Thursday, May 07, 2020

Doa kami...




Saya bertemu dengan teman lama di Bandara. Walau kami jarang bertemu namun setiap saya ingat akan dia, saya selalu mendoakan dia. Kenangan dengan teman ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup.  Saya teringat 30 tahun lalu. Ketika itu usia saya 21 tahun dan dia 25 tahun. Kedekatan saya dengan dia karena satu kelompok pengajian Tarikat. Kegiatan pengajian ini dilakukan dari masjid ke masjid. Kadang diadakan juga dirumah. Kegiatan pengajian kami tidak berafiliasi dengan ormas Islam dan tidak terlibat dalam aktifita politik. 

Walau ketika itu banyak kekuatan ormas islam bawah tanah yang berjuang untuk tegaknya negara Islam namun kami tidak terpengaruh. Padahal ketika itu hubungan antara umat islam dan Pemerintah sedang memanas karena dipicu oleh wacana akan di berlakukannya asas tunggal Pancasila. Kesan yang saya dengar memang di setiap masjid dan Mushalla setiap hari ada saja pengajian dengan mengundang ulama beraliran keras yang memang ahli mengagitasi umat untuk bergerak membela nama Allah dalam  perjuangan Jihad. 

Ketika itu ( 1984) saya dan teman itu berangkat ke Tanjung Priok bukan untuk pengajian tapi di dorong rasa ingin tahu ada apa sebenarnya. Karena tersiar kabar beberapa kelompok aktifis islam yang ada disekitar  Jakarta, Bogor dan Banten telah berdatangan ke Tanjung Priok, dengan maksud memberikan dukungan moral agar ulama yang di tahan Polisi karena pertikaian membela kehormatan masjid dapat di bebaskan.

Seusai sholat Jumat, massa mulai bergerak kearah pos Polisi Pocis Tanjung Priok dengan tujuan membebaskan ulama. Namun  entah mengapa ditengah kerumunan massa saya memperhatikan disebelah saya ada anak muda seusia saya dipunggungnya nampak ada yang menonjol dan ketika saya ikut berdesakan dengannya saya merasakan dibalik jaket levisnya itu adalah senjata mesin Serbu. Teman saya membisikan kepada saya bahwa sebaiknya kami keluar dari kerumunan karena intel Tentara sudah ada didalam kerumunan massa. Saya dan teman segera keluar dari kerumunan massa yang diperkirakan jumlahnya ribuan itu. Dengan susah payah kami berhasil keluar dari kerumunan itu. Saya dan teman langsung kembali ke Tanah Abang. 

Dari cerita teman lain yang menyaksikan keributan Tanjung Priok bercerita kepada kami sebagai berikut. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, “Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini”. Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, “Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?” Dijawab oleh massa, “Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !”

Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma’ Allah dan Al-Qur’an. Amir Biki berpesan, “Yang merusak bukan teman kita !”.  Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). 

Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu … astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah di padamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Tapi menurut  teman saya yang selamat dari tembakan tentara mengatakan jumlah korban ribuan. Karena semua mereka yang duduk di jalan yang panjangnya lebih dari 2 KM  mati di tembaki oleh senjata mesin. 

Seminggu setelah itu, saya sedang ikut pengajian rutin di Masjid dikawasan Benhil di tangkap oleh aparat. Sempat merasakan 7 hari ditahan tapi rasanya seperti 7 abad. Karena 7 hari tidak ada hari tanpa siksaan. Semua tahanan ketika di periksa baik pria maupun wanita harus telanjang. Satu sama lain saling menyaksikan temannya disiksa. Dalam hati saya berdoa semoga ini tidak lagi terjadi kepada anak cucu saya. Semoga Allah memberikan ruang bagi anak cucu saya berjuang tanpa harus menerima kezoliman seperti ini. 

Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.  Bahkan selama dua tahun itu terjadi penangkapan  kepada kader kader dakwah yang militan. 

Hal yang membuat saya tidak pernah lupa dengan teman itu adalah ketika kami di Penjara. Dia meminta saya untuk berzikir dengan zikir Nabi Yunus ketika didalam perut ikan Paus, Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin. Mengapa? Dengan peristiwa ini jangan cepat berbaik sangka bahwa kita di posisi yang benar sehingga pantas mati sahid, jangan berprasangka bahwa sikap kita benar dan di ridhoi Allah sehingga pantas masuk sorga. Apapun musibah itu adalah cara Allah mengingatkan kita bahwa ada kesalahan yang kita perbuat.  Samahalnya ketika Rasul kalah dalam perang Uhud. 

Benarlah , dua hari saya tidak pernah berhenti berzikir di dalam hati dengan doa nabi Yunus , bahkan ketika di periksa.  Keesokannnya saya di bebaskan begitu saja,teman saya juga. Ada ribuan yang masih ditahan dan tidak tahu bagaimana nasipnya. Tidak ada satupun ormas islam yang ada diluar bergerak  untuk membela segelintir kami.Tidak ada.  

Sejak itu saya dan teman memilih fokus dengan hidup kami. Belakangan saya tahu teman itu menjadi pengusaha perkapalan yang sukses. Tahun 2002 saya bertemu dengan teman ini di Singapore. Dia berkata  bahwa ternyata doanya ketika dulu di penjara terkabulkan. Apa doa itu? semoga Allah memberikan zaman kebebasan kepada generasi anak anaknya tanpa bau amis darah. Saya tersenyum karena doanya sama dengan doa saya.

Kini era reformasi. Berkah tak terbilang bagi generasi muda untuk ambil bagian dalam perubahan kearah yang lebih baik,khususnya kearah perjuangan tegaknya keadilan. Di era reformasi ini semua golongan dan agama punya hak yang sama untuk menjadi pemenang. Jangan sampai fanatisme membuat kekuatan syiar islam meredub karena sifat keras hati, dengan menebarkan kebencian kepada mereka yang berbeda. Demokrasi harus di sikapi dengan cerdas. 


