Thursday, May 07, 2020

Tuhan telah tunaikan niat Tejo.




Sepuluh tahun di rantau. Sepuluh tahun jauh dari sanak keluarga. Sepuluh tahun dibawah gelombang jauh ketengah laut. Akhirnya akupun kembali kekampung ini. Tak ada perubahan berarti dikampung ini. Sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Hingga tak membuatku asing untuk kembali. Pasar desa sudah diramaikan oleh suara musik dari toko penjual kaset. Wanita desa sudah banyak yang menggunakan baju gaya orang kota. Namun selebihnya adalah sama. Tak ada kemajuan. Itulah sekilas yang kutahu ketika menginjak kaki di senja hari. Didesaku , dimana aku dilahirkan.
“ Nah , Jono ,ya “ Terdengan suara sapa dari arah belakangku. Nampak wajah tua yang tersenyum dengan gigi yang menghitam.
“ Bu, Barijah ? Kataku pasti. Ya , Dia ibu dari sahabatku yang bersama sama denganku merantau ke kota.
“ Mana , Tejo. ? “ Tanyanya. Suara agak lambat. Namun wajahnya seakan menyiratkan cemas “ Belum sempat pulang ya..” Sambungnya. Kemudian matanya mengarah ketempat lain. Dia terduduk didekat pintu stasiun.
“ Bu..” Seruku sambil memegang bahunya “ Tejo sibuk sekali dikota. Dia belum sempat datang. “ Kataku membujuknya.
“ Tapi ada suratnya kan.”
Aku terkejut. Surat !
“ Ya , Ada. “ Secepatnya aku menjawab dan langsung mengeluarkan kertas dari dalam tasku. Sebetulnya itu bukan surat. Hanya secarik kertas yang hanya coretan tanganku. Tapi setidaknya ini dapat melepaskan rindunya kepada anaknya.. Diciumnya surat itu berkali kali dengan mata berbinar “ Bacakanlah untukku…tolong ya “ Kata Bu Barijah. Aku tahu dia tidak bisa membaca.
Akupun membacakan surat itu dengan karanganku sendiri. Kata demi kata meluncur dengan berat. Setiap gerak bibirku diperhatikan oleh Bu Barijah seperti dia sedang membayangkan Tejo didepannya. Usai membaca surat dia , tertawa dan tersenyum kepada kesemua orang yang ada didepan stasiun itu. “ Tejo akan pulang. Kalian dengar itu..Anakku akan pulang.” Suaranya agak meninggi kegirangan. Orang orang yang lalu lalang di stasiun hanya tersenyum. Ada juga yang melihat aneh kearah Bu Birjah. Tapi Bu Birjah tak peduli.

