Saturday, November 25, 2023

Korban revolusi...

 



Esther pensiun tahun 2020 sebagai banker di Hong Kong. Usia pensiun  dia menetap di Bali.  Rumah dan tanah itu sudah aku persiapkan 10 tahun lalu. Setiap tahun dia liburan ke Bali. Januari tahun 2023 aku sempatkan berkunjung ke rumahnya di Bali. Aku terkejut. Rumah itu sudah sangat berbeda dari 10 tahun lalu saat aku perintahkan Awi beli. “ Maafkan aku. Ale. Aku rombak rumah ini tanpa minta persetujuan kamu.” Katanya dengan suara lambat. Dia menunduk. Dia tahu aku sedikit trampramental soal respect. 


Aku keliling ke setiap sudut rumah. Tadinya Rumah itu ukuran 300 meter diatas lahan 3000 meter. Kemudian dia rumbuhkan. Dia ganti dengan rumah ukuran 78 meter namun menyatu dengan design rumah taman. Rumah ukuran 78 meter itu hanya ada ruang tamu, kitchen set  dan kamar tidurnya. Sama seperti apartementnya di Hong Kong.  Namun bedanya, semua ruangan itu menghadap ke taman yang asri dengan pembatas dinding lebar yang transfarant dari resin tahan api. Di kamanya ada photo kami berdua saat di Bali tahun 1996. Photo itu terbingkai dengan indah di dinding kamarnya. Di sebelah rumah itu ada gerasi yang di belakangnya menyatu dengan dua kamar ART. 


Di lahan yang luas berpagar pohon bambu itu, dia bangun tiga bungalow yang dihubungkan dengan jalan terowongan bunga rambat. Satu bungalow ukuran 150 meter. Untuk tempat hobi Esther melukis dan menulis, lengkap dengan perpustakaanya. Satu lagi bungalow ukuran 200 meter persegi untuk kamar tamu. Ada 3 kamar tamu. Walau terkesan sederhana dari luar. Namun interior kamar seperti hotel bintang 5. Satu lagi bungalow khusus untuk nge Gym dan latihan Yoga. Ukuran 72 meter.  


“ Engga apa apa Ka.” Kataku tersenyum. “ Apapun yang menurut kamu baik dan nyaman. Lakukan. Tak perlu minta pendapatku. “ Lanjutku memeluknya untuk menentramkan hatinya. 


“ Kapan kamu pulang? tanyanya dengan nada kawatir.


“ Sore ini aku ke Medan. Izinku dari istri mau tinjau Kebun Sawit di Sumut. “ Kataku sambil lalu berjalan lewat trowongan bunga rambat ke rumah utama. Esher terdiam berjalan di sampingku.  Sampai ruang tamu. “Ale baca ini..” Katanya menyerahkan buku kusam dengan air mata berlinang. Ada apa ini? mau drama lagi. Ah sudah nenek dan saya kakek kakek  kok masih main drama. Apa engga capek. Kataku dalam hati. Aku baca juga buku kumal itu. 


Akhir Oktober 1965, Mas Bram, dicari-cari tentara. Katanya Mas Bram aktivis PKI. Mas Bram orang german dan aku gadis Solo. Tidak mungkin terlibat G30S PKI. Sehari hari Mas Bram tidak pernah jauh dari tugasnya sebagai watawan. Belum seminggu mas Bram tidak pulang. Tentara datang menangkapku di rumah. Aku diseret tentara. Anak perempuan balitaku berusia tiga tahun menangis. Tentara itu tidak peduli. AKu tidak tahu bagaimana nasip dengan anak balitaku tanpa aku disisinya..


Bagaikan pelacur gudikan tak tahu malu dan tak laku, bokongku ditendang sepatu lars, dan aku dijorokkan bagai sampah ke dalam kamp konsentrasi—pusat penahanan yang tiba-tiba menjamur di kotaku menyusul peristiwa berdarah di Jakarta. Mereka interogasiku dengan membentak, di mana suamiku, aku menjawab tak tahu. 


“ Kamu guru, mengapa berbohong?! Dasar lonte.! pekik tentara memaksa. ”Saya memang tak tahu, Pak. Kami bukan suami istri, mengapa saya harus berbohong,” jawabku, membuat berahi si tentara terbakar. Kejujuran yang dititahkan kepada setiap guru yang baik, selalu menjadi pelita hatinya. Tetapi, di depan interogator yang haus darah, juga nyawa, pengakuan apa adanya hanya memancing bencana. Dia disiksa, diperkosa, untuk memperoleh pengakuan yang, demi Tuhan, memang mustahil.


Suatu hari, seorang perwira muda mendatangiku. Untuk seseorang yang baru disiksa habis-habisan, sikap perwira itu luar biasa. Dibelainya rambutku. ”Kau bukan PKI. Kau aku bebaskan. Ikut aku,” katanya. Dia dinaikkan ke jeep, dan diturunkan di sebuah rumah di luar kota. ”Bantulah aku, cuma berdua kita di sini,” rayu sang perwira. Aku mencuci pakaian kotor yang dibiarkan perwira itu berantakan di bawah tempat tidur. Aku juga menanak makanan untuk dia. Ya aku dimanfaatkan sebagai budak.


Ketika luka siksaan yang aku tanggungkan berangsur sembuh, sang perwira merapat, merayu, dan menggiringku ke dalam kamar, mencumbuiku habis-habisan, hingga perwira jelmaan musang berbulu ayam itu, terkulai di puncaknya. Hari-hari aku dilalui tak lebih dari sekadar seorang budak gratisan, malam-malam aku lewati tak lebih dari sekadar segumpal daging simpanan. Akhirnya satu waktu permira muda itu mengabarkan dia ditugaskan ke kalimantan. Dia tidak peduli dengan nasipku. Yang pasti aku diusir dari rumahnya dan janjinya akan mempertemukan aku dengan balitaku. tidak dia penuhi. Hanya janji kosong.


