” Udah tembus 16 ribu rupiah harga beras sekilo. Gula juga udah tembus 17 ribu rupiah. Cepat sekali berubah harga. Sebentar lagi listrik juga naik. BBM akan naik juga. Gas pasti akan naik. Beda dengan pendapatan yang lelet naik. Ada apa negeri ini, Mas ” kata Marni kepada lakinya, Ucok
”Tak paham aku?” Kata Ucok sekenanya.
” Mas memang tidak paham. " Kata Marni mencibir. " Tahunya kerja dan setor uang ke saya setiap akhir bulan. Udah selesai.? Mas engga tahu kalau kerja keras Mas itu tidak berarti Mas pantas masabodoh dengan kenaikan harga. Karena kerja keras Mas semakin lama semakin tidak berharga. Dan akhirnya aku yang sesak, Harus mikir apa yang harus dihemat. Apa lagi? semua uang dihasilkan selama ini hanya soal kebutuhan, bukan keinginan. Saya hanya ingin cukup, engga ingin kaya raya. Soal keinginan sudah lama saya kubur saat menikah dengan Mas. “ Kata Marni.
Ucok mulai pening dan berusaha duduk di teras rumah dengan wajah masam. Pening kepalanya kalau Marni sudah mengeluh soal harga harga naik. “ Anehnya Rokok tetap berasap dari mulut dan hidung Mas. Apa engga bisa berhenti merokok dan alihkan untuk kebutuhan yang lebih penting untuk kita dan anak anak yang masih Balita” Marni terus merepet.
“ Aku kerja, hanya rokok ini yang kunikmati dari penghasilan kerja kerasku selama sebulan. Itupun kau mau ambil pula” Kata Ucok lemah.
“ Udah dibilang kerja keras Mas tidak ada artinya ketika harga terus naik. Itupun tidak dipahami oleh Mas. Masih aja perhitungan dengan kerja kerasnya. Dasar tak tahu diri kalau sudah menikah dan punya keluarga.” teriak Marni.
”Ngerokok lagi,” tiba-tiba Marni sedikit membentak saat ucok mengambil rokok” apa enggak bisa uangnya sedikit disimpan untuk beli Roti Tart ulang tahun anak sulung kita.”
”Beli roti bagaimana?” Ucok memelas. ”Kau ini aneh ya. Nyediain nasi aja susah, kok beli roti mewah kayak gitu. Itu makanan menteri, bupati, dan wali kota serta para koruptor. Tahu?! Kita makan nasi aja sama sambal…. Kamu itu mimpi….”
Tiba-tiba sepi. Di langit ada mendung yang memberi sasmita akan hujan. Kilat sesekali menggebyar. ”Rumah kita masih bocor,” kata Ucok lagi sambil mendongak. ”Belum bisa beli plastik tebal penahan tiris. Kok kamu mikirin roti tart yang, bagi kita, harganya seperti triliunan rupiah. Anehnya kau itu!”
Marni diam. Dia sadar pernikahan beda budaya kadang bagus. Marni yang jawa memang suka ngomel tetapi suaranya tetap lembut. Retorika dan logikannya nyambung. Ucok bisa maklumi itu. Mana ada orang Sumatera tersinggung dengan kata kata istri. Bayangan Marni, di depan matanya sangat jelas: tart dengan bunga-bunga mawar, dengan tulisan Happy Birthday. Betapa bahagianya anak yang diberi hadiah itu. Marni sendiri belum pernah mendapat hadiah seperti itu, apalagi mencicipi. Tapi, alangkah lebih bahagia ia jika bisa memberikan sesuatu yang dinilainya luar biasa, betapa pun belum pernah menikmatinya.
”Kurang beberapa hari lagi, Mas ,” kata Marni memecah kesunyian.
”Apanya yang kurang beberapa hari lagi?” Ucok memelas. ”Kiamatnya apa gimana? Kita memang mau kiamat. Hakim, jaksa, polisi, pengacara, menteri, anggota DPR… nyolong semua. Dan kau malah mau beli tart. Duitnya sapa? Nyolong? Tak ada yang bisa kita colong. Ngerampok? Kau punya pistol atau bedil? Enggak! Kau cuma punya pisau dapur dan silet untuk mengerok bulu ketiakmu….”
Marni tak menyahut. Pikirannya masih melanglang ke toko roti. ”Kita bisa naik bus Mas, aman. Enggak ada copet.. Kita harus hati-hati bawa tart sangat istimewa itu, Mas. Ah, si bocah itu pasti seneng banget.… Kalau dia bisa seneng, alangkah bahagia diriku.”
Kedua tangannya dilekatkan pada dada dan membentuk sembah, menunduk. Tuhan, bisik Marni, perkenankan saya membeli tart untuk ulang tahun anakku. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Saking kepinginnya beli tart, seakan ia hendak menangis. Matanya terasa basah.
Kemudian hujan pun rintik-rintik. ”Naaah, mau hujan,” kata lakinya. ”Pindah-pindahin bantal-bantal. Jangan biarkan di situ, tempat tiris deras….” Uncok memberi komando. Marni tenang saja.
”Biarkan tiris membasahi rumah,” kata Marni. ”Itu rezeki kita: air,” sahut marni
Ucok tak tahan. ”Kau ini semakin aneh,” Malam merambat larut. Ternyata hujan hanya sebentar. Sepertinya alam menaruh hiba kepada keluaga kecil ini. Marni merebahkan kepalanya ke pundak suaminya yang sedang duduk di bale bale sambil udut dan minum kopi. “ Mas kan, sarjana Ekonomi. Mengapa harga terus naik dan gaji mas kalah cepat dengan kenaikan harga harga. Cerahkan saya. agar saya tidak punya prasangka buruk kepada suami saya yang sudah kerja keras demi keluarga. “ Kata Marni. Dia tatap wajah suaminya. Dulu wajah itu bersih dan penuh semangat. Tetapi setelah menikah. Dia semakin menua.
