Thursday, May 07, 2020

Jodoh...

“ Sampai kapan Mas begini terus ? kata Sri suatu waktu.. Setahun setelah tamat kuliah aku mendapatkan pekerjaan. Setahun setelah itu , aku sudah berniat untuk melamar Sri untuk menikah. Makanya aku mengambil rumah BTN walau harus mencicil. Namun rencana tinggal rencana yang terjadi terjadilah. Ayah terkena stroke dan terpaksa berhenti bekerja sebagai masinis kereta api. Keadaan ekonomi kedua orang tuaku menjadi semakin sulit. Akupun bertindak cepat. Kedua orang tuaku berserta adik adiku kuboyong ke Jakarta untuk tinggal bersamaku. Maka ramailah rumahku. Mira, Dewi dan kedua orang tuaku menjadi bebanku.

“ Aku tidak pernah berharap beban datang tapi kalau datang pantang kutolak. Aku berharap kamu bisa mengerti. Janganlah karena mereka tinggal dirumaku lantas rencana menikah kita gagal “ Kataku memelas.

“ Aku tidak pernah membayangkan keadaan ini akan terjadi. Kita pacaran sejak masih sama sama di universitas. Udah 6 tahun hubungan kita. Tapi sikap Mas engga pernah berubah” Kata Sri. “ Tadi kupikir ketika Maria menikah, beban Mas berkurang. Tapi dia kembali ke rumah Mas, menjadi beban Mas, karena suaminya tugas belajar ke luar negeri. Entah kapan akan dijemput suaminya. Kemudian, Budi, adik sepupu Mas menjadi beban Mas pula. Alasannya orang tuanya tidak mampu di kampung. Kakak sepupu Mas mengirimnya kepada Mas untuk melanjutkan ke Universitas.

Kemudian, tadinya aku senang ketika Dewi sudah bekerja dan dapat suami. Dia akan mandiri. Namun hanya dua tahun berselang, dia bercerai setelah punya anak satu dan kembali mereka menjadi beban Mas. Belum cukup. Om Feri,. adik ayah Mas yang paling bungsu juga Mas tampung. Bukan hanya Om Feri tapi juga kedua anaknya. Dan ketika kedua anaknya sudah bekerja, om Feri tetap tinggal sama Mas. “ Kata Sri seperti sedang mengadili ku.. Aku hanya diam berusaha mengerti dan siap menerima keputusannya.

“ Sri, mereka semua hadir karena alasan yang yang jelas. Aku adalah putra ibuku dan kehadiran ibu di dekatku, di rumahku adalah ladang ibadah tak ternilai untuk kuberbakti sampai hayatnya. Mira tak ingin tinggal di rumahku andaikan suaminya tidak menitipkannya kepadaku, kakaknya.. Dan juga menjadi tanggung jawabku untuk menjaganya dari fitnah selama suaminya tidak ada didekatnya. Dewi, adikku yang janda. Tentu aku harus menjaganya karena tak aman bagi seorang janda tinggal seorang diri di rumah.

Om Feri tentu juga tak ingin tinggal dirumahku kalau dia mampu. Budi juga tak ingin membebaniku bila saja orang tuanya mampu. Deni tentu akan lebih senang tinggal dengan orang tuanya bila orangtuanya mampu.. Cobalah mengerti…”

“ Sebaiknya kita putus disini saja Mas. Aku engga bisa berharap banyak dengan Mas. “ Kata Sri. Hubungan 8 tahun kandas begitu saja.

Di rumahku , ada delapan manusia yang menjadi bebanku. Mereka hadir melengkapi hidupku. Walau sampai di usia 35 tahun, aku belum menikah namun kehadiran mereka tidak membuatku kesepian. Pekerjaanku hanyalah junior auditor di perusahaan asing. Aku tinggal di komplek perumahan BTN ukuran 70 Meter. Awalnya rumah ini hanya dua kamar. Tapi seiring bertambahnya anggota keluarga, akupun berusaha menambah ruangan lagi. Sekarang tersedia empat kamar berukuran kecil untuk sekedar memisahkan setiap orang punya privasi sendiri. Ruangan tamu teramat sempit dan menyatu dengan ruang makan. Tapi walau begitu, kami selalu bahagian dirumah ini. Canda dan tawa selalu mewarnai kehidupan kami. Hati kami lapang ditengah ruangan yang serba sempit.

Sejak putus dengan Sri, Mas Burhan mencarikan jodoh untukku tapi tak pernah ada kelanjutannya. Adikku Mira juga mengenalkan aku dengan teman temannya tapi seperti biasanya mereka mundur sebelum hubungan berlanjut serius. Ada teman di kantor yang kuyakin dia menyukaiku tapi memilih menikah dengan pria lain tanpa alasan yang jelas. Tapi yang pasti , aku tahu bahwa mereka para wanita itu tidak mau hidupnya mengambil resiko terlalu besar dengan melihat beban hidupku yang juga besar. Aku maklum dan mereka punya hak untuk bersikap.