Aku hijrah ke Yogya. Aku bekerja sebagai pelayan di rumah batik. Sebelum berangkat kerja, aku mencari penghasilan tambahan, berjualan kue di sekolah. Malamnya, barang satu-dua jam, aku sempatkan berdagang bandrek di pangkalan becak. Ketika merasa sudah cukup modal untuk hijrah ke Jakarta, aku bulatkan tekad berhenti kerja. Itu karena aku dapat kabar dari Mbak Yu Lik, katanya Balitaku di bawa ke jakarta oleh perwira tentara. Mbak Yu Lik sebut nama perwira itu. 


Aku terhenti membaca buku harian itu. Aku lirik Esther terus menangis. Dia tidak meratap tapi air mata terus jatuh. Aku usap air matanya. Esther ambil buku harian  itu. Dia membalik balik halaman dan minta aku membaca  halaman yang dimaksud. AKu mulai baca…


Hanya sebulan di Jakarta. Aku bisa mendatangi rumah perwira itu. Tapi hanya bisa melihat dari kejauhan.  Penjaga rumah membentakku untuk menjauh dari pagar rumah. Walau tak pernah ada kesempatan bertemu dengan balitaku, tetapi tidak menghilangkan tekadku untuk menemunya. Setelah 10 tahun berlalu, tak terhitung kalinya aku datang ke rumah perwira itu, dan tak pernah ada kesempatan mendekati pagar, akhirnya perwira itu itu pindah entah kemana. Belakangan dari koran sore aku tahu perwira itu ditugaskan sebagai Dubes di Eropa. Tentu balitaku dibawanya.


Tahun 1979 Mbak Yu Lik dan suaminya yang juga perwira dan punya hubungan dengan kerabat keraton Solo, bermurah hati untuk mengantarku ke rumah balitaku. Aku memang berjanji tidak akan mengenalkan diriku sebagai ibu dari putriku, dan tidak akan bercerita tentang masa laluku. Aku tidak akan merebut putriku dari keluarga perwira itu. Akhirnya aku bisa bertemu dengan putriku. Dia tidak lagi balita. Telah tumbuh nenjadi remaja yang cantik. Benar benar cantik. Wajah indonya sangat kontras dibandingkan dengan wajah perwira dan istrinya. Aku senang dan bahagia. Walau revolusi memisahkan aku dan putriku, tetapi revolusi juga yang merawat putriku… Biarlah aku saja yang menelan semua derita. Jangan putriku…


“ Sekarang dimana mama kamu, Ka ? ” Tanyaku kepada Esther.  


“ Kamu tahu, Kata Esther mengusap air matanya. “  tahun 93 setelah ayahku meninggal, Aku baru tahu bahwa aku anak angkat. Ternyata selama ini aku orang asing diatara keluarga besarku. Aku tanyakan ke ibuku. Dimana mamaku? Akhirnya mengantarkan aku bertemu Bude Lik di Semarang. Mereka ceritakan. Mamaku meninggal karena TBC. Itu setahun setelah mamaku bertemu denganku di Jakarta. Bude Lik hanya memberikan buku hari ini sebagai warisan dari mamaku." ” 


“ Terus papa kamu ? dimana sekarang ? tanyaku.


“ Tahun 2000 aku dapat alamat tempat tinggal papaku. Dia tinggal di Berlin. Sudah jadi warga negara Jerman.  Aku temui dia. Tetapi dia tidak begitu terkesan ketika tahu aku putrinya.  Alasannya dia tidak pernah menikah resmi dengan mamaku. Dan lagi dia sudah punya keluarga sendiri. “ Kata Esther dengan raut wajah sedih. 


“ Terus Bude Lik itu apa hubungannya dengan mama kamu? 


“ Oh dia teman kuliah mamaku waktu di UGM. Mereka bersahabat sejak remaja. Menurut cerita Bude lik, papaku kenalan dengan mamaku saat mama jadi aktifis GMNI. Saat itu papaku seorang jurnalis asing yang ditugaskan di Yogya.” Kata esther.


Aku termenung. Selama ini Esther memang merahasiakan keadaan keluarganya dan akupun tidak mau tanya lebih jauh. Padahal kami bersahabat sejak tahun 1992.


“Ale, seru Esther. ” Kamu tahu kan. Tahun 1996, aku hijrah ke Hong Kong. Aku tahu kamu berusaha menahanku. Tapi aku tetap bersikeras pergi dengan alasan mau kembangkan karir. Sebenanya alasanku karena aku benci Soeharto. Dia yang membuat mamaku menderita dan terhina. Sementara karena G30S PKI, Soeharto jadi pahlawan dan dengan mudah melenggang ke istana negara. Padahal korban kemanusiaan akibat itu sangat besar dan tak bisa terungkapkan secara jujur sempai sekarang. 


Belakangan aku bisa mengerti. Soeharto harus lakukan apa saja untuk menjaga konstitusi. Karena PKI dianggap mengancam konstitusi UUD 45. Sama halnya dulu ketika Soekarno memerintahkan tentara untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, menggayang DII/TII Kartosuwiryo, itu semua demi tegaknya Konstitusi. Mengapa? karena dibalik konstitusi itu ada falsafah agung yang menjadi pilar tegaknya negara ini. Yaitu Pancasila. Kalaupun ada perubahan konsitusi tahun 2001-2003, tetap saja dasarnya adalah Pancasila. Dan kita mendirikan lembaga MK sebagai ujud kuatan civil society dalam mengawal Konstitusi.


