah Ilham. Keluar dalam kadaan marah, Uda. " Mar belinang airmatanya. 


“ Apa masalahnya ? tanyaku.


“ Ilham hadiahkan istrinya kalung dan jam tangan. Mahal katanya. Tapi oleh suami Dewi dibilang, aku engga yakin itu uang membeli perhiasan uang halal. Berapa gaji kau sebagai pegawai BUMN. Mana pula bisa beli perhiasan semahal itu.Dan lagi kerja di Bank itu haram. Riba. Istri Ilham tersinggung. Marah dia. Suami Ani ikut bela suami dewi. Semakin keras pertengkaran. Apalagi Ilham ikut campur dan mereka bicara politik. Suami dewi dan ani itu aktifis dakwah. Dewi dan Ani juga akftif majelis taklim.”


“ Kenapa Herman sampai tidak bisa selesaikan masalah adik adiknya? Tanyaku.


“ Herman sudah lerai mereka. Dan dia marah besar ke Ilham karena kasar ke Dewi dan Ani. Uda kan tahu. Herman itu sangat proteksi ke adik perempuannya.” 


Aku terdiam dan berpikir.


“ Uda..” Mar menangis. “ Mengapa ketika mereka bicara politik tak lagi aku dihargai sebagai ibunya. Kasar sekali mereka uda.” Airmata jatuh. Aku peluk Mar, “ Upik tenang aja. Aku akan selesaikan masalah mereka. Bagaimanapun mereka anak anak kita. Mereka kebanggaan kita. Itu perjuangan yang panjang. Akan selalu jadi cobaan kita. Selagi hayat dikandung badan,  mereka tetap beban kita. Tangung jawab kita dihadapan Allah.“ kataku menenangkan.


Aku kirim WA kepada anakku untuk datang ke rumah. Makan malam di Rumah kami. Mereka semua menjawab ya Ayah. Aku memang tidak begitu dekat dengan anak anak. Mereka lebih dekat kepada ibunya. Tetapi mereka sangat respect kepadaku.  Sangking respeknya, terkesan mereka takut. Padahal aku tidak pernah bentak mereka. 


Aku katakan kepada Mar bahwa anak anak akan datang ke rumah besok hari sabtu.  Mar senang sekali. Sakitnya hilang seketika. keesokan paginya dia sibuk di dapur masak bersama ART. Untuk menyambut anak dan menantunya.


***


Benarlah. Sore mereka sudah datang satu persatu. Pertama datang Dewi bersama suaminya. Kemudian, Ilham bersama istrinya.  Disusul Ani datang bersama suaminya, dan terakhir Herman bersama istrinya. Aku memang minta mereka datang tidak membawa anaknya. Karena ada hal penting yang mau aku bicarakan. Sepertinya mereka sudah paham pokok masalah. Terutama Herman.  Dia tak sanggup memandang wajahku. Dia merasa bersalah dan gagal menjadi kakak tertua.


Kami duduk di sofa. Mar duduk disebelahku. 


“ Bicaralah Herman. Ayah mau dengar langsung dari kau. Karena kau anak ayah tertua. “ 


Herman diam saja. Tak sanggup dia bicara. “ Ayah, maafkan aku. Sebaiknya ayah tanya sajalah sama Ilham Dia yang jadi pusat masalah.” Katanya ketika aku desak. Aku menatap Ilham.


“ Ayah ..” kata ilham. “ Ayah bayangkanlah, Aku nabung selama setahun agar bisa membelikan perhiasan untuk istriku. Tapi oleh Uda Bahar aku dituduh dapatkan uang haram untuk beli perhiasan itu. Hanya karena aku kerja di Bank.” 


Aku tatap Bahar suami Dewi. “ Ayah, aku hanya menyampaikan keyakinan aku beragama. .Bahwa kerja di bank itu haram.  Karena riba.” Katanya.


“ Dan..” kata Deni suami Ani “ Aku engga terima dituduh radikalis oleh Uda Ilham. Kami menjalankan agama dengan konsisten. Apa itu salah. Kami menghidupi keluarga tidak minta kepada siapapun. Kami tidak korup seperti pejabat dan politisi. Tidak ada yang dirugikan. Mengapa kami direndahkan. “ Lanjutnya. Akutatap Ilham. Dia menunduk.


“ Ayah, kata Dewi. “ aku harus patuh kepada suamiku. Apa itu salah? Kalau aku tidak terima suamiku dihina oleh Uda ilham”


“ Aku juga ayah. “ kata Ani. 


Aku menghela napas. 


“ Ayah sudah paham masalah kalian. Yang harus kalian ingat. Kalian,  herman, Ilham, Dewi dan Ani. Kalian berasal dari sini. “ kataku memegang perut Mar. “ Kalian itu satu kaveling. Penderitaan melahirkan dan membesarkan setiap kalian sama. Pertanyaannya sederhana,  mengapa kalian saling bertengkar dan membuat ibu kalian menangis? itulah yang ayah sesalkan. “ kataku. Mereka terdiam.


“ Baik Ayah akan bahas satu persatu masalah kalian.   Penjelasan ayah bersifat universal. Kalian semua sarjana. Jadi tidak sulit untuk dimengerti. Ilham, kau tidak boleh mempertanyakan keyakinan orang beragama. Itu hak orang. Karena setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing masing. Kamu Bahar, kamu tidak boleh menilai orang dengan standar kamu beragama. Hargai sikap orang lain, tentu orang akan menghargai sikap kamu. Saling mengerti sajalah. Itu akan membuat kedamaian dan yang akan mendatangkan rezeki.


