Friday, May 01, 2020

Mama.


Mama masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah mama adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya tampa Papa.

”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada.,” kata mama kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Mama untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.

”Mama akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas mama. Mama memang tipe orang yang suka mendesak.

Sedari SLA aku tinggal di Asrama Advent Singapore. Tamat SLA aku melanjutkan pendidikan ke Ingris. Tamat kuliah, aku dapat pekerjaan sebagai analis investasi di Shanghai. Sejak SLA aku hanya bertemu mama setahun sekali. Itu hanya waktu natal. Walau jarak dekat Jakarta Singapor namun liburan aku lebih suka dengan teman temanku. Itu karena sikap mama yang paranoid. Selalu memaksakan kehendak seperti dia mau. Dihadapan mama, aku tetap bayinya yang selalu dia kawatirkan. Dan lagi mama sibuk dengan bisnisnya. Mamapun jarang sekali menjengukku di Asrama. Telp pun jarang sekali. Kalaupun telp singkat dan keras mengingatkan ku agar hati hati bergaul. Tidak boleh lupa ke Gereja. berdoa sebelum tidur.

Sebetulnya aku ingin kuliah di Jakarta dekat dengan mama dan teman SD ku. Tetapi Mama mendesakku untuk ambil kuliah di Amerika atau Inggris. Menurutku, itu karena mama engga mau direpotkan olehku. Mungkin baginya semakin aku jauh darinya semakin nyaman hidupnya. Ketika aku memutuskan pindah ke Shanghai karena dapat kerjaan disana, mama engga keberatan. Tidak ada niat mama agar aku membantunya mengembangkan usahanya. Kadang aku berpikir, benarkah aku anak kandung mama. Lantas siapa ayahku ? Dari kecil aku tidak pernah mengenal ayah. Photo keluarga tidak ada. Kalau kutanya, mama hanya jawab bahwa ayahku sudah meninggal. Tetapi dimana makamnya? Tidak tahu.

Mama selalu curiga dengan semua pria yang mampir dalam hidupku. Makanya aku malas untuk curhat soal pacarku. Kalau kini usia sudah hampir 30 aku belum menikah, mama juga engga peduli kalau anak gadisnya menjomblo.

“ Jam berapa kamu berangkat dari Shanghai. Dengan pesawat apa? “ Tanya mama sore harinya. Dia tidak butuh alasanku. Dia berhak menentukan seperti dia mau. Itulah mama. Seperti biasanya aku hanya menjawab singkat “ Ya ma. “
“ Nenek mu dari Medan, besok udah sampai Jakarta. Kamu harus sudah ada sebelum natal. Paham!”
“ Ya ma.”

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Mama terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Mama di gereja ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman masa kecilmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Mama sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.

Sejak aku tiba di rumah Mama, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu mama. Satu satunya kebahagian adalah kehadiran nenek di rumah. Usia nenek belum 70 tahun. Tetapi wawasan nenek dan bijaknya jauh sekali bila dibandingkan mama. Padahal nenek hanya ibu rumah tangga. Tidak sekolah tinggi seperti Mama.

Kami berada satu meja. Ada mama, aku dan nenek. Walau usia mama mendekati 50 tahun namun kencantikannya tidak berkurang. Seperti usia 30 tahunan. Bentuk wajah oriental dan hidung yang agak mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.

Pembicaraan kami lebih banyak tentang rencana Mama yang mau mendirikan pusat pengolahan ikan di Vietnam. Kemudian aku lebih sibuk menjawab pertanyaan nenek soal kerjaanku, kehidupanku di Shanghai. Tak lupa nenek tanyakan kapan aku menikah. Apakah sudah ada pacar. Aku berusaha menjawab sekenanya, dan seraya melirik mama yang tampak tidak berkesan atas obrolanku dengan nenek.

Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Mama tengah duduk sambil mengisap rokok.

”Wid,” ujar Mama sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng.
”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
”Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya mama yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
” Tadi mama dengar obrolan kemu dengan Nenek, Serius. pacar kamu ingin menikahi kamu?”
” Ya ma. “
“ Jadi kamu akan menetap di China, jadi warga negara China?
“ Engga ma. Calonku orang indonesia. Orang jawa tulen. Dia punya bisnis di Jakarta. “
“ Oh kamu kenal dia udah lama ?”
“ Sejak kuliah ma.Kami satu jurusan di Cambridge”
Mama terdiam. Kami pun saling bersediam. Hening.
“ Ma..” seruku dengan lembut. Terdengar suaraku sayup sayup. Aku kawatir Mama akan marah kalau kulanjutkan pembicaraan soal Papa. AKu tidak ingin merusak suasana natal. Tapi aku harus bicara sekarang. Kapan lagi bisa bertemu dengan mama.
“ Ya ada apa ? kamu mau bicara apa ? ngomong aja”
“ Ma, aku sudah engga anak anak lagi. Sebentar lagi aku mau menikah. Bolehkah aku tahu siapa papa.? Please. Apapun tentang papa, aku siap merimanya. “

Mama menatapku lama. Tidak ada kesan seperti biasanya, dengan raut wajah marah. Pandangan mama lain sekali sekarang. Nampak sejuk dan penuh keibuan. Selang beberapa detik, mama menangis. Aku memeluk mama. Akhirnya mama masuk kamar tanpa ada pembicaraan lebih lanjut. Aku merasa bersalah. Baru kali ini aku merasakan punya seorang ibu yang tatapannya sangat mencintaiku.

Tak berapa lama, mama keluar dari kamar. Mama menyerahkan photo seorang pria. “ Inilah papa kamu. “ kata mama. Aku perhatikan papa ku ganteng sekali. Tapi dia bukan etnis Tiongkhoa. Itu sebabanya wajah ku tidak begitu oriental. Aku sudah curiga dari awal.