Sejarah paska kemerdekaan kita memang tidak sepi dari pergolakan antar anak bangsa. Dan kita tetap utuh sebagai bangsa tanpa tercerai berai seperti Union of Soviet Socialist Republics. Itu karena kita terutama kaum terpelajar sangat menghormati konstitusi. Martabat kita di mata dunia karena rasa hormat kita terhadap konstitusi. Setiap generasi telah membayarnya. Termasuk ibuku dan kini aku dan juga generasi setelah kita. itulah yang terus kita jaga dari generasi ke ke geransi dengan kelelahan, derita dan airmata.” Kata Esther dengan bijak. Sore aku terbang ke Medan. 


Bulan  November 2023

Aku bertemu kembali dengan Esther di Jakarta. Dia mampir semalam di Jakarta untuk keesokannya lanjutkan ke Shanghai. Memang sejak pensiun sebagai banker, dia jadi dosen terbang di Shanghai dan London. Dia berlinang air mata saat makan malam denganku “ Ada apa Ka” tanyaku


“ Tak terbilang korban untuk mempertahankan dan menghormati konstitusi. Kakeku meninggal pada agresi pertama Belanda. Dia gugur saat merebut Yogya kembali. Ibuku dibesarkan oleh pamannya  Karena nenekku meningal saat ibuku usia 10 tahun. Belakangan paman ibuku juga gugur saat merebut Iran Barat. Ibuku tinggal di asrama pastor sampai dia bisa mandiri. Tapi dengar kemarin ketua MK terbukti melakukan pelanggaran etik berat, rasanya pengorbanan selama ini jadi sia sia. Ternyata musuh bangsa ini bukan idiologi dari luar seperti Islam atau komunis, tetapi sebenarnya musuh kita adalah diri kita sendiri. Ya mental anak bangsa sendiri yang rakus dan tak tahu diri di hadapan ibu pertiwi.  Sejak kita merdeka, Ibu pertiwi tak henti berlinang airmata karena setiap ada konflik selalu pada akhirnya yang jadi korban anak bangsa sendiri..” kata Esther..Aku tertegun dan memeluknya. 


“ Jangan telalu melankolis, Ka. Setiap generasi punya cara sendiri meyelesaikan masalahnya. Kamu dan saya pernah merasakan itu. Walau kita belum bisa memberikan sumbangsih kepada negara namun kita  patuh kepada konsittus dan berusaha tidak ikut merusak negeri ini, bahkan tidak ingin membebani negara. Secara personal kita kuat dan bisa melewatinya dengan rendah hati tanpa berkeluh kesah… “ kataku menghibur Esther. Kami berdua saling hening seraya menatap keluar jendela hotel binta V di kawasan Sudirman. " Terimakasih Ale. sudah menjagaku selalu.." Esther tersenyum. Saya remas jemarinya.

Friday, November 17, 2023

nganyut aja..




Tahun 1934

Usia Sumardi barulah 16 tahun. Dia dapat kabar di Lasem sedang diperlukan banyak kuli tabang kayu jati. Belanda  punya proyek di Lasem. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Walau dia terlalu muda untuk pergi merantau. Namun dia tetap bertekad pergi. Dan sampai di Lasem  langsung diperkejakan sebagia kuli tebang. 


Lasem merupakan wilayah pesisir yang memiliki peran penting dari masa ke masa . Kota tua ini juga menjadi saksi transisi kekuasaan dari beberapa kerajaan di Jawa, mulai dari Majapahit hingga Mataram Islam. Kontak kerajaan Mataram dengan VOC sejak abad 17 membawa akibat semakin merosotnya kekuasaan Kerajaan Mataram. Itulah pengaruh paham kapitalisme.


Ternyata perlakuan Belanda sangat kasar. Bedeng di lokasi proyek sangat buruk. Upah tidak selalu diberi tepat waktu. Yang keliatan malas ditendang. Tidak peduli pekerja itu sedang sakit. Sumardi dan teman temanya sebisa mungkin menerima perlakuan Belanda itu. Setidak nya mereka dapat makan, Tidak perlu kelaparan. Dalam perjalanan dari bedeng ke Hutan. Sumardi berpapasan dengan kendaraan. Di dalam kendaraan itu ada gadis. Cantik. Kulit hitam manis. Wajahnya oval. Kendaran melaju lambat. Sumardi bisa melihat utuh gadis itu. 


Dia merasa tak pantas untuk gadis itu. Jangankan mendekat, berhayalpun dia malu.” Itu gadis dari kota. Dia sengaja di datangkan oleh tuan Tjeng untuk mandor hutan. Mener  Jacobus. “ Kata Amat teman Sumardi “ Namanya Sumarni.” sambung Amat

“Dari mana kamu tahu namanya? tanya Sumardi


“ Orang bedeng sebelah utara dekat rumah Mener  Jacobuss tahu semua nama gadis itu. Sering terdengar gadis itu menyanyi. Suaranya indah sekali” kata Amat. Subandi maklum.Karena dia berada di bedeng selatan. Yang memang jauh dari mandor hutan.


Satu malam, Sumardi keluar dari bedengnya menuju arah utara. Dia ingin mendengar suara gadis itu menyanyi. Ya sekedar mendengar saja itu sudah kemewahan. Di tengah jalan. Sumardi meliat dari jauh ada bayangan bergerak. Dia dekati dengan Obor api ditangannya.  Ternyata gadis itu. “ Tolong aku” kata gadis itu. “ Aku sumarni, selir mener Jacob.” Suara gadis itu terbata bata. Wajahnya berlumuran darah. 


“Ada apa mbak Yu.” tanya Sumardi dengan ragu dan kawatir.


Walau wajah wanita itu berdarah. Namun tidak tersirat dia ketakutan. Dia hanya lelah berlari.  “ Saya telah membunuh mener” kata gadis itu. Membunuh? Sumardi terkejut. Ini bukan biasa. Sangat luar biasa. Yang dibunuh mener belanda lagi yang sering membentak dan menganiaya kuli tebang. “ Kalau begitu, mbak yu ikut saya. “ kata Sumardi mengajak gadis itu mengikuti langkahnya. Dia pergi membawa gadis itu ke bedengnya. Hari sudah malam. Semua penghuni bedeng sudah lelap tidur dalam kelelahan. 


