Pucuk pohon sudah merunduk menyongsong malam. Sudah dua jam aku menanti Suci datang. Tetapi dia tidak datang ke taman ini. “ Mas, sebaiknya tidak usah datang ke rumah. Selama mas di penjara, mas contoh yang buruk bagi anak anak. Mereka tidak lagi merindukan mas.” katanya tadi sore lewat telp setelah berjanji akan menemuiku di Monas. Tidak jauh dari tempaku mencangkung ada istana Megah. Di balik pagar itu ada kekuasaan. Ada gelap dan terang. Gelap karena semua niat buruk dicitrakan menjadi cahaya bagi rakyat yang bodoh. AKu tahu itu. Karena aku pernah menjadi bagian dari aparatur negara yang selalu berminyak wajah dan mentertawakan kemiskinan orang lain. Uci tidak salah. Dia istri keduaku. Pernikahan kapitalis.
Istri pertamaku yang mengantarku sampai ke puncak karir memilih bercerai setelah tahu aku selingkuh dengan sekretaris salah satu korporate yang biasa memanjakanku. Dari istri pertamaku, aku punya anak dua. Mereka tinggal di luar negeri. Kuliah disana. Saat tahu aku di penjara karena kasus korupsi. Mereka kehilangan sumber uang. Namun selama aku di penjara. Si Sulung sempat datang ke penjara. Dia tidak prihatin dengan keadaanku. Dia hanya ingin memperlihatkan ketidak sukaannya di depanku. Aku maklum karena provokasi ibunya membuat dia membenciku. Biarlah. Ini hukum kausalitas. Mereka punya alasan membenci. Soal moral aku sebagai ayah yang patut dihormati, itu terlalu naif aku harap. Karena saat aku tergila gila dengan wanita kedua, aku tidak pernah memikirkan perasaannya.
Aku ingat. Setahun sejak kasus tercium oleh KPK, pengacara mengatakan bahwa sprindik sudah disiapkan untuk menangkapku. Itu artinya KPK sudah punya dua alat bukti. Namun aku berupaya untuk bisa bebas sebelum sprindik ditanda tangani. “Mana ada di Indonesia yang tidak bisa diatur. Dengan uang semua beres” Kata pengacaraku. Sejak aku berupaya menghapus sprindik itu, entah darimana tahunya. Ada saja orang menawarakan jasa membantuku. Dari anggota Dewan sampai tokoh LSM dan ormas. Namun tidak ada yang gratis. Karena itu tidak sedikit uangku keluar. Satu demi satu harta yang kukumpulkan terjual, setelah tabungan sirna. Akhirnya tetap saja aku jadi pesakitan.
Harta terakhirku, yang sebenarnya kuniatkan untuk anak sulungku yang perempuan. Untuk bekal dia. Itupun hilang. Uci datang menemuiku di Penjara. Karena bujuk rayu Uci, yang katanya akan membantu aku bisa nyaman di penjara dan mudah dapatkan remisi. Nyatanya setelah Uci dapatkan harta itu, dia tidak pernah datang lagi ke penjara.
Aku keluar dari Monas. Jalan entah kemana. Ingin pulang kampung. Tidak ada ongkos. Apa iya keluargaku di kampung masih mau menerimaku. Karena saat aku jaya, aku tidak pernah anggap mereka ada. Ayahku sudah lama meninggal. Saat aku masih anak anak. Aku dibesarkan oleh ibuku. Namun karena mendengar aku masuk penjara, ibuku kena serangan jantung. Dia meninggal saat aku di penjara. Kakak-ku sudah tua. Dia justru menumpang dengan anaknya di Solo. Karena ulahku. Aku menjadi sebatang kara dan miskin di usia menuaku.
Aku melangkah ke arah Masjid Istiqlal. Ya hanya rumah Tuhan yang masih menerimaku. Di depan Masjid. Ada pedagang bakso. Dia sempat menatapku agak lama. Aku cepat berlalu “ Pak Surya..” teriak orang memanggal namaku. Aku menghentikan langkah. Menoleh ke belakang. Tukang bakso itu mendekatiku. “ Masih ingat saya pak ? Katanya. Aku masih bingung. Pastinya tidak ingat. “ Saya Dulah. Pernah jadi supir bapak. Saya bapak pecat karena terlambat jemput bapak di lobi hotel. Saat itu bulan puasa. Saya ngantuk di tempat parkir. Bapak tidak peduli dengan alasan saya. Tetap pecat saya. “ kata Dulah.