”Mama belum siap memiliki kamu. Sementara Papa menginginkanmu sebelum kami menikah. Ketika akhirnya mama hamil, Kakek dan nenekmu menolak. Kedua orang papa kamu juga menolak. Karena beda budaya dan agama. Akhirnya untuk menutup malu, Mama dinikahkan dengan pria lain pilihan kakek. Tetapi setelah kamu lahir, Mama bercerai.”

“ Jadi aku lahir bukan dari perkawinan mama yang sah?.

“ Ya itu sebabnya semua photo pernikahan mama bakar. Agar kamu tidak mengenal pria yang pernah menikahi mama. Maafkan mama, ya sayang ”

“ Sekarang Papa di mana?

“ Papa kamu sakit setelah mama menikah dengan pria lain. Mama bisa maklum akan keadaan sakitnya itu. Karena tidak mudah bagi dia menerima kenyataan harus berpisah dengan mama. Saat kamu lahir, dia tahu, bahwa bayi itu miliknya. Darah dagingnya. Mama tahu Papa mu mencintaimu sebesar dia mencinta mama. Usia kamu dua tahun, papa kamu meninggal. Kalau ingat papa kamu, semakin membuat mama sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuat mama merasa bersalah dari waktu ke waktu karena mama tak pernah bisa mencintainya sebesar itu.

Sebelum meninggal papa mu berpesan agar mama menjagamu. Itu sebabnya mama jadikan dirimu sebagai pengganti cinta mama ke papa. Mama engga mau gagal mendidik kamu. Itu sebabnya mama selalu kawatirkan kamu dan mengirim kamu ke sekolah terbaik di luar negeri. Berat sekali berjauhan dengan mu sayang. Tapi demi yang terbaik untuk kamu, mama ikhlas dalam kesendirian. Kini jangan ragu dengan pria pilhanmu. Menikahlan karena Tuhan, tidak penting apa agamanya. Dihadapan Tuhan kita sama, apapun agamanya”

Aku memeluk mama. Kami berpelukan dalam waktu lama. Air mata kami membuktikan bahwa kami tidak akan terpisahkan. itu semua berkat pria, papa yang selalu hidup dalam diri mama, untuk mencintaiku sepanjang usia

Bukan penakluk tetapi pemain.



Aku terima pesan lewat text message “ Jangan lupa telp aku kalau ada trip ke Dubai. Aku ingin bicara tentang hubunganku dengan Abi. “ Katanya. Aku pastikan akan datang ke Dubai dari Hong Kong. Shakespeare and Co Al Zorah cafe adalah tempat pavorit yang biasa kita ketemu. Setidaknya inilah tempat kali pertama kita bertemu. Memang belum lama waktu yang kita lalui bersama. Tapi itu sudah cukup untuk membuat kita seperti teman lama yang tiba-tiba bertemu secara tak sengaja di tempat yang tak pernah direncanakan. Sebelum bertemu, Aku tahu lelaki yang kamu panggil Abi karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan trading di Dubai. Dia memperlakukanmu seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya di Abudabi.

Abi memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke London, Paris, Swiss. Namun Abi berjanji akan membawamu ke Bali nanti. “Aku akan membawamu ke Bali. Katahnya itu sorga kecil di dunia,” kata Abi kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu. Kamu pun bahagia, setidaknya sampai saat itu.

Abi memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Abi akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Abi.”

“ Abi telah memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. “ Katamu ketika kita bertemu kembali. Aku berusaha untuk menentramkan hatimu dengan meremas jemarimu.

“ Sebaiknya kamu kembali ke Kiev. Mungkin aku bisa bantu kamu cari pekerjaan baru” Kataku. Dia memelukku. Kami bersediam. Aku bisa merasakan kesedihanmu karena kehilangan impian.

“ Benar kata kamu. Hanya masalah waktu itu akan terjadi. “

“ Apa maksudmu ?

“ Abi terpaksa melepaskan aku karena perusahaan tradingnya yang biasa melayani kontrak dengan perusahaan minyak terpaksa tutup. Penyebabnya harga minyak terus jatuh. Ini bukan hanya terjadi pada Abi, juga terjadi bagi banyak perusahaan yang berafiliasi dengan business minyak. Tahun ini di perkirakan ada 1 juta ekspatriat angkat kaki dari Saudi. Karena perusahaan tidak mampu lagi membayar gaji mereka. Entah apa yang akan terjadi dengan Saudi berikutnya. Masalahnya mereka tidak terbiasa di tantang dengan masalah besar. Mereka biasa hidup manja. Menganggap berkah minyak akan terus terjadi selamanya sampai hari kiamat.” Katamu.

“ Bukankah, Saudi telah mengeluarkan rencana transformasi nasional yang di kenal dengan VISI 2030. Ini langkah hebat untuk merampingkan birokrasi, meningkatkan investasi swasta, mengurangi pengangguran dan tentu untuk mengurangi ketergantung anggaran nasional dari minyak” Kataku.

“ Benar. Tapi aku tidak yakin Kerajaan Arab serius mau melakukan Visi 2030 itu. Berita media massa tidak seperti yang sebenarnya terjadi. “

“ Apa yang sebenarnya terjadi “ Kataku mengerutkan kening. Kamupun mulai bercerita banyak hal tentang kedekatan Abi dengan elite Politik di Saudi. Dari mu kutahu semua hal tentang Abi dan bisnis networknya. Singkatnya semua mitra strategis Abi tidak lagi tertarik berbisnis dengan Abi. Ini masalah peluang bisnis minyak yang memang tidak lagi glamour seperti sebelumnya. Saudi akan focus kepada ekonomi wisata dan industri. Era Minyak akan closed file. Itu masalah waktu. Pasti terjadi.

