Rahmat adalah sahabat saya sejak usia muda. Kami memilih jalan hidup berbeda. Otaknya lebih encer daripada saya. Sehingga mudah bagi dia jadi sarjana. Bahkan dia dapat beasiswa dari pemerintah sampai S3. Karirnya di pemerintah sebagai pejabat fungsional pada kementrian. Mungkin karena idealis atau apalah. Usia 58 dia milih pension dini. Entah bagaimana dia bisa kenalan dengan Awi. Saat Awi minta pendapat saya untuk jadikan Rahmat sebagai Komut pada salah satu unit bisnis nya, ya saya langsung setuju.
Rahmat orang yang tidak banyak bicara dan tidak terlalu kepoan. Walau dia tahu hubungan persahabatan saya dengan Awi sangat dekat. Namun secara legal, dia tahu tidak ada hubungan apapun antara saya dengan Awi dalam bisnis. Secara personal, saya pun tida pernah datang ke kantornya bertemu dengan Awi. Tidak pernah berbisnis apapun dengan perusahaan.
Setelah 1 tahun kerja dengan Awi, dia minta ketemu dengan saya. Itu artinya dia sedang gundah. Itu udah kebiasaan dia sejak dulu. Menjadikan saya sebagai kuping untuk mendengar suasana hatinya. Seperti biasa, saya hanya mendengar saja. Tentu dia tidak berharap banyak saran dari saya. Dia maklum saya hanya pedagang dan tidak terpelajar seperti dia. Namun kami tetaplah sahabat saling mengerti satu sama lain.
“Ale, seru Rahmat “ Saya kerja dengan Pak Awi tahun lalu. Sejak itu saya merasa sekian puluh tahun hidup saya sia sia.” Kata Rahmat saat bertemu dengan saya di cafe
“ Eh ada apa ? mengapa punya perasaan seperti itu ? Tanya saya.
“ Selama jadi PNS, tabungan saya di bank hanya Rp. 1,5 miliar. Sementara perusahaan Awi, satu kali transaksi bisa dapat profit puluhan miliar. Laba tahun kemarin aja mencapai ratusan miliar. Artinya idealism fungsi social perusahaan terlaksana lewat pajak yang dibayar. Artinya peran saya sebagai komut di perusahaan juga tidak beda dengan PNS, walau dalam dimensi berbeda. Dimanapun posisi pada akhirnya kita mengabdi kepada negara.” Kata Rahmat.
Rahmat bersandar di sofa. Dia menatap kosong ke tempat lain. Entah apa yang dia pikirkan, Apakah ada sesuatu yang penting. Usianya dengan saya sama. Saya siap menyimak.
“ Coba perhatikan Ale. “ kata Rahmat. “ Perusahaan Pak Awi sebagai buyer agent dari luar negeri. Kami membantu memberikan solusi pembiayaan kepada penambang untuk modal kerja dan investasi. Kami tidak dapatkan bunga sebagaimana bisnis perbankan. Karena uang itu bukan dari kami tetapi dari trader di luar negeri. Tentu kami punya hak mengarahkan ekspor ke trader tersebut. Itu cara bisnis kami. Dari sana kami dapat agent fee sebesar 2,5%. “ lanjut Rahmat. Sepertinya dia berusaha menjelaskan bisnis Awi. Dunia lain yang baru dimasukin
“ Terus.” Lanjut Rahmat. “Kami juga memberikan solusi kepada trader dalam negeri yang beli barang impor untuk stok pangan, BBM, supply chain industry. Caranya sama. Kami hanya agent yang memberikan solusi pembiayaan impor tanpa bunga. Tapi kami dapat agent fee dari penjual di luar negeri sebesar 5 %. Lagi lagi tiap bulan fee masuk. “ Kata Rahmat.
“ Di kantor kami tersedia databases compliance risk management yang terhubung dengan trader di luar negeri. Kami bekerja hanya mengikuti standar compliance itu aja. Cepat sekali untuk tahu apakah client itu qualified atau tidak. ” Rahmat menyimpulkan. Saya senyum aja.