Sesampai dirumah. Ibu menyambut hangat kedatanganku.Begitupula dengan ayah dan adik adiku. Walau tak banyak uang yang kubawa namun kebahagiaan mereka dengan kehadiranku lebih dari segala galnya. Malamnya ibu berkata kepadaku “ Jo, Kamu bertemu dengan Barijah di stasiun ?
“ Ya, Mbok..”
“ Sudah hampir setahun dia selalu ada di stasiun menanti kedatangan Tejo. Kadang sampai ketiduran di Stasiun. Akhirnya dia tak mau lagi pergi meninggalkan stasiun. Semua orang menyangka Barijah sudah gila. Tapi dia tetap waras. Ibu tahu betul itu. Dia hanya rindu anaknya. Kapan ya Tejo pulang. Gimana kabarnya..”
“ Lantas siapa yang kasih dia makan. “
“ Orang orang yang ada di stasiun. Mereka iba dengan nasip Barijah yang punya anak tunggal yang pergi merantau dan juga menjada ditinggal mati oleh suami. “
Aku hanya terdiam. Bayanganku langsung kepada Tejo, sahabatku dari sejak kanak kanak. Kami memang tak pernah menyelesakan sekolai SLTA.Kami hanya tamat SLTP. Sebagai anak petani yang miskin ,memang kami tak berharap banyak dari orang tua. Ada rasa tanggung jawab untuk membahagiakan orang tua untuk sekali seumur hidup. Setidaknya itulah harapan Tejo untuk membawa ibunya ke Haji. Mungkin naïf rasanya bila berharap terlalu jauh nasip akan berubah bagi kami anak desa yang tak berpendidikan. Tapi , tekad sudah bulat. Kami harus meninggalkan desa. Sebelum berangkat sebetulnya Tejo agak berat langkahnya pergi meninggalkan ibunya. . Dia anak tunggal. Apalagi ayahnya sudah meninggal.
Terbayang wajah Bu Barijah melapas kepergian kami di stasiun kereta. Wajahnya nampak kawatir.Air matanya berlinang. Tak lepas pagutan matanya memandang kereta melaju sampai hilang ditikungan. Tejo nampak tegar. “ Aku harus segera kembali kedesa dengan sukses Jo. Aku ingin membahagiakan si Mbok. Syukur syukur aku bisa bawa si Mbok ke Mekah..” Itulah kata Tejo yang tak pernah kulupakan. Setelah menempuh perjalanan yang panjang. Akhirnya sampailah kami di kota. Sanak famili tak ada. Kecuali teman teman sekampung yang dituju. Itupun rata rata mereka hidup sangat serba terbatas. Tinggal dirumah reot ,dipinggir kali.
Di kota kami bekerja apa saja, Kadang jadi kuli bangunan. Kadang jadi pedagang asongan. Kadang jadi pengais sampah. Tak terasa waktu berlalu. Keakrapan bersama Tejo lambat laun semakin memudar. Tejo sudah jarang dapat ditemui. Belakangan yang kutahu dia sudah beristri dan tinggal di Tempat Pembuangan Sampah. Daerahnya cukup jauh dari tempat tinggalku.. Akupun sudah disibukan dengan hari hariku . Tapi batin ku tak pernah melupakan Tejo.
Suatu hari pada Jumat malam. Aku tersentak dari tidur ku. Aku bermimpi tentang Tejo. Dalam mimpiku tejo berkata “ Aku akan bersama sama si Mbok ke rumah Allah.” Paginya, aku langsung ke tempat Tejo tinggal. Setelah bersusah payah bertanya tempat tinggal Tejo, akhirnya aku dapat menemukannya. Tapi …apa yang kudapi. Tejo sudah dipanggil oleh Allah. Tadi malam tepatnya. Dia meninggalkan seorang Istri dan anak. Sebetulnya bukanlah istri sesungguhnya. Wanita itu seorang janda dengan satu anak yang tak jelas siapa bapaknya. Tejo melindungi janda itu dan menafkahinya.
“ Tejo ,orangnya baik sekali. Tak pernah sungkan untuk menolong siapapun. Tak pernah bertangkar dengan siapapun. Semua kami mencintainya. Pernah kami disini mau sokongan untuk mengobati penyakit paru parunya tapi dia menolak. Dia selalu tegar dengan penyakitnya. Entah apa yang membuat dia begitu tegarnya…” demikian teman temannya.
“ Lebih empat tahun dia melindungi saya. Selama itu dia tidak pernah menyentuh saya. Walau dalam sakit sekalipun dia tetap bekerja untuk menafkahi kami. Dia ingin sekali menikahi saya setelah dia dapat membawa ibunya pergi haji. Tapi….” Demikian wanita itu berkata tentang Tejo sahabatnya. Wajah wanita itu sembab karena lelah dalam kesedihan teramat dalam.
“ Jono…Kamu melamun ya..” Teguran ibu membuyarkan lamunanku.
“ Eh ya mbok. Oh , ya sejak kapan Bu Barijah mulai sering menanti di stasiun itu “ tanyaku
“ Sudah hampir setahun. Atau tepatnya ketika adik kamu menikah. Hari jumat malam. Ibu ingat betul itu. Karena malam itu dia datang ke rumah di tengah acara perkawinan. Dia bilang tak bisa lama lama karena harus menjemput Tejo di Stasiun untuk kereta sore..” . Oh itu tepat hari kematian Tejo.
Seusai makan malam aku sempatkan datang kestasiun untuk menemui Bu Barijah. Kedatangaku disambut hangat oleh Bu Barijah. Dia duduk dipinggir stasiun dengan tikar lusuh. Bajunya lusuh. Udara malam dibalutnya dengan sarung.
“ Jo.. terimakasih. Tadi Tejo sudah datang temui ibu. Dia sehat Jo. Dia peluk ibu. Dia ingin ajak ibu pergi kerumah Tuhan..”
“ Oh Ya bu..” aku pikir Bu Barijah sudah gila atau berhalusinasi karena kerinduan teramat dalam kepada Tejo.
“ Ya Jo. Dia datang kuda putih. Gagah sekali Jo. Ibu mau ikut Tejo..” Kata Bu Barijah nampak ceria.
“ Ya Mbok…”
“ Kamu jangan pergi dulu ya. Tejo sedang pergi sebentar. Dia janji akan jemput ibu..tunggu ya..”
Aku tak bisa berlama lama bersama Bu Barijah.Semakin lama aku disini bersamanya semakin tertekan jiwanya. Semakin dalam kerinduannya kepada Tejo. Karena bagi Bu Barijah aku dan Tejo adalah dua anak yang selalu lekat dalam pikirannya. Apalagi , waktu dulu ibu sedang sakit, Bu Barijah lah yang menyusuiku. Karena waktu kelahiran Tejo dan aku hanya berjarak dua hari. Akupun kembali kerumah dengan langkah berat. Ingin rasanya membawa Bu Barijah pulang. Ingin rasanya aku menyampaikan hal yang sebenarnya tetang Tejo yang sudah almarhum. Tapi semua itu tak bisa bibirku bergerak.
Pagi harinya. Suara diributkan oleh orang kampung yang mengabarkan bahwa Bu Barijah meninggal tadi malam di stasiun. Orang kampung, termasuk aku berlari ke stasiun untuk membawa jenazah Bu Barijah. Jasadnya yang membeku di stasiun itu, nampak dalam keadaan tersenyum bahagia sambil memegang erat kertas yang tadi kubacakan sebagai surat dari Tejo…
Aku terkesiap memandangi jasad Bu Barijah. Airmataku berjatuhan. Aku menangis sejadi jadinya. Ibu memelukku. “ Kabarkanlah kepada Tejo…” suara ibu berbisik kepadaku…

Tejo memang berhasil membawa ibunya kerumah Tuhan. Memang Tejo tak berharta. Dia Maskin. Namun Akhlaknya yang mulia melindungi seorang janda yang terabaikan dengan seorang anak terlantar adalah harta tak ternilai untuk membawa ibunya kerumah Tuhan dengan senyum. Allah tak melihat dari apa yang kita berikan kepada Ibu kita tapi seberapa jauh kasih sayang dan cinta kita dibalik pemberiaan itu , walau itu hanya sebatas niat yang tak tertunaikan .Selagi ada niat untuk berbakti kepada ibu , selagi akhlak mulia bertaburan dimuka bumi maka selama itupula seorang ibu pantas melahirkan kita untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah telah menunaikan niat Tejo .