“ Cobalah kamu bayangkan. Mental bangsa Arab ini sulit dipahami oleh kita yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kreatifitas. Apalagi bagi kita yang terbiasa menghadapi tantangan dengan keterbatasan sumber daya. Itu semakin sulit kita pahami. Abi itu sangat baik. Dia tidak nampak stress setiap hari padahal bisnisnya miliaran dollar. Waktunya sepertiga habis dengan sholat dan kumpul dengan teman temannya. Sepertiga lagi pesta atau memanjakan diri. Sepertiganya lagi dia tidur. Hampir semua orang kaya Arab ya seperti Abi itu. Mereka sangat percaya keberkahan rezeki itu karena rahmat Tuhan yang sengaja memanjakan mereka di Dunia. Hanya karena mereka percaya sebagai pewaris sunnah Rasul.

Aku rasa inilah yang sebetulnya sebagai proses kutukan kepada generasi Saudi berikutnya. Kekayaan SDA berupa minya membuat mereka menjadi generasi lemah. Padahal kehidupan era sekarang penuh dengan kompetisi karena sumber daya semakin terbatas dan penduduk dunia terus bertambah.” Katamu dengan panjang lebar. Aku mencoba memahaminya. Mungkin kamu sedang berada dalam situasi harus berpikir melihat gelombang laut menerpamu. Kapal oleng. Karena Abi meninggalkanmu.

Malam itu pertemuan kita usai setelah menjelang dini hari. Aku mengantar kamu sampai pintu apartemen. “ kapan rencana pulang ke Hong Kong ? Katamu. Aku hanya mengangkat bahu karena tidak tahu pasti kapan urusanku selesai di Dubai. Seperti biasa, dengan halus aku menolak untuk kopi yang kamu tawarkan. Karena harus segera kembali ke hotel.

***
Pria itu berkepala botak dengan setelan jas mahal. Hidungnya agak besar. Berusia diatas 50 tahun. Namanya Abdul. “ Saya sudah buka harga melalui agent saya. Apakah kamu bisa terima.” Katanya. Saya hanya tersenyum seraya merekam wajahnya” Saya tidak ada waktu. Saya ingin cut loss segera. Mungkin menikmati hidup dengan rezeki tersisa lebih baik daripada pusing memikirkan ketidak pastian ekonomi. Masa depan sulit diramalkan. “ Katanya dengan bahasa inggeris sempurna.

“ Saya hanya akan menilai real asset seperti kapal dan bunker yang ada di Nanning, Turki dan Ukraina. Selebihnya tidak ada nilai. “

“ Tapi reputasi perusahaan saya sebagia trader kelas dunia dan pengalaman puluhan tahun, apakah itu tidak ada nilainya”

“ Saya tidak dalam posisi membeli reputasi dan pengalaman perusahaan anda, Saya hanya butuh assetnya. Due diligent 2 bulan, kita financial clossing. Bisa di terima?

Pria botak itu nampak menahan nafas dengan tatapan mata elang menghujam kearahku. Aku hanya tersenyum dengan perasaan rilex dalam suasana nyaman Palm Jumeriah Frond O hotel.
“ Baik. Deal ! “ Kata pria botak itu. Aku berdiri segera menyalaminya. 

“ Saya pastikan besok kita selesaikan Master purchase agreement dengan sekalian good fund sebagai jaminan proses transaksi akan selesai sesuai jadwal. “ Kataku dan dia menyambut hangat walau nampak tersirat di wajahnya tak ikhlas dengan deal ini. Aku mengajak pria itu ke restoran yang telah disiapkan oleh petugas Hotel. Tentu santapan malam berkelas sekalian merayakan deal yang memuaskan.

***
Sebelum kembali ke Hongkong, Kamu menghubungiku kembali. “ Apakah mungkin kita bisa bertemu lagi ? Aku segera mengiyakan. Tentu tempatnya adalah Cafe dimana kami biasa bertemu. Sambil menanti jam kedatangnya , aku melamun jauh sejak perkenalan dengan kamu. Dari mu aku mendapatkan informasi banyak hal tentang Abdul, sang Abi.

Kamu datang juga dengan senyum menawan. Dengan ringan tubuhmu menghempas ke sofa empuk di sampingku. Terasa lembut aroma Parfume mewah dari tubuhmu. “ Tadi Abi sempat telp aku. Katanya dia tidak bisa memberi apapun karena dia menjual perusahaan dengan rugi. Deal dengan investor sudah terjadi hari ini. “

“ Oh Ya. Apakah dia cerita soal deal itu ?

“ Tidak. Abi hanya bilang investornya dari Indonesia.”

“ Oh ok.”

“ Menurut Abi keadaan di Saudi sekarang nampak tenang namun bagaikan api dalam sekam. Apalagi devisa terus tergerus. Difisit anggaran semakin besar. Hutang semakin besar digali demi visi Saudi ke depan. Entahlah, ika agenda reformasi gagal untuk mencapai tujuannya, cerita lama berulang. Naik dan kemudian jatuh, hilang di telan sejarah.”

“ Dan akan selalu ada solusi dari Tuhan. Tidak perlu terlalu kawatir karena setiap perubahan itu tandanya kehidupan masih terus berlanjut. Hanya keadaan yang berubah, substansinya tetap sama. Orang cerdas yang selamat dan yang bodoh terjerambab.“ Kataku.