Seperti membuka kaset rekaman rusak. Aku harus bicara apa. Dia berhak mentertawakan nasipku. Aku hanya senyum. “ Karena itu saya dagang bakso dari uang pesangon yang bapak beri” Lanjutnya. “ Dulu saya baca berita kasus bapak. Bapak sudah bebas sekarang?
“ Ya baru hari ini saya bebas. “ Kataku cepat dan berbalik langkah ke arah masjid. Usai sholat isya. Aku keluar dari Masjid. Aku duduk di halte bus. Tidak tahu harus kemana. Mungkin malam ini aku tidur di halte in. Dulah datang lagi menegurku. “ Bapak engga pulang ? Tegurnya. Aku menggeleng. " Saya tidak punya rumah untuk pulang.."Kataku begitu saja. “ Saya tidak ada tempat tinggal. Tidak ada uang “ Kataku cepat. Silahkan kalau mau tertawakan nasipku. Aku sudah terbiasa selama di penjaran direndahkan.
“ Oh kalu gitu. Bapak ikut saya aja. Tinggal di rumah saya. “ Kata Dulah. AKu terperanjat. Tidak ada kesan Dulah dendam dengan sikapku dulu. Dia sepertinya sudah melupakan semua. Dan kembali ke jati dirinya orang kebanyakan. Selalu ada cara berbagi. Aku mengangguk. Aku kalah. “ Ya terimakasih nak Dulah “ Kataku menunduk.
Malam dalam kesendirian. Aku tidur di ruang tamu Dulah. Karena rumahnya hanya ada satu kamar. Ini rumah kontrakan orang kebanyakan. Tadi saat aku datang. istri Dulah menyambutkan dengan ramah. Mereka punya dua anak. Mereka tidak akan paham. Bahwa kemiskinan itu karena sistem negara yang brengsek. Negara yang kaya SDA dijarah oleh para koruptor dan komprador.
Namun walau hidup mereka bersehaja dan harus menghadapi harga harga yang terus melambung. Mereka tetap berprasangka baik kepada kehidupan. Berusaha survival dengan struggle dan tawakal. Mungkin orang miskin seperti Dulah tidak bisa protes. Karena mereka tidak paham. Kalaupun ada yang paham, mereka tidak berani melawan pemerinntah yang dikawal TNI dan Polri. Tetapi mereka ada Tuhan yang menjaga mereka. Karena itu mereka baik baik saja. Dan hanya masalah waktu mereka yang berkuasa akan mendapatkan karmanya. Seperti aku ini.
Aku teringat dengan teman lamaku. Teman yang kukenal era Soeharto. Saat itu aku baru masuk kuliah dan dia jadi mentorku dalam pelatihan pengkaderan P4. Sejak aku jadi pejabat. Dia tidak pernah datang menemuiku. ALasanya dia tidak ingin menganggukku. Padahal dia pengusaha. Tapi usahanya lebih banyak di luar negeri. Dia datang ke penjara menemuiku. Dia satu satunya sahabat yang mau menjengukku di penjara.
“ Sur, lue sedang dapat pesan cinta dari Tuhan. Nikmati prahara itu sebagai cara lue kembali kepada Tuhan. Sabar. Kalau bisa sabar, Tuhan akan sangat dekat dengan lue. Tidak perlu malu dengan dosa kita. Semua manusia punya sisi gelap. Dan Tuhan maha pengasih dan lagi penyayang. “ Katanya yang tidak pernah aku lupa.
Besok paginya aku minta izin telp temanku itu. Dulah meminjakan hapenya. Tapi aku lupa nomor telp temanku itu. Ya aku hanya tahu rumahnya. Dulah beri aku ongkos untuk menemui temanku itu. Sampai aku di rumah temanku itu.Dia peluk aku dengan hangat. Ale tersenyum ramah menyambutku di ruang tamunya. “ Sehat Sur” katanya. Aku menangis.