Mencintai Ibu

“ Permisi mas “ kata wanita itu ketika hendak ke toilet terhalang oleh petugas cleaning service yang sedang bekerja di jalan menuju ke toilet. Ketika dia usai dari toilet, pria itu tersender di dinding dengan wajah pucat. Wanita itu meraba kening pria itu. Panas. Dia langsung memanggil satpam dan membawanya ke rumah sakit.  Wanita itu menjamin biaya berobat pria itu sampai dinyatakan sehat oleh petugas UGD.Menurut dokter, pria itu kena asam lambung. Wanita itu memberi ongkos pulang kepada pria itu. “ Terimakasih Mbak. “ 
“ Nama kamu Fathur ya ?
“ Ya Mbak. 
“ Ya udah hati hati ya di jalan. istirahat dan makan yang cukup. “ Katanya. Dia kembali ke kantor tapi rencana meeting jadi tertunda. Deal yang sudah depan mata gagal. 

Bertahun tahun kemudian, wanita itu tidak juga berhasil dalam karirnya sebagai petugas sales. Padahal dia sudah bekerja keras dan focus. Hasilnya hanya cukup untuk makan dan bayar sewa rumah tanpa bisa menabung. Usia sudah diatas 30 tahun. Tidak ada pria yang serius untuk meminangnya walau dia berkali kali menjalin hubungan. Sepertinya sukses sebagai sales sama sulitnya dengan menjalin hubungan dengan pria. Maklum dia wanita dari keluarga miskin. 

“ Mbak …” terdengar suara panggilan dari dalam kendaraan mewah yang berhenti tepat disampingnya yang sedang menanti kendaraan di halte. Dari dalam kendaraan keluar pria gagah berdasi. “ Masih ingat saya..” Kata pria itu.
Dia berusaha mengingat. “ Ah, kamu dik fathur kan.” 
“ Ya mbak. Mau kemana ?
“ Mau pulang.”
“ Kemana jurusannya?
“ Bekasi.”
“ Saya antar ya. “
“ Loh engga ngerepotin.”
“ Kebetulan kita satu arah. “

Pria itu bercerita perjalan hidupnya sampai dia sukses seperti sekarang. Dulu waktu dia bekerja sebagai cleaning service, itu dia sedang menyelesaikan tugas akhir S1 nya. Tetapi karena keluarganya miskin dan ayahnya meninggal, dia terpaksa cuti kuliah untuk kerja  terlebih dahulu. Tahun 1998 banyak perkebunan sawit PIR ditelantarkan oleh konglomerat. Dia diajak temannya bekerja di daerah di perusahaan yang  mengelola kebun sawit milik petani dan membantu memasarkannya. Dia berhasil kerjasama dengan PTP untuk membantu proses pemasaran hasil kebun petani namun dengan syarat dia harus mendapatkan mitra buyer. Bersama temannya dia berangkat ke Singapore untuk mendapatkan mitra dari trader CPO. Nasip baik datang. Ada trader yang mau jadi mitranya. Sejak itulah usaha tempat dia bekerja berkembang. 

Mitranya dari Singapore memberi kepercayaan untuk akuisisi kebun sawit yang macet di BPPN. Diapun dapat saham dan bermitra dengan trader CPO Singapore. Hidupnya berubah. Sekarang dia punya puluhan ribu hektar kebun sawit dan empat pabrik kelapa sawit. Bersama teman temanya dia membuka usaha dibidang property dan pertambangan.  Wanita itu tidak bisa membayangkan pria yang tadinya dia kenal sebagai cleaning service, 10 tahun kemudian sudah jadi pengusaha besar. Reformasi memang banyak menenggelamkan pengusaha lama dan melahirkan banyak pengusaha baru. 

Keesokannya pria itu telp wanita itu untuk bertemu kembali. Pria itu membawa wanita itu kerumahnya yang megah dikawasan mewah. Dia terpesona. “ Kamu belum menikah, Fathur ?
“ Belum mbak. Gimana dengan mbak ?
“ Saya juga belum. Mengapa kamu belum menikah. Bukankah kamu punya segala galanya?
“ Saya tidak akan menikah kalau mamak saya tidak mau tinggal dirumah saya. “
“ Loh kenapa mamak kamu tidak mau tinggal bersama kamu?
“ Entahlah. Pening saya. Bisa bantu saya untuk yakinkan mamak saya.” 
“ Maksud kamu “
“ Mbak bilang, kalau mbak calon isri saya dan inginkan mamak saya tinggal bersama saya “
Wanita itu terdiam. Sandiwara apa ini. Mengapa harus memperdaya ibunya.
“ Bantu saya mbak.” kata pria itu memelas.
“ Ya udah. “
“ OK kalau begitu, besok pagi kita ke Medan. Temui mamak saya.”
***
“ Mak, ini calon istriku. Bukankah mamak janji akan ikut aku kalau aku punya istri.”
“ Mamak engga mau tinggal sama kau. Mamak sudah senang tinggal dirumah pemberian ayah kau.”
“ Tapi aku punya rumah besar di Jakarta. Aku ingin mamak senang dimasa tua mamak. Biar aku yang merawat mamak.
“ Aku disini senang.”
“ Tapi aku sulit untuk tiap minggu jumpa mamak. AKu sibuk. Mengertilah Mak. Ikut aku.”
“ Engga mau aku. Jangan kau paksa aku. Kalau kau sibuk, tidak perlu tengok mamak “