Kamu merebahkan kepalamu ke bahuku. “ Tuhan memberikan cobaan dalam bentuk apa saja. Ada dengan kekurangan dan ada juga dengan kelebihan. Tapi apapun itu kalau kita tidak bisa mengambil hikmah disetiap cobaan itu maka cobaan itu akan jadi kutukan. Rakyat dan Elite saudi harus menyadari kekeliruan mereka selama ini. Dimana kemelimpahan pendapatan dari minyak tidak digunakan mereka untuk mandiri di bidang tekhnologi yang bisa merubah peradaban lebih baik. Kemanjaan mereka membuat mereka terlena dan lupa bahwa setiap pesta pasti ada akhirnya. Dan perubahan adalah keniscayaan. Saatnya mereka harus berdamai dengan kenyataan dan mulailah jadikan cobaan itu sebagai awal untuk berubah dengan etos kerja hebat seperti rakya China, disiplin seperti Jepang dan cerdas seperti Eropa dan Amerika. Bukankah agama seharusnya membuat orang hebat, bukannya hidup dalam kemalasan dan menganggap kemelimpahan sumber daya alam itu gratis tanpa pertanggungan jawab dari Tuhan “ Katamu.

Kubelai kepalamu seraya berkata “ Dan kamu juga harus menyadarinya. Ambil hikmah pertemuan denga Abi. Kemelimpahan harta dan uang didapat dengan cara mudah itu, bagaimanapun salah. Abi bukanlah financial resource mu.Tapi sikap hidup positiplah yang menjadi satu satunya berkah bahwa Tuhan ciptakan kamu begitu istimewa. Pulanglah ke Kiev. ”

***
Kiev musim dingin, kamu datang menemuiku di hotel. “ Terimakasih. Aku kembali kerja di Dubai. Rencana tahun 2017. Di tempat yang sama. Aku ingat semua nasehat kamu. Kerja keras dan kerja cerdas. “ 
Ketika melangkah menyusuri trotoar, kamu mencubit lenganku “ ternyata kamu yang ambil alih perusahaan Abi. “ 
“ Maafkan aku. Terimakasih untuk bantuannya. Informasi dari kamu sangat membantu aku memenangkan deal dengan dia. “
“ Dari awal aku sudah curiga terhadap kamu. Dan kecurigaanku terbukti bahwa kamu bukan penakluk wanita tapi pemain yang pandai memanfaatkan wanita dan uang untuk kekuasaan..” 
“ Apa yang membuat kamu benar benar curiga”

“ Kamu tidak pernah terpancing untuk meniduriku. Padahal aku sangat ingin. Tapi aku harus akui, kamu memang pemain watak dan tahu membuat wanita begitu percaya kepadamu. Dan ternyata semua itu hanya bisnis bagimu “ Katamu mencubit lenganku. Malam di Kiev terasa dingin sekali dan aku selalu rindu untuk pulang.***

Ikhlas…




Namanya Iwan. Usianya bertaut 4 tahun dari ku. Iwan terlahir tanpa ayah. Mengapa aku bilang tanpa ayah? Karena usia Balita, ibunya datang ke kampung dari kota. Dia dititipkan dengan neneknya. Setelah itu ibunya pergi dan tak pernah kembali lagi. Usia 10 tahun, neneknya meninggal. Tidak ada lagi yang mengurus Iwan. Dia sebatang kara. Orang kampung juga tidak peduli dengan dia. Tetapi Iwan tetap bisa hidup mandiri. Kadang kalau pulang sekolah, aku melihat Iwan sedang bekerja di gudang Kopi dekat pasar. Dia memilah milah biji kopi. Dia dapat upah dari pekerjaan itu. Iwan biasanya kembali kerumah menjelang sore.

Iwan tinggal seorang diri di rumah peninggalan neneknya. Dia pandai memasak walau masak ala kadarnya. Jarang sekali meliat Iwan berkumpul dengan teman sebayanya. Waktunya lebih banyak bekerja di Gudang Kopi. Mungkin karena kaki iwan yang sebelah kiri agak kecil. Dia berjalan miring sebelah. Itu sebabnya aku sering mendengar Iwan di olok olok oleh teman sebayanya. Dia tidak pernah sekolah. Namun dia bisa membaca dan berhitung. Neneknya yang mengajarinya.

Mengapa aku cerita tentang Iwan. Menjelang remaja, walau keadaan miskin dan cacat namun tidak menghalangi niat Iwan untuk mencintai Marjiah, anak Tuan Datuk pemilk Gudang Kopi. Aku tahu betul, bagaimana Iwan sangat perhatian kepada Marjiah. Pernah aku melihat Iwan di hujat oleh Marjiah di hadapan teman temannya, Hanya karena Iwan datang ke sekolah membawakan payung. Itupun karena disuruh oleh Ayah Marjiah. Aku tahu, Marjiah malu di hadapan teman temannya.

Setamat SMU, aku pergi ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke Universitas. Marjiah juga pergi ke Jakarta. Aku hanya pulang setahun sekali waktu liburan. Saat aku pulang liburan. Aku mendengar kabar bahwa Ayah Marjiah sudah meninggal. Belakangan ibu Marjiah menikah lagi dengan pria yang lebih muda. Marjiah tetap tinggal di Jakarta menyelesaikan pendidikannya. Tahun kedua, aku pulang, kudapatin Ibu Marjiah gila. Semua harta peninggalan suaminya habis dibawa pergi oleh suaminya. Saat itu Marjiah terpaksa pulang kampung untuk merawat ibunya.

Menurut cerita ibuku, “Sempat dua bulan Ibunya Marjiah di pasung. Karena tidak ada uang untuk membawanya ke rumah sakit Jiwa. Suatu waktu, Iwan datang ke kampung. Entah siapa yang mengabarinya. Entah mengapa, seminggu kemudian Marjiah kembali ke Jakarta. Ibunya ikut Iwan ke kota untuk berobat dan tinggal dengan Iwan”
“ Iwan! “ kataku terkejut.
“ Ya Iwan. Bahkan biaya Marjiah selama di Jakarta ditanggung oleh Iwan.” kata Ibu.
“ Dari mana iwan dapat uang? apa kerjanya “ Tanyaku.
“ Iwan sudah jadi pedagang hasil hutan. Tadinya setiap hari dia pergi ke hutan. Mengambil getah gaharu dan getah mata kucing. Kemudian, lama lama dia jadi pengumpul. Diapun pindah ke kota” Kata ibu, itu sebabnya aku tidak tahu. Karena tidak pernah lagi melihat iwan di kampung.

