Thursday, May 07, 2020

Doa kami...




Saya bertemu dengan teman lama di Bandara. Walau kami jarang bertemu namun setiap saya ingat akan dia, saya selalu mendoakan dia. Kenangan dengan teman ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup.  Saya teringat 30 tahun lalu. Ketika itu usia saya 21 tahun dan dia 25 tahun. Kedekatan saya dengan dia karena satu kelompok pengajian Tarikat. Kegiatan pengajian ini dilakukan dari masjid ke masjid. Kadang diadakan juga dirumah. Kegiatan pengajian kami tidak berafiliasi dengan ormas Islam dan tidak terlibat dalam aktifita politik. 

Walau ketika itu banyak kekuatan ormas islam bawah tanah yang berjuang untuk tegaknya negara Islam namun kami tidak terpengaruh. Padahal ketika itu hubungan antara umat islam dan Pemerintah sedang memanas karena dipicu oleh wacana akan di berlakukannya asas tunggal Pancasila. Kesan yang saya dengar memang di setiap masjid dan Mushalla setiap hari ada saja pengajian dengan mengundang ulama beraliran keras yang memang ahli mengagitasi umat untuk bergerak membela nama Allah dalam  perjuangan Jihad. 

Ketika itu ( 1984) saya dan teman itu berangkat ke Tanjung Priok bukan untuk pengajian tapi di dorong rasa ingin tahu ada apa sebenarnya. Karena tersiar kabar beberapa kelompok aktifis islam yang ada disekitar  Jakarta, Bogor dan Banten telah berdatangan ke Tanjung Priok, dengan maksud memberikan dukungan moral agar ulama yang di tahan Polisi karena pertikaian membela kehormatan masjid dapat di bebaskan.

Seusai sholat Jumat, massa mulai bergerak kearah pos Polisi Pocis Tanjung Priok dengan tujuan membebaskan ulama. Namun  entah mengapa ditengah kerumunan massa saya memperhatikan disebelah saya ada anak muda seusia saya dipunggungnya nampak ada yang menonjol dan ketika saya ikut berdesakan dengannya saya merasakan dibalik jaket levisnya itu adalah senjata mesin Serbu. Teman saya membisikan kepada saya bahwa sebaiknya kami keluar dari kerumunan karena intel Tentara sudah ada didalam kerumunan massa. Saya dan teman segera keluar dari kerumunan massa yang diperkirakan jumlahnya ribuan itu. Dengan susah payah kami berhasil keluar dari kerumunan itu. Saya dan teman langsung kembali ke Tanah Abang. 

Dari cerita teman lain yang menyaksikan keributan Tanjung Priok bercerita kepada kami sebagai berikut. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan suara bergetar, “Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini”. Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, “Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?” Dijawab oleh massa, “Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !”

Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan bahan bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma’ Allah dan Al-Qur’an. Amir Biki berpesan, “Yang merusak bukan teman kita !”.  Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dilarang keluar dari markasnya oleh tentara). 

Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar aba-aba mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, lalu … astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah di padamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, datang konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.

Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil investigasi tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk peristiwa Tanjung priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Tapi menurut  teman saya yang selamat dari tembakan tentara mengatakan jumlah korban ribuan. Karena semua mereka yang duduk di jalan yang panjangnya lebih dari 2 KM  mati di tembaki oleh senjata mesin. 

Seminggu setelah itu, saya sedang ikut pengajian rutin di Masjid dikawasan Benhil di tangkap oleh aparat. Sempat merasakan 7 hari ditahan tapi rasanya seperti 7 abad. Karena 7 hari tidak ada hari tanpa siksaan. Semua tahanan ketika di periksa baik pria maupun wanita harus telanjang. Satu sama lain saling menyaksikan temannya disiksa. Dalam hati saya berdoa semoga ini tidak lagi terjadi kepada anak cucu saya. Semoga Allah memberikan ruang bagi anak cucu saya berjuang tanpa harus menerima kezoliman seperti ini. 

Sampai dua tahun setelah peristiwa pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan peristiwa 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat.  Bahkan selama dua tahun itu terjadi penangkapan  kepada kader kader dakwah yang militan. 

Hal yang membuat saya tidak pernah lupa dengan teman itu adalah ketika kami di Penjara. Dia meminta saya untuk berzikir dengan zikir Nabi Yunus ketika didalam perut ikan Paus, Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin. Mengapa? Dengan peristiwa ini jangan cepat berbaik sangka bahwa kita di posisi yang benar sehingga pantas mati sahid, jangan berprasangka bahwa sikap kita benar dan di ridhoi Allah sehingga pantas masuk sorga. Apapun musibah itu adalah cara Allah mengingatkan kita bahwa ada kesalahan yang kita perbuat.  Samahalnya ketika Rasul kalah dalam perang Uhud. 

Benarlah , dua hari saya tidak pernah berhenti berzikir di dalam hati dengan doa nabi Yunus , bahkan ketika di periksa.  Keesokannnya saya di bebaskan begitu saja,teman saya juga. Ada ribuan yang masih ditahan dan tidak tahu bagaimana nasipnya. Tidak ada satupun ormas islam yang ada diluar bergerak  untuk membela segelintir kami.Tidak ada.  