Pagi pagi suara ribut terdengar di bedeng. “ Mandor terbunuh. “ kata Amat. “ Katanya yang bunuh Dulah, kepala kuli. Memang sudah dendam barangkali. “ Sambung Amat. Polisi datang. Semua kuli termasuk Dulah dikumpulkan di halaman bedeng. Mereka dipaksa mengaku siapa pembunuh Mener Jacob. Tidak ada yang mengaku. Dulah di cambuk dan dipukuli. Entah siapa yang mengawali. Para kuli menyerbu polisi. Letusan senjata tidak dihiraukan oleh kuli.  Pada peristiwa siang itu, 6 polisi terbunuh di hutan jati itu. Para kuli berlari mencari selamat. Termasuk Sumardi dan Sumarni.


Sumardi membawa Sumarni ke desanya di Pacur. Mereka sampai hari telah berangkat malam. Sumardi dengan santun mempersilahkan Sumarni masuk dan duduk dibale bale bambu. Aku masak air dulu untuk kita minung.” Kata Sumadi berlalu kedapur yang kumuh. 


“ Mengapa rumah ini kosong. Kemana orang tuamu’ Kata Sumarni


“ Aku sebatang kara. “ kata Sumardi saat menghindangkan minum kepada Sumarni. Dia merasa tak pantas duduk bersedekat dengan Sumarni di bale bale itu. Dia tetap bersimpuh di lantai. “ Aku lahir sudah tidak ada ayah. Ibuku tidak pernah cerita tentang ayahku. Ibuku meninggal saat aku usia 11 tahun. Dari seusia itu aku berusaha bertahan hidup sendiri di rumah ini. Apapun aku kerjakan untuk bisa makan. Sampai akhirnya aku harus pergi ke lasem” Lanjut Sumardi


Sumarni terharu mendengar cerita Sumardi. “ Mener aku bunuh karena aku sudah tidak tahan disiksanya. Entah kenapa disaat dia terbaring dalam kelelahan. Aku punya keberanian menghujamkan pisau ke tubuhnya. Bukan sekali tetapi berkali kali” Kata Sumarni.


Dari tadi Sumardi hanya mendengar dan tidak bertanya..” Anak ini terlalu muda untuk dewasa. “ Sumarni berguman. “ Berapa usia kamu” tanya Sumarni.


“ 18 tahun, mbak Yu.” Kata Sumardi.


“ Aku 20 tahun. Kamu adiku.” kata Sumarni tersenyum.


Lama Sumarni tatap Sumardi. Seperti ada cahaya dan kekuatan terpancarkan dari wajah Sumardi yang lugu. Karena itu Sumarni merasa rendah di hadapan Sumardi “ Aku pembunuh, tetapi yang dituduh para kuli termasuk Sumardi. Dia telah membeli jiwaku.” Kata Sumarni dalam hati. Dia menyentuh wajah Sumardi dengan kedua telapak tangannya. Sumardi hanya diam tanpa bereaksi. Wajah Sumarni dengan wajahnya sangat dekat. Malam itu Sumardi merasa menjadi pria seutuhnya ketika Sumarni mendesah pada setiap hentakannya. Dia tahu. Sumarni melakukan itu dengan cinta tulus sebagaimana besarnya  cinta Sumardi kepadanya. Ya kadang cinta itu datang pada padangan pertama. Hanya sedetik mata saling bertatap. Selanjutkan adalah keindahan yang penuh misteri. Lemah terhadap cinta akan melumat diri sendiri. Jalan terang dan gelap saling bersanding bersama cinta.  Tanpa ketulusan cinta adalah malapetaka mengiringinya.


Keindahan dalam kebersamaan itu hanya berlangsung 3 hari. Karena pada hari ketiga. Polisi bersama mata mata datang ke rumahnya. “ Kamu kuli hutan jati di lasem? Kamu kami tangkap” Kata Polisi itu. Sumarni berlutut di hadapan Polisi.” Jangan bawa dia. Dia tidak berbuat apapun. Tuduhan itu tidak benar’ kata Sumarni berusaha menahan pagutan polisi kepada Sumardi. Tapi Polisi terus menyeret Sumardi. Sumarni merasa setengah jiwanya hilang saat Sumardi dalam keadaan tangan terikat diseret oleh kereta kuda ke kantor Polisi.


***


Di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. 


Tuan Tjeng melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro 


Apa yang dipikirkan Tuan Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Sumarni terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Tjeng itu. Di rumah itulah Sumarni bekerja.


Sumarni tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Dia memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik yang letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat nyaman. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. 


Hal lain menyebabkan bahagia adalah karena, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. Setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika salah satu keluarga  engkong datang dari jauh dalam keadaan menderita sakit, dia harus merelakan kamarnya. Dia tidur di tikar di kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu.


Telah tiga tahun berlalu sejak kepergian Sumarni dari Pacur, Wajah kesakitan Sumardi diseret kereta dalam keadaan tangan terikat. selalu membayang. Dia selalu tidak bisa menahan tangis. Terutama ketika dia pergi belanja ke pasar dan melihat kereta kuda. Satu waktu, Tuhan mempertemukan Sumarni dengan Tuan Tjeng. Saat itu Tuan Tjeng sedang dalam kendaraan yang melaju lambat di tengah ke ramaian pasar. Dia berusaha menghindar. Tapi Tuan Tjeng lebih dulu sigap. Menghentikan kendaraanya dan mengejar Sumarni. “ Marni! Teriak Tuan Tjeng. Sumarni terpaksa menghentikan langkahnya dan menoleh kebelakang.