Tahun ke empat aku pulang. Aku dapat cerita dari ibu, 
“ Bulan lalu, Marjiah pulang kampung membawa Bayi. Orang kampung geger. Tapi Iwan datang kerumah Marjiah. Entah apa yang dibicarakan. Tetapi yang jelas setelah bertemu Iwan, bayi itu dibawa Iwan ke kota. Keesokanya Marjiah kembali ke Jakarta.”
“ Jadi iwan merawat Ibunya Marjiah yang gila dan Bayi nya? 
“ Benar. Tapi ibunya sudah sembuh dan masih menumpang hidup dengan Iwan. Padahal keluarga besar Ibunya Marjiah banyak yang mampu. Tapi mereka tidak peduli” Kata ibu.

Tamat Universitas, aku bekerja di Jakarta. Aku pulang kampung dengan kendaraan sendiri. Dalam perjalanan aku mampir di restoran. Aku melihat ada orang masuk ke restoran dengan berjalan miring. “ Bang Wan.” teriakku. Aku segera menghampirinya. 
“ Eh kau Yung. Dimana kau tinggal sekarang ? kata Iwan seraya memelukku.
“ Di Jakarta Bang. “
“ Wah hebat. Udah Insinyur kau ya. Kerja di jakarta pula.” Katanya dengan wajah kagum.
“ Biasalah Bang. Baru belajar bekerja. Abang gimana?
“ Ya apalah aku. Orang kampung. ya beginilah.” khasnya yang selalu merendah. Ketika kami sedang asyik bicara ada anak Balita berlari dari luar langsung masuk ke restoran dan menghambur dalam pelukan Iwan. “ ayah’ Terdengar balita itu memanggil Iwan.
Balita cantik itu mirip Marjiah. Aku tak sanggup bertanya siapa ibunya.
“ Kau pernah bertemu dengan Marjiah di Jakarta? Kata Iwan.
“ Engga pernah, bang”
“ Udah empat tahun dia tidak pernah pulang. Telp tidak pernah diangkat. Surat tidak pernah dibalas. Semoga dia baik baik saja. “
“ Gimana dengan Mak Nur “ Maksudku ibunya Marjiah.
Marilah ke sebelah. Rumahku di sebelah. Katanya menarik lenganku. 
“ Sebentar bang. AKu bayar dulu makanannya.
“ Tak perlu kau bayar, Restoran ini punya ku.” 
“ Oh..”
Di sebelah restoran itu ada Ruko dua lantai. Lantai bawah tempat usaha pengumpul hasil hutan, termasuk jual sarang burung walet. Iwan mengajak ku ke lantai dua. Aku melihat di dekat jendela ada sofa. Disitu aku melihat Mak Nur. Wajahnya nampak murung. Tak ada reaksi apapun ketika aku menyalaminya “begitulah dia. Setiap malam dia teriak teriak dengan isyakan tangis menyebut nyebut nama Marjiah. Setelah itu, dia akan tertidur.
“ Abang tinggal bersama Mak Nur disini ?

“ Tidak.Aku tinggal di belakang bersama Anak ini “ katanya seraya mendekap erat Balita itu .
“ Yung” Seru Iwan. Dia terhenti seakan berpikir sesuatu. Kemudian. “ Kalau kau bertemu Marjiah di Jakarta. Suruhlah dia pulang. Aku tidak pernah memaksanya mencintaiku. Dengan segala bantuanku kepadanya dan ibunya, juga anaknya, tidak ada niatku memaksanya jadi istriku. Aku hanya berharap menjadi bagian dari keluarganya. Kalaupun itu dia tidak mau, tak apa. Pulanglah. Rawat ibunya dan besarkan anaknya. Aku akan tetap membantu sampai dia punya suami sesuai pilihannya.“

“Abang mulia sekali hatinya.”

“Sedari kecil aku tidak pernah melihat ibu dan ayahku. Sebelum meninggal Ayah Marjiah berpesan kepadaku untuk menjaga Marjiah dan ibunya. Itu aku ingat betul. Aku terharu. Siapalah aku ini?. Anak sebatang kara. yang miskin. Mengapa sampai Ayah Marjiah berpesan seperti itu? Aku yakin, pesan Ayah Marjiah adalah pesan cinta dari Tuhan kepadaku. Ternyata walau aku tidak punya orang tua tetapi saat itu Tuhan memberi tahuku, aku punya kesempatan untuk menjadi anak yang berbakti dan kakak yang melindungi adik perempuannya. Tahukah kamu?, Yung, tanggung jawab kepada ibu, adik perempuan itu seumur hidup. Itulah jihad sesungguhnya. Begitu agama mendidik kita. “

Iwan terdiam, "Setiap malam aku berdoa kepada Allah, agar dengan segala keikhlasanku kepada Marjiah, ibunya, Anaknya, bisa meringankan dosa ibu dan ayahku, yang entah dimana kini. Dan berharap kalau mereka masih hidup, Tuhan pertemukan aku dengan mereka, untuk kuberbakti sepanjang hayat dikandung badan." Iwan nampak berlinang air mata. Saya terharu karenanya.