Wanita itu terdiam. Dia tidak mampu melihat wajah ibu dari pria itu. Wajah itu wajah kerinduan dan kesepian dari seorang ibu, yang punya anak tunggal, dan menjanda. Walau rumah ibunya dibangun mewah namun tidak membuat ibunya bahagia. Akhirnya mereka pulang tanpa bisa membujuk ibu pria itu.

Setelah setahun hubungan mereka semakin akrab. Kalau ada waktu senggang pria itu selalu menyempatkan waktu bertemu dengan wanita itu. Suatu saat pria itu berkata “ Waktu kali pertama melihat mbak, saya sudah jatuh cinta. Apalagi ketika tahu mbak membantu saya yang miskin. Sejak itu saya berjanji kalau saya jadi orang kaya, saya akan melamar mbak. Apakah mungkin? 

Wanita itu tidak menjawab. Berhari hari pria itu menanti jawaban dari wanita itu, yang akhirnya wanita itu menjawab “ Maaf, saya tidak bisa  menerima lamaran kamu.”
“ Mengapa ?
“ Kalau dengan ibu yang melahirkan kamu saja kamu tidak  bisa memahami kebutuhannya, bagaimana kamu bisa memahami saya. Bagaimana kamu bisa mendidik anak anakmu untuk mengerti saya. Apalagi kalau saya sudah tua”
“ Emang apa kebutuhan mamak saya “
“ Waktu dan perhatian kamu, bukan harta kamu. Itulah yang tidak bisa kamu delivery..” 

Wanita itu berlalu dari hadapan pria itu.

Hikmah cerita: Mencintai ibu bukan dengan uang dan harta tapi kita harus mampu menjaga perasaannya, yang kadang semakin tua semakin menuntut kita untuk semakin bersabar

Pilihan...

Menjelang tahun baru aku stuck di Beijing. Sebentar lagi akan berganti tahun 2006.  Aku terkurung dalam kesendirian di Panninsula Hotel Beijing. Salju berjatuhan mengiringi kedatangan tahun baru. Sepanjang malam, aku termenung dalam melankolia. Dari jendela kamar hotel, aku lihat jalanan kota ramai. Kendaraan bergerak berselambat. Malam semakin larut. Tahunpun berganti. Bebunyian yang tersisa hanya deru kendaraan malam. Yang terlambat bangun. Yang melintasi malam bersama kerahasiaan tentang tujuan. Perjalananku sendiri lamat saja. 

Belum pernah kurasa amat sepi. Malam ini, kota seakan lelah, sebagaimana aku yang masih bertarung dengan waktu menggapai asa. Perjalanan hidupku mengajarkan tidak bisa tergesa gesa. Pelan adalah keselamatan. Menekuri ketelitian. Menghindari bakhil yang celaka. Semenjak beberapa tahun lampau. Ketika aku masuk dalam dunia bisnis. Aku tidak pernah tahu apa itu ulang tahun. Waktu aku habis dalam rapat bisnis, menganalisa setiap peluang, mencari solusi dan bersikap awas terhadap segala kemungkinan. 

Bulan mendengkur. Aku mendengarnya. Aku selalu dapat mendengar dengkurnya yang keras menggaung di antara awan dan gedung tinggi. Bulan selalu tertidur selepas tengah malam. Bosan barangkali. Lelah juga mungkin. Tapi kau selalu mengatakan, ”bulan bukan bosan. Ketika kota hening, ketenangan akan membiusnya.” Tak setuju benar aku perihal itu. Tapi memang keheningan selalu dapat membius. Keheningan adalah jenis racun dengan wujud yang lain.

Selalu, kuingat semua tentang kita, Suci. Awal phase kehidupanku yang tak henti terjerambab, bangkit dan kembali terjerembab. Kadang membuatku masuk dalam lobang gelap tak bersinar. Terkurung dalam sepi dan teracuhkan orang banyak. Kalaulah tanpa kesabaran yang dibekali oleh Tuhan dalam jiwaku, rasanya sudah lama aku ingin akhiri hidupku. Kesabaran itu lahir dari kekuatan. Kekuatan itu sendiri tercipta karena kepercayaan yang kau berikan, Suci. Aku tidak pernah takut dan kawatir akan hidupku. Itu berkat sabar, berkat Tuhan mengirim kau.

“ Aku ingin punya rumah besar, Mobil mewah dan semua hal yang wah “ katamu setelah tiga bulan kita saling kenal. Aku sempat mentertawakan dirimu. Bagaimana pedagang teh botol kaki lima bermimpi seperti itu. “ karenanya aku harus dapat suami yang bisa memenuhi keinginanku.“ Katamu lagi. Aku tersentak. Saat itu aku perhatikan dengan seksama wajahmu. Sebetulnya kamu cantik, tetapi karena kemiskinan kecantikan itu berkabut. Entah Pria kaya mana yang mau perhatikan wajah dibalik kabut itu. Tapi aku bisa meliatnya, saat itu.