“ Kamu tidak bisa lari begitu saja dariku. “ kata Tuan Tjeng. Sumarni hanya menunduk. Dia ingat ayahnya yang penjudi telah menjualnya kepada Tuan Tjeng. “ Kamu harus patuh perintahku.” kata Tuan Tjeng menyeret Sumarni ke dalam kendaraan. “ Apalagi ayah kamu sudah mati. Tidak bisa lagi bayar utang kepadaku. Kamulah yang bayar” 

 

“ Hari ini kamu akan tinggal di rumah yang saya sediakan. Kamu jadi selir mener Herman di Rembang” kata Tuan Tjeng. Sumarni hanya diam. Nanti pakaian baru akan dibelikan untuk kamu ‘ Lanjut Tuan Tjeng.


Tionghoa adalah etnis yang dikenal eksklusif dengan mempertahankan warisan leluhur, mulai dari kepercayaan agama hingga adat istiadat. Kalau ada sentimen pribumi terhadap Tionghoa. Hal ini dipicu oleh kebijakan Belanda seperti, membagi struktur dan lapisan sosial masyarakat, dan perlakuan diskriminati inilah yang membuat jurang pemisah antara kedua etnis.  Apalagi Tionghoa menjadi mitra Belanda dalam melakukan penjajahan dan menggerakkan roda perekonomian dan perdagangan distribusi. 


Pada tahu 1740 terjadi tragedi Angke. Genocida etnis Tionghoa oleh tentara VOC di Batavia. Mereka yang selamat dari genocida itu, melarikan diri ke beberapa kota di pesisir Jawa bagian pantai utara seperti, Semarang, Juwana dan Lasem. Pada tahun 1741, akibat kerusuhan di Kartasura, Ngawi dan banyak kota di Jawa Tengah banyak orang Tionghoa juga mengungsi ke sana. Sehingga adanya persekutuan di antara mereka dengan Muslim Jawa dalam Perang Sabil. 


Artinya sejarah membuktikan sebenarnya etnis Tionghoa dan pribumi adalah korban kolonial dan sama sama bertarung melawan sistem kolonial. Kalaupun ada etnis Tioghoa yang bersekutu dengan Belanda, itu hanya sikap pragmatis dan oportunis, sama seperti elite bangsawan pribumi yang bersekutu dengan belanda. Tidak bisa disimpulkan bahwa etnis Tionghoa pro belanda atau asing. Ya seperti halnya Tuan Tjeng yang pro Belanda dan Engkong yang pro pribumi

Tahun 1942.

Mener Herman usianya diatas 50 tahun. Lebih tuan dari Mener Jacobs. Walau Mener Herman datang sebulan sekali ke rumah namun perlakuannya kepada Sumarni sangat baik. Dia tidak pernah perlakukan Sumarni seperti Nyai pada umunya. Sepertinya dari awal Mener Herman sudah jatuh cinta dengannya. Namun Sumarni tidak pernah bisa melupakan Sumardi. Waktu berlalu ingatan tentang Sumardi tidak pernah pupus. Terakhir dia tahu, Sumardi di penjara di Semarang.


Tak terasa sudah 8 tahun berlalu. Sumarni mendengar Jepang masuk ke Indonesia. Mener Herman tidak pernah datang lagi. Rumah besarnya diambil oleh Tentara Dai Nippon. Setelah para serdadu itu bosan mengggahi dan menggilir tubuhnya. Diapun dibuang begitu saja. Pergi meninggalkan rumah dengan hanya pakaian melekat pada tubuhnya.  Usianya tidak lagi remaja. Sudah kepala 3.  


Harapannya mencari tahu tentang Sumardi. Dia yakin Sumardi sudah bebas dari Penjara. Karena Belanda sudah pergi. Tapi kemana mau mencarinya. Akhirnya langkahnya ditujukan ke Pacur. Sampai disana. Tidak ada yang tahu dimana Sumardi. 


Dalam kebingungan itu dia putuskan ke rumah engkong di Rogojampi. Saat dia datang. Disambut dengan suka cita oleh  engkong dan istri. Mereka tinggal hanya berdua. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Seakan kehadiran Sumarni sebagai teman dalam kesepian. Sumarni tidak bertanya berapa upahnya sebagai pembantu. Dia hanya perlu tempat tinggal dan menumpang hidup.  Tugasnya merawat engkong dan istrinya. 


Tahun 1945.

Gaung proklamasi yang dikumandangkan Soekarno bertepatan dengan berita kalahnya Jepang dalam perang dunia kedua. Telah membangkitkan semangat kemerdekaan bagi seluruh anak negeri. Terutama di Jawa Timur. Tetapi tidak bagi Sumarni. Setelah proklamasi selanjutnya adalah hari hari yang menegangkan. Banyak etnis china yang dibunuh oleh gerombolan.Perampok. Itu terjadi meluas.


Satu malam gerombolan datang kerumah Engkong. Dalam keadan sakit engkong dan istrinya dibunuh oleh gerombolan itu, dan mereka juga memperkosa Sumarni dengan cara brutal. Setelah perampok itu pergi, dengan sisa kekuatannya dia merangkak melihat dua manusia yang telah sekian lama tempat dia berlindung, kini telah jadi mayat. Sepanjang malam dia menangis. Keesokannya tetangga datang mengurus pemakaman dua orang tua malang itu.


Salah satu tentangga, seorang ibu bernama Bariyah yang berempati mengajaknya pindah ke Madiun. “ Tinggal di sini tidak aman. Sebaiknya ikut Ibu saja ke Madiun. Ibu dapat kabar putra ibu sudah mapan di sana.” kata Bu Bariyah. Sumarni manut saja. Seperti air mengalir dia menganyut saja. Karena tidak ada pilihan.


***

Di Madiun, Sumarni tinggal di rumah putra dari bu Bariyah. Ternyata putra ibu Bariyah itu seorang pejuang Republik dari barisan BKR. Tapi situasi tidak aman juga. Pergerakan mengusir Dai Nippon terjadi dimana mana. Sementara terdengar kabar Belanda akan kembali datang ke Indonesia untuk kembali menjajah. Para pejuang sudah bertekad melawan Belanda dan harus hengkang dari Indonesia. Merdeka atau mati. 