Sesampai di rumah, aku cerita kepada ibu tentang pertemuanku dengan Iwan. “Iwan itu lahir dari ayah yang tidak jelas. Ibunya pergi entah kemana. Dia cacat sejak lahir. Karena akhlaknya baik, walau dia tidak pernah sekolah, cacat, namun tidak menghalanginya untuk sukses sebagai pedagang. Tahu mengapa? Iwan tidak pernah dendam dengan masa lalunya dan tidak membenci wanita yang telah menghinanya. Semua dia balas dengan cinta, maka kebaikan yang datang, rezekinya pun lapang.'" Demikian kata ibu.***

Kamu bidadariku selamanya.


Pada suatu kesempatan seorangs sahabat datang ke saya bahwa dia berniat untuk mencari penghasilan tambahan. Karena pekerjaannya di hotel tidak penuh waktu. Walau honornya cukup untuk biaya hidup sebulan dengan satu istri dan satu anak, namun dia ingin berbuat lebih, untuk membahagiakan keluarganya. Rencana usaha yang di ajukan bukanlah yang rumit. Hanya sederhana. Jadi subkontraktor galian kabel. Saya memberi dukungan pembiayaan hanya satu SPK. Dia berjanji akan segera mengembalikan. Saya doakan semoga dia sukses.

Beberapa bulan kemudian, saya dapat kabar dari istrinya bahwa dia sudah meninggal karena kanker paru paru. Ketika ada kesempatan saya berkunjung ke rumah duka. Istrinya menyambut saya dengan air mata sembab. Telah sebulan suaminya meninggal namun airmatanya belum juga kering. Istrinya bercerita bahwa betapa dia sangat menyesal atas sikap kasarnya kepada suaminya selama ini. Dia selalu marah tidak jelas kepada suaminya karena penghasilan tidak lebih dari cukup untuk memenuhi keinginannya. Dia acap merendahkan suaminya. Bahkan jarang memasak untuk suaminya kalau sedang kesal. Namun suaminya tidak pernah marah dan tetap sabar menghadapinya.

Beberapa bulan belakangan ini , menurutnya, dia semakin marah kepada suaminya. Karena sering pulang telat, kadang sampai larut malam.Kalau di tanya suaminya hanya diam saja. Dia semakin kesal dan menuduh suaminya selingkuh. Bahkan dia sampai merendahkan suaminya dengan kata kata yang kasar. Kerja keras sebagai alasannya suaminya ternyata tidak membuahkan hasil apapun. HIdup tetap sulit dan kebutuhan yang terus bertambah, tidak pernah tuntaskan oleh suaminya. Dia bosan dengan kehidupan rumah tangganya. Karenanya dia malas melakukan pekerjaan rumah tangga. Suaminya selalu bila pulang larut malam, membawa makanan dan bila pagi sempatkan mencuci pakaian. Walau pagi tanpa sarapan suaminya tetap semangat kerja. dia tetap dengan sikap membosankan.

Dan ketika suaminya meninggal ,dia baru sadar apa yang telah di lakukan suaminya untuk dia. Dalam buku harian itu tertulis dengan jelas semua alasan dari balik semua kerja keras suaminya. Dia menyerahkan buku harian itu dan saya membaca hanya sepenggal kalimat " Setiap hari aku kerja keras agar bisa membelikan kamu rumah mungil. Aku mencintaimu dan tidak tahu lagi harus bagaimana untuk membahagiankanmu,sayang. Usaha yang kukerjakan beberapa bulan ini ada untung. Namun Tuhan beri aku penyakit. Keuntungan itu habis untuk berobat. Maafkan aku sayang. Tolong ambil uang di tabunganku dan bayarlah hutang itu kepada sahabatku. Karena aku tidak mau terhalang masuk sorga hanya karena hutang. Semoga kelak kita bertemu kembali di sorga dan kamu adalah bidadariku selamanya..”

Seya menolak halus pembayaran hutang itu. Saya katakan, sebetulnya ketika saya memberikan bantuan modal, tidak pernah saya berpikir untuk meminta kembali uang itu. Saat itu juga saya sudah ikhlaskan. Karena uang itu dipakai modal tidak untuk memperkaya dirinya tapi hanya satu ikhtiar untuk mendapatkan uang muka rumah murah sederhana. dan itu memang tanggung jawab seorang suami kepada keluarganya. Saya meninggalkan rumah duka dengan haru. Semoga arwah sahabat saya di terima di sisiNya dengan sebaik baiknya rahmat Allah, dan bagi keluarganya dapat di beri kesabaran untuk melanjutkan hidup dalam dekapan illahi…selalu.

mencintai bukan hanya mengucapkannya dengan kata kata indah tapi bagaimana memahami sikapnya dan mempercayainya dengan penuh prasangka baik dan terus mendoakan, dan berkorban untuk itu.

Babo dan kaki.







Di Lapau Mak Siti, seperti biasa kami berkumpul selepas Isya. Sekedar menanti kantuk. Biasanya jam 10 malam kami akan segera angkat kaki. Kecuali ada yang nantangi main ceki.

“ Menurut kau, dari organ tubuh kita, bagian mana yang paling penting “ Tanya Samad.

“ Semua penting. Semua ciptaan Allah “ Jawab Sabri.

“ Bodoh kau. Kutanya mana yang penting. Kau jawab semua penting. Dasar kau memang seumur hidup tak bisa bedakan mana yang penting dan mana yang bukan “

“ Heh Samad, kenapa kau bilang begitu? jaga bicara kau. Aku lebih tua dari kau. Paham kau” kat Sabri sewot.

“ Eha, Kemarin kau utamakan pergi pengajian di surau tetangga desa. Sementara sawah kau yang harusnya dapat giliran air kau abaikan. Sampai pagi orang lain yang menikmati jatah air kau. Besok besok seperti biasa panen kau lebih buruk dari kami. Tapi kau bilang itu kehendak Tuhan. Anehnya keorang orang kau bilang kami tidak adil. Kau pandai menghibur diri atas nama Alla. Pandai menyalahkan orang lain atas nama Allah. Padahal kau memang pemalas. Lebih utamakan ikut pengajian guru Nando yang punya istri lebih dari satu tapi hidupya tak lebih menumpang dari santunan orang lain.”

