Saturday, June 04, 2022

Pelangi senja...

 




Saya datang ke apartemen Florence. Karena udah sebulan engga ketemu. Dia tersenyum ketika buka pintu apartemen. 


“ Sehat, Bi ? Tanya saya merangkul pundaknya.


“ Aku buatkan kopi ya” Katanya pergi ke dapur. Saya duduk di sofa sambil menatap ke luar lewat jendela. Nampak teluk jakarta. Seluet senja nampak indah dari jendela Apartement ini. Kemarin Yuni berpesan agar saya temui Florence. Karena dia sangat kawatir dengan keadaan politik sekarang. Florence sahabat saya. 


Kenangan saya bersamanya melambung puluhan tahun ke belakang. Tahun 83 suasana Jakarta memang mencekam. Karena banyak ustad radikal menyuarakan agitasi terhadap Rezim Soeharto. Tapi Soeharto tidak mau ribut dengan Ustad itu. Seperti ceramah dengan toa memekak disetiap RW itu dibiarkan saja. Justru yang dikejar dia adalah kelompok Marhaen. 


Setelah lelah keliling sebagai sales. Saya dan Florence sempatkan mampir ke Kawasan Kwini. Di sana katanya ada pertemuan tertutup untuk bedah buku Soekarno. Ya itu hanya dari mulut ke mulut saja undangan.


Seusai sholat Lohor saya datang ke TKP. Di dalam ruangan sudah ada orang duduk dengan tertip. Tidak ada kursi. Hanya lesehan saja di lantai. Kami duduk melingkar, tengah tenganya ada mentor kami ( tahun 1996 dia jadi petinggi PDIP). Di tangannya ada buku sokarno. Itu manifesto Pancasila. Belum 15 menit acara berlangsung. Terdengar suara spekear “ Atas nama UU acara dibubarkan dan anda semua ditangkap. “ Mau lari sudah terhalang oleh tentara berwajah garang depan pintu.


Kami digelandang ke jalan kramat. Di sana kami di data satu persatu. Yang jelas setiap keluar dari ruang pemeriksaan, wajah  lebam. Pasti ditaboki. Saat itu juga saya beranikan bilang kepada petugas. “ Pak teman perempuan saya ini bebaskan saja. Dia hamil. Dia mahasiswi. Dia engga tahu apa apa. Saya ajak dia.”


“ Siapa suaminya ?


“ Saya pacarnya pak” Kata saya.


Petugas itu melihat FLorence wajahnya pucat dan keringat dingin bersimbah. “ Aneh cewek China mau dipacarin sama orang seperti kamu” Entah mengapa. Petugas itu menyuruh Florence pulang. Tapi saya juga disuruh pulang.


Kami keluar dari kantor itu tidak pernah berhenti berdoa. Terus berdoa dan sampai pinggir jalan. Kami saling berpelukan. Benar benar mujizat. Namun saya sempat terkejut karena dibelakang baju Florence berdarah. Ternyata kepalanya berdarah. Saya sibak rambutnya. Luka tergores. Saya mampir ke warteg. Minta serbuk kopi. Saya oleskan  kopi itu pada luka, Darah berhenti. Luka itu dia dapat ketika di lempar ke dalam truk.


Selama tahun 1983 itu terjadi penangkapan geraka marhaen dan mereka yang dicurigai pengikut PKI. Tahun 1984 gerakan Islam dihabisi dengan tragedi Tanjung Priok. Ribuan umat islam tewas oleh bedil tentara. Setelah itu  tokoh islam ditangkapi. Kalau tokoh di adili. Yang bukan tokoh dikarungi. Hilang tanpa nisan.


Sampai tahun 1999 Florence tinggal di Singapore. Tapi dari singapore dia membantu teman temanya di Riau dan Medan yang ikut berjuang menangkan PDIP dalam pemilu. Tetapi karena kami orang bisnis. Hanya sebatas itu kami bisa lakukan. Selebihnya kami harus berjuang sendiri untuk hidup kami. Florence pindah ke Riau tahun 2000. Dari tahun 2002 di tinggal di Batam. Tahun 2017 saya jemput untuk tinggal di Jakarta. Jadi preskom perusahaan saya. Usianya saat itu sudah 55 tahun. Seumur hidupnya dia tidak menikah. 