Satu hari, tahun 1946 di depan pintu rumah berdiri pria tinggi dan perkasa dengan seragam. Sumardi ! Sumarni ragu untuk mendekat. Dia tertunduk. Jantungnya bergetar keras. Merasa tak pantas dihadapan Surmardi. Mengingat perjalanan hidupnya selama ini. Tapi dia merasa tubuh mungilnya tenggelam dalam dekatan pria itu. Sumardi berbisik. “ Maarkan aku Marni. Aku tak henti mencarimu. Maafkan aku” kata Sumardi. Bu Bariyah dan putranya terharu menyaksikan pertemuan dalam kerinduan itu.  Ternyata putra Bu Bariah itu sahabat Sumardi di BKR.


Tahun 1948

Sejak pergi dari rumah Putra bu Bariyah, Sumardi dan Sumarni menikah dan tinggal di Madiun. Saat itu Sumarni sadar. Disaat Tuhan kabulkan doanya mengembalikan Sumardi. Dia harus penuhi kewajibannya menjadi istri yang baik. Berkorban apa saja untuk kehormatan suami. Karenanya dia rela melepas Sumardi menyabung nyawa melaksanakan tugasnya sebagai prajurit untuk perang gerilya. Sementara saat agresi Belanda, dia harus mengungsi ke Desa. Mereka terpaksa berpisah karena perang. 


Satu waktu Sumardi pulang ke rumah tengah malam. Wajahnya dalam keadaan kusut. “ Marni harus ikut aku. Kita harus segera mengungsi sekarang” kata Sumardi dengan tergesa gesa. 


“Mengapa tidak tunggu pagi saja mas” kata Sumarni.


“Sekarang juga” Kata Sumardi dengan wajah pucat.


Belum sempat berkemas. Pintu rumah ada yang dobrak. Tentara bersenjata sudah berada di ruang tamu.  Senjata diarahkan kepada Sumardi. Salah satu dari tentara itu menendang Sumardi . Sumardi terjatuh. Kedua tangan Sumardi diikat dalam keadaan tengkurap. Sumarni memeluk Sumardi. “Jangan!” kata Sumarni meraung. Namun tentara itu menendang tubuh Sumarni. Entah mengapa Sumardi bergerak liar dalam keadaan terikat. Salah satu tentara menembaknya. Sumardi tersungkur di depan istrinya. 


Sumarni tidak lagi menangis. Dia membisu saat dibawa ke markas BKR. Keesokanya Sumarni dibolehkan pulang. Baru dia tahu, ternyata suaminya terlibat permberontakan PKI di Madiun.  Dia tidak mengerti politik. Dia hanya tahu bahwa Sumardi adalah satu satunya pria yang telah berkorban untuk melindunginya. Satu satunya pria yang dia cintai. Satunya pria yang selalu dalam pikirannya. 


Tahun  1950.

Setelah kematian suaminya. Sumarni kembali ke rumahnya. Dia harus memulai hidup tanpa harus menanti Sumardi pulang. Setidaknya penantian dan kerinduannya kepada Sumardi selama bertahun tahun telah terbayar. Walau kebahagiaan sesaat, tetapi bagaimanapun dia sudah berstatus istri Sumardi. Dia kini berstatus janda. Dia membantu kerja bertani lahan milik orang lain dan ikut membantu dapur darurat untuk para gerilyawan yang mampir ke desa. Suasana gotong royong sangat terasa. Semua orang hidup berkekurangan tapi berat sama dipikul dan ringan sama dijinjing.


Tahun 1949 Sumarni kembali ke Madiun. Perang sudah mereda. Tempat yang ditujunya adalah rumah Bu Bariyah. Dia hanya ingin mengucapkan terimakasih. Ternyata putra Bariyah sama dengan Sumardi. Terlibat PKI. Namun bernasip baik. Dia melarikan diri ke Semarang. Disana dia dilindungi oleh sahabatnya yang juga komandan Batalion. Bariyah terpaksa berpisah dengan putranya. Dia tinggal sendirian di rumah. Baryah berela hati menerima Sumarni. 


Satu hari tahun 1950. Seorang pria datang ke rumah Bu Bariyah. Sumarni tahu dan sangat kenal. Pria itu adalah Acong. Putra dari engkong. “ Lama saya cari tahu dimana kamu, Marni. Saya  dan sedara saya berhutang kepada kamu. Disaat kami tidak ada, kamu yang merawat kedua orang tua kami, dan disaat terakhir ajalnya, hanya kamu yang ada. Kamu juga yang mengurus penguburannya” Kata Acong berlutut dengan airmata berlinang.


” Sekarang, mari ikut saya , Marni. Kita ke Surabaya. Kamu bukan lagi orang lain, tetapi kamu bagian dari keluarga kami. Adik adiku sangat merindukan kamu. “ Lanjut Acong. Bu Bariyah menguatkan Sumarni untuk ikut keluarga Acong. 


Hanya tiga bulan setelah berkumpul dengan putra putri engkong. Salah satu putri engkong melamar Sumarni untuk Acong. Saat itu usianya 38 tahun. Sumarni tidak menolak. Dia ikut aja aiir mengalir. Nganyut aja..


Tahun 1965

G 30 S PKI meletus. Tahun 1966 Acong ditangkap oleh tentara. Karena dia tergabung dalam Baperki atau Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, organisasi massa yang bertujuan menentang diskriminasi berdasarkan keturunan seseorang. Sumarni meraung ketika Suaminya diikat kedua tanganya naik truk. Hari berganti minggu dan minggu melewati bulan dan tahun silih beganti. Acong tidak pernah pulang ke rumah. Dia tahu kemudian tahun 1969, suaminya dibuang ke Pulau Buru. 