Kamu dan aku, orang kampung. Walau matamu sipit, kamu tetap orang kampung yang datang ke Jakarta menambah daftar kemiskinan. Kita bertemu di tengah debu jalanan. Aku harus berpeluh menyusuri kota sebagai salesman. Sementara Kamu harus duduk di pojok tangga pasar sepanjang hari menjual teh botol. Dalam lelah tanpa ada satupun prospek pembeli, kamu memberiku teh botol tanpa meminta uang kepadaku. Ketika aku bingung bayar uang kuliah , kamu memberikan uang tabunganmu. Ketika aku sakit, kamu menjengukku dan merawatku dengan uangmu. Kamu terlalu baik, Suci.
“ Aku harus berhenti kuliah. Ini membosankan. Aku tidak butuh titel. Tidak Ci.” Itu kataku suatu ketika setelah setahun hubungan kita yang semakin dekat.

Kulihat Suci terdiam dalam keterkejutannya. Dia hanya menahan kecewanya dengan menundukkan kepala.  Apakah Suci setelah ini akan pergi meninggalkanku. Mungkinkah itu ? oh, Jangan Suci. Kalau kau benar benar mencintaiku , tolong juga maklumi pilihanku. Ya, kan. Suci tetap diam. Benarlah setelah diam nya beberapa saat, diapun pergi. Tinggal aku sendiri. Banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu , Suci tapi apakah kamu bisa mengerti. Tentu kamu bisa mengerti karena kamu cukup cerdas dan memahami perasaanku terdalam. Benar katamu bahwa jadi sarjana dan kemudian jadi PNS adalah pilihan yang aman. Dan lagi Pegawai negeri adalah profesi mulia dan hanya segelintir orang saja yang bisa mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pejabat. Masalahnya aku tak ingin menjadi segelintir orang itu ? Aku ingin menjadi orang kebanyakan. Tentu banyak profesi yang bisa dikatakan mulia. Bukan hanya PNS. Mei seakan membantah itu. Seperti dialogh ku sebelumnya dengannya.

“ Ya Hidup sebagai pengusaha juga tidak lebih buruk. Memang tidak sehebat PNS tapi setidaknya penghasilannya lebih besar dibandingkan PNS dengan sepuluh tahun pengalaman kerja. Kita bisa bebas dan merdeka untuk tidak dibawah kendali orang. Apakah ada yang lebih baik hidup ini selain kemerdekaan itu sendiri. ? “

"Memulai bisnis bukan hal yang  mudah. Siapa kamu? Kamu terlahir dari keluarga miskin. Jangan terlalu bermimpi.Hadapi kenyataan” Itulah yang selalu diulang ulang oleh Suci. 

Tapi pikiranku sudah bulat. Berhenti kuliah. Mungkin Suci juga berhenti menjadi kekasihku. Sakit dan sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai hanya karena perbedaan prinsip. Bukankah cinta itu alat ampuh untuk saling memaklumi dan meredam perbedaan, apalagi soal prinsip. Ya, keliatannya hubunganku dengan Suci tak lebih hubungan percintaan ala kapitalis. Selagi tidak menguntungkan sesuai pemikirannya maka hubungan tak perlu dilanjutkan.  Aku yakin Suci tidak akan merasa berdosa , apalagi kecewa bila harus menjauh dariku.  Tapi bagaimana denganku ? 

Benarlah beberapa minggu kemudian, Suci tidak lagi nampak berjualan di pojok pasar. Behari hari ku nanti kedatangannya di pasar itu, tetapi dia tidak pernah nampak lagi. Kudatangi tempat tinggalnya, menurut tantenya dia kembali ke Pontinak. Mungkin menikah. 

Sejak itu aku tak ingin lagi mencari wanita lain. Aku lebih focus dengan bisnis yang sedang kurintis. Kalau ada wanita yang bersedia dengan keadaanku, maka itulah jodohku. Siapapun itu. Tak penting cantik seperti Suci.

***
Aku melangkah keluar kamar. Menuju cafe and Bar Panninsula Hotel. Tahun telah berganti. Suasana cafe masih ramai pengunjung. Mataku mengarah ke table dimana seorang wanita duduk sendirian. Jantungku terasa berhenti. “ Kau…” desisku tertahan saat menatapnya. Perempuan yang barusan ada dalam lamunanku. Setelah 24 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu saat dia tersenyum kearahku.  Suci kini ada dihadapanku. Ya Suciku. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata Suci menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu bagaikan salju. Butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. 

Suci memelukku dan merebahkan kepalanya didadaku. Hangat. Aku hanya diam tanpa ada keberanian membalas pelukannya. Aroma rambutnya begitu semerbak. Bukan itu, tapi itu aroma yang dulu pernah hadir dalam hidupku...dulu sekali. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. 
“ Kamu sehat, Ci “
Suci tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra.

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola tua yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut Suci bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat. Mataku kian terbuka lebar saat menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Di Beijing menjelang pagi, 24 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan aku pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri tempat berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah karena bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau nampak masih berlum terlalu tua…” sapanya.