“ Sederhana, kan. Hanya mainkan paper work aja. Tetapi dapat uang mudah. Engga perlu karyawan ribuan. Tidak perlu sarjana ahli. Di kantor hanya 5 orang karyawan, Itu udah termasuk direksi 2 orang. “ Kata rahmat. Dia terdiam. Lama saya menanti dia melanjutkan pembicaraa.
“ Saya benar benar sadar. “ Katanya menggeleng gelengkan kepala. “ Dulu saya bangga sebagai sarjana dan mendapatkan beasiswa di kampus ternama di luar negeri. Menjadi tenaga ahli di kementrian. Bergaul dengan elite. Menghadiri seminar international. Saya merasa dunia saya sangat sempurna. Karena memang jalan hidup saya, ibarat graphic terus naik. Tidak pernah melandai. Secara ekonomi hidup saya mapan.
Namun akhirnya saya merasa kosong. Kehidupan ekonomi negara sejak orde baru tidak bergerak naik. Transformasi ekonomi dari SDA ke Industri tidak terjadi. Para elit tidak bekerja dalam arti amanah. Mereka termasuk saya, hanya senang menikmati fasilitas negara. Rutinitas yang memanjakan. Tidak ada tantangan. Semua selesai dalam batas retorika. Selalu ada narasi dibalik hutang negara yang menjebak ruang fiscal yang dari tahun ke tahun semakin menyempit.
Kurs rupiah yang terus terdepresiasi. Sementara Index korupsi semakin memburuk. Itu ditandai dengan tingginya ICOR. Bahkan lebih tinggi dari era Soeharto. Lembaga demokrasi seperti KPK, BPK, DPR dan lain lain lemah dihadapan pemerintah. Check and balance secara system tidak bekerja. Kekuatan civil society di bonsai lewat UU IT dan hate speech. Itulah dasar saya memlih pension dini dan akhirnya bergabung dengan perusahaan Pak Awi.
Ada pemilik IUP yang dikenal sebagai konglomerat. Tapi semua sumber daya dari sejak eksploitasi, smelting sampai market dikuasai trader. Praktis konglo itu hanya sleeping partners yang bertugas melobi pejabat dan kekuasaan. Bahkan impor kebutuhan pangan dan BBM juga dikuasai trader. Praktis pejabat itu hanya sebagai proxy dari trader international. Membuat kebijakan hanya untuk kepentingan trader saja. ” Kata rahmat dengan suara getir. Saya menyimak saja dengan empati.
“ Ale..” Rahmat menunduk. “ Serasa hidup saya terbuang sia sia selama ini. Terlambat menyadarinya. Ternyata elite financial player itu ada. Mereka menjalankan Shadow banking. Bukan bank tetapi beroperasi lebih dari bank. Bahkan mengendalikan bank secara tidak langsung. Saya tahu Pak Awi tidak cukup terpelajar untuk menguasai bisnis shadow banking. Pasti dia juga hanya menjalankan agenda dari pemain shadow banking. Sampai kini saya tidak tahu siapa dibelakang Pak Awi sebenarnya. Tentu shadow banking banyak beroperasi di Indonesia. Pak Awi hanya salah satunya saja.“ Kata Rahmat dengan tersenyum hambar.
“ Kalau ada orang bangga dengan kekayaannya sebagai artis atau pengusaha property atau tambang, ternyata itu tidak ada artinya dengan bisnis shadow banking. Dia tidak punya tambang dan pabrik. Tetapi dia mengendalikan mereka. Dia tidak punya modal, tetapi semua bank dan Lembaga keuangan mendukungnya sebagai financial resource. Bahkan pergerakan kurs, Yield SBN, BIR tidak bisa dilepaskan dari peran Shadow banking “ Lanjut Rahmat dan kemudian dia termenung.
Saya diamkan saja. Siap menyimak. Akhirnya Rahmat merentangkan kedua lenganya dan angkat bahu. Seperti orang menyerah tak berdaya“ Sekolah tinggi, jabatan tinggi, nothing. Useless! Katanya menggeleng gelengkan kepala.