“Ale, seruku dengan mengusap air mata. Aku ceritakan keadaanku kepada Ale. Juga sejak aku keluar dari penjara. Ale menyimak dengan senyuman. Dia tidak meresponse apapun.
“ Disaat aku terpuruk. Aku merasa sendirian. Aku merasa semua orang menyalahkanku. “ kataku.
“ Disaat seperti itulah kamu sangat dekat dengan Tuhan. Dan sangat berharap pada pertolongan Tuhan, ya kan” Kata ALe. " Istana kesombongan yang memenjarakanmu selama ini telah membuatmu berjarak dengan Tuhan. Karena kasus itu, istana itu hancur berkeping keping. Kamu kembali kepada Tuhan dengan penuh kerendahan hati. " Sambung ALe.
“ Ya. “ Kataku mengangguk.
Kemudian Ale mengajakku makan siang. Hidangan sudah disiapkan istrinya di ruang makan. Aku perhatikan. Kehidupan Ale sangat sederhana. Tapi dia bahagia dan menua bersama dengan istrinya. Di rumahnya ada cucu perempuannya. Itulah pelangkap bahagia masa tuanya. Padahal dulu aku sempat mengatakan kepada Ale “ Bagaimana kamu bisa diakui sebagai pengusaha kalau tinggal di kawasan orang kebanyakan. Pindahlah ke kawasan real estate. Seperti Pondok Indah atau Simpruk.” Ale hanya senyum. Dia tidak terpengaruh dengan provokasiku yang terkesan merendahkannya.
Usai makan siang. Ale ajakku keluar rumahnya dengan ojol. Walau di rumahnya ada kendaraan terpangkir di grasinya. Ale memilih angkutan umum. Kami sampai di perkantoran di jalan Sudirman. Kami masuk lift menuju kantor. Tertera depan resepsionis nama perusahaan asing. Ale masuk kantor itu dan mereka semua yang di kantor itu menaruh hormat.
“Sur, Kamu mau kerja di kantor ini? Kata Ale menawarkan diri. Seperti too good to be true. Baru dua hari aku kehilangan arah. Kini cahaya itu datang menghapiriku. “ Lue kerja jadi assisten direktur untuk liaison officer. Tugas lue bantu direksi untuk mengorganisir hubungan dengan pejabat dan elite politik. Tugas lue hanya sebatas peran PR aja.” Kata Ale sebelum aku bertanya apa kerjaanku. itu sesuai dengan pendidikanku, S3 bidang ekonomi dan pengalaman network.
“ Terimakasih Ale” kataku dengan airmata berlinang.
“ Janga terimakasih kepadaku. Tetapi terimakasih kepada Tuhan. Saya bantu kamu karena Tuhan. “ Kata Ale.
“ Sur, seru Ale “ Kalau ada pejabat atau politisi bilang dia orang baik dan jujur itu pasti bohong. Bahkan sayapun tidak bisa mengatakan saya oang baik. Karena sistem dan struktur bangun negeri kita ini memang power oriented, bukan people oriented. Makanya Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. Kalau ada yang ketangkap KPK atau Jaksa, itu bukan karena yang lain tidak bersalah. Tapi karena sistem memang memangsa yang lemah dan tidak berguna. Antar elite memang adu cerdas dan antar mereka siilent war tanpa jeda.” sambung Ale. Ale benar. Kehidupan personalku memang selama ini membuat aku tidak focus sehingga nabrak batas diriku. Ya kena kasus lah. Aku memang kurang cerdas.
Nah, Lanjut Ale “ kebetulan kamu lemah dan dianggap tidak penting lagi dalam lingkaran kekuasaan, ya kamu kena. Jadi sudahilah menghakimi diri sendir. Cukup. Jadikan saja masa lalu itu hikmah. Dan selanjutnya kamu harus melangkah di antara gelap dan terang. Hitam dan putih. Lalui itu dengan kecerdasaran spiritual. Kamu akan baik baik saja “ Kata Ale dengan bijak.