Kalau Florence sangat emosional dengan keadaan negeri ini, karena dia sangat mencintai negeri ini. Tetapi kecintaannya itu karena idiologi marhaen. Jadi lebih emosional. itu yang saya kawatirkan. Yang seperti florence itu ada puluhan jutaan di negeri ini.  Mereka diam tetapi kecintanya kepada PDIP itu sangat idiologis. Engga akan mungkin bisa diprovokasi oleh apapun. Mengapa ? Bagi kaum  marhaen tidak ada istilah minoritas. Apapun etnis dan agamanya, semua adalah sahabat. Dan disiplin berjuang dipegang erat. Mereka tidak pragmatis atau oportunis. 


Kalau suara PDIP 20% di DPR, sekitar 60% itu suara marhaen. Hanya 40% saja pragmatis. Suka tidak suka, PDIP itu rumah bagi kaum marhaen. Kecuali mereka diusir oleh Megawati. Tapi ibu mega sayang sekali dengan kaum marhen. Mereka merasakan itu. Apalalagi tokoh Marhen di DPR tetap singa. Tidak pernah  berubah mereka. Tetap merakyat


Saya lihat di meja ruang tamu ada buku “ Pluralism in Political Analysis”. 


“ Wah hebat bacaan kamu. Bisa ceritakan sedikit apa isi buku ini” Kata saya ketika Florence datang menghidangkan secangkir kopi dan kue lapis kegemaran saya.


“ Buku Ini mengkaji pemikiran para pluralis seperti Robert Dahl, David Truman, Adolf Berle, Arthur Bentley, Joseph Schumpeter, dan Walter Lippmann, serta kritikus teori pluralis seperti C. Wright Mills, Herbert Marcuse, Henry Kariel, dan  Hibah McConnell. “ katanya.


“Dimana menariknya? Tanya saya.


“ Yang menarik adalah sudut pandang pluralis tentang sains, ekonomi, filsafat, dan psikologi. Buku ini menyimpulkan bahwa interpretasi konvensional dan pluralis tentang politik kontemporer memerlukan revisi yang signifikan. Pandangan para kritikus yang beragam ini menyatu menjadi garis besar dari apa yang mereka lihat sebagai cita-cita politik yang lebih tercerahkan dan teori deskriptif yang lebih relevan.  Potret kolektif ini menawarkan kerangka interpretatif baru yang provokatif untuk memahami politik masyarakat kontemporer. “ kata Florence.


“ Kesimpulannya pluralis itu dipengaruhi oleh banyak faktor dan proses politik tidak berada di ruang hampa. Dalam sistem demokrasi liberal menganut multipartai , idiologi identitas atau fasisme memang tidak mungkin menang. Apalagi dalam dunia yang berubah. “ kata saya.


“ Tepat sekali. “ Florence acungkan jempol. “ Terus Jel, gimana pandangan kamu tentang konstelasi politik kedepan menjelang pemilu 2024” tanya Florence.


“ Kalau kita ingin mengetahui peta politik ke depan. Kita harus pahami proses politik dari waktu ke waktu. Karena orangnya itu itu aja. Politik kita adalah politik transaksional antar kekuatan kolompok. Zaman Soekarno pernah ada koalisi tiga idiologi, yaitu Nasionalis, Komunis dan Agama. Disingkat, NASAKOM. Barisan nasional ini dibentuk Soekarno berdasarkan hasil Pemilu 1955. Fakta politik di Indonesia hanya tiga idiologi itu yang diterima oleh rakyat.  Soekarno sadar bahwa dia penyambung lidah rakyat. Dia tidak bisa mengingkari eksitensi ketiga idiologi itu. 


Namun Soekarno juga sadar bahwa tiga kekuatan itu tidak bisa di tempatkan dalam sistem demokrasi liberal. Tetapi harus demokrasi terpimpin. Itulah sebabnya, berkat dukungan tiga kekuatan itu, Soekarno bubarkan legislatif hasil pemilu dan kembali kepada UUD 45 yang dianggap lebih cocok dengan Pancasila.


Di Era Soeharto, kita tidak punya basis idiologi yang jelas. Maklum kekuatan Orde baru dipegang oleh Golkar yang merupakan antitesis dari ketiga idiologi yang ada di Indonesia itu. Mengapa ?  Golkar itu awalnya didirikan oleh TNI-ABRI, yang menentang adanya paham idiologi yang ada ( nasionalis, komunis dan agama). Pada era Soekarno, TNI-ABRI berpolitik lewat Sekber Golkar. Dan di era Soeharto, TNI-ABRI menjadikan Golkar sebagai kendaraan untuk berkuasa. Payungnya adalah Pancasila. Pancasila sesuai dengan persepsi Soeharto. Gerakan nasionalisme dan agama di bonsai sesuai dengan prinsip Pancasilanya Soeharto.  Komunis di bubarkan.