Ilham, kalau kamu membeli perhiasan untuk istri kamu, tidak perlu diperlihatkan ke orang lain. Rezeki itu nak sangat berat bebannya. Kalau dipertontonkan maka hukumnya wajib untuk berbagi. Kalau kau tak siap berbagi, jagalah perasaan orang lain yang tidak mampu. Setidaknya jangan pamer akan harta kamu. Hidup sederhana itu lebih baik nak.  Itu akan menghindarkan kamu dari fitnah dunia.


Ilham, untuk kau tahu. Dewi dan Ani tidak bisa kau salahkan kalau dia patuh kepada suaminya. Ketika dia menikah, maka saat itu dia harus utamakan suaminya, bukan kakaknya. Justru kau harus jadi palang pintu mereka. Kalau ada masalah dengan suaminya,   kalianlah sebagai kakak laki lakinya untuk datang lebih dulu melindunginya. “ Kataku.  Mereka menyimak dan terdiam.


“ Maaf ayah” kata Bahar suami Dewi. “ apakah salah mengingatkan orang akan firman Allah.” 


“ Tidak salah kalau disampaikan di majelis atau di masjid. Tapi di luar itu, yang berlaku adalah hukum dan UU negara. Itu yang menjadi standar kita bersosialisasi dengan siapapun”


“ Kenapa ayah?


“UU dan Hukum itu konsesus kita bernegara. Menjaga dan menghormati konsesus adalah akhlak mulia. Cobalah, kalau kamu ingatkan orang dan orang tersinggung. Pastilah jadinya bertengkar. Walau niat kamu baik , namun bagaimanapun bertengkar itu dosa. Akhlak rendah,  anakku.” Kataku.


“ Tapi ayah..” Kata ilham. “ Kefanatikan mereka kepada aliran agama itu sudah keterlaluan. itu sudah merusak tatanan budaya dan sosial , bisa juga berdampak politik. Politik identitas “ Lanjut ilham.


“ Fanantik itu bagus, selagi tidak memaksakannya kepada orang lain. Bahar dan Deni adik ipar kamu itu pedagang. Mereka pekerja keras untuk menghidupi anak dan istrinya. Fanatik beragama itu baik kalau menjadikan dia mandiri dan punya etos kerja tinggi , yang tentu berkat fanatifk takut kepada Allah itu dia terhindar dari perbuatan korup dan merugikan orang lain. Nah soal politik, itu soal pilihan. Apapun pilihan dia, itu artinya dia patuh kepada konstitusi. Siapapun yang dipilihnya, tetap tidak akan mengubah konstitusi negeri ini. 


Dalam politik demokrasi harusnya tidak membuat perbedaan pilihan saling menghujat dan merendahkan. Karena siapapun yang menang, itu Allah yang memberikan kekuasaan. Sebagai orang beriman kita harus percaya itu. Makanya kita harus menghormati setiap penguasa. ” Kataku.


“ Ayah, korupsi mewabah negeri ini karena syariah dipunggungi. “ Kata Deni.


“ Korupsi itu berkaitan dengan mental, dan itu bisa terjadi kepada orang beragama apapun. Syariah itu adalah sistem dan tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini, anakku. Daripada kamu memaksakan kehendak, mengapa kamu tidak berusaha mengubah diri kamu lebih baik. Tidak perlu katakan agama kamu hebat,  tapi tunjukan kepada orang lain akhlak hebat kamu itu.


Nah, focus lah kepada diri kamu , keluarga kamu dan orang terdekat kamu saja. Pastikan yang dekat merapat dan yang jauh mendekat. Kalau berlebih,  berbagilah. Kalau kurang , bersabarlah. Kalau sikap ini menjadi sikap berjamaah, negeri ini akan makmur. Siapun pemimpinnya, apapun sistemnya. Paham ya anakku.. “ Kataku. Bahar dan Deni menganguk.


“ Ayah tidak akan mendikte kalian agar mengikuti pemahaman ayah. Tapi yang harus dicatat, ayah bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas kalian.  Kalau kalian tidak menghargai ayah, ayah tidak akan kecewa. Tapi kalau karena sikap kalian, ibu kalian menangis sedih dan terluka. Bukan hanya ayah yang kecewa tapi langit mengutuk. Hidup kalian akan sengsara dimakan waktu. Percayalah.” kataku. 


Herman segera memeluk kakinya ibunya “ maafkan aku amak. “  Kata herman. Dan diikuti oleh Ilham ,  Dewi, Ani dan menantu kami. Aku terharu dan menitik kan air mata. Bukan karena sikap mereka kepada ibunya, tetapi melihat Mar bisa begitu bahagianya. Ya bagi Mar, anak adalah titipan terindah dari Allah. Sama seperti aku suaminya adalah titipan terindah dari Allah. Menjaga kami bagi Mar, adalah bukti kecintaannya kepada Allah. Tentu berkat Cinta Mar,  Tuhan akan menjaga kami. Tentu kami akan baik baik saja.

No comments:

Obsesi di masa tua

  Sepanjang perjalanan hidupku, kelabu menyadurkan melankolia. Perjalanan sepi. Seperti usia yang semakin menua, semakin sedikit sahabat ter...