“ Kau tahu, “Kata ucok berusaha menjawab pertanyaan istrinya. “ Uang yang aku terima setiap bulannya itu adalah surat utang pemerintah kepada kita. Jadi kalau aku kerja keras menghasilkan produktifitas, pemerintah bayarnya pakai surat utang bernama Rupiah. Dengan nominal yang kita terima, surat utang itu bisa ditukar dengan barang dan jasa senilai nominal itu. Tugas negara membayar dengan tersedianya sistem produksi barang dan jasa agar surat utang itu bisa dipertukarkan. “ Kata Ucok. Marni mengangguk.
“ Nah apa jadinya jika produksi barang dan jasa lebih sedikit daripada uang yang beredar? Terpaksa impor untuk dapatkannya. Tentu harga akan naik. Itu namanya efek inflasi. Bahasa vulgarnya, pemerintah default membayar utang sesuai nominal. Mereka tipu kita dengan janji. “
“ Mengapa tidak menghasilkan barang dan jasa yang melimpah ? jadi harga harga bisa murah. “ Kata Marni. “ Ya itulah nama lain dari korupsi. “ Kata Ucok.
“ Contohnya Mas ? Kata Marni penasaran.
“ Contoh, pemerintah lewat kebijakan stimulus mensuplai uang ke bank. Agar bank salurkan ke dunia usaha sehingga produksi barang dan jasa terjadi. Begitu sistemnya. Tapi tidak semua uang yang disuplai ke bank itu menghasilkan barang dan jasa yang efisien. Distribusi uang tidak menghasilkan dampak berganda secara luas disektor produksi. Karena lebih banyak masuk ke sektor non tradable, konsumsi dan lebih parah lagi, distribusi itu tidak adil. Hanya segelintir saja yang menikmati“ kata Ucok.
“ Terus ..” Mata Marni sudah redup.
“ Contoh lagi, pemerintah mensuplai uang lewat APBN agar produksi barang dan jasa terjadi meluas. Tetapi 30% dana itu tidak masuk ke sektor produksi tetapi dikorup. Dari 70% belanja itu, proses sampai kepada tujuan hanya 50%. Karena belanja subsidi sangat mudah dikorup apalagi istilahnya sekarang perlinsos. Padahal saat uang itu tercipta, sebenarnya adalah utang negara kepada rakyat. Nah, kalau pemerintah tidak bisa delivery barang dan jasa sesuai nominal, ya kita rakyat yang harus bayar lewat naiknya harga dan upah yang terdepreciasi akibat kurs melemah “
“ Terus kemana uang yang dikorup itu ?
“ Uang itu menumpuk di bank, di rekening segelintir orang yang menikmati fasiltas sumber daya. Menumpuk dalam bentuk rumah mewah, apartemetn mewah, dan segala yang mewah yang tidak produktif. Akibat dari skema uang itu, yang kaya semakin kaya karena menikmati bunga tinggi. Yang miskin semakin miskin karena harga naik akibat inflasi. Tapi karena dilakukan lewat kebijakan fiskal atau APBN dan moneter. Maka modus korupsinya jadi legal. Walau karena itu APBN defisit, utang semakin membumbung dan kurs melemah. “ Kata Suaminya. Namun Marni sudah terlelap dengan kepalanya bersandar di bahu suaminya.
Ucok membopong istrinya ke dalam kamar. Dicium kening istrinya. Banyak orang tidak tahu bahwa kemiskinan itu karena sistem yang culas oleh pemerintah yang brengsek. Namun bagi penguasa itu disebut politik. Hal yang dianggap biasa saja dalam politik kekuasaan dan demokrasi Makanya buta politik itu sangat buruk sama seperti saat tikus gigit kepala Ayam yang sedang terkantuk, dia tiup dengan lembut setiap usai menggigit kepala ayam. Sampai akhinya kepala ayam itu bolong dan otaknya diisap oleh Tikus. Ayampun mati dalam keadaan tertidur. Begitulah nasip rakyat yang buta politik dan mudah terbuai dengan janji populis.
***
Keesokan paginya, dengan lembut Ucok berkata kepada Marni. “ Izinkan aku hijrah ke negeri Jiran. Lamaran kerjaku diterima disana” Kata Ucok menyerahkan surat dari perusahaan PMA Singapore. “ Nanti setelah aku dapat Apartemen , aku akan jemput kamu dan anak anak. Boleh Ya Marni..” Sambung Ucok. Marni terkejut. Dia membayangkan suaminya selalu diam saat dia mengeluh dan ngomel karena penghasilan semakin berkurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ternyata selama ini suaminya melamun sambil merokok di teras, bukan pasrah tetapi berpikir untuk menyelamatkan masa depan mereka.
“ Ya pergilah Mas. Pergilah. Tanggung jawab utamamu kepada kami, bukan kepada negara dan bangsa. Walau kita masih harus bersukur negara sudah beri pekerjaan untuk hidup kita selama ini. Karena masih banyak sarjana di negeri ini yang nganggur. Saya ikhlas kamu hijrah. Saya dan anak anak akan selalu menanti Mas jemput ” Kata Marni. Dia persiapkan semua pakaian terbaik milik suaminya dan tak lupa dia siapkan bekal nasi bungkus untuk suaminya sarapan pagi di bandara. Ucok menangis saat taksi membawanya ke bandara. Mungkin dia selamat dari sistem yang korup yang memiskinkannya tetapi masih banyak yang tak berdaya dan pasrah menerima kenyataan yang tak ramah di negeri ini.