Sejak itu saya dan teman memilih fokus dengan hidup kami. Belakangan saya tahu teman itu menjadi pengusaha perkapalan yang sukses. Tahun 2002 saya bertemu dengan teman ini di Singapore. Dia berkata  bahwa ternyata doanya ketika dulu di penjara terkabulkan. Apa doa itu? semoga Allah memberikan zaman kebebasan kepada generasi anak anaknya tanpa bau amis darah. Saya tersenyum karena doanya sama dengan doa saya.

Kini era reformasi. Berkah tak terbilang bagi generasi muda untuk ambil bagian dalam perubahan kearah yang lebih baik,khususnya kearah perjuangan tegaknya keadilan. Di era reformasi ini semua golongan dan agama punya hak yang sama untuk menjadi pemenang. Jangan sampai fanatisme membuat kekuatan syiar islam meredub karena sifat keras hati, dengan menebarkan kebencian kepada mereka yang berbeda. Demokrasi harus di sikapi dengan cerdas. 


Berjuang tidak bisa seketika sukses. Semua kita harus berproses. Setidaknya mari merubah paradigma dalam berdakwah. Syiar islam harus  dilantunkan dalam karya nyata, bagaimana menjadi unggul dalam putaran waktu melalui program kemandirian ekonomi di tengah masyarakat. Membina mereka keluar dari lubang kemiskinan melalui pendekatan Tauhid agar kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas  di maknai sebagai ibadah.  Melalui program dakwah karya nyata, lambat laun kepemimpinan Islam di rasakan rakyat untuk tertib dalam barisan shap , menjadi sekumpulan lebah yang hanya memberikan manfaat bagi semua. Hanya dengan dakwah seperti itu, proyek sosial islam yang mengusung rahmat bagi semua akan teraktualkan sebagaimana Rasul mencontohkan di Madinah ratusan tahun lalu.

Menjadi laki laki







Pedagang bubur ayam itu setiap pagi pasti lewat depan rumah saya.  Kadang saya beli kadang hanya tersenyum saat dia berhenti menawarkan dagangannya. Dari wajahnya dan tubuh yang ringkih, mungkin usianya diatas 70 tahun. Namun menurut istri saya yang pernah bertanya, usianya 65  tahun.  Kehidupan yang tidak ramah membuat wajahnya boros. 


Satu waktu dia hentikan gerobak dorong dagangnya depan rumah saya. “ Pesan semangkok pak “ kata saya. Dia menoleh“ Biasanya ibu kalau pesan pakai mangkok dari rumah. ? katanya dengan ramah.


“ Sekarang pakai mangkok bapak aja. Saya makan di teras ini. “ Kata saya ambi posisi duduk di kursi  Dengan sigap dia serahkan mangkok berisi bubur ayam. 


“ Udah berapa lama dagang bubur ayam pak? tanya saya dengan tersenyum dan mempersilahkan dia duduk di kursi. Dengan ragu dia duduk” Udah setahun pak Haji. “ Katanya.


“ Tadi dagang apa ?


“ Tadi saya dagang kelapa di pasar tradisional. Tetapi akhirnya modal habis untuk ngobati istri saya. 


“ Sekarang istrinya sehat? tanya saya.


“ Sudah meninggal pak Haji” Katanya dengan raut wajah menahan kesedihan. Saya merasa bersalah mengingatkan duka kepadanya. “ Maafkan saya pak..moga ibu mendapatkan tempat disisi Tuhan dengan sebaik baiknya tempat” Kata saya.


“ Amin Ya Rob.” katanya dengan wajah sedih.


“ Punya anak ? tanya saya lagi.


“ Hanya semata wayang. Perempuan. Sudah menikah. Punya dua cucu saya dari dia  “ Katanya tersenyum.  “ Setelah istri saya meninggal. Rumah saya jual untuk bantu anak saya beli rumah di Tangerang. Itu pesan istri kepada saya sebelum dia meninggal. Sementara saya tinggal sendirian di Rumah kontrakan di Bogor. Tanpa usaha dan kerja. Hanya habiskan sisa uang jual rumah. “


“ Oh..” suara saya tersekat di tenggorokan. 


“ Mau tinggal sama anak kawatir memberatkan dia. Kehidupan dia juga tidak baik amat. Suaminya buruh pabrik “ Katanya kemudian dengan wajah sendu dan kelabu. Tentu ada alasan lain yang tidak mungkin dia ungkapkan mengapa sampai anaknya tidak mengajaknya tinggal bersama.


Saya larut dalam haru. Di hadapan saya ada pria yang seumur dengan saya. Di masa tuanya miskin dan kesendirian. Namun tetap punya rasa hormat untuk  tidak memaksakan kehendak tinggal sama anaknya. Dia memaklumi keadaan anaknya. Begitulah laki laki..


“ Rumah bapak kan di Bogor. Gimana bisa dagang di daerah Tangerang ? Tanya saya.