Di Era reformasi, Golkar mendirikan Partai Golkar. Namun sejak TNI-ABRI keluar dari Golkar dengan tersingkirkan Edi Sudrajat dalam Munas Golkar tahun 1999, Golkar tidak berubah. Masih dengan platform kekuasaan orde baru. Kemudian TNI melalui operasi intelijen mendukung berdirinya PKB, PAN, dan PKS. Tujuannya membuat keseimbangan terhadap Golkar. Namun era SBY, koalisi partai islam ( PPP, PKB, PKS, PAN ) dan partai  pragmatis  ( Golkar, PD dll ) berkuasa. Prinsip nasionalism diabaikan. Saat itulah TNI mendukung bangkitnya PDIP sebagai penyeimbang. Mengakiri kekuasaan SBY, PDIP jadi pemenang pemilu. Jokowi berkuasa.


Era Pertama Jokowi berkuasa, ada upaya membenturkan Nasionalis dan Islam. Siapa yang punya ulah? Siapa lagi kalau bukan elite Ex order baru. Maklum kita engga punya manifesto idiologi Pancasila. Jadi setiap orang bebas mendefinisikan Pancasila sesuai golongannya. Sampai dengan sekarang, provokasi konflik antara nasionalis dan islam sengaja didengungkan terus. Kalau ini tidak ada upaya rekonsiliasi secara struktural maka negara ini akan menjadi negara gagal politik. PDIP berusaha mengurangi polarisasi politik agar semua orientasinya kepada Pancasila dan NKRI. Tentu tidak lepas dari upaya intelijen negara. 


Tetapi, sekarang pluralisme sudah mulai tumbuh dewasa dalam masyarkat Indonesia. Ini dipicu oleh gencarnya informasi melalui sosial media. Walau idiologi Soekarnoisme dan agama masih besar pengaruhnya namun peran partai sangat  dominan menciptakan poltik pluralisme itu. Maklum dengan banyaknya partai, tidak ada satupun partai yang dapat suara 1/3 dari jumlah anggota DPR di Senayan. Mau engga mau, entah partai berhaluan Soekarnoisme  atau agama atau pragramatisme, tetap saja memerlukan koalisi kalau ingin menang dalam Pilpres.” Kata saya.


“ Dan kalau koalisi pastilah  pelangi ya. Engga mungkin PDIP atau Golkar koalisi dengan Gerindra atau Nasdem atau partai pragmatis. lainnya. Pastilah ikut juga PKB, atau PPP, atau PKS atau PAN. Itulah yang dimaksud oleh Herbert Marcuse.. “


“ Benar. “ kata saya tersenyum. “ makanya sangat dilema, bagi partai mencalonkan seseorang jadi capres kalau elektabilitasnya ter-cluster karena idologi tertentu. Katakanlah, Ganjar, yang juga musuh bagi akar rumput PKS. Sementara Anies sudah terlanjur tekooptasi dengan PKS. Suara Anies ya suara PKS, yang di akar rumput musuh bagi pemilih PDIP. Kedua calon ini tidak elok di hadapkan head to head dalam konteks mengelola pluralisme. 


Karena pemilu itu kan brutal sekali dan cakupannya luas sekali, hubungan koalisi sangat dinamis. Engga sesederhana hasil survey. Singkatnya tanpa koalisi pluralis, engga mungkin bisa menang. Dan walau para Partai itu mengejar kemenangan, tetapi keutuhan NKRI tetaplah prioritas. Jadi peluang bermusawarah antar mereka selalu terbuka.” kata saya.


“ Ya juga ya. Belum lagi pluralisme dikaitkan dengan geostrategis dan geopolitik regional dan international, politik kepentingan pemodal. Ini tidak bisa dianggap remeh. Sangat significant menentukan peluang unggul dalam kompitisi Pilpres di era yang sedang berubah cepat. Mau engga mau, idiologi harus berdamai dengan itu semua. Kalau engga ya kalah. Emangnya engga perlu ongkos “ kata Florence.