”Udah diatas 40 usiaku. Tepatnya 43 tahun. Dan kau juga masih tetap cantik ?” Kataku. 

Ia menggeleng. 

”Aku tidak muda lagi. udah 40 tahun…” katanya dengan senyumnya yang dulu. Tak berubah.

”Semua kita menua, Ci” sambutku meyakinkan dia semua orang menua namun persahabatan tak akan lekang oleh waktu.

”Aku kangen, kamu. Kangen sekali..?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih suka ke Pasar dulu ketika kita sering bersama…” kataku menunduk.

”Sudah lama aku tidak kesana. Entah kapan kali terakhir kesana.”

“ Ada apa Ci? Apa yang terjadi dalam 24 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai lagu “ always on my mind ?” tanya Suci.

”Iya… masa lalu dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang membuat hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak gadis yang mudah memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan aku tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” kata Suci dengan suara tertahan kerinduan dan air mata.

”Tentu kau sudah melupakanku…”

”Iya..tepatnya 10 tahun sejak berpisah dengan mu. Namun setelah itu setiap bangun tidur pagi, wajahmu terus terbayang, sampai kini…”

”Kamu baik baik saja, Ci?”

Suci mengangguk. 

Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi piaran pengusaha kaya. Menenaminya kemana mana, bahkan sebagian besar negara didunia telah aku kunjungi. Tapi itu hanya sebentar. Cepat sekali berlalu..” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. 

Kami sama-sama terdiam. 

Ia bercerita tentang masa lalunya. Ia tidak pernah menikah tapi punya sorang anak laki laki.

”Aku datang kesini bersama pria. Dia sedang mendengkur di kamar. Namun aku tetap sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut. ”Ada banya pria tempatmu berlabuh. Selalu ada untuk mu Ci ?” ucapku dengan tersenyum

Suci merunduk. Diam. 

”Aku datang ke sini diajak berlibur dan menghibur pria. Akhirnya takdir mempertemukan kita lagi disini." 

Kami kembali terdiam. Kemudian terdengar suara Suci dengan lembut " Ceritakan tentang kamu. Aku ingin tahu...boleh kan ”

" Aku memulai hidupku dengan sangat keras. Berkali kali aku membangun usaha berkali kali juga jatuh. Namun jatuh atau bangun ,tidak membuat aku berubah. Ya, aku tidak punya pilihan karena memang no way return. Aku harus terus melangkah. Aku menikmati proses hidup ku bagaikan ulat berusaha keluar dari kepompong untuk menjadi kupu kupu yang indah. Hambatan dan kegagalan tidak membuat aku kalah dan lelah tapi semakin membuat aku bijak. Bisnis tidak membuat aku bangga. Tidak. Namun dengan bisnis yang ada, setidaknya aku diperlukan oleh istri dan anakku, orang tuaku, keluarga besarku, serta sahabatku. 

”Kamu sudah berkeluarga ?” sela Suci

”Sudah. Sudah 15 tahun usia pernikahan kami. Kini punya anak dua.”

“ Wanita yang beruntung” Wajah suci murung. " Bagaimana dengan bisnis mu ?sambungnya

“ Bisniku memang berkembang di banyak negara. Walau kehidupanku bergaul dengan banyak orang hebat tapi aku tetap seperti dulu.Tidak ada yang berubah.Tak pernah bisa meninggi. Aku tak bisa terbang seperti dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…hanya masalah waktu”

Aku sedih karena melihat Suci ku nampak lelah dan menua..Kutatap wajahnya. Ada goretan kelelahan dan tentu harapan akan pertemuan ini. Apa yang harus kukatakan kepada dia? Kepada Suci ku...

“ Di usia ku kini aku tak mau lagi berpikir memaknai bahagia itu apa. Aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dalam realitas hidupku. Karena inilah sebaik baiknya untuk ku. Apapun pilihanku telah kucoba lakukan namun yang terjadi ternyata kehendak Allah juga yang berlaku. Kita hanyalah hamba Alllah yang diberi tugas melewati rentang waktu seperti scenario Tuhan. Kamu bertemu dengan pilihanmu dan akhirnya tetap sendiri. Akupun melangkah sesuai pilihanku sebagai pengusaha, dan berkeluarga”

Suci menunduk. 

“ Memang tidak seharusnya kita bertemu bila harus berpisah namun juga tidak seharusnya disesali yang telah terjadi. Mahal sekali pelajaran hidup kita. Sementara sang waktu terus bergerak kedepan. Rambut semakin memutih dan gigi semakin goyah. Langkahpun semakin lemah. “ Ucap Suci.

" Tak ada cara terbaik dalam hidup ini kecuali bertobat. Dan bersiap siap untuk pulang keharibaanNya.' kataku.

" Aku selalu mencintaimu walau ragaku dimiliki orang lain." katanya memelas.

" Kamu akan selalu baik baik saja. " kataku merangkulnya. " Jaga diri baik baik ya Ci " sambungku seraya berlalu dari hadapannya.