“ Tahun lalu mantu saya meninggal karena kecelakan motor.   Saat itu yang saya pikirkan cucu saya yang masih balita  dan anak perempuan saya. Gimana hidup mereka?. Saya sampaikan rencana dagang bubur ayam kepada anak saya. Hasilnya untuk biaya hidup dia. Setiap hari sebelum subuh yang masak bubur dia. Yang dagangin saya. Setidaknya dengan kedua tangan saya ini bisa berharap kedua cucu saya bisa sekolah tinggi. “ Katanya. Sekarang dia tampak  bersemangat.


Saya termenung. Di hadapan saya ada pria sebaya saya yang harus berjuang dibatas usia yang tidak muda lagi. Dia tidak mengeluh dan tetap focus kepada solusi lewat ikhtiar walau apa adanya. Dia tetap punya hope…


“ Pak Haji..” Terdengar teguran ke saya yang membuat lamunan saya buyar. “ Maaf, saya harus jalan lagi. “ Kata pedagan bubur itu. 


“ Sebentar pak..” Kata saya segera masuk ke dalam rumah. 

“ Ini uang bubur dan ini uang untuk kedua cucu bapak. “ Kata saya menyerahkan 30 lembar uang merah. 


“ Engga usah pak Haji..” katanya terkejut dan segera menolak uluran tangan saya saat menyerahkan uang itu. 


“ Ini uang untuk cucu bapak. Beri kesempatan saya membantu anak yatim. Itu perintah Tuhan, pak. “ Kata saya tersenyum ramah. Dia rangkul saya.  


Kewajiban sebagai laki laki ada lima. Yang pertama adalah sebagai pemimpin rumah tangga. Kedua adalah menjaga dan melindungi perempuannya: ibu,  istri, anak perempuan serta saudari perempuan. Ketiga, menolong handai tolan yang kekurangan agar mereka tidak terkena kufur akibat kemiskinan. Keempat, menolong tetangga dan anak yatim, serta orang miskin. Yang kelima, mendukung setiap kebaikan. Demikianlah amanah Tuhan kepada setiap laki laki. Berat memang. 


Karenanya Tuhan ciptakan bahu lelaki kuat agar mampu memikul beban, didominasi oleh akal daripada perasaan agar cerdas melewati semua cobaan. Jangan pernah berhenti bekerja keras. Bila hidup lapang berlebih jangan hedonis tapi tetaplah hidup sederhana dan focus kepada amanah Tuhan. Bila hasil dan peluh tak sebanding, jangan bersedih. Ingatlah setiap keringatmu untuk menafkahi keluargamu itu sangat bernilai di hadapan Tuhan. Tuhan menilai bukan dari hasil tetapi dari niatmu. Setiap tarikan nafasmu dalam kelelahan dan derita akan dihitung sebagai pahala dan kelak di akhirat itulah yang akan menolong.


Menjadi pria itu adalah berkah dan juga cobaan sepanjang usia. Menikah itu sama saja melaksanakan setengah kewajiban agama. Mengapa? Dari rumah tangga itulah kita dilatih menjadi pemimpin mengemban amanah Tuhan untuk menjadi sebaik baiknya kesudahan…

Cinta sang koruptor




Bejo seperti biasa tersenyum ketika aku parkir kendaraan di pelataran cafe. Dia hanya tukang parkir. Namun dia bukan preman. Dia bekerja untuk seorang preman, dan mendapat upah sepertiga dari hasil uang parkir yang dikumpulkannya. Bejo punya impian. Dia hanya butuh sedikit modal untuk dagang asongan. Setelah itu dia berharap punya gerobak sendiri untuk jual nasi goreng. Dan selanjutnya, berharap bisa buka warung dengan beberapa orang karyawan. Syukur bila itu semua bisa membawa ibunya ke Makkah. Aku hanya tersenyum mendengar impian Bejo. Terlalu naif bagi seorang Bejo yang  berharap terlalu banyak di kota kapitalis seperti Jakarta ini. Tapi Bejo yakin.

“ Jo” Seru ku “ Aku mau cerita tentang tamu ku yang aneh” sambungku sambil menanti cafe itu buka. 

“ Cerita aja. “

“ Sejak kali pertama bertemu tamu itu, aku seperti ditelungkupkan pada seraut kenangan. Aku tak tahu, mengapa aku tiba-tiba seperti direnggut perasaan aneh dan ganjil. Aku seketika jatuh cinta. Apa yang kusuka dari tamu itu? Jujur, dua tahun lalu, tatkala aku lulus dari kuliah. Aku masih luntang-lantung, belum mendapatkan pekerjaan layak, dan kerap tidur di rumah teman. Hingga akhirnya, kehidupanku berubah setelah aku bertemu dengan seorang lelaki yang benar-benar asing bagiku. Lelaki yang kemudian menjadikanku istri simpanan. Ia hampir memberiku apa yang aku butuhkan kecuali kepastian…. Ia bisa datang satu minggu sekali, kadang bisa satu bulan sekali, atau bahkan dua bulan sekali. Ia datang ketika butuh, dan ia tidak pernah datang ketika aku sedang menginginkan kehadirannya.

“ Gimana awalnya kamu ketemu dia.” Kata Bejo.