“ Jadi kesimpulannya? “ kata saya”  tetap saja partai yang menjadi King maker. Survey Elektabilitas bukan penentu kalau itu hanya karena faktor idiologi dan popularitas. Yang utama adalah siapa yang bisa mengelola dan memanfaatkan pluralisme semua aspek,  ya dialah yang tampil sebagai pemenang.  Dunia berubah. Pelajaran kemenangan Jokowi di tahun 2014 dan 2019 membenarkan teori itu. Menang tapi tidak telak, membuat presiden harus terus berdamai dengan pluralisme. Memang keliatan lemah tapi itulah realitas politik kita “ lanjut saya. 


Florence pergi ke rak buku yang ada di ruang tengah apartement. " Ini Jel ada buku. Pernah baca ? " Kata Florence memperlihatkan buku Democracy for Sale: Dark Money and Dirty Politics, by Peter Geoghegan, published by Head of Zeus" 


" Apa isinya? Bisa ceritakan ? Tanya saya.


" Menurut buku ini. Selalu alasan pembenaran pentingnya demokrasi adalah agar tidak terulang lagi kekuasaan seperti Hitler, Mussolini, Stalin. Mereka adalah Icon kegagalan kekuasaan anti demokrasi. Kebetulan AS sebagai pemenang perang dunia kedua. Memaksakan agar demokrasi sebagai jalan menuju era baru dunia yang damai dan menghormati kebebasan. Namun yang jadi masalah setelah sekian dekade. Terbukti Demokrasi memang tidak pernah mundur namun gagal maju. 


Mengapa ?


Jawabannya, ada tiga. 


Pertama. Peran korporat dalam sistem politik sangat dominan menentukan arah bandul. Maklum korporat  lewat pajak menanggung  anggaran nasional lebih dari 80%. Walau korporat  hanya segelintir namun ia menanggung beban sosial dan ekonomi negara. Itu  sudah berlangsung sejak tahun 1970.  Sulit membantah bahwa oligarki bisnis itu kukunya mencengkeram batang leher elite. 


Kedua. Peran uang haram atau uang gelap atau uang rente yang masuk kedalam sistem politik. Panetrasi uang rente ini luar biasa sehingga membuat demokrasi hanya sebatas prosedur formal saja. Kenyataannya pemerintah bekerja untuk kepentingan rente saja. Yang  miris, uang rente itu sulit dilacak pajaknya. Mereka dilindungi oleh elite politik.


Ketiga. Transformasi media massa ke  ekosistem informasi yang terstruktur sehingga informasi bisa di-create sesuai kehendak modal dan pasar.  Akibatnya kebenaran yang menjadi nilai nilai demokrasi tidak menjadi bagian dari proses pendidikan politik. Makanya jangan kaget bila orang yang tak jelas reputasinya bisa jadi anggota DPR dan kepala daerah. Bahkan jenderal gagal engga malu untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Dan selalu ada yang pilih.


Tiga hal tesebut diatas,juga ditulis oleh Lawrence Lessig dalam bukunya, Republic, Lost, dan Dark Money. Lessig menjelaskan bagaimana sekelompok miliarder telah membentuk dan memutarbalikkan politik Amerika. Dan di Inggris, studi penting Martin Moore, Democracy Hacked , menunjukkan bagaimana, hanya dalam satu siklus pemilu, pemerintah otoriter, elit kaya, dan peretas pinggiran menemukan cara untuk mempermainkan pemilu, melewati proses demokrasi, dan mengubah jejaring sosial menjadi medan perang.


Buku ini tidak berbasis teori kuat. Landasan berpikirnya lebih kepada telaah fakta. Jadi lebih tepatnya laporan kompulsif bagaimana praktek demokrasi yang ganas dan culas. Sehingga banyak UU tidak lagi dibuat sesuai dengan nilai nilai demokrasi tentang keadilan. Rakyat kehilangan kecerdasan politik akibat informasi yang bias. 


Media massa  menjadi virus yang ganas menyesatkan orang berpikir. Sosial media membuat orang lonely ditengah keramaian dan jadi budak influencer yang mengemas konten ambigu. Selalu membesar besarkan hal omong kosong seperti idiologi dan agama. Sangat sedikit membahas silent skandal dari kalangan korporat dan elite poltiik. Ogah membahas mind corruption. Padahal silent skandal dan mind corruption ini lebih jahat dari teroris. Karena ia semakin memperlemah pemerintah dalam melaksanakan fungsi  sosial dan keadilan. Dampak buruknya sangat sistematis. Jadi, demokrasi itu paradox . Anti persatuan dan mudah terpolarisasi. " Kata Florence menceritakan isi buku. 


Saya senyum aja. 