Semoga dia mendapatkan hikmah dari pertemuan kami. Tentu Allah yang mengatur ini semua setelah rentang waktu 24 tahun terpisah. Untuk memberikan jawaban atas rahasia pilihan hidup kami dulu ketika remaja. Kita memang bebas memilih yang kita suka namun Allah pun bebas menentukan. Nasip buruk yang terjadi, tak bahagia dan menderita, bukanlah karena pilihan kita tapi karena kita tidak pernah ikhlas menerima kenyataan itu. Setidaknya dalam hidupku, Tuhan pertemukan aku dengan wanita yang bersedia menjadi istriku, dan tidak pernah pergi meninggalkanku dalam kondisi apapun. Kemanapun aku pergi dia selalu setia menantiku pulang. Dan Suci sudah menentukan sikapnya ketika dulu aku berhenti kuliah, dia meninggalkanku. Semoga kamu paham ya Ci..

Jodoh...

“ Sampai kapan Mas begini terus ? kata Sri suatu waktu.. Setahun setelah tamat kuliah aku mendapatkan pekerjaan. Setahun setelah itu , aku sudah berniat untuk melamar Sri untuk menikah. Makanya aku mengambil rumah BTN walau harus mencicil. Namun rencana tinggal rencana yang terjadi terjadilah. Ayah terkena stroke dan terpaksa berhenti bekerja sebagai masinis kereta api. Keadaan ekonomi kedua orang tuaku menjadi semakin sulit. Akupun bertindak cepat. Kedua orang tuaku berserta adik adiku kuboyong ke Jakarta untuk tinggal bersamaku. Maka ramailah rumahku. Mira, Dewi dan kedua orang tuaku menjadi bebanku.

“ Aku tidak pernah berharap beban datang tapi kalau datang pantang kutolak. Aku berharap kamu bisa mengerti. Janganlah karena mereka tinggal dirumaku lantas rencana menikah kita gagal “ Kataku memelas.

“ Aku tidak pernah membayangkan keadaan ini akan terjadi. Kita pacaran sejak masih sama sama di universitas. Udah 6 tahun hubungan kita. Tapi sikap Mas engga pernah berubah” Kata Sri. “ Tadi kupikir ketika Maria menikah, beban Mas berkurang. Tapi dia kembali ke rumah Mas, menjadi beban Mas, karena suaminya tugas belajar ke luar negeri. Entah kapan akan dijemput suaminya. Kemudian, Budi, adik sepupu Mas menjadi beban Mas pula. Alasannya orang tuanya tidak mampu di kampung. Kakak sepupu Mas mengirimnya kepada Mas untuk melanjutkan ke Universitas.

Kemudian, tadinya aku senang ketika Dewi sudah bekerja dan dapat suami. Dia akan mandiri. Namun hanya dua tahun berselang, dia bercerai setelah punya anak satu dan kembali mereka menjadi beban Mas. Belum cukup. Om Feri,. adik ayah Mas yang paling bungsu juga Mas tampung. Bukan hanya Om Feri tapi juga kedua anaknya. Dan ketika kedua anaknya sudah bekerja, om Feri tetap tinggal sama Mas. “ Kata Sri seperti sedang mengadili ku.. Aku hanya diam berusaha mengerti dan siap menerima keputusannya.

“ Sri, mereka semua hadir karena alasan yang yang jelas. Aku adalah putra ibuku dan kehadiran ibu di dekatku, di rumahku adalah ladang ibadah tak ternilai untuk kuberbakti sampai hayatnya. Mira tak ingin tinggal di rumahku andaikan suaminya tidak menitipkannya kepadaku, kakaknya.. Dan juga menjadi tanggung jawabku untuk menjaganya dari fitnah selama suaminya tidak ada didekatnya. Dewi, adikku yang janda. Tentu aku harus menjaganya karena tak aman bagi seorang janda tinggal seorang diri di rumah.

Om Feri tentu juga tak ingin tinggal dirumahku kalau dia mampu. Budi juga tak ingin membebaniku bila saja orang tuanya mampu. Deni tentu akan lebih senang tinggal dengan orang tuanya bila orangtuanya mampu.. Cobalah mengerti…”

“ Sebaiknya kita putus disini saja Mas. Aku engga bisa berharap banyak dengan Mas. “ Kata Sri. Hubungan 8 tahun kandas begitu saja.

Di rumahku , ada delapan manusia yang menjadi bebanku. Mereka hadir melengkapi hidupku. Walau sampai di usia 35 tahun, aku belum menikah namun kehadiran mereka tidak membuatku kesepian. Pekerjaanku hanyalah junior auditor di perusahaan asing. Aku tinggal di komplek perumahan BTN ukuran 70 Meter. Awalnya rumah ini hanya dua kamar. Tapi seiring bertambahnya anggota keluarga, akupun berusaha menambah ruangan lagi. Sekarang tersedia empat kamar berukuran kecil untuk sekedar memisahkan setiap orang punya privasi sendiri. Ruangan tamu teramat sempit dan menyatu dengan ruang makan. Tapi walau begitu, kami selalu bahagian dirumah ini. Canda dan tawa selalu mewarnai kehidupan kami. Hati kami lapang ditengah ruangan yang serba sempit.

Sejak putus dengan Sri, Mas Burhan mencarikan jodoh untukku tapi tak pernah ada kelanjutannya. Adikku Mira juga mengenalkan aku dengan teman temannya tapi seperti biasanya mereka mundur sebelum hubungan berlanjut serius. Ada teman di kantor yang kuyakin dia menyukaiku tapi memilih menikah dengan pria lain tanpa alasan yang jelas. Tapi yang pasti , aku tahu bahwa mereka para wanita itu tidak mau hidupnya mengambil resiko terlalu besar dengan melihat beban hidupku yang juga besar. Aku maklum dan mereka punya hak untuk bersikap.