Berjuang tidak bisa seketika sukses. Semua kita harus berproses. Setidaknya mari merubah paradigma dalam berdakwah. Syiar islam harus  dilantunkan dalam karya nyata, bagaimana menjadi unggul dalam putaran waktu melalui program kemandirian ekonomi di tengah masyarakat. Membina mereka keluar dari lubang kemiskinan melalui pendekatan Tauhid agar kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas  di maknai sebagai ibadah.  Melalui program dakwah karya nyata, lambat laun kepemimpinan Islam di rasakan rakyat untuk tertib dalam barisan shap , menjadi sekumpulan lebah yang hanya memberikan manfaat bagi semua. Hanya dengan dakwah seperti itu, proyek sosial islam yang mengusung rahmat bagi semua akan teraktualkan sebagaimana Rasul mencontohkan di Madinah ratusan tahun lalu.

Menjadi laki laki






Setiap pagi pedagang bubur ayam melintasi depan rumah saya. Nampak wajah tua yang tak kenal lelah. Walau kadang saya tak sanggup melihatnya setengah terbungkuk dan tertatih tatih mendorong kereta dagangannya. Selalu istri saya sempatkan membeli dagangannya. Dari istri saya tahu bahwa pedagang itu berusia diatas 70 tahun. Ada yang membuat haru tentang Pak tua ini. Dia punya satu orang anak perempuan. Setelah istrinya meninggal dia menumpang tinggal dirumah anak perempuannya yang telah berumah tangga. Namun awalnya menantunya menolakdengan alasan keadaan ekonomi mereka memang tidak bagus. Anaknya berusaha meyakinkan kepada suaminya agar menerima ayahnya tinggal bersama. Akhirnya suaminya setuju dengan syarat ayahnya tidak boleh makan dirumah.

" Anak saya tidak bekerja. Diapun menumpang sama suaminya. Saya bersyukur masih diberi tempat tinggal" kata Pak tua itu dengan suara lirih.

" Dagangan ini bapak yang buat sendiri ?

" Bukan. Anak saya yang buat. Saya hanya dagangin aja. Dari hasil dagangan inilah saya makan hari hari. Kalau ada lebih saya berikan kepada anak saya"

Saya termenung lama. Inilah hidup. Pak tua itu tidak merasa kecil hati ketika mantunya menolak dia untuk menumpang tinggal karena kesendirian dan kemiskinan setelah istrinya wafat. Dia tetap bersyukur karena masih diberi tempat untuk bernaung dari hujan dan terik matahari walau karena itu dia harus tetap bekerja keras untuk makan. Dia tidak mengeluh atas semua itu. Dari sisa umurnya dia tetap bekerja keras dan berusaha memberi sebisanya tanpa harus menadahkan tangan.

Tahukan kamu Nak, pernah dikisahkan dalam sejarah Rasul. Saat mendekati kota Madinah, di salah satu sudut jalan, Rasulullah berjumpa dengan seorang tukang batu. Ketika itu Rasulullah melihat tangan buruh tukang batu tersebut melepuh, kulitnya merah kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari.

“Kenapa tanganmu kasar sekali?” Tanya Rasulullah.

" Ya Rasulullah, pekerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”

Rasulullah adalah manusia paling mulia, tetapi orang yang paling mulia tersebut begitu melihat tangan si tukang batu yang kasar karena mencari nafkah yang halal, Rasul pun menggenggam tangan itu, dan menciumnya seraya bersabda,

“Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada”, ‘inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya’

Rasulullah tidak pernah mencium tangan para Pemimpin Quraisy, tangan para Pemimpin Khabilah, Raja atau siapapun. Sejarah mencatat hanya putrinya Fatimah Az Zahra dan tukang batu itulah yang pernah dicium oleh Rasulullah. Padahal tangan tukang batu yang di cium oleh Rasulullah justru tangan yang telapaknya melepuh dan kasar, kapalan, karena membelah batu dan karena kerja keras.

Anakku , Menikah itu sama saja melaksanakan setengah kewajiban agama. Mengapa? Dari rumah tangga itulah kamu di latih menjadi pemimpin mengemban amanah Allah. Kewajiban sebagai laki laki ada lima. Yang pertama adalah sebagai pemimpin rumah tangga. Bagaimana memastikan keluargamu aman dan nyaman di bawah kepemimpinanmu. Itu hanya mungkin bila kamu mampu memenuhi tanggung jawab lahir dan batin. Kedua adalah bagaimana kemampuanmu menjaga dan melindungi ibu, anak perempuanmu serta saudara perempuanmu sepanjang usiamu. Ketiga, menolong handai tolan yang kekurangan agar mereka tidak terkena kufur akibat kemiskinan. Ke empat, menolong tetangga dan orang miskin serta yatim agar kamu tidak di cap pendusta agama oleh Allah. Yang ke Lima, membela syiar agama. Laksanakan fungsimu sebagai laki laki sesuai urutan itu. Jangan sampai kamu berusaha menjadi matahari pembela syiar agama,  tapi menjadi lentera bagi keluaga dan handai tolanpun kamu tak sanggup. Jangan sampai kamu ingin memperbaiki dunia,  sementara memperbaiki keluarga saja tidak mampu.

Karenanya wahai anakku, jangan pernah berhenti bekerja keras. Jangan bersedih bila hasil dan peluh tak sebanding. Ingatlah setiap keringatmu untuk menafkahi keluargamu adalah fisabilillah. Setiap tarikan nafasmu akan dihitung Allah sebagai pahala dan kelak di akhirat itulah yang akan menolongmu. Menjadi pria itu nak adalah berkah dan juga cobaan bagimu. Kamu tahu Allah  berfirman bahwa “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al ‘Ankabut: 45). Perbuatan paling keji dan munkar apabila kamu lalai dengan tanggung jawabmu kepada keluarga. Walau kamu tak henti berdoa dan sholat namun kamu tak punya semangat berkeja keras mencari nafkah sebagai caramu melaksanakan amanah Tuhan maka sholatmu tak membuahkan apapun. Seharusnya orang yang sholat adalah orang yang menang, dan itu pasti tidak malas dan tidak hidup mengandalkan doa tapi miskin effort. Jadilah pria sejati sebagaimana Tuhan mau, ya sayang..