" OK lah. Ceritakan behind the scene dari politik di Indonesia. Engga usah teori dan pemikiran awam. Gua mau dari sudut pandang permainan politik. Gua penasaran aja"  Tanya Florence.


“ Yang berhak menentukan seseorang itu bisa jadi capres adalah Partai. Walau masyarakat menghendaki sia A, dan survey membuktikan itu, itu sah saja sebagai hak demokrasi. Tetap saja tidak menghilangkan hak partai menentukan. Hak rakyat akan ditunaikan ketika Pemilu, bukan sebelum pemilu. Jadi ribut ribut sebelum ada penentuan capres, itu buang waktu.  Calon yang ada seperti Prabowo, Ganjar. Anies, Ridwan Kamil. Sandi, Risma, Kofifah, Eric dll. Saya engga melihat prestasi mereka fenonemal untuk qualified jadi capres."


" Mengapa ? 


" Prabowo sejak era reformasi,  tidak ada satupun prestasi yang fenomenal dan dirasakan oleh rakyat. Dia hanya sibuk beriklan dan besarkan partainya saja. Anies diberi kesempatan jadi otoritas DKI, tetapi selama 5 tahun tidak satupun prestasi fenomenal. Cuma retorika aja.  Ganjar dan Emil, Kofifah juga sama. Dalam UU desentralisasi, otonomi itu ada pada tingkat 2. Nah posisi Gubernur ( selain DKI)  itu hanya kepanjangan kekuasaan dari pusat. Tugasnya hanya sebagai koordinator atas otonomi di daerah tingkat dua. Jadi sulit menilai prestasinya. Karena hak otonomi dalam kebijakan publik di daerah ada pada bupati atau walikota. Prestasi walikota dan Bupati tidak terkait dengan Gebernur.


Soal Erik, Sandi, Airlangga.  Mereka itu pengusaha. Tidak ada prestasi fenomenal mereka terhadap rakyat. Yang jelas prestasi hebat mereka hanya untuk mereka saja dan itu membuat mereka tambah tajir. Sebagai pejabat publik, mereka juga tidak mencatat prestasi hebat kecuali hebat beriklan  untuk diri mereka saja.  Puan juga belum ada prestasi hebat kecuali dia elit partai PDIP. Sukses PDIP itu berkat kerja kolektif semua kader. Dia tidak punya track record sebagai pengusaha atau kepala daerah. Puan sama saja dengan AHY. Keduanya besar berkat keluarga saja. 


Tahun 2018, saya tahu. Setelah Jokowi menang pilpres 2019, akan ada gerakan intelijent dari kekuatan proxy asing. Sangat canggih. Mereka menggunakan sosial media seperti dulu Trump menang di pilpres di AS. Saya dengar ada team hebat yang mempelajari data cloud secara algoritme soal minat dan emosi rakyat,  untuk kemudian digunakan untuk membentuk persepsi  seseorang pantas jadi presiden dan pada waktu bersamaan membenturkan kekuatan persatuan bangsa dan membonsai partai. 


Kalau itu terjadi, NKRI jadi ancaman. Dan itulah yang diharapkan kelompok fundamentalis. Makanya mereka sekarang diam dan menonton saja. Tidak ada gerakan terorganisir. Tapi mereka siap masuk di tikungan atau jadi burung pemakan bangkai saja. “ Kata saya.


“ Duh kenapa sampai segitunya? 


“ Biang persoalan ada pada fenomena Anies. Ya ada kekuatan besar yang tak nampak dibelakangnya. Semua tahu, ada empat orang  yang jadi king maker atau elite dari super elite di negeri ini. Yaitu, Megawati, SBY, JK dan Surya paloh.  Yang membuat Megawati dalam posisi diam karena SBY, JK dan Surya Paloh selalu menjadikan Anies sebagai kuda troya. 


Saya tahu bahwa sebagai kader PDIP Jokowi secara tidak langsung ada dibalik koalisi KIB. Tujuannya agar JK, SBY dan SP tidak leluasa melakukan manuver. KIB itu repsentasi nasionalis, Islam moderat dan Islam tradiosional. Tentu akan lebih kuat lagi apabila PKB ikut bergabung. Saya yakin PKB akan gabung di KIB setelah dapat tanda dari Megawati. SBY tahu bahwa dia sudah terjepit. Satu satunya harapan dia adalah mendekati SP. Apalagi SP sedang renggang dengan Megawati. Klob dah. Sama sama dicuekin oleh Megawati. Semua tahu SP, SBY dan JK itu punya akses financial resource untuk politik.  Tentulah ini jadi ancaman serius bagi PDIP. Mengapa? KIB bisa bubar kalau keran uang tersumbat. 