***
Hari berlalu, berganti minggu dan minggu berlalu melewati bulan dan tahun. Usiaku sudah 45 tahun. Di rumahku kini hanya tinggal aku seorang diri. Dewi sudah dapat jodoh lagi. Menikah dengan pengusaha. Tinggal di Kalimantan. Ibuku tinggal dengan Dewi. Maria pindah ke Jepang ikut suaminya yang memilih berkarir di sana. Om Feri sudah meninggal karena kanker Paru paru. Budi dan Deni sudah bekerja dan tinggal di luar kota. Jabatanku di kantor juga sudah naik sebagai Chief Accountant. Dan aku masih Jomblo.

Suatu saat Sri datang ke kantor ku. Dia bercerita bahwa dia sudah bercerai dengan suaminya. Dua anaknya tinggal dengan dia. Aku senang karena Sri ingin bertemu lagi denganku. Aku tetap mencintainya walau dulu dia pergi meninggalkanku. Itu sebabnya aku cepat berkata “ Mari menikah denganku, Sri “

“ Aku sudah tidak muda lagi, Mas. Aku akan membebani Mas dengan dua orang anakku.”

“ Engga apa apa kok. Kamu tetap Sri ku”

“ Ya aku kenal betul pribadi Mas. Itu yang kusesali mengapa dulu aku bertindak bodoh. “

“ Lupakan masa lalu. Kadang kita harus melewati semua hal untuk menemukan hikmah dari perjalanan hidup kita. Hidup bukan apa yang kita dapat tetapi apa yang kita beri. Bukan apa yang kita perlajari tapi apa yang kita ajarkan. Bukan apa yang kita pikirkan tetapi apa yang kita lakukan. Aku yakin, kita akan baik baik saja. Aku senang dibebani oleh kedua anakmu. Mereka akan jadi belahan hatiku sebagaimana aku mencintai ibunya, Ya kan..”

Setelah menikah, Sri bersikukuh mengajak ibuku tinggal bersama kami. Dia akan merawat ibuku. Bukankah aku anak tertua ibuku, yang harus bertanggung jawab kepada ibuku, katanya. Sampai kini curahan perhatian dan kasih sayang Sri kepada ibuku sangat luar biasa. Aku senang akhirnya aku bisa menua bersama dengan orang yang kucintai. Tuhan maha adil…

Saturday, May 02, 2020

Kebodohan berjamaah


Abunawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat kedalam topinya. Orang banyak perhatikan ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran. Apakah AbuNawas telah gila ? Apalagi dia melihat kedalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia. Salah seorang datang menghampiri Abunawas 

" Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?
" Aku sedang melihat sorga lengkap dengan barisan bidadari.." Kata Abunawas dengan wajah cerah dan senyum puas.
" Coba aku lihat ! 
" Saya engga yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat"
" Mengapa ?
" Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat sorga di topi ini." Kata Abunawas meyakinkan.
" Coba aku lihat. " Kejar si penanya penasaran.
" Silahkan " kata Abunawas...

Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat kearah Abunawas " Benar kamu..aku melihat sorga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah ...Allahuakbar " Kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak . Abu Nawas tersenyum. Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah abunawas ingin pula membuktikan apakah benar ada sorga di dalam topi itu. Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua " Ingat hanya orang beriman dan sholeh yang bisa lihat sorga didalam ini. Yang tak beriman tidak akan melihat apapun."

Satu demi satu orang melihat kedalam topi Abunawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat sorga dan ada juga yang mengatakan ABunawas bohong. Abunawas tetap tenang saja sambil menebar senyum. Akhirnya, bagi mereka yang tidak melihat sorga di dalam topi itu melaporkan kepada Raja. Bahwa Abunawas telah menebarkan kebohongan kepada orang banyak. Raja memanggil Abunawas menghadap raja. Di hadapan raja...

" Abu nawas! Seru raja" benarkah kamu bilang di dalam topi mu bisa nampak sorga dengan sederet bidadari cantik?

' Benar raja. Tapi yang bisa lihat hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir"

" Oh begitu..Coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu." Kata raja, yang segera melihat kedalam topi Abunawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah. Akhirnya raja terdiam seakan berpikir " Benar tidak nampak sorga di dalam topi ini. Tapi andaikan aku bilang tidak ada sorga maka orang banyak akan tahu aku termasuk tidak beriman dan termasuk kafir. Tentu akan hancur reputasiku" Demikian kira kira yang di pikirkan Raja. .Akhirnya " Benar! Saya sebagai saksi, bahwa di dalam topi Abunawas kita bisa melihat sorga dengan sederetan bidadari..." Kata Raja setengah berteriak. Orang banyak akhirnya menerima cerita abunawas karena kawatir berbeda dengan Raja...
***
Ketika akal sehat di buang ke keranjang sampah maka akan selalu ada orang culas membungkus agama untuk menciptakan kebodohan berjamaah....

Uang kuliah Mahal...

  Saya ada janji dengan teman banker untuk meeting di sebuah Hotel. Dengan menggunakan taksi saya menuju tempat meeting itu. Saya merasakan ...