Sumarni baru bertemu kembali dengan suaminya tahun 1977. Saat itu usia suaminya 72 tahun. Setahun setelah itu suaminya meninggal.  Dia merasa sangat dekat dengan Tuhan. Tak ada lagi sedih, marah dan kecewa. Dia telah melewati semua yang dirasa tentang ketidak adilan dan dia tetap percaya bahwa keadilan sejati hanya ada di sisi Tuhan. Tugas  manusia melewati hidup ini dengan prasangka baik. Kembali kepada Tuhan dalam sebaik baiknya kesudahan.


Monday, November 13, 2023

Tidak lagi mengkawatirkan Ale.

 




Desember 2001. Ayahku warga negara Jerman dan ibuku dari Solo. Kedua orang tuaku udah meninggal. Aku sebatang kara. Aku duduk termenung depan jendela apartemen yang menghadap ke harbour Kowloon. Ale sudah pergi. Tadi malam dia datang menemuiku di sini. Aku memaksanya menerima tawaran Daniel untuk menjadi mitra Global. Dia akan dapat gaji 6 digit setahun dalam USD. Statusnya akan berubah. Dia naik kelas sebagai executive kelas dunia. Menurutku itulah yang terbaik bagi Ale. Saat itu Aku bicara sangat kasar dan terkesan merendahkannya. Aku berharap Ale bangun dari tidur panjangnya. Tapi Ale hanya diam saja.


Dia lahir dari keluarga miskin. Kalau dia berhasil menjadi pengusaha kelas menengah. Itu karena dia gigih sekali. Aku tahu  itu kali pertama mengenalnya tahun 92. Dia distributor Film impor. Dia merasa puas. Padahal yang kaya raya dari bisnis film impor adalah kartel importir film. Yang lebih kaya lagi adalah yang punya hak monopoli impor. Mereka itu adalah kroni dan keluarga Soeharto. Ale, berada di strata paling bawah. Labanya tentu kecil karena harus memberi fee kepada kartel importir dan pemegang monopoli. Dia terima itu dengan naif. Padahal  dia menanggung resiko paling besar. 


Tahun 1996 aku ikut test international untuk berkerja pada bank asing di Hong kong. Aku lulus test. Aku harus pindah kerja dari Bank di Jakarta ke Hong Kong. Malam perpisahan di Bali. Aku ingin pastikan hanya pria yang aku cintai yang berhak menyentuhku.  Dalam pelukanku, berkali kali aku minta Ale menyusulku ke Hong Kong kalau terjadi  chaos politik di Jakarta. Ale, seperti biasa dia tidak pernah mau menentangku. Dia hanya senyum tanda dia berusaha mengerti aku. Dengan sikapnya itu aku tidak pedui walau dia sudah menikah. Toh aku hanya ingin mencintainya tanpa harap untuk memilikinya.


Tahun 2001 Ale datang menemuiku di Hong Kong. Saat itu posisi ku sebagai direktur Bank kelas dunia. Sedang Ale dalam keadaan bangkrut. Dia perlihatkan proposal mengakuisisi asset lewat BPPN.  Benar benar naif. Tapi dia gigih sekali melewati semua hambatan fundraising. Dia memang kuasai procedur kepatuhan keuangan international dan dia memang mumpuni soal itu. Akhirnya gagal. Itu karena pengaruhku sebagai banker, yang membuat dia gagal mendapatkan trust dari AMG. Tujuanku agar Ale menerima tawaran Daniel untuk bermitra dan melupakan obsesinya sebagai pengusaha. Sudah cukup kegagalan demi kagagalan yang dia alami di Indonesia. Itu bukti takdirnya bukan menjadi pengusaha.


Apakah aku salah memaksakan kehendak kepada Ale, sahabat yang juga kekasihku. Pria satu satunya yang pernah menyentuhku. Tentu aku berhak apa yang terbaik untuk Ale. Aku tidak berharap dia akan menafkahiku dari uangnya. Tidak juga berharap dia selalu ada di dalam selimutku. AKu hanya inginkan dia jadi pria yang aku banggakan. Seperti yang kumau. 


Belakangan Daniel sukses mengakuisisi aset yang dulu Ale mimpikan. Itu berkat informasi yang kuberikan kepada Daniel. Ale pasti tahu. Dia pasti kecewa. Tapi mengapa dia tidak beri aku kesempatan untuk menjelaskan alasanku. Bahwa semua yang kulakukan karena mengkawatirkan pilihan jalan hidupnya. Dan itu karena aku mencintainya. Entah mengapa airmataku jatuh. Aku membayangkan dia akan menderita pulang ke jakarta  dalam keadaan gagal. 


Tahun 2008. 

Sudah 7 tahun aku dan Ale tidak pernah kumunikasi. Kami disconnect. Aku berusaha mencari tahu keberadaannya di Jakarta. Tetapi tidak ada temanya yang bisa memberikan informasi. Telp rumah tidak bisa dihubungi. Mungkin sudah pindah. Email kukirim tak terbilang banyaknya. Tapi tidak pernah di reply. Aku pernah datang ke Jakarta. Seharian aku menanti di lobi hotel tempat kami sering nongkrong tahun 92. Pegawai hotel yang aku dan ALe kenal memang mengatakan Ale tidak pernah datang lagi ke hotel itu.


Aku tidak pernah bisa melupakan Ale. Kalau tadinya aku merasa tidak bersalah. Tetapi lambat laun aku mengutuki egoku. Sahabat macam apa aku ini. Dia sedang berproses dan aku dengan kekuasaanku mengintervensinya. Ale tidak pernah melukai perasaanku dengan kata katanya yang kasar. Justru kadang emosiku tidak stabili berhadapan dengan dia. Kadang kata kasar dan merendahkannya berlompatan begitu saja. Itu karena aku sangat mencintainya dan setia akan cintaku itu. Walau aku bukan istrinya tetapi aku tidak pernah menyerahkan tubuhku kepada pria lain. Ale tidak pernah berdebat denganku, atau mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikapku. Dia tidak pernah bercerita tentang kesulitannya dan rasa putus asanya. Kalau dia inginkan sesuatu, maka itu benar benar rasional. Dan diapun tidak pernah kecewa andai ditolak. .


