Sunday, December 10, 2023

Saya tidak membenci Jokowi





Sebenarnya rencana pertemuan ini sudah lama. Itu dia sampaikan lewat email dan messenger. Tetapi saya tunda terus. Karena dia mendesak untuk bertemu dengan kalimat singkat di email“ Saya mau tahu aja mengapa bapak berseberangan dengan Jokowi. “  Akhirnya saya temui juga. Saya di dampingi oleh anak asuh saya. Sasa. Dia memang ingin sekali bertemu dengan sosok idolanya. Yanti usianya sekitar 45 tahun. Saya mengenalnya dari teman yang juga pengusaha. Saat itu dia butuh dana program sosial. Saya dan teman terlibat mendukung programnya. Dia cerdas dan punya reputasi bersih sebagai aktifis. 


Saya menjawab pertanyaannya. Dari awal saya mendukung Jokowi karena kebijakannya pada proyek infrastruktur adalah lebih kepada B2B. Ini menuntut kualifikasi menteri, direksi dan komisaris BUMN berkelas negarawan. Maklum B2B itu kemitraan international. Mereka harus paham hukum international dengan segala proses negosiasi yang rumit. Juga harus kuasai nation interest. Artinya proses pembangunan bertumpu kepada profesionalitas, bukan rente. Tapi nyatanya dari laporan yang ada, dari lima tahun berjalan, malah skema hutang diperbesar. Dan  periode kedua ini, cara cara hutang tetap dijadikan prioritas. 


“ Bisa cerahkan saya soal itu.” tanyanya.


Pada bulan Mei tahun 2017 Jokowi memimpin delegasi Indonesia menghadiri KTT BRI ( Belt Road Initiative ) di Beijing. Saat itu Jokowi dengan tegas mengatakan siap berpartisipasi dalam BRI, asalkan dengan syarat B2B. Mengapa? agar tidak membebani APBN dengan utang. Skema utang itulah yang dilakukan oleh 6 presiden sebelumnya sebagai solusi. Itu jelas membawa kita kepada situasi debt trap. Itu yang harus diubah. Nah B2B adalah strategi pembangunan memanfaatkan potensi sumber daya manusia yang ada, yang bukan hanya sebagai object tetapi juga subject pembangunan secara menyeluruh. Begitu kata konsepsinya.


Masih belum jelas. Baik saya tegaskan. Pembangunan itu merupakan proses transformasi masyarakat yang tidak hanya dilihat dari indikator pertumbuhan ekonomi saja, namun juga termasuk di dalamnya terdapat perubahan mental, sosial, struktur, hingga kultur dalam masyarakat. Ya social engineering. Setiap proses pembangunan memiliki tiga tujuan inti yaitu peningkatan ketersediaan serta perluasan distribusi; peningkatan standar hidup; serta perluasan pilihan-pilihan ekonomis dan sosial. Paham ya say.


Apa yang terjadi ? semua proyek B2B. Gagal terlaksana. Justru Proyek dengan skema soft loan diluar ketentuan Jokowi malah semua selesai dibangun. Apa artinya? proses pembangunan infrastruktur terlaksana tetapi tidak terjadi tranformasi ekonomi yang luas. Konsep good governance yang memadukan pendekatan berorientasi pasar untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan civil society melalui demokratisasi tidak dijadikan solusi. Dengan soft loan, pemerintah jadi aktor utama, dan rakyat jadi piguran pelengkap penderita doang. Ya jokowi mengulang tragedi pembangunan. Pemimpin baik yang berujung menyedihkan.


Saya buka file notepad saya. Data  terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan  status terakhir posisi utang luar  negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah China sebesar 17,7 Miliar USD atau setara dengan 248,4 Triliun dengan kurs 14.000. Lebih spesifik di kelola Pemerintah sebesar 22,8 Triliun dan BUMN sebesar 225,6 Triliun. Itu setara dengan 42% total anggaran BRI untuk Indonesia. Indonesia juga diketahui telah menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar  atau setara Rp 63 triliun pada periode yang sama melalui skema Official Development Assistance (ODA), serta pinjaman melalui skema Other Official Flows (OOF) sebesar US$ 29,96 miliar atau setara Rp 427 triliun. Indonesia termasuk 10 negara penerima pinjaman terbesar dari Tiongkok melalui dua skema tersebut.  Kan konyol.


Saya mendukung Jokowi bukan karena kultus Individu. Saya juga tidak berharap dapatkan rente ekonomi dari dia. Toh saya berbisnis di luar negeri. Saya dukung karena saya tahu, Jokowi berniat baik untuk Indonesia lebih baik. Kalau dalam perjalanannya saya kadang mengkritik Pemerintah, itu karena tanggung jawab saya kepada Tuhan.  Saya tidak ingin terjebak dalam politik suka tidak suka. Atau Kadrun vs Cebong. Engga. Saya focus kepada akal sehat. Mengapa? Sumber masalah terbesar Jokowi bukanlah di luar ring dia. Tetapi di dalam ring kekuasaan dia sendiri. Mereka inilah yang bertanggung jawab paling besar terhadap kegagalan program Jokowi.


“ Bukankah itu karena sistem negara kita yang brengsek. Terutama sistem multi partai. Yang membuat presiden tidak sepenuhnya  punya kendali atas programnya? Kata Yanti.