“ Setelah cinta pertama ku kadas oleh pria yang akhirnya menikah dengan wanita lain. Aku tak tahu, bagaimana semua itu bermula. Ia tiba-tiba duduk di sebelahku, ketika aku sedang berpangku tangan di sudut cafe. Ia tersenyum, lalu mengajakku bercengkerama. Di hadapannya, aku seperti hilang kesadaran. Ia lelaki biasa, tapi tatapan matanya membuatku luruh. Dalam sekejap, persendianku seperti dialiri getaran aneh yang menjalar ke setiap pori-pori. Mata tamu itu seperti hamparan laut, tenang dan meneduhkan. Setiap kali aku melihatnya, aku serasa ingin menyelam ke dalamnya….Aku tidak bisa berkata-kata dan ketika lelaki itu menawarkan kebaikan untuk mengantarku pulang, aku tak kuasa menolak. Sejak itulah, aku sering jatuh sakit ketika ia lama tidak mengunjungiku….

“ Aku tahu tamu yang kamu maksud.” 

“ Kok kamu tahu ?

“ Sepertinya aku pernah lihat wajahnya di koran pagi.”

“ Oh gitu. DI mataku, tak ada yang istimewa pada lelaki itu. Ia biasa saja—seperti umumnya tamu lain. Hanya saja, mata lelaki itu selalu memukau dan membuatku serasa di tepi danau. Setiap aku menatapnya, aku seperti melihat hamparan air yang tenang. Bahkan, ketika aku sudah lama tidak bertemu dengannya, aku…. entah kenapa bisa jatuh sakit. Aku tidak tahu, kenapa semua bisa tak masuk akal. Dan ketika ia menjengukku, perlahan sakitku pulih. Meski ia datang hanya diam, tak pernah banyak bercerita dan bersenda gurau. Tetapi, kedatangannya telah membuatku bisa tersenyum. Ah, lelaki ini benar-benar aneh."

”Aku tak yakin kamu bisa jatuh cinta, Dan juga tidak mungkin dia jatuh cinta…,” ucap Bejo dengan enteng.

Aku diam, dan seperti tidak mau mendengar apa yang Bejo katakan. Dan aku tahu, dia tak sanggup untuk memahamiku. 

“ Aku, entah kenapa, merasakan telah meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ia penuhi. Selama ini, memang tidak pernah ada kesepakatan antara kami. Apalagi, setelah aku tahu ia lelaki yang sudah beristri. Itulah yang membuatku tak pernah menuntut apa pun…

”Sekarang gimana setelah kamu tahu itu ?”

Aku terdiam. Teringat di suatu malam, lelaki itu terbaring tepat di sisiku, kemudian menyibak selimut dan meringkuk bagai sepotong daging dalam kulkas. Tubuhnya dingin dan hampa. Tetapi semua berjalan cepat. Lelaki itu selalu mengerjakannya dengan kilat, sekejap kemudian ia sudah tersengal. Aku mendengar lenguhan panjang dan setelah itu, ia berbaring lemas di balik selimut. Hingga kemudian, seperti yang sudah-sudah, dering telepon selalu membangunkan tidur nyenyaknya. Ia terbangun, buru-buru menyibak selimut, meraih handphone dan berjalan dengan gugup ke arah jendela. Kulihat sisa embun meruapkan basah di sebagian lempeng kaca jendela saat ia mendengarkan dengan syahdu suara di seberang. Aku tahu, dia sedang mengangkat telepon dari istrinya. Tapi aku tidak mendengar jelas: suaranya pelan setengah berbisik. Setelah hening, lelaki itu berkata pendek, ”Aku harus segera pulang.” Aku tak mungkin mencegahnya pergi."

" Oh..." Bejo seperti paham dan berempati.

“ Entahlah Jo. “

Bejo hanya tersenyum. “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.”

“ Jo, kamu jahat sekali. Segitunya kamu menilai saya.

“ Kenyataannya begitu.”

“ Kenapa ya Jo”

“ Wanita hanya sekali jatuh cinta selama hidupnya. Kalau ada cinta kedua atau ketiga, itu hanya karena keinginan untuk perlindungan rasa aman, seperti tersedianya kendaraan, ATM selalu ada isi, dan pakaian selalu baru, dan tempat kos daerah elite. Dan sekarang kamu bicara tentang cinta untuk itu semua ? Itu  bukan cinta. Itu hanya cara hidup rakus tanpa kerja keras dan pengorbanan.

“ Ah kamu, bisa aja Jo. Itu kan rezeki anak sholeh...”

" Apa yang kamu harapkan dari kemurahan seorang koruptor? Dia sudah mengkhianati negara dan juga keluarganya. Dia tidak akan pernah bisa mencintai siapapun kecuali dirinya sendiri. Apalagi dirimu?

***
Malam itu tamuku tidak jadi datang. Tanpa alasan yang jelas. Akupun tak ingin menghubunginya. 

“ Dia tidak akan datang , Mir “ Kata Bejo ketika aku akan masuk kedalam kendaraan.” 

“ Kok kamu tahu Jo”

“ Engga baca berita sore ? 

“ Ada apa ?

“ Tamu kamu di tangkap KPK. “

“ Ke tangkap tangan ya Jo”

“ ya begitu ceritanya.”