“ Heh..panjang sekali kau ceramahi aku. Aku bukan kau, Samad. Hidup kau memang hanya dunia dan urusan akhirat tak penting bagi kau. Semoga Allah memberikan hidayah kau”

“ Kudoakan semoga Allah membukankan pikiranmu sehingga cerdas bersikap dalam hidup. “

“ Kau pikir aku tidak cerdas ?

“ Tanah dan ladang kau lebih luas dari kami. Tapi kami punya motor. Di rumah kami ada antena parabola. Kami semua sekolah. Sementara keluarga kau malahan anak di perbanyak. Satupun engga ada yang sekolah sampai kekota. Orang tua kau suruh kalian banyak mengaji tapi kau tak di ajarkan bagaimana bisa mandiri. “

“ ya ya sudahlah. Kenapa pula kalian bertengkar.Engga akan sudah itu urusannya. Sekarang aku jawab pertanyaan Samad. Yang penting diantara organ tubuh kita adalah Kaki.” kataku.

“ Coba kau jelaskan mengapa kaki “ tanya Samad.

“ Kau ingat si Masri ?

“ Ya, ingat. Kamanakan si Dulah.”

“ Betul. Tadi dia miskin di kampung tapi karena ringan kakinya sampai dia di jawa. Sekarang dia kaya raya sebagai pedagang. Bahkan sudah pula pergi haji. Semua kamanakan dan orang kampung yang datang ke kota di bantunya modal. “ Kataku.

“ Ah itu riya. Dan lagi orang orang itu tidak dibantu tapi dipekerjakannya agar dia semakin kaya.”

“ Bukan riya tapi berbagi kesempatan. Dia pekerjakan oran agar orang punya rasa hormat dibantu. Pahamkau, Sabri.” Kata Samad lagi.

“ Kalau menolong karena ALlah tak perlulah berharap apapun” Kata Sabri sengit.

“ Hanya orang dungu dan tak punya rasa malu kalau badan sehat dan kuat mau diberi begitu saja. Jangan kau bawa bawa nama Allah kalau alasan itu halal mengemis bagimu.”

“ Aku tidak pernah mengemis. “ Kata Sabri dengan nada keras.

“ Kalau kau tak berharap kepada manusia dan hanya kepada Allah tak akan keluar dari mulut kau mengeluh sepanjang hari. Penat aku mendengar kau terus mengeluh dilapau, bahkan di surau.” Kata samad.

“ Baiknya aku pulang. Tak pantas aku bersama kalian yang munafik dan kafir.” Kata Sabri. Sebelum pergi Sabri berkata kepada Mak Siti 

“ Dia yang bayar minum kopi ku “ Menunjuk kearah Samad.

“ Kau bilang aku kafir dan munafik tapi minum kopi kau minta perai. Kantong ku ternyata tak ikut haram bagimu ya Sabri.”

Sabri hanya tersenyum kecut. Mereka bersahabat sedari kecil dan canda dalam satire mewarnai pergaulan mereka.

***
Babo (Kakek) ku pernah mengajak ku masuk kedalam kebun dan terus melangkah mendaki bukit. Sampailah di pinggir hutan tak bertuan.” Kita sampai disini karena kaki pemberian Tuhan. Karena kaki kita melihat begitu besarnya tumbuhan berjejer. Didalamnya ada binatang . Ada kehidupan, Tentu ada rezeki. Kau sebagai pria minang, jangan kau beratkan melangkah. Ringangkan kaki untuk melangkah kemana saja kau suka. Bumi ini terlalu luas untuk hanya dipahami oleh Babo yang hanya pandai mengaji. NIkmat Allah itu tidak akan kau rasakan dengan menghafal Al Quran dan mendengar apa kata guru di surau. NIkmat Allah itu hanya kau rasakan apabila kau gunakan kakimu melangkah. Sekali kau ragu melangkah maka yang tampak hanya kampung halamanmu. Dan itu hanya masa lalu yang tak akan membuatmu menjadi apa apa.”

Aku hanya manggut manggut. Karena entah yang keberapa kali kudengar Babo bicara seperti itu. Tapi Babo tidak pernah mengajak ku sampai kedalam hutan. Ketika kutanyakan itu, “ Nanti bila kau sudah dewasa, pergilah merantau ke negeri orang. Carilah ilmu dan pengalaman darimanapun sumbernya. Setelah itu pulanglah kemari, Masuklah ke hutan itu dengan ilmu dan pengalaman. Kelak kau akan berguna sebaik baiknya dirimu bagi orang lain.” demikian pituah Babo.

***
Tahun berganti , aku melanjutkan SMA di kecamatan. Kudengar banyak pria minang pulang kekampung tidak menerobos hutan tapi mereka datang dengan pakaian Guru mengaji. Ada sorban dan janggut. Setiap di surau yang terdengar kutukan dan hujatan kepada pemerintah. Kutukan kepada wanita minang yang hanya pakai baju kurung tanpa jilbab. Lambat laun orang kampung semakin kurang minat merantau. Karena mendengar kotbah di Surau bahwa di kota tempat maksimat bekulindan. Semakin banyak orang menjauh dari Surau. Hanya masalah waktu azab Allah akan datang. Neraka semua bagi mereka. Kita lebih baik hidup miskin di kampung daripada di kota jad calon penghuni neraka. Cerita orang kampung yang sukses dirantau tak lagi mewarnai setiap pembicaraan di lapau. Tak ada lagi motivasi anak muda untuk merantau. Yang ada hanyalah rasa takut. Takut masuk neraka.