***
Hari berlalu, berganti minggu dan minggu berlalu melewati bulan dan tahun. Usiaku sudah 45 tahun. Di rumahku kini hanya tinggal aku seorang diri. Dewi sudah dapat jodoh lagi. Menikah dengan pengusaha. Tinggal di Kalimantan. Ibuku tinggal dengan Dewi. Maria pindah ke Jepang ikut suaminya yang memilih berkarir di sana. Om Feri sudah meninggal karena kanker Paru paru. Budi dan Deni sudah bekerja dan tinggal di luar kota. Jabatanku di kantor juga sudah naik sebagai Chief Accountant. Dan aku masih Jomblo.

Suatu saat Sri datang ke kantor ku. Dia bercerita bahwa dia sudah bercerai dengan suaminya. Dua anaknya tinggal dengan dia. Aku senang karena Sri ingin bertemu lagi denganku. Aku tetap mencintainya walau dulu dia pergi meninggalkanku. Itu sebabnya aku cepat berkata “ Mari menikah denganku, Sri “

“ Aku sudah tidak muda lagi, Mas. Aku akan membebani Mas dengan dua orang anakku.”

“ Engga apa apa kok. Kamu tetap Sri ku”

“ Ya aku kenal betul pribadi Mas. Itu yang kusesali mengapa dulu aku bertindak bodoh. “

“ Lupakan masa lalu. Kadang kita harus melewati semua hal untuk menemukan hikmah dari perjalanan hidup kita. Hidup bukan apa yang kita dapat tetapi apa yang kita beri. Bukan apa yang kita perlajari tapi apa yang kita ajarkan. Bukan apa yang kita pikirkan tetapi apa yang kita lakukan. Aku yakin, kita akan baik baik saja. Aku senang dibebani oleh kedua anakmu. Mereka akan jadi belahan hatiku sebagaimana aku mencintai ibunya, Ya kan..”

Setelah menikah, Sri bersikukuh mengajak ibuku tinggal bersama kami. Dia akan merawat ibuku. Bukankah aku anak tertua ibuku, yang harus bertanggung jawab kepada ibuku, katanya. Sampai kini curahan perhatian dan kasih sayang Sri kepada ibuku sangat luar biasa. Aku senang akhirnya aku bisa menua bersama dengan orang yang kucintai. Tuhan maha adil…

Saturday, May 02, 2020

Kebodohan berjamaah


Abunawas berjalan di tengah pasar sambil menengadah melihat kedalam topinya. Orang banyak perhatikan ulah Abu Nawas itu dengan wajah heran. Apakah AbuNawas telah gila ? Apalagi dia melihat kedalam topinya sambil tersenyum dan penuh bahagia. Salah seorang datang menghampiri Abunawas 

" Wahai saudaraku, apa yang sedang kamu lihat di dalam topi itu?
" Aku sedang melihat sorga lengkap dengan barisan bidadari.." Kata Abunawas dengan wajah cerah dan senyum puas.
" Coba aku lihat ! 
" Saya engga yakin kamu bisa melihat seperti yang saya lihat"
" Mengapa ?
" Karena hanya orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa lihat sorga di topi ini." Kata Abunawas meyakinkan.
" Coba aku lihat. " Kejar si penanya penasaran.
" Silahkan " kata Abunawas...

Orang itu melihat kedalam topi itu dan sejenak kemudian dia melihat kearah Abunawas " Benar kamu..aku melihat sorga di topi ini dan juga bidadari. Subhanallah ...Allahuakbar " Kata orang itu berteriak dan didengar orang banyak . Abu Nawas tersenyum. Sementara orang banyak yang menyaksikan ulah abunawas ingin pula membuktikan apakah benar ada sorga di dalam topi itu. Abu Nawas mengingatkan kepada mereka semua " Ingat hanya orang beriman dan sholeh yang bisa lihat sorga didalam ini. Yang tak beriman tidak akan melihat apapun."

Satu demi satu orang melihat kedalam topi Abunawas itu. Ada yang dengan tegas menyatakan melihat sorga dan ada juga yang mengatakan ABunawas bohong. Abunawas tetap tenang saja sambil menebar senyum. Akhirnya, bagi mereka yang tidak melihat sorga di dalam topi itu melaporkan kepada Raja. Bahwa Abunawas telah menebarkan kebohongan kepada orang banyak. Raja memanggil Abunawas menghadap raja. Di hadapan raja...

" Abu nawas! Seru raja" benarkah kamu bilang di dalam topi mu bisa nampak sorga dengan sederet bidadari cantik?