Yang rumitnya, Anies punya hubungan personal dengan Jokowi. Ini tidak sederhana. Jokowi juga ada deal dengan SBY dan SP. Ini yang publik tidak tahu. Namun walau begitu, Jokowi tetap yakin Megawati dapat melindunginya dari manuver mereka. Tentu sejauh mana perlindungan itu. Kalau calon yang diajukan Megawati kalah Pilpres, itu akan merugikan Jokowi sendiri. Tentu Jokowi harus bersikap untuk kepentingan dirinya dan PDIP juga. Ini dimaklumi oleh Megawati. Kemungkinan Anies akan diusung oleh Surya paloh berpasangan dengan calon dari PD ( SBY).


Tetapi Anies tidak semudah itu menerima pinangan dari SP. Dia tetap berharap dapat restu dari Jokowi. Kalau Jokowi restui, koaliasi KIB akan bergabung dengannya, tentu PKS ikutan. Siapapun Calon dari PDIP jelas kalah. Kekalahan PDIP tahun 2004 terulang lagi. Nah gimana kalau Jokowi tidak restui ?, pemilu 2024 adalah ancaman bagi NKRI. Kemungkinan Chaos. Jadi memang rumit yang dihadapi Megawati. Engga sederhana sekedar membenci Anies. “


“ Bagaimana dengan TNI? 


“ Perang proxy sudah dimulai. Kembali kepada kita. Percaya kepada elite atau proxy ?  Dan saya yakin TNI dan BIN pasti sudah tahu soal perang asimetris yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi kalau ada keputusan politik yang anomali di tahun ini atau tahun depan, tetaplah percaya kepada elite dan konstitusi. Jangan mudah terprovokasi. Seburuk buruknya orang tua, itu takdir kita. Jauh lebih baik daripada proxy asing. TNI lebih utamakan stabilitas keamanan. Jadi para elite harus berdamai. Yaitu harus kurangi ongkos politik. Apalagi keadaan ekonomi tidak baik baik saja" Kata saya.


"Duh tuh kan. Memang tidak sesederhana yang lu jelasin diawal.


" Jadi kalau kamu udah paham soal Politik. Jangan lagi terlalu berharap politik akan hitam putih menurut isi kepala kamu. Banyak faktor di luar sana ikut berperan menentukan. Dan nasip kita ditentukan oleh kearifan elite politik. Paham ya sayang. " Kata saya tersenyum. " Nikmati saja masa tua kamu. Usia kita udah 60 tahun. Kita generasi gagal. Kita hanya bisa berdoa kepada Tuhan, semoga baik baik saja. Yakinlah setiap generasi punya takdir sendiri. " Lanjut saya.


Florence mendekati saya dan memeluk saya “ Jel, terimakasih udah penuhi keinginan gua. Hanya ada asisten pribadi merangkap ART. Gua udah dapat orangnya. “ Kata Florence panggil seseorang di kamar. Wanita muda usia 30an keluar dari kamar.” Ini kenalkan bapak. “ Kata Florence. Wanita itu menyalami saya. “ Jel, ini Lina. Dia janda miskin tanpa anak di Riau. Dia tamatan D3 dan pernah kerja di perusahaan minyak di Riau. Bisa bahasa mandarin dan inggris.”


“ Jaga ibu ya, Lina” Kata saya kepada wanita itu. 


“ Ya pak. Pasti saya jaga. “


“ Berapa gajinya “ tanya saya kepada Yuni. Yuni sebutkan gajinya. “ Kamu urus gajinya. Minta uang ke Afin. Jangan ambil uang kantor” 


“ Siap uda” Kata Yuni.


“ Ya udah. Saya pulang dulu. Kalian mau pergi keliatannya.” Kata saya merangkul mereka bergantian.


1 comment:

qnoyz0ne said...

Masya allah terima kasih Uda Jel atas inspirasi pengetahuan drama politik internal kita yang rumit ini, semoga Tuhan berkenan mengawal nasib yang lebih baik buat anak negeri, aamiin

Siluet kekuasaan dan kemiskinan.

  “ Mengapa kapitalisme disalahkan ? tanya Evina saat meeting di kantor Yuan. Dia CEO pada perusahaan di Singapore. Dia sangaja datang ke J...