Di tengah sesal tak berujung itu, aku berusaha berdamai denga diri sendiri. Akhirnya aku bisa focus ke pekerjaanku. Namun itu  membuat aku tenggelam dalam spiritual. Setiap malam aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan atas kesalahanku yang telah mengkhianati Ale. Tak lupa aku mendoakannya. Setiap akan tidur wajah Aleng selalu membayang. Wajah yang bersehaja dan pribadi yang kokoh bagaikan batu karang di tengah samudera. ' Esther, maafkan aku kalau kadang membuat kamu tertekan karena sikapku. Maklumi aku orang kampung yang tidak terpelajar seperti kamu. " Katanya satu waktu. Kalau ingat kata kata itu, aku langsung menangis. Aku hanya berharap sebelum ajalku datang, aku ingin bertemu dan memeluknya. Itu aja. 


April musim semi. Jam 8 malam. Bel apartemenku berdering. Aku melihat ke layar TV. “ Ale! Ya Ale. Aleku. “ Aku berlari ke arah lift. Aku tidak ingin menantinya datang ke lantai apartement ku. Aku harus menjemputnya di loby. Aku terkejut. Aleku sudah ada di depanku. Dia tidak lagi murung dan kumuh. Aku menghambur dalam pelukannya. Baru kusadari aku turun ke lobi mengenakan lingering tanpa alas kaki.


Dari penampilan dan ceritanya.. Aleku sudah jadi elang.  Dia tidak pernah ungkit kesalahan masa laluku terhadapnya. Tidak juga menceritakan penderitaanya karena pengkhianatanku. Seperti biasa dia memang selalu pandai memaklumi sikapku, sahabatnya. Tahun 2011 dia lunasi utang pembelian apartemenku. Caranya memberi sangat halus. Holding Company yang dia dirikan menunjuk aku  sebagai konsultan keuangan. Padahal sejatinya dia lebih hebat dari aku soal Financkial engineering. Tapi begitulah cara Ale mencintai. 


Tahun 2013, kembali Daniel menjebak Ale dalam akuisisi tambang di Mongolia. Ale menolak tawaran Daniel melepas aset holdingnya dengan kompensasi lebih dari cukup untuk Ale hidup damai tujuh keturunan.  Aku meradang dan marah kepada Ale. Karena aku yakin Ale akan kalah. " Siapa sih kamu. Hanya pendatang baru dalam dunia investment holding. Kamu tidak punya network kuat di pemerintah. Kamu tidak punya pengalaman bersengketa di pengadilan international. Sementara Daniel itu putra dari konglomerat financial international. Aku yakin kamu akan kalah dan semua yang kamu kumpulkan bertahun tahun dengan kerja keras akan habis. Kembali kere. Tolol kamu. Tidak cerdas mengukur diri kamu sendiri. " Kataku saat itu. Ale hanya diam. Dia tidak mau bertengkar denganku.


Aku tahu Ale perlu dukunganku sebagai banker kelas dunia. Tetapi justru aku menjauh dari dia dan memberi peluang Daniel mengalahkannya dengan cepat. Tujuanku agar Ale tidak banyak dikorbankan dan memaksa Ale ke proses out of the court. Tapi Ale tetap melawan. Karena itu tahun 2013 Ale terpaksa tidak boleh memimpin holding yang dia dirikan sampai kasus itu selesai. Saat itu aku kembali berharap Ale mau mengalah dan menerima kompesasi Daniel.  Ale hanya diam. Dia pergi dariku. Dia menolak terima telp aku. Tidak membalas emailku. Semua direksinya menolak untuk menyampaikan alasanku. Bahwa aku tidak mendukungnya karena aku tidak ingin dia terluka. Terlalu berat lawannya. Aaku disconnect dengan Ale. Selama kasus itu Ale di Jakarta.


Tahun 2018 atau lima tahun sejak dia tersingkir dari holding company nya. Ale bisa memenangkan kasus itu di pengadilan. Karena kasus itu, Ale justru dapat trust luar biasa dari SWF China dan perbankan international.   Dia semakin kuat. Dia kembali menguasai Holding Company nya. Dengan situasi diatas angin itu, ia punya peluang untuk menghabisi Daniel. Tetapi Ale tidak lakukan itu. Dia memaafkan Daniel. Dan kembali kepadaku tanpa pernah menyasali sikapku yang menjauh disaat dia terpuruk, dan sangat membutuhkan aku disisinya.


Tahun 2020.

Aku sudah pensiun dari Bank di Hong kong. Aku pulang ke Indonesia. Ale sudah persiapkan jauh sebelumnya untuk aku tinggal di Bali. Itu seperti janjinya tahun 1996. “ Esther, aku berjanji akan beli rumah dan tanah di Bali ini untuk masa tua kamu…” Dan Ale memenuhi janjinya. Kini usiaku 60 tahun. Aku sibuk menulis dan melukis, jadi dosen terbang, pembicara seminar international banking and law. Aku memang tidak bisa membuat Ale seperti yang aku mau. Tetapi lewat tangan istrinya. Wanita sederhana. Yang tidak sekolah tinggi sepertiku.  Ale berproses menjadi pria melebihi ekspektasiku.  Dan memang seharusnya dari awal aku tidak perlu mengkawatirkan Ale. Siapalah aku..

Jangan melewati batas..

  Tahun 2013 september, Holding Company yang aku dirikan sejak tahun 2006 berada dibawah pengawasan dari pihak yang ditunjuk oleh konsorsium...