Aku terhempas lemas. Bagaimana dengan nasibku? Segala bayangan buruk datang menyelimuti pikiranku.  “ Sudah saatnya kamu kembali ke jalan Tuhan. “ Kata Bejo.

 Jangan petuahi aku perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Aku pasrah dijemput maut kapan saja, tapi aku enggan mau mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah aku dengan hidupku, Jo. Tolonglah sedikit empati disaat seperti ini.”

Aku terdiam dan menangis. Bejo ada benarnya. Kulajukan kendaraan menyusuri kemacetan Jakarta. Di tempat kos, aku menangis dalam kesendirian. Hujan di luar mungkin telah membuat banyak orang cemas karena tinggal di bantaran kali dan di rumah kumuh,, yang hanya masalah waktu akan didera banjir. Kemiskinan dan keterpurukan adalah ketidakadilan sistem. Dan itu hanya melahirkan kemakmuran diatas banyak penderitaan yang luput dicatat statistik. Sementara aku menikmati limpahan kemewahan dari  dana haram untuk pekerjaan haram. Kebodohanku adalah mempercayai cinta dari seorang koruptor. Tentu kebodohan rakyat yang mempercayakan kekuasaan kepada koruptor yang penuh retorika idealis dan bergaya humble. 

Benar kata bejo “ Kamu tidak pernah memiliki diri kamu sendiri. Tentu kamu tidak pernah tahu apa yang kamu lakukan itu benar atau salah.” Ya karena aku terjebak dengan kemanjaan dari sang koruptor. Bagiku itu pemberiaan besar tetapi sebenarnya uang receh bagi koruptor. Sama halnya uang Bansos. Toxin untuk bisa hidup struggle. Bagaimana dengan Bejo sendiri? Setidaknya dia punya impian dan memulainya dengan keringat halal dan tahu harga dirinya diperjuangkan melalui kerja keras tanpa menjauh dari Tuhan…

Tuhan telah tunaikan niat Tejo.




Sepuluh tahun di rantau. Sepuluh tahun jauh dari sanak keluarga. Sepuluh tahun dibawah gelombang jauh ketengah laut. Akhirnya akupun kembali kekampung ini. Tak ada perubahan berarti dikampung ini. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hingga tak membuatku asing untuk kembali. Pasar desa sudah diramaikan oleh suara musik dari toko penjual kaset. Wanita desa sudah banyak yang menggunakan baju gaya orang kota. Namun selebihnya adalah sama. Tak ada kemajuan. Itulah sekilas yang kutahu ketika menginjak kaki di senja hari. Didesaku , dimana aku dilahirkan.
“ Nah , Jono ,ya “ Terdengan suara sapa dari arah belakangku. Nampak wajah tua yang tersenyum dengan gigi yang menghitam.
“ Bu, Barijah ? Kataku pasti. Ya , Dia ibu dari sahabatku yang bersama sama denganku merantau ke kota.
“ Mana , Tejo. ? “ Tanyanya. Suara agak lambat. Namun wajahnya seakan menyiratkan cemas “ Belum sempat pulang ya..” Sambungnya. Kemudian matanya mengarah ketempat lain. Dia terduduk didekat pintu stasiun.
“ Bu..” Seruku sambil memegang bahunya “ Tejo sibuk sekali dikota. Dia belum sempat datang. “ Kataku membujuknya.
“ Tapi ada suratnya kan.”
Aku terkejut. Surat !
“ Ya , Ada. “ Secepatnya aku menjawab dan langsung mengeluarkan kertas dari dalam tasku. Sebetulnya itu bukan surat. Hanya secarik kertas yang hanya coretan tanganku. Tapi setidaknya ini dapat melepaskan rindunya kepada anaknya.. Diciumnya surat itu berkali kali dengan mata berbinar “ Bacakanlah untukku…tolong ya “ Kata Bu Barijah. Aku tahu dia tidak bisa membaca.
Akupun membacakan surat itu dengan karanganku sendiri. Kata demi kata meluncur dengan berat. Setiap gerak bibirku diperhatikan oleh Bu Barijah seperti dia sedang membayangkan Tejo didepannya. Usai membaca surat dia , tertawa dan tersenyum kepada kesemua orang yang ada didepan stasiun itu. “ Tejo akan pulang. Kalian dengar itu..Anakku akan pulang.” Suaranya agak meninggi kegirangan. Orang orang yang lalu lalang di stasiun hanya tersenyum. Ada juga yang melihat aneh kearah Bu Birjah. Tapi Bu Birjah tak peduli.