Cinta sang koruptor




Bejo seperti biasa tersenyum ketika aku parkir kendaraanku di pelataran cafe. Dia hanya tukang parkir. Namun dia bukan preman. Dia bekerja untuk seorang preman, dan mendapat upah sepertiga dari hasil uang parkir yang di kumpulkannya. Bejo punya impian. Dia hanya butuh sedikit modal untuk dagang asongan. Setelah itu dia berharap punya gerobak sendiri untuk jual nasi goreng. Dan selanjutnya, berharap bisa buka warung dengan beberapa orang karyawan. Syukur bila itu semua bisa membawa ibunya ke Makkah. Aku hanya tersenyum mendengar impian Bejo. Terlau naif bagi seorang Bejo untuk berharap terlalu banyak di kota kapitalis seperti Jakarta ini. Tapi Bejo yakin.

“ Jo” Seru ku “ Aku mau cerita tentang tamuku yang aneh” sambungku sambil menanti cafe itu buka. 
“ Cerita aja. “
“ Sejak kali pertama bertemu tamu itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari tamu itu? Jujur, ia mengingatkanku akan masa laluku—dua tahun lalu—tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman. Hingga akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing bagiku—lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang membutuhkan kehadirannya pada satu malam tertentu. 

“ Dan lelaki ini, tiba-tiba datang dari balik keheningan.” Kata Bejo
“ Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti hilang…. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori. Mata tamu itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya….Aku tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku….
“ Aku tahu tamu yang kamu maksud.” 
“ Kok kamu tahu ?
“ Sepertinya aku pernah lihat wajahnya di koran pagi.”
“ Oh gitu. DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya tamu lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit. Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh."

”Aku tak yakin kamu bisa jatuh cinta, Dan juga tidak mungkin dia jatuh cinta…,” ucap Bejo dengan enteng.

Aku diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang Bejo katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memahamiku. 

“ Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun…

”Sekarang gimana setelah kamu tahu itu ?”

Aku terdiam. Teringat di suatu malam, lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik selimut. Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik. Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.” Aku tak mungkin mencegahnya pergi.

“ Entahlah Jo. “

Bejo hanya tersenyum. “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.”

“ Jo, kamu jahat sekali. Segitukah nilai kamu terhadap aku “

“ Kenyataannya begitu.”

“ Kenapa ya Jo”

“ Kendaraan, ATM selalu ada isi, dan pakaian selalu baru, dan tempat kos daerah elite. Itu semua tidak di dapat dengan kerja keras. Dan sekarang kamu bicara tentang cinta untuk itu semua ? Aneh aja. “

“ Ah kamu, bisa aja. Itu kan rezeki anak sholeh...”

***
Malam itu tamuku tidak jadi datang. Tanpa alasan yang jelas. Akupun tak ingin menghubunginya. 
“ Dia tidak akan datang , Mir “ Kata Bejo ketika aku akan masuk kedalam kendaraan.” 
“ Kok kamu tahu Jo”
“ Engga baca berita sore ? 
“ Ada apa ?
“ Tamu kamu di tangkap KPK. “
“ Ke tangkap tangan ya Jo”
“ ya begitu ceritanya.”
Aku terhempas lemas. Bagaimana dengan nasipku? Segala bayangan buruk datang menyelimuti pikiranku. 
“ Sudah saatnya kamu kembali ke jalan Tuhan. “
“ Jangan petuahi aku perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Aku pasrah dijemput maut kapan saja, tapi aku enggan mau mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah aku dengan hidupku, Jo. Tolonglah sedikit empati disaat seperti ini.”
“ Apa yang kamu harapkan dari kemurahan seorang koruptor? Dia sudah mengkhianati negara dan juga keluarganya. Dia tidak akan pernah bisa mencintai siapapun kecuali dirinya sendiri. Apalagi dirimu?

Aku terdiam dan menangis. Bejo ada benarnya. Kulajukan kendaraan menyusuri kemacetan Jakarta. Di tempat kos, aku menangis dalam kesendirian. Hujan di luar mungkin telah membuat banyak orang cemas karena tinggal di bantaran kali dan dirumah kumuh,, yang hanya masalah waktu akan di dera banjir. Kemiskinan dan keterpurukan adalah ketidak adilan sistem. Dan itu hanya melahirkan kemakmuran diatas banyak penderitaan yang luput di catat statisik. Sementara aku menikmati limpahan kemewahan dari  dana haram untuk pekerjaan haram. Kebodohanku adalah mempercayai cinta dari seorang koruptor. Tentu kebodohan rakyat yang mempercayakan kekuasaan kepada koruptor yang kadang membungkus kata dengan Firman Tuhan, dan membalut dirinya dengan pakaian orang sholeh. Bergaul dengan orang sholeh.  

Benar kata bejo “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.” Ya karena aku terjebak dengan kemanjaan dari sang koruptor..Bagaimana dengan Bejo sendiri? Setidaknya dia punya impian dan memulainya dengan keringat halal dan tahu harga dirinya di perjuangkan melalui kerja keras tanpa menjauh dari Tuhan…

Tuhan telah tunaikan niat Tejo.