“ Kamu tahu. Dulu era Gubernur DKI, Ali Sadikin. Dia dikenal Gubernur yang raja tega dan keras. Tetapi dia imbangi kekuasaanya dengan membentuk LBH jakarta. Pemerintah DKI biayai LBH itu. Apa yang terjadi kemudian? Dari 600 kasus sengketa tanah antara pemerintah di DKI dengan rakyat, 200 dimenangkan rakyat. Karena itu dia dikenal Gubernur paling sukses yang pernah ada di republik ini. Apa kuncinya? pemimpin yang sukses bukan terletak pada sistem tetapi karena dia memberikan akses kepada civil society melawannya tanpa rasa takut. 


Tidak ada sistem yang sempurna di dunia ini. Karena bagaimanapun toh sistem itu dibuat oleh manusia. Makanya diperlukan kepemimpinan puncak dalam setiap negara. Tidak ada kepemimpinan yang bisa efektif melaksanakan fungsinya kalau check and balance tidak terlaksana. Makanya kritik itu sangat penting bagi pemimpin yang sadar akan fungsinya. 


Nah, yang jadi masalah pada periode pertama kekuasaanya adalah membungkam oposisi lewat sistem hukum dan politik. Adanya UU ITE, koalisi luas di DPR, UU ormas dan lain lain, itu bukti mesin kekuasaan bekerja efektif membungkam oposisi. Periode kedua kepemimpinannya oligarchi terbentuk sudah. Jokowi tidak sepenuhnya pengendali tetapi bagian dari yang dikendalikan oleh oligarchi. “ Kata saya.


“ Jadi kalau dia bicara perlunya kesinambungan pembangunan, sebenarnya adalah keberlanjutan sistem oligarchi itu.” Kata Yanti retorik. Saya senyum aja. Kata katanya lebih politis. Saya hindari menyimpukan hal seperti itu. “ Bukankah persepsi kepemimpinan negara itu lebih rumit dibandingkan memimpin perusahaan. Jadi tidak sederhana seperti pengertian kita” Lanjut Yanti.


“ Yang rumit itu mengelola bisnis, alasannya pertama, karena sumber daya terbatas. Dibatasi oleh aturan dan modal. Sementara pemerintah kan punya sumber daya melimpah. Dan aturan serta modal dia create sendiri. Kedua, bisnis itu walau legitimate, tetapi sulit mendapatkan trust. Butuh waktu lama membangun trust. Semetara negara kan berdiri sudah ada trust. Uang yang dicetak itu kan lambang trust. Ketiga, bisnis itu berkembang karena organisasi. Membuat organisasi itu established engga mudah. Perlu proses lama dan rumit sampai bisa jadi mesin pertumbuhan. Nah negara kan sudah punya organisasi lengkap dengan dukungan infrastruktur birokrasi,  konstitusi dan UU. 


Jadi mengelola bisnis itu jauh lebih rumit daripada negara. Apalagi mengelola bisnis multi national holding company yang melibatkan ratusan anak perusahaan. Itu benar benar seperti duduk diatas tungku. Sedikit saja hilang focus, bisa accident. Sedikit saja hilang trust, goncang likuiditas. Tapi mengelola pemerintah bisa jadi sangat rumit bila presiden tidak punya good attitude, well knowledge, strong passion dan vision.. Dia tidak bisa melakukan influence terhadap proses kepemimpinannya. Sehingga kepemimpinannya dirasakan tidak efektif. Terkesan autopilot atau wara wiri engga jelas, atau retorik omong kosong.


“ Dan karena itu bapak terus kritik “ Kata Yanti


Rakyat itu adalah  bagian dari civil society yang bertanggung jawab terhadap efektifitas Presiden. Kalau tidak ada kritik, terus memuji maka kita sama saja membiarkan diri kita dimangsa predator yang ada di lingkaran kekuasaannya, yang pada waktu bersamaan mereka hembuskan kesalahan kepada pihak di luar kekuasaan. Padahal ancaman itu dari mereka sendiri yang memegang sumber daya negara secara luas. Saya tidak mau begitu.  Kalau karena kritik saya itu, orang tidak suka, ya bukan urusan saya.  Saya menulis karena Tuhan, bukan karena berharap like atau dapat donasi dari iklan atau apalah.


Usai pertemuan itu, “ Emang salah Ayah apa sih. “ Kata Sasa mengerutkan kening. “ Orang cuman nulis doang . Engga suka ya jangan baca. Aneh saja. Era sosial media seperti sekarang ini orang masih baper dengan tulisan orang lain.” Lanjut Sasa. Saya tunjuk jidatnya. “ Selesaikan kuliah kamu dengan cepat, agar kamu tahu arti sebuah narasi.  “ kata saya. 


“ Siap ayah. 


Peradaban ini bergerak ke depan karena perubahan. Perubahan itu terjadi karena narasi. Makanya kemenangan presiden dalam proses politik,  tidak otomatis dia dilahirkan dari masarakat yang melek politik. Bisa jadi karena kebodohan kolektif, seperti terpilihnya Hitler, yang menang karena rakyat menolak narasi dan tumpul  dialektika. Makanya saya sekolahkan kamu tinggi agar menjadi bagian dari kaum terpelajar yang mengubah negeri ini menjadi lebih baik" Kata saya.

No comments:

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...