Sesampai dirumah. Ibu menyambut hangat kedatanganku.Begitupula dengan ayah dan adik adiku. Walau tak banyak uang yang kubawa namun kebahagiaan mereka dengan kehadiranku lebih dari segala galnya. Malamnya ibu berkata kepadaku “ Jo, Kamu bertemu dengan Barijah di stasiun ?
“ Ya, Mbok..”
“ Sudah hampir setahun dia selalu ada di stasiun menanti kedatangan Tejo. Kadang sampai ketiduran di Stasiun. Akhirnya dia tak mau lagi pergi meninggalkan stasiun. Semua orang menyangka Barijah sudah gila. Tapi dia tetap waras. Ibu tahu betul itu. Dia hanya rindu anaknya. Kapan ya Tejo pulang. Gimana kabarnya..”
“ Lantas siapa yang kasih dia makan. “
“ Orang orang yang ada di stasiun. Mereka iba dengan nasip Barijah yang punya anak tunggal yang pergi merantau dan juga menjada ditinggal mati oleh suami. “
Aku hanya terdiam. Bayanganku langsung kepada Tejo, sahabatku dari sejak kanak kanak. Kami memang tak pernah menyelesakan sekolai SLTA.Kami hanya tamat SLTP. Sebagai anak petani yang miskin ,memang kami tak berharap banyak dari orang tua. Ada rasa tanggung jawab untuk membahagiakan orang tua untuk sekali seumur hidup. Setidaknya itulah harapan Tejo untuk membawa ibunya ke Haji. Mungkin naïf rasanya bila berharap terlalu jauh nasip akan berubah bagi kami anak desa yang tak berpendidikan. Tapi , tekad sudah bulat. Kami harus meninggalkan desa. Sebelum berangkat sebetulnya Tejo agak berat langkahnya pergi meninggalkan ibunya. . Dia anak tunggal. Apalagi ayahnya sudah meninggal.
Terbayang wajah Bu Barijah melapas kepergian kami di stasiun kereta. Wajahnya nampak kawatir.Air matanya berlinang. Tak lepas pagutan matanya memandang kereta melaju sampai hilang ditikungan. Tejo nampak tegar. “ Aku harus segera kembali kedesa dengan sukses Jo. Aku ingin membahagiakan si Mbok. Syukur syukur aku bisa bawa si Mbok ke Mekah..” Itulah kata Tejo yang tak pernah kulupakan. Setelah menempuh perjalanan yang panjang. Akhirnya sampailah kami di kota. Sanak famili tak ada. Kecuali teman teman sekampung yang dituju. Itupun rata rata mereka hidup sangat serba terbatas. Tinggal dirumah reot ,dipinggir kali.
Di kota kami bekerja apa saja, Kadang jadi kuli bangunan. Kadang jadi pedagang asongan. Kadang jadi pengais sampah. Tak terasa waktu berlalu. Keakrapan bersama Tejo lambat laun semakin memudar. Tejo sudah jarang dapat ditemui. Belakangan yang kutahu dia sudah beristri dan tinggal di Tempat Pembuangan Sampah. Daerahnya cukup jauh dari tempat tinggalku.. Akupun sudah disibukan dengan hari hariku . Tapi batin ku tak pernah melupakan Tejo.
Suatu hari pada Jumat malam. Aku tersentak dari tidur ku. Aku bermimpi tentang Tejo. Dalam mimpiku tejo berkata “ Aku akan bersama sama si Mbok ke rumah Allah.” Paginya, aku langsung ke tempat Tejo tinggal. Setelah bersusah payah bertanya tempat tinggal Tejo, akhirnya aku dapat menemukannya. Tapi …apa yang kudapi. Tejo sudah dipanggil oleh Allah. Tadi malam tepatnya. Dia meninggalkan seorang Istri dan anak. Sebetulnya bukanlah istri sesungguhnya. Wanita itu seorang janda dengan satu anak yang tak jelas siapa bapaknya. Tejo melindungi janda itu dan menafkahinya.
“ Tejo ,orangnya baik sekali. Tak pernah sungkan untuk menolong siapapun. Tak pernah bertangkar dengan siapapun. Semua kami mencintainya. Pernah kami disini mau sokongan untuk mengobati penyakit paru parunya tapi dia menolak. Dia selalu tegar dengan penyakitnya. Entah apa yang membuat dia begitu tegarnya…” demikian teman temannya.
“ Lebih empat tahun dia melindungi saya. Selama itu dia tidak pernah menyentuh saya. Walau dalam sakit sekalipun dia tetap bekerja untuk menafkahi kami. Dia ingin sekali menikahi saya setelah dia dapat membawa ibunya pergi haji. Tapi….” Demikian wanita itu berkata tentang Tejo sahabatnya. Wajah wanita itu sembab karena lelah dalam kesedihan teramat dalam.
“ Jono…Kamu melamun ya..” Teguran ibu membuyarkan lamunanku.
“ Eh ya mbok. Oh , ya sejak kapan Bu Barijah mulai sering menanti di stasiun itu “ tanyaku
“ Sudah hampir setahun. Atau tepatnya ketika adik kamu menikah. Hari jumat malam. Ibu ingat betul itu. Karena malam itu dia datang ke rumah di tengah acara perkawinan. Dia bilang tak bisa lama lama karena harus menjemput Tejo di Stasiun untuk kereta sore..” . Oh itu tepat hari kematian Tejo.
Seusai makan malam aku sempatkan datang kestasiun untuk menemui Bu Barijah. Kedatangaku disambut hangat oleh Bu Barijah. Dia duduk dipinggir stasiun dengan tikar lusuh. Bajunya lusuh. Udara malam dibalutnya dengan sarung.
“ Jo.. terimakasih. Tadi Tejo sudah datang temui ibu. Dia sehat Jo. Dia peluk ibu. Dia ingin ajak ibu pergi kerumah Tuhan..”
“ Oh Ya bu..” aku pikir Bu Barijah sudah gila atau berhalusinasi karena kerinduan teramat dalam kepada Tejo.
“ Ya Jo. Dia datang kuda putih. Gagah sekali Jo. Ibu mau ikut Tejo..” Kata Bu Barijah nampak ceria.
“ Ya Mbok…”
“ Kamu jangan pergi dulu ya. Tejo sedang pergi sebentar. Dia janji akan jemput ibu..tunggu ya..”
Aku tak bisa berlama lama bersama Bu Barijah.Semakin lama aku disini bersamanya semakin tertekan jiwanya. Semakin dalam kerinduannya kepada Tejo. Karena bagi Bu Barijah aku dan Tejo adalah dua anak yang selalu lekat dalam pikirannya. Apalagi , waktu dulu ibu sedang sakit, Bu Barijah lah yang menyusuiku. Karena waktu kelahiran Tejo dan aku hanya berjarak dua hari. Akupun kembali kerumah dengan langkah berat. Ingin rasanya membawa Bu Barijah pulang. Ingin rasanya aku menyampaikan hal yang sebenarnya tetang Tejo yang sudah almarhum. Tapi semua itu tak bisa bibirku bergerak.
Pagi harinya. Suara diributkan oleh orang kampung yang mengabarkan bahwa Bu Barijah meninggal tadi malam di stasiun. Orang kampung, termasuk aku berlari ke stasiun untuk membawa jenazah Bu Barijah. Jasadnya yang membeku di stasiun itu, nampak dalam keadaan tersenyum bahagia sambil memegang erat kertas yang tadi kubacakan sebagai surat dari Tejo…
Aku terkesiap memandangi jasad Bu Barijah. Airmataku berjatuhan. Aku menangis sejadi jadinya. Ibu memelukku. “ Kabarkanlah kepada Tejo…” suara ibu berbisik kepadaku…