Sepuluh tahun di rantau. Sepuluh tahun jauh dari sanak keluarga. Sepuluh tahun dibawah gelombang jauh ketengah laut. Akhirnya akupun kembali kekampung ini. Tak ada perubahan berarti dikampung ini. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hingga tak membuatku asing untuk kembali. Pasar desa sudah diramaikan oleh suara musik dari toko penjual kaset. Wanita desa sudah banyak yang menggunakan baju gaya orang kota. Namun selebihnya adalah sama. Tak ada kemajuan. Itulah sekilas yang kutahu ketika menginjak kaki di senja hari. Didesaku , dimana aku dilahirkan.
“ Nah , Jono ,ya “ Terdengan suara sapa dari arah belakangku. Nampak wajah tua yang tersenyum dengan gigi yang menghitam.
“ Bu, Barijah ? Kataku pasti. Ya , Dia ibu dari sahabatku yang bersama sama denganku merantau ke kota.
“ Mana , Tejo. ? “ Tanyanya. Suara agak lambat. Namun wajahnya seakan menyiratkan cemas “ Belum sempat pulang ya..” Sambungnya. Kemudian matanya mengarah ketempat lain. Dia terduduk didekat pintu stasiun.
“ Bu..” Seruku sambil memegang bahunya “ Tejo sibuk sekali dikota. Dia belum sempat datang. “ Kataku membujuknya.
“ Tapi ada suratnya kan.”
Aku terkejut. Surat !
“ Ya , Ada. “ Secepatnya aku menjawab dan langsung mengeluarkan kertas dari dalam tasku. Sebetulnya itu bukan surat. Hanya secarik kertas yang hanya coretan tanganku. Tapi setidaknya ini dapat melepaskan rindunya kepada anaknya.. Diciumnya surat itu berkali kali dengan mata berbinar “ Bacakanlah untukku…tolong ya “ Kata Bu Barijah. Aku tahu dia tidak bisa membaca.
Akupun membacakan surat itu dengan karanganku sendiri. Kata demi kata meluncur dengan berat. Setiap gerak bibirku diperhatikan oleh Bu Barijah seperti dia sedang membayangkan Tejo didepannya. Usai membaca surat dia , tertawa dan tersenyum kepada kesemua orang yang ada didepan stasiun itu. “ Tejo akan pulang. Kalian dengar itu..Anakku akan pulang.” Suaranya agak meninggi kegirangan. Orang orang yang lalu lalang di stasiun hanya tersenyum. Ada juga yang melihat aneh kearah Bu Birjah. Tapi Bu Birjah tak peduli.

Sesampai dirumah. Ibu menyambut hangat kedatanganku.Begitupula dengan ayah dan adik adiku. Walau tak banyak uang yang kubawa namun kebahagiaan mereka dengan kehadiranku lebih dari segala galnya. Malamnya ibu berkata kepadaku “ Jo, Kamu bertemu dengan Barijah di stasiun ?
“ Ya, Mbok..”
“ Sudah hampir setahun dia selalu ada di stasiun menanti kedatangan Tejo. Kadang sampai ketiduran di Stasiun. Akhirnya dia tak mau lagi pergi meninggalkan stasiun. Semua orang menyangka Barijah sudah gila. Tapi dia tetap waras. Ibu tahu betul itu. Dia hanya rindu anaknya. Kapan ya Tejo pulang. Gimana kabarnya..”
“ Lantas siapa yang kasih dia makan. “
“ Orang orang yang ada di stasiun. Mereka iba dengan nasip Barijah yang punya anak tunggal yang pergi merantau dan juga menjada ditinggal mati oleh suami. “
Aku hanya terdiam. Bayanganku langsung kepada Tejo, sahabatku dari sejak kanak kanak. Kami memang tak pernah menyelesakan sekolai SLTA.Kami hanya tamat SLTP. Sebagai anak petani yang miskin ,memang kami tak berharap banyak dari orang tua. Ada rasa tanggung jawab untuk membahagiakan orang tua untuk sekali seumur hidup. Setidaknya itulah harapan Tejo untuk membawa ibunya ke Haji. Mungkin naïf rasanya bila berharap terlalu jauh nasip akan berubah bagi kami anak desa yang tak berpendidikan. Tapi , tekad sudah bulat. Kami harus meninggalkan desa. Sebelum berangkat sebetulnya Tejo agak berat langkahnya pergi meninggalkan ibunya. . Dia anak tunggal. Apalagi ayahnya sudah meninggal.
Terbayang wajah Bu Barijah melapas kepergian kami di stasiun kereta. Wajahnya nampak kawatir.Air matanya berlinang. Tak lepas pagutan matanya memandang kereta melaju sampai hilang ditikungan. Tejo nampak tegar. “ Aku harus segera kembali kedesa dengan sukses Jo. Aku ingin membahagiakan si Mbok. Syukur syukur aku bisa bawa si Mbok ke Mekah..” Itulah kata Tejo yang tak pernah kulupakan. Setelah menempuh perjalanan yang panjang. Akhirnya sampailah kami di kota. Sanak famili tak ada. Kecuali teman teman sekampung yang dituju. Itupun rata rata mereka hidup sangat serba terbatas. Tinggal dirumah reot ,dipinggir kali.
Di kota kami bekerja apa saja, Kadang jadi kuli bangunan. Kadang jadi pedagang asongan. Kadang jadi pengais sampah. Tak terasa waktu berlalu. Keakrapan bersama Tejo lambat laun semakin memudar. Tejo sudah jarang dapat ditemui. Belakangan yang kutahu dia sudah beristri dan tinggal di Tempat Pembuangan Sampah. Daerahnya cukup jauh dari tempat tinggalku.. Akupun sudah disibukan dengan hari hariku . Tapi batin ku tak pernah melupakan Tejo.
Suatu hari pada Jumat malam. Aku tersentak dari tidur ku. Aku bermimpi tentang Tejo. Dalam mimpiku tejo berkata “ Aku akan bersama sama si Mbok ke rumah Allah.” Paginya, aku langsung ke tempat Tejo tinggal. Setelah bersusah payah bertanya tempat tinggal Tejo, akhirnya aku dapat menemukannya. Tapi …apa yang kudapi. Tejo sudah dipanggil oleh Allah. Tadi malam tepatnya. Dia meninggalkan seorang Istri dan anak. Sebetulnya bukanlah istri sesungguhnya. Wanita itu seorang janda dengan satu anak yang tak jelas siapa bapaknya. Tejo melindungi janda itu dan menafkahinya.
“ Tejo ,orangnya baik sekali. Tak pernah sungkan untuk menolong siapapun. Tak pernah bertangkar dengan siapapun. Semua kami mencintainya. Pernah kami disini mau sokongan untuk mengobati penyakit paru parunya tapi dia menolak. Dia selalu tegar dengan penyakitnya. Entah apa yang membuat dia begitu tegarnya…” demikian teman temannya.
“ Lebih empat tahun dia melindungi saya. Selama itu dia tidak pernah menyentuh saya. Walau dalam sakit sekalipun dia tetap bekerja untuk menafkahi kami. Dia ingin sekali menikahi saya setelah dia dapat membawa ibunya pergi haji. Tapi….” Demikian wanita itu berkata tentang Tejo sahabatnya. Wajah wanita itu sembab karena lelah dalam kesedihan teramat dalam.
“ Jono…Kamu melamun ya..” Teguran ibu membuyarkan lamunanku.
“ Eh ya mbok. Oh , ya sejak kapan Bu Barijah mulai sering menanti di stasiun itu “ tanyaku
“ Sudah hampir setahun. Atau tepatnya ketika adik kamu menikah. Hari jumat malam. Ibu ingat betul itu. Karena malam itu dia datang ke rumah di tengah acara perkawinan. Dia bilang tak bisa lama lama karena harus menjemput Tejo di Stasiun untuk kereta sore..” . Oh itu tepat hari kematian Tejo.
Seusai makan malam aku sempatkan datang kestasiun untuk menemui Bu Barijah. Kedatangaku disambut hangat oleh Bu Barijah. Dia duduk dipinggir stasiun dengan tikar lusuh. Bajunya lusuh. Udara malam dibalutnya dengan sarung.
“ Jo.. terimakasih. Tadi Tejo sudah datang temui ibu. Dia sehat Jo. Dia peluk ibu. Dia ingin ajak ibu pergi kerumah Tuhan..”
“ Oh Ya bu..” aku pikir Bu Barijah sudah gila atau berhalusinasi karena kerinduan teramat dalam kepada Tejo.
“ Ya Jo. Dia datang kuda putih. Gagah sekali Jo. Ibu mau ikut Tejo..” Kata Bu Barijah nampak ceria.
“ Ya Mbok…”
“ Kamu jangan pergi dulu ya. Tejo sedang pergi sebentar. Dia janji akan jemput ibu..tunggu ya..”
Aku tak bisa berlama lama bersama Bu Barijah.Semakin lama aku disini bersamanya semakin tertekan jiwanya. Semakin dalam kerinduannya kepada Tejo. Karena bagi Bu Barijah aku dan Tejo adalah dua anak yang selalu lekat dalam pikirannya. Apalagi , waktu dulu ibu sedang sakit, Bu Barijah lah yang menyusuiku. Karena waktu kelahiran Tejo dan aku hanya berjarak dua hari. Akupun kembali kerumah dengan langkah berat. Ingin rasanya membawa Bu Barijah pulang. Ingin rasanya aku menyampaikan hal yang sebenarnya tetang Tejo yang sudah almarhum. Tapi semua itu tak bisa bibirku bergerak.
Pagi harinya. Suara diributkan oleh orang kampung yang mengabarkan bahwa Bu Barijah meninggal tadi malam di stasiun. Orang kampung, termasuk aku berlari ke stasiun untuk membawa jenazah Bu Barijah. Jasadnya yang membeku di stasiun itu, nampak dalam keadaan tersenyum bahagia sambil memegang erat kertas yang tadi kubacakan sebagai surat dari Tejo…
Aku terkesiap memandangi jasad Bu Barijah. Airmataku berjatuhan. Aku menangis sejadi jadinya. Ibu memelukku. “ Kabarkanlah kepada Tejo…” suara ibu berbisik kepadaku…