Ketika liburan sekolah aku kembali ke kampung. Kudapati Babo sudah jarang bicara. Tak lagi mengajakku wisata ke pinggir hutan. Babo hanya kadang memperhatikan aku kalau sedang belajar di ruang tengah rumah. Kadang dia mengelus kepalaku ketika sedang membaca buku “ Rajin rajinlah kau belajar. Namun sehebat apapun kamu dikampung, kau belum akan berguna. Merantau akan menjadikan kau seorang pria sejati. Yang tentu berguna bagi orang kampung” Kata Babo. Kulihat wajah tuanya nampak semakin tua. Dan aku bertekad setelah tampat SMA akan merantau.

Benarlah, setamat SMA aku merantau. Sahabatku Samad ikut aku merantau walau dia hanya tamat SMP. Sabri tetap di kampung. Dia bahkan mendoakan agar kami dapat hidayah. Kami hanya mengaminkan. Namum ketika mengantar kami ke terminal bus , dia nampak sedih berpisah dengan kami sahabat masa kecilnya.

***
Tak terasa sudah 15 tahun aku merantau. Aku sudah jadi pengusaha yang mengageni produk impor. Telapak kakiku bukan hanya menginjak tanah Jawa tapi sudah pernah menginjak negeri China, Korea, Jepang, bahkan Eropa. Aku sudah menikah sesuai pilihan orang tua. Istriku adalah anak Mak Tuo-ku sendiri. Orang minang menyebut aku kembali ke Bako. Atau menikah dengan keluarga ayah. Selama 15 tahun, baru sekali aku pulang ke kampung, itupun ketika mendengar kabar bahwa aku sudah di tunangankan dengan keponakan ayah. Sementara Samad pergi merantau ke Sulawesi. Dia sukses sebagai pengusaha ekspedisi laut. Kami pernah bertemu waktu melaksanan rukun islam ke lima di tanah makkah. Dia juga sama tak rindu untuk pulang kampung. Apalagi semua saudara dan orang tuanya sudah ikut dengan dia di rantau.

“ Aku tak merasa itu kampung yang pernah kita tinggalin. Suasana kampung tak lagi seperti dulu. Canda tawa teman sepermainan tak terasa hangat lagi ketika orang orang berbaju gaya padri dengan janggut dan jidat hitam semakin banyak di kampung. Entah darimana mereka itu mendapatkan ajaran. Adat sudah lama di punggungi. Surau tak lagi diisi kisah hikmah agar hidup berakal mati beriman. Tapi surau sudah jadi tempat dokrin bahwa akhirat lebih penting dan sorga adalah pilihan hidup. Hidup di dunia tidak penting.” demikian alasan Samad. Aku hanya mengangguk dalam miris.

***
Dan, suatu waktu aku dapat kabar dari pak Tuo bahwa di kampung ku sekarang banyak sekali pekerja dari jawa berdatangan. Tapi mereka tidak menetap. Mereka hanya melewati kampung kami dengan kendaraan truk besar menuju pinggir hutan. Alat berat berdatangan. Semua pohon direbahkan, Bukit di ledakan. Akar kayu dibakar menimbulkan asap menghitam menutupi pandangan dijalan kampung. Memang jalan kampung di perbaiki. Diaspal. Kantor lurah di perbaiki. Surau diperbesar menjadi ukuran masjid yang megah. Rumah guru dan iman masjid di rombak seperti rumah orang kota. Para pemuka kampung tanpa bekerja tapi hidup senang dengan rumah berantena parabola, termasuk salah satunya Sabri.

Hutan itu telah menjelma menjadi kebun sawit dan ditengah tengahnya ada perkampungan orang jawa, yang tak pernah menyatu dengan warga kampung kami. Konon katanya orang jawa dapat tanah gratis 2 hektar dan jaminan makan selama pohon sawit belum menghasilkan. Tapi selama itu mereka harus bekerja keras agar pohon sawit terawat baik. Sementara penduduk kampung kami semakin muram dan semakin pemarah kepada pemerintah. Tapi para pemuka masyarakat dan tokoh agama mereka hidup senang tanpa harus kerja keras. Orang kampung bilang itu kharamah orang suci yang rezekinya bisa datang darimana saja…sebetulnya itu donasi dari simata sipit juragan kebun.

”Kau tahu apa sebenarnya yang membuat orang kampung kita kalah sama pendatang dari jawa ?”Kata ku suatu waktu kepada Samad ketika bertemu dengannya di Singapore.

Samad menggeleng.

”Karena mereka tak lagi menggunakan kakinya. Setiap hari pikiran dan fantasinya kepada sorga dan takut neraka. Akibatnya mereka engga kemana mana. Kakinya bengkak dan malas melangkah. Hilang akal sehat dan tentu hilang semangat menaklukan dunia untuk mencapai kesempurnaan iman dihadapan Allah. Bukan salah bundo mengandung buruk surat tangan sendiri. Bukan salah aseng mendapatkan kebun besar karena kita malas melangkah dan berbuat” 

Samad diam, hanya terpana. Sebenarnya, aku tak begitu yakin apakah memang perlu menyimpulkan seperti ini kepada Anda hingga cerita tentang Babo dan kaki punya versi lain. Karena belakangan memang aku tak bisa membangun kampungku tapi di kampung lain aku mencetak kebun Pisang di provisi lain di Yunnan, China dan Samad juga berhasil mencetak kebun coklat di sulawesi. Bumi ini luas dan milik Allah dan itu hanya untuk orang berlmu dan mau bekerja keras menghadang resiko dan kelelahan.***

Monster pemangsa

  Sehabis meeting dengan Michael Chang, saya tatap James cukup lama. Dia sempat bingung dan salah tingka karenanya. Namun akhirnya  saya ter...