Tejo memang berhasil membawa ibunya kerumah Tuhan. Memang Tejo tak berharta. Dia Maskin. Namun Akhlaknya yang mulia melindungi seorang janda yang terabaikan dengan seorang anak terlantar adalah harta tak ternilai untuk membawa ibunya kerumah Tuhan dengan senyum. Allah tak melihat dari apa yang kita berikan kepada Ibu kita tapi seberapa jauh kasih sayang dan cinta kita dibalik pemberiaan itu , walau itu hanya sebatas niat yang tak tertunaikan .Selagi ada niat untuk berbakti kepada ibu , selagi akhlak mulia bertaburan dimuka bumi maka selama itupula seorang ibu pantas melahirkan kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah telah menunaikan niat Tejo .

Mencintai Ibu

“ Permisi mas “ kata wanita itu ketika hendak ke toilet terhalang oleh petugas cleaning service yang sedang bekerja di jalan menuju ke toilet. Ketika dia usai dari toilet, pria itu tersender di dinding dengan wajah pucat. Wanita itu meraba kening pria itu. Panas. Dia langsung memanggil satpam dan membawanya ke rumah sakit.  Wanita itu menjamin biaya berobat pria itu sampai dinyatakan sehat oleh petugas UGD.Menurut dokter, pria itu kena asam lambung. Wanita itu memberi ongkos pulang kepada pria itu. “ Terimakasih Mbak. “ 
“ Nama kamu Fathur ya ?
“ Ya Mbak. 
“ Ya udah hati hati ya di jalan. istirahat dan makan yang cukup. “ Katanya. Dia kembali ke kantor tapi rencana meeting jadi tertunda. Deal yang sudah depan mata gagal. 

Bertahun tahun kemudian, wanita itu tidak juga berhasil dalam karirnya sebagai petugas sales. Padahal dia sudah bekerja keras dan focus. Hasilnya hanya cukup untuk makan dan bayar sewa rumah tanpa bisa menabung. Usia sudah diatas 30 tahun. Tidak ada pria yang serius untuk meminangnya walau dia berkali kali menjalin hubungan. Sepertinya sukses sebagai sales sama sulitnya dengan menjalin hubungan dengan pria. Maklum dia wanita dari keluarga miskin. 

“ Mbak …” terdengar suara panggilan dari dalam kendaraan mewah yang berhenti tepat disampingnya yang sedang menanti kendaraan di halte. Dari dalam kendaraan keluar pria gagah berdasi. “ Masih ingat saya..” Kata pria itu.
Dia berusaha mengingat. “ Ah, kamu dik fathur kan.” 
“ Ya mbak. Mau kemana ?
“ Mau pulang.”
“ Kemana jurusannya?
“ Bekasi.”
“ Saya antar ya. “
“ Loh engga ngerepotin.”
“ Kebetulan kita satu arah. “

Pria itu bercerita perjalan hidupnya sampai dia sukses seperti sekarang. Dulu waktu dia bekerja sebagai cleaning service, itu dia sedang menyelesaikan tugas akhir S1 nya. Tetapi karena keluarganya miskin dan ayahnya meninggal, dia terpaksa cuti kuliah untuk kerja  terlebih dahulu. Tahun 1998 banyak perkebunan sawit PIR ditelantarkan oleh konglomerat. Dia diajak temannya bekerja di daerah di perusahaan yang  mengelola kebun sawit milik petani dan membantu memasarkannya. Dia berhasil kerjasama dengan PTP untuk membantu proses pemasaran hasil kebun petani namun dengan syarat dia harus mendapatkan mitra buyer. Bersama temannya dia berangkat ke Singapore untuk mendapatkan mitra dari trader CPO. Nasip baik datang. Ada trader yang mau jadi mitranya. Sejak itulah usaha tempat dia bekerja berkembang. 