Tejo memang berhasil membawa ibunya kerumah Tuhan. Memang Tejo tak berharta. Dia Maskin. Namun Akhlaknya yang mulia melindungi seorang janda yang terabaikan dengan seorang anak terlantar adalah harta tak ternilai untuk membawa ibunya kerumah Tuhan dengan senyum. Allah tak melihat dari apa yang kita berikan kepada Ibu kita tapi seberapa jauh kasih sayang dan cinta kita dibalik pemberiaan itu , walau itu hanya sebatas niat yang tak tertunaikan .Selagi ada niat untuk berbakti kepada ibu , selagi akhlak mulia bertaburan dimuka bumi maka selama itupula seorang ibu pantas melahirkan kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah telah menunaikan niat Tejo .

Mencintai Ibu

“ Permisi mas “ kata wanita itu ketika hendak ke toilet terhalang oleh petugas cleaning service yang sedang bekerja di jalan menuju ke toilet. Ketika dia usai dari toilet, pria itu tersender di dinding dengan wajah pucat. Wanita itu meraba kening pria itu. Panas. Dia langsung memanggil satpam dan membawanya ke rumah sakit.  Wanita itu menjamin biaya berobat pria itu sampai dinyatakan sehat oleh petugas UGD.Menurut dokter, pria itu kena asam lambung. Wanita itu memberi ongkos pulang kepada pria itu. “ Terimakasih Mbak. “ 
“ Nama kamu Fathur ya ?
“ Ya Mbak. 
“ Ya udah hati hati ya di jalan. istirahat dan makan yang cukup. “ Katanya. Dia kembali ke kantor tapi rencana meeting jadi tertunda. Deal yang sudah depan mata gagal. 

Bertahun tahun kemudian, wanita itu tidak juga berhasil dalam karirnya sebagai petugas sales. Padahal dia sudah bekerja keras dan focus. Hasilnya hanya cukup untuk makan dan bayar sewa rumah tanpa bisa menabung. Usia sudah diatas 30 tahun. Tidak ada pria yang serius untuk meminangnya walau dia berkali kali menjalin hubungan. Sepertinya sukses sebagai sales sama sulitnya dengan menjalin hubungan dengan pria. Maklum dia wanita dari keluarga miskin. 