“ Mat, hidup ini soal pilihan. Hidup sebagai professional, pekerja, pengusaha, itu hanya metodelogi melewati hidup. Esensi nya sama saja, yaitu pengabdian. Bagaimana kita hidup bermanfaat bagi orang lain dan diri kita sendiri. Besar kecil manfaat, itu relative. Itu hanya angka. Esensinya ada pada rasa sukur. Dari rasa sukur itu kita menemukan kelengkapan diri dan merasakan kebahagiaan ruhaniah. “ kata saya. Hanya itu yang bisa saya sampaikan.
“ Ya Ale. “ Kata Rahmat. Hening. Saya diamkan saja dia dengan piikiranya. Apa yang dapat saya katakan. Karena begitulah realitas kehidupan. Yang bisa kita lakukan adalah berdamai dengan realitas dengan semakin mendekat diri kepada Tuhan.
Rahmat mengibaskan tangannya. Seakan dia tidak peduli dengan realitas.
“ Ale, saya tertarik membaca tulisan kamu di blog yang berjudul, pertumbuhan berkeadilan. Esensinya tidak jauh beda dengan buku yang ditulis Dilip Dutta,berjudul inclusive Growth and Development in the 21st Century: A Structural and Institutional Analysis of China and India. Saya memang tidak percaya dengan teori negara kesejahteraan, yang sebagai solusi atas liberalisasi ekonomi dalam bentuk kontrak social. Itu tidak mendidik.
Karena adanya globalisasi, perubahan tekhnologi yang cepat, model redistribusi konvensional, seperti pajak dan transfer dana dari pusat ke daerah, subsidi konsumsi dan bantuan tunai akan ulit untuk mencapai pertumbuhan inklusif. Itu anti pasar dan tidak memberikan akses demokratisasi ekonomi dalam arti sesungguhnya.
China tidak menganut negara kesejahteraan. China menggabungkan kebijakan industri yang berorientasi pada pertumbuhan, investasi infrastruktur publik, dan program pengentasan kemiskinan yang dimediasi oleh negara. Artinya redistribusi kesejahteraan lewat produksi barang dan jasa. Hanya orang kerja yang berhak makan dan makmur. Makanya peluang terbuka bagi semua. Pertumbuhan dinikmati oleh semua.
Disaat negara negara lain berusaha go growth. China justru degrowth dalam dimensi negara kesejahteraan. Strategi pembangunan China mencerminkan perspektif "jalan ketiga" tentang pertumbuhan inklusif yang mungkin bermanfaat bagi negara yang ekonominya terlambat sejahtera atau makmur. “ Kata Rahmat.
“ india agak terlambat dibandingkan China. Karena mereka negara demokrasi. Namun 10 tahun lalu system demokrasi sudah established, Mereka cepat sekali berkembang secara inklusif. Sudah mulai menyangi China” Lanjutnya.
“ Asia itu beda dengan Eropa atau AS. Sebelum Eropa dan AS terang benderang,Asia sudah terang lebih dulu. Peradaban Asia itu jauh lebih tinggi dari Eropa dan AS. Namun Asia mengalami kemunduran sejak adanya kolonialisme Eropa. Jadi jalan bergeser namun tujuan tidak bergeser. Setelah era colonial berlalu. Asia kembali ke jati dirinya. Makanya sekian decade pada abad 20 Asia berusaha bangkit dan Abad 21, China sebagai lambang esensi Asia lead di pasar global. “ Kata saya.
“ Apa esensi dari Asia?
“ Ya gotong royong. Bukan individualisme. “ Kata saya. Sekarang Rahmat terpengkur…" Jauh jalan ditempuh untuk mencari rahasia kemakmuran. Sampai sekolah ke luar negeri. Ternyata itu bukan rahasia. Sudah ada jalannya disediakan oleh bapak pendiri bangsa kita. Hanya kadang kita ini memang bebal. Selalu melihat keluar dan akhirnya tersesat. " Katanya. Saya tersenyum. Semoga Rahmat bisa memahami esensi dari kehidupan...
1 comment:
Terima kasih inspirasinya Babo
Post a Comment