Mitranya dari Singapore memberi kepercayaan untuk akuisisi kebun sawit yang macet di BPPN. Diapun dapat saham dan bermitra dengan trader CPO Singapore. Hidupnya berubah. Sekarang dia punya puluhan ribu hektar kebun sawit dan empat pabrik kelapa sawit. Bersama teman temanya dia membuka usaha dibidang property dan pertambangan.  Wanita itu tidak bisa membayangkan pria yang tadinya dia kenal sebagai cleaning service, 10 tahun kemudian sudah jadi pengusaha besar. Reformasi memang banyak menenggelamkan pengusaha lama dan melahirkan banyak pengusaha baru. 

Keesokannya pria itu telp wanita itu untuk bertemu kembali. Pria itu membawa wanita itu kerumahnya yang megah dikawasan mewah. Dia terpesona. “ Kamu belum menikah, Fathur ?
“ Belum mbak. Gimana dengan mbak ?
“ Saya juga belum. Mengapa kamu belum menikah. Bukankah kamu punya segala galanya?
“ Saya tidak akan menikah kalau mamak saya tidak mau tinggal dirumah saya. “
“ Loh kenapa mamak kamu tidak mau tinggal bersama kamu?
“ Entahlah. Pening saya. Bisa bantu saya untuk yakinkan mamak saya.” 
“ Maksud kamu “
“ Mbak bilang, kalau mbak calon isri saya dan inginkan mamak saya tinggal bersama saya “
Wanita itu terdiam. Sandiwara apa ini. Mengapa harus memperdaya ibunya.
“ Bantu saya mbak.” kata pria itu memelas.
“ Ya udah. “
“ OK kalau begitu, besok pagi kita ke Medan. Temui mamak saya.”
***
“ Mak, ini calon istriku. Bukankah mamak janji akan ikut aku kalau aku punya istri.”
“ Mamak engga mau tinggal sama kau. Mamak sudah senang tinggal dirumah pemberian ayah kau.”
“ Tapi aku punya rumah besar di Jakarta. Aku ingin mamak senang dimasa tua mamak. Biar aku yang merawat mamak.
“ Aku disini senang.”
“ Tapi aku sulit untuk tiap minggu jumpa mamak. AKu sibuk. Mengertilah Mak. Ikut aku.”
“ Engga mau aku. Jangan kau paksa aku. Kalau kau sibuk, tidak perlu tengok mamak “

Wanita itu terdiam. Dia tidak mampu melihat wajah ibu dari pria itu. Wajah itu wajah kerinduan dan kesepian dari seorang ibu, yang punya anak tunggal, dan menjanda. Walau rumah ibunya dibangun mewah namun tidak membuat ibunya bahagia. Akhirnya mereka pulang tanpa bisa membujuk ibu pria itu.

Setelah setahun hubungan mereka semakin akrab. Kalau ada waktu senggang pria itu selalu menyempatkan waktu bertemu dengan wanita itu. Suatu saat pria itu berkata “ Waktu kali pertama melihat mbak, saya sudah jatuh cinta. Apalagi ketika tahu mbak membantu saya yang miskin. Sejak itu saya berjanji kalau saya jadi orang kaya, saya akan melamar mbak. Apakah mungkin? 

Wanita itu tidak menjawab. Berhari hari pria itu menanti jawaban dari wanita itu, yang akhirnya wanita itu menjawab “ Maaf, saya tidak bisa  menerima lamaran kamu.”
“ Mengapa ?
“ Kalau dengan ibu yang melahirkan kamu saja kamu tidak  bisa memahami kebutuhannya, bagaimana kamu bisa memahami saya. Bagaimana kamu bisa mendidik anak anakmu untuk mengerti saya. Apalagi kalau saya sudah tua”
“ Emang apa kebutuhan mamak saya “
“ Waktu dan perhatian kamu, bukan harta kamu. Itulah yang tidak bisa kamu delivery..” 

Wanita itu berlalu dari hadapan pria itu.

Hikmah cerita: Mencintai ibu bukan dengan uang dan harta tapi kita harus mampu menjaga perasaannya, yang kadang semakin tua semakin menuntut kita untuk semakin bersabar

Mengapa Hijrah ke China.

  Sore itu saya makan malam dengan Florence dan Yuni. Kebetulan Yuni ada business trip dari Hong Kong ke Jakarta. Yuni kini CFO Yuan Holding...