“ Mbak …” terdengar suara panggilan dari dalam kendaraan mewah yang berhenti tepat disampingnya yang sedang menanti kendaraan di halte. Dari dalam kendaraan keluar pria gagah berdasi. “ Masih ingat saya..” Kata pria itu.
Dia berusaha mengingat. “ Ah, kamu dik fathur kan.” 
“ Ya mbak. Mau kemana ?
“ Mau pulang.”
“ Kemana jurusannya?
“ Bekasi.”
“ Saya antar ya. “
“ Loh engga ngerepotin.”
“ Kebetulan kita satu arah. “

Pria itu bercerita perjalan hidupnya sampai dia sukses seperti sekarang. Dulu waktu dia bekerja sebagai cleaning service, itu dia sedang menyelesaikan tugas akhir S1 nya. Tetapi karena keluarganya miskin dan ayahnya meninggal, dia terpaksa cuti kuliah untuk kerja  terlebih dahulu. Tahun 1998 banyak perkebunan sawit PIR ditelantarkan oleh konglomerat. Dia diajak temannya bekerja di daerah di perusahaan yang  mengelola kebun sawit milik petani dan membantu memasarkannya. Dia berhasil kerjasama dengan PTP untuk membantu proses pemasaran hasil kebun petani namun dengan syarat dia harus mendapatkan mitra buyer. Bersama temannya dia berangkat ke Singapore untuk mendapatkan mitra dari trader CPO. Nasip baik datang. Ada trader yang mau jadi mitranya. Sejak itulah usaha tempat dia bekerja berkembang. 

Mitranya dari Singapore memberi kepercayaan untuk akuisisi kebun sawit yang macet di BPPN. Diapun dapat saham dan bermitra dengan trader CPO Singapore. Hidupnya berubah. Sekarang dia punya puluhan ribu hektar kebun sawit dan empat pabrik kelapa sawit. Bersama teman temanya dia membuka usaha dibidang property dan pertambangan.  Wanita itu tidak bisa membayangkan pria yang tadinya dia kenal sebagai cleaning service, 10 tahun kemudian sudah jadi pengusaha besar. Reformasi memang banyak menenggelamkan pengusaha lama dan melahirkan banyak pengusaha baru. 

Keesokannya pria itu telp wanita itu untuk bertemu kembali. Pria itu membawa wanita itu kerumahnya yang megah dikawasan mewah. Dia terpesona. “ Kamu belum menikah, Fathur ?
“ Belum mbak. Gimana dengan mbak ?
“ Saya juga belum. Mengapa kamu belum menikah. Bukankah kamu punya segala galanya?
“ Saya tidak akan menikah kalau mamak saya tidak mau tinggal dirumah saya. “
“ Loh kenapa mamak kamu tidak mau tinggal bersama kamu?
“ Entahlah. Pening saya. Bisa bantu saya untuk yakinkan mamak saya.” 
“ Maksud kamu “
“ Mbak bilang, kalau mbak calon isri saya dan inginkan mamak saya tinggal bersama saya “
Wanita itu terdiam. Sandiwara apa ini. Mengapa harus memperdaya ibunya.
“ Bantu saya mbak.” kata pria itu memelas.
“ Ya udah. “
“ OK kalau begitu, besok pagi kita ke Medan. Temui mamak saya.”
***
“ Mak, ini calon istriku. Bukankah mamak janji akan ikut aku kalau aku punya istri.”
“ Mamak engga mau tinggal sama kau. Mamak sudah senang tinggal dirumah pemberian ayah kau.”
“ Tapi aku punya rumah besar di Jakarta. Aku ingin mamak senang dimasa tua mamak. Biar aku yang merawat mamak.
“ Aku disini senang.”
“ Tapi aku sulit untuk tiap minggu jumpa mamak. AKu sibuk. Mengertilah Mak. Ikut aku.”
“ Engga mau aku. Jangan kau paksa aku. Kalau kau sibuk, tidak perlu tengok mamak “

Wanita itu terdiam. Dia tidak mampu melihat wajah ibu dari pria itu. Wajah itu wajah kerinduan dan kesepian dari seorang ibu, yang punya anak tunggal, dan menjanda. Walau rumah ibunya dibangun mewah namun tidak membuat ibunya bahagia. Akhirnya mereka pulang tanpa bisa membujuk ibu pria itu.

Setelah setahun hubungan mereka semakin akrab. Kalau ada waktu senggang pria itu selalu menyempatkan waktu bertemu dengan wanita itu. Suatu saat pria itu berkata “ Waktu kali pertama melihat mbak, saya sudah jatuh cinta. Apalagi ketika tahu mbak membantu saya yang miskin. Sejak itu saya berjanji kalau saya jadi orang kaya, saya akan melamar mbak. Apakah mungkin? 

Wanita itu tidak menjawab. Berhari hari pria itu menanti jawaban dari wanita itu, yang akhirnya wanita itu menjawab “ Maaf, saya tidak bisa  menerima lamaran kamu.”
“ Mengapa ?
“ Kalau dengan ibu yang melahirkan kamu saja kamu tidak  bisa memahami kebutuhannya, bagaimana kamu bisa memahami saya. Bagaimana kamu bisa mendidik anak anakmu untuk mengerti saya. Apalagi kalau saya sudah tua”
“ Emang apa kebutuhan mamak saya “
“ Waktu dan perhatian kamu, bukan harta kamu. Itulah yang tidak bisa kamu delivery..” 

Wanita itu berlalu dari hadapan pria itu.

Hikmah cerita: Mencintai ibu bukan dengan uang dan harta tapi kita harus mampu menjaga perasaannya, yang kadang semakin tua semakin menuntut kita untuk semakin bersabar

Pilihan...

Menjelang tahun baru aku stuck di Beijing. Sebentar lagi akan berganti tahun 2006.  Aku terkurung dalam kesendirian di Panninsula Hotel Beijing. Salju berjatuhan mengiringi kedatangan tahun baru. Sepanjang malam, aku termenung dalam melankolia. Dari jendela kamar hotel, aku lihat jalanan kota ramai. Kendaraan bergerak berselambat. Malam semakin larut. Tahunpun berganti. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan. Perjalananku sendiri lamat saja. 

Belum pernah kurasa amat sepi. Malam ini, kota seakan lelah, sebagaimana aku yang masih bertarung dengan waktu menggapai asa. Perjalanan hidupku mengajarkan tidak bisa tergesa gesa. Pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika aku masuk dalam dunia bisnis. Aku tidak pernah tahu apa itu ulang tahun. Waktu aku habis dalam rapat bisnis, menganalisa setiap peluang, mencari solusi dan bersikap awas terhadap segala kemungkinan. 

Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.