' Benar raja. Tapi yang bisa lihat hanya orang beriman dan sholeh. Bagi yang tidak bisa melhat itu artinya dia tidak beriman dan kafir"

" Oh begitu..Coba saya buktikan apakah benar cerita kamu itu." Kata raja, yang segera melihat kedalam topi Abunawas dari sudut kiri dan kanan, atas dan bawah. Akhirnya raja terdiam seakan berpikir " Benar tidak nampak sorga di dalam topi ini. Tapi andaikan aku bilang tidak ada sorga maka orang banyak akan tahu aku termasuk tidak beriman dan termasuk kafir. Tentu akan hancur reputasiku" Demikian kira kira yang di pikirkan Raja. .Akhirnya " Benar! Saya sebagai saksi, bahwa di dalam topi Abunawas kita bisa melihat sorga dengan sederetan bidadari..." Kata Raja setengah berteriak. Orang banyak akhirnya menerima cerita abunawas karena kawatir berbeda dengan Raja...
***
Ketika akal sehat di buang ke keranjang sampah maka akan selalu ada orang culas membungkus agama untuk menciptakan kebodohan berjamaah....

Friday, May 01, 2020

Limited Edition...


Tidak ada yang istimewa bila aku bercerita tentang suamiku. Dia seperti suami kebanyakan. Menurut yang kurasa selama  pergaulan dengannya bahwa dia adalah suami yang bertanggung jawab, mencintai keluarga, walau kadang terkesan tidak setia.  Soal tanggung jawab maka secara materi aku bisa katakan dia termasuk suami yang segelintir. Maklum saja sebagai pengusaha dia bisa memberikan apa saja kebutuhanku. Pakaian bagus, rumah bagus , liburan keluar negeri, kendaran, perhiasan, dan ATM yang selalu penuh. Namun dalam bentuk lain, suamiku sama dengan suami suami lainnya. Tak ada yang terlalu istimewa kecuali memang dia pekerja keras dan mencintai bisnisnya selain aku dan anak anaknya. 

Kadang dengan segala kesibukannya , aku sempat mempertanyakan kesetiaannya namun dia menjawab  “Bahwa sebenarnya kesetiaan itu bukan diukur apakah seseorang berkhianat atau tidak, melainkan apakah ia kembali lagi atau tidak.” Kata-kata itu mungkin menghibur bagi wanita lain tapi tidak bagiku. Ini seperti ejekan yang menyakitkan. Apalagi ketika dia melanjutkan dengan kata kata ‘ Sebagaimana kematian adalah bagian dari kehidupan, demikian juga patah hati atau sakit hati adalah bagian yang sama dengan jatuh cinta. Kalau kamu pernah mengalami sakit hati, cintamu akan menjadi sempurna.”

Dengan tangkas aku membalas kata katanya. “Mungkin akan sempurna kalau aku patah hati dengan lelaki lain, misalnya. Bukan dengan suami sendiri” Ku ingin tahu apa reaksinya. Apakah dia tersinggung soal kata kataku ini. Dia hanya tersenyum.  “Sebetulnya sama saja. Hanya saja sebutan suamiku, menunjukkan kepemilikanmu, jadinya terasa lebih menyakitkan.”

Sedih kan.!

Ketika awal berumah tangga adalah saat awal yang berat hidup bersama pria yang berstatus suami namun mempunya cinta selain aku.  Perhatiannya kepada bisnisnya melebihi segala galanya. Dunianya adalah bisnisnya. Oh, ada lagi rival ku selain bisnisnya, yaitu ibunya. Didunia ini hanya satu yang bisa menghentikan langkahnya untuk pergi rapat bisnis maha penting yaitu ibunya. Tak ada yang dia takuti selain Tuhan dan ibunya. Aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi dengan suamiku bila ibunya meninggal dijemput Tuhan. Mungkin separuh atau sepertiga jiwanya juga ikut mati. 

Dalam hal lain , dia merasa bangga dengan keperkasaanya menerjang gelombang,  diatas kelelahan ku berpacu birahi menuju puncak. Untuk hal ini aku senang tapi bukan segala galanya.

“Dalam pikiran lelaki, hubungan seks adalah bentuk cinta. Makin perkasa dia, membuktikan ia makin mencintai. Suami berkewajiban men-delivery kepuasaan batin kepada istrinya, sama halya dia harus bekerja keras untuk men-delivery kepuasaan lahir bagi istrinya.. ” Katanya satu ketika. Bagiku itu tak lain menunjukkan keegoanya sebagai penakluk. Dia pikir apakah urusan tempat tidur disamakan dengan bisnisnya yang harus selalu tampil unggul.  Bagiku semua itu omong kosong. Hanya mitos. Wanita tidak menjadikan ukuran keperkasaan laki laki sebagai dasar menilai seorang laki laki. Bukan. Bagi wanita adalah sentuhan walau hanya sesaat namun dilakukan dengan penghargaan yang tinggi , itu lebih dari cukup.  