Selalu, kuingat semua tentang kita, Suci. Awal phase kehidupanku yang tak henti terjerambab, bangkit dan kembali terjerembab. Kadang membuatku masuk dalam lobang gelap tak bersinar. Terkurung dalam sepi dan teracuhkan orang banyak. Kalaulah tanpa kesabaran yang dibekali oleh Tuhan dalam jiwaku, rasanya sudah lama aku ingin akhiri hidupku. Kesabaran itu lahir dari kekuatan. Kekuatan itu sendiri tercipta karena kepercayaan yang kau berikan, Suci. Aku tidak pernah takut dan kawatir akan hidupku. Itu berkat sabar, berkat Tuhan mengirim kau.

“ Aku ingin punya rumah besar, Mobil mewah dan semua hal yang wah “ katamu setelah tiga bulan kita saling kenal. Aku sempat mentertawakan dirimu. Bagaimana pedagang teh botol kaki lima bermimpi seperti itu. “ karenanya aku harus dapat suami yang bisa memenuhi keinginanku.“ Katamu lagi. Aku tersentak. Saat itu aku perhatikan dengan seksama wajahmu. Sebetulnya kamu cantik, tetapi karena kemiskinan kecantikan itu berkabut. Entah Pria kaya mana yang mau perhatikan wajah dibalik kabut itu. Tapi aku bisa meliatnya, saat itu.

Kamu dan aku, orang kampung. Walau matamu sipit, kamu tetap orang kampung yang datang ke Jakarta menambah daftar kemiskinan. Kita bertemu di tengah debu jalanan. Aku harus berpeluh menyusuri kota sebagai salesman. Sementara Kamu harus duduk di pojok tangga pasar sepanjang hari menjual teh botol. Dalam lelah tanpa ada satupun prospek pembeli, kamu memberiku teh botol tanpa meminta uang kepadaku. Ketika aku bingung bayar uang kuliah , kamu memberikan uang tabunganmu. Ketika aku sakit, kamu menjengukku dan merawatku dengan uangmu. Kamu terlalu baik, Suci.
“ Aku harus berhenti kuliah. Ini membosankan. Aku tidak butuh titel. Tidak Ci.” Itu kataku suatu ketika setelah setahun hubungan kita yang semakin dekat.

Kulihat Suci terdiam dalam keterkejutannya. Dia hanya menahan kecewanya dengan menundukkan kepala.  Apakah Suci setelah ini akan pergi meninggalkanku. Mungkinkah itu ? oh, Jangan Suci. Kalau kau benar benar mencintaiku , tolong juga maklumi pilihanku. Ya, kan. Suci tetap diam. Benarlah setelah diam nya beberapa saat, diapun pergi. Tinggal aku sendiri. Banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu , Suci tapi apakah kamu bisa mengerti. Tentu kamu bisa mengerti karena kamu cukup cerdas dan memahami perasaanku terdalam. Benar katamu bahwa jadi sarjana dan kemudian jadi PNS adalah pilihan yang aman. Dan lagi Pegawai negeri adalah profesi mulia dan hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pejabat. Masalahnya aku tak ingin menjadi segelintir orang itu ? Aku ingin menjadi orang kebanyakan. Tentu banyak profesi yang bisa dikatakan mulia. Bukan hanya PNS. Mei seakan membantah itu. Seperti dialogh ku sebelumnya dengannya.

“ Ya Hidup sebagai pengusaha juga tidak lebih buruk. Memang tidak sehebat PNS tapi setidaknya penghasilannya lebih besar dibandingkan PNS dengan sepuluh tahun pengalaman kerja. Kita bisa bebas dan merdeka untuk tidak dibawah kendali orang. Apakah ada yang lebih baik hidup ini selain kemerdekaan itu sendiri. ? “

"Memulai bisnis bukan hal yang  mudah. Siapa kamu? Kamu terlahir dari keluarga miskin. Jangan terlalu bermimpi.Hadapi kenyataan” Itulah yang selalu diulang ulang oleh Suci. 

Tapi pikiranku sudah bulat. Berhenti kuliah. Mungkin Suci juga berhenti menjadi kekasihku. Sakit dan sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai hanya karena perbedaan prinsip. Bukankah cinta itu alat ampuh untuk saling memaklumi dan meredam perbedaan, apalagi soal prinsip. Ya, keliatannya hubunganku dengan Suci tak lebih hubungan percintaan ala kapitalis. Selagi tidak menguntungkan sesuai pemikirannya maka hubungan tak perlu dilanjutkan.  Aku yakin Suci tidak akan merasa berdosa , apalagi kecewa bila harus menjauh dariku.  Tapi bagaimana denganku ? 

Benarlah beberapa minggu kemudian, Suci tidak lagi nampak berjualan di pojok pasar. Behari hari ku nanti kedatangannya di pasar itu, tetapi dia tidak pernah nampak lagi. Kudatangi tempat tinggalnya, menurut tantenya dia kembali ke Pontinak. Mungkin menikah. 

Sejak itu aku tak ingin lagi mencari wanita lain. Aku lebih focus dengan bisnis yang sedang kurintis. Kalau ada wanita yang bersedia dengan keadaanku, maka itulah jodohku. Siapapun itu. Tak penting cantik seperti Suci.

***
Aku melangkah keluar kamar. Menuju cafe and Bar Panninsula Hotel. Tahun telah berganti. Suasana cafe masih ramai pengunjung. Mataku mengarah ke table dimana seorang wanita duduk sendirian. Jantungku terasa berhenti. “ Kau…” desisku tertahan saat menatapnya. Perempuan yang barusan ada dalam lamunanku. Setelah 24 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat dia tersenyum kearahku.  Suci kini ada dihadapanku. Ya Suciku. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata Suci menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu bagaikan salju. Butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. 

Suci memelukku dan merebahkan kepalanya didadaku. Hangat. Aku hanya diam tanpa ada keberanian membalas pelukannya. Aroma rambutnya begitu semerbak. Bukan itu, tapi itu aroma yang dulu pernah hadir dalam hidupku...dulu sekali. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. 
“ Kamu sehat, Ci “
Suci tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra.

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut Suci bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Di Beijing menjelang pagi, 24 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau nampak masih berlum terlalu tua…” sapanya.

”Udah diatas 40 usiaku. Tepatnya 43 tahun. Dan kau juga masih tetap cantik ?” Kataku. 

Ia menggeleng. 

”Aku tidak muda lagi. udah 40 tahun…” katanya dengan senyumnya yang dulu. Tak berubah.

”Semua kita menua, Ci” sambutku meyakinkan dia semua orang menua namun persahabatan tak akan lekang oleh waktu.

”Aku kangen, kamu. Kangen sekali..?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih suka ke Pasar dulu ketika kita sering bersama…” kataku menunduk.

”Sudah lama aku tidak kesana. Entah kapan kali terakhir kesana.”

“ Ada apa Ci? Apa yang terjadi dalam 24 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai lagu “ always on my mind ?” tanya Suci.

”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak gadis yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” kata Suci dengan suara tertahan kerinduan dan air mata.

”Tentu kau sudah melupakanku…”

”Iya..tepatnya 10 tahun sejak berpisah dengan mu. Namun setelah itu setiap bangun tidur pagi, wajahmu terus terbayang, sampai kini…”

”Kamu baik baik saja, Ci?”

Suci mengangguk. 

Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi piaran pengusaha kaya. Menenaminya kemana mana, bahkan sebagian besar negara didunia telah aku kunjungi. Tapi itu hanya sebentar. Cepat sekali berlalu..” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. 

Kami sama-sama terdiam. 

Ia bercerita tentang masa lalunya. Ia tidak pernah menikah tapi punya sorang anak laki laki.

”Aku datang kesini bersama pria. Dia sedang mendengkur di kamar. Namun aku tetap sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut. ”Ada banya pria tempatmu berlabuh. Selalu ada untuk mu Ci ?” ucapku dengan tersenyum

Suci merunduk. Diam. 

”Aku datang ke sini diajak berlibur dan menghibur pria. Akhirnya takdir mempertemukan kita lagi disini." 

Kami kembali terdiam. Kemudian terdengar suara Suci dengan lembut " Ceritakan tentang kamu. Aku ingin tahu...boleh kan ”

" Aku memulai hidupku dengan sangat keras. Berkali kali aku membangun usaha berkali kali juga jatuh. Namun jatuh atau bangun ,tidak membuat aku berubah. Ya, aku tidak punya pilihan karena memang no way return. Aku harus terus melangkah. Aku menikmati proses hidup ku bagaikan ulat berusaha keluar dari kepompong untuk menjadi kupu kupu yang indah. Hambatan dan kegagalan tidak membuat aku kalah dan lelah tapi semakin membuat aku bijak. Bisnis tidak membuat aku bangga. Tidak. Namun dengan bisnis yang ada, setidaknya aku diperlukan oleh istri dan anakku, orang tuaku, keluarga besarku, serta sahabatku. 

”Kamu sudah berkeluarga ?” sela Suci

”Sudah. Sudah 15 tahun usia pernikahan kami. Kini punya anak dua.”

“ Wanita yang beruntung” Wajah suci murung. " Bagaimana dengan bisnis mu ?sambungnya

“ Bisniku memang berkembang di banyak negara. Walau kehidupanku bergaul dengan banyak orang hebat tapi aku tetap seperti dulu.Tidak ada yang berubah.Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…hanya masalah waktu”

Aku sedih karena melihat Suci ku nampak lelah dan menua..Kutatap wajahnya. Ada goretan kelelahan dan tentu harapan akan pertemuan ini. Apa yang harus kukatakan kepada dia? Kepada Suci ku...

“ Di usia ku kini aku tak mau lagi berpikir memaknai bahagia itu apa. Aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dalam realitas hidupku. Karena inilah sebaik baiknya untuk ku. Apapun pilihanku telah kucoba lakukan namun yang terjadi ternyata kehendak Allah juga yang berlaku. Kita hanyalah hamba Alllah yang diberi tugas melewati rentang waktu seperti scenario Tuhan. Kamu bertemu dengan pilihanmu dan akhirnya tetap sendiri. Akupun melangkah sesuai pilihanku sebagai pengusaha, dan berkeluarga”

Suci menunduk. 

“ Memang tidak seharusnya kita bertemu bila harus berpisah namun juga tidak seharusnya disesali yang telah terjadi. Mahal sekali pelajaran hidup kita. Sementara sang waktu terus bergerak kedepan. Rambut semakin memutih dan gigi semakin goyah. Langkahpun semakin lemah. “ Ucap Suci.

" Tak ada cara terbaik dalam hidup ini kecuali bertobat. Dan bersiap siap untuk pulang keharibaanNya.' kataku.

" Aku selalu mencintaimu walau ragaku dimiliki orang lain." katanya memelas.

" Kamu akan selalu baik baik saja. " kataku merangkulnya. " Jaga diri baik baik ya Ci " sambungku seraya berlalu dari hadapannya.

Semoga dia mendapatkan hikmah dari pertemuan kami. Tentu Allah yang mengatur ini semua setelah rentang waktu 24 tahun terpisah. Untuk memberikan jawaban atas rahasia pilihan hidup kami dulu ketika remaja. Kita memang bebas memilih yang kita suka namun Allah pun bebas menentukan. Nasip buruk yang terjadi, tak bahagia dan menderita, bukanlah karena pilihan kita tapi karena kita tidak pernah ikhlas menerima kenyataan itu. Setidaknya dalam hidupku, Tuhan pertemukan aku dengan wanita yang bersedia menjadi istriku, dan tidak pernah pergi meninggalkanku dalam kondisi apapun. Kemanapun aku pergi dia selalu setia menantiku pulang. Dan Suci sudah menentukan sikapnya ketika dulu aku berhenti kuliah, dia meninggalkanku. Semoga kamu paham ya Ci..

Siluet kekuasaan dan kemiskinan.

  “ Mengapa kapitalisme disalahkan ? tanya Evina saat meeting di kantor Yuan. Dia CEO pada perusahaan di Singapore. Dia sangaja datang ke J...