Kukatakan kepadanya bahwa akan ada waktunya nanti ketika daya seksual melemah atau habis, cinta memisahkan diri dengan nafsu seksual. Ketika itu cinta tak perlu dibuktikan dengan hubungan seksual. Nafsu seks bisa mati dan berhenti, tapi cinta bisa terus jalan sendiri.  Artinya kalau setelah daya seks melemah, tapi masih bisa betah bersama-sama, itu artinya masih cinta. Saat seperti itu akan datang dengan sendirinya, tak perlu dipaksa, sebagaimana usia. Tanpa kecuali semua bertambah tua, juga dunia. Dia tertawa terbahak bahak. " Bagiku Sex hanya option, bukan segala galanya. Kita akan selalu bersama sama walau tanpa sex. Insya Allah." katanya berargumen

Ya sudahlah, Dia dengan dirinya dan aku bagian dari dirinya, perhiasannya. pakaiannya. Naif sekali.  Dan kini, ia punya hobi baru yang membuatnya mabuk seakan sedang jatuh cinta lagi. Apa itu ? Dia gemar menulis. Menulis apa saja. Bahkan sudah pula bukunya diterbitkan oleh penerbit terkenal. Sepulang kerja di rumah, waktunya di habiskan di depan computer menulis. Entah apalagi yang hendak dia capai dari kecintaannya menulis. Yang pasti tidak ada uang yang dia dapat dari kegemarannya yang baru ini. Padahal selama ini yang menjadi standarnya bahwa apapun kalau tidak ada uang yang didapat , engga usah di kerjakan, apalagi di paksakan berbuat. Hidup tidak ramah dan semua harus bayar. Yang mau gratis harus siap di jadikan duafa dan dipermalukan oleh diri sendiri. 

“Bagaimana abang bisa jatuh cinta dengan menulis "

“Seperti yang selama ini terjadi,” katanya menjelaskan. “Begitu banyak peristiwa berlalu, tapi apakah semua orang memahami perisitawa itu dengan benar. Apakah mereka mendapatkan hikmah? Tidak semua. Tanggung jawab kaum terpelajar adalah mencatat peristiwa itu agar orang membacanya dan mendapatkan hikmah”

“Menulis itu tidak ada gunanya sama sekali. Abang hanya memuaskan ego abang saja.,” kataku.

“Salah, Bukan soal ego tapi soal tangung jawab..”

“ Dan abang menikmati rasa tanggung jawab itu  ? 

“ Aku hanya senang melakukannya. Aku senang. Karena baru kali ini rasa tanggung jawabku membebaskan aku dari rasa inginkan uang, pujian, harapan dan apalah “

“ Jadi abang senang dengan tanggung jawab seperti itu ? Kenapa engga dari dulu dulu. Sekarang abang udah engga muda lagi. Apa tidak sebaiknya gunakan waktu yang terbatas ini untuk hal lain yang menyenangkan" 

“Kesenangan tak akan pernah bisa dikalahkan oleh waktu. Justru kesenangan menang dengan waktu. Walau hanya sejenak , kesenangan makin bermutu. Ingat itu.”

Dan lagi menurutnya “ Aku merasakan bahwa sebetulnya kehidupan manusia ini adalah episode tentang kelemahannya terhadap ruang dan waktu. Ini sudah takdirnya dan dia berdamai dengan takdirnya. Walau manusia terisolasi akan ruang dan waktu namun dia mungkin lebih bahagia bila dia menyadari kelemahannya..”

“Sama denganku.” kataku

“Juga ibuku.” Jawabnya cepat.

“ Mungkinkah abang akan menikah lagi suatu saat?”

“Mungkin, karena semua lelaki mempunyai bakat untuk itu. Tapi secara praktis tak akan menyenangkan. Di dunia ini, satu-satunya standar moral yang aneh dan disepakati di seluruh dunia adalah moral dalam lembaga perkawinan. Bayangkan, semua transaksi sekarang selalu bayar dimuka dan orang akan mendapatkan apa yang dia mau. Dalam perkawinan pembayaran dan ikatan berlangsung selamanya. Kalaulah bukanlah karena Tuhan, lembaga perkawinan adalah kontrak moral yang paling dungu. Itu sebabnya Allah mengatakan silahkan poligami asalkan kamu bisa berlaku adil, sementara Allah mengatakan sendiri bahwa manusia tidak akan pernah bisa berlaku adil. Hanya pria dungu yang tidak paham bahwa izin poligami itu bukanlah free will tapi by tight condition dan mungkin mission impossible. Paham kamu.." 

“Berarti abang  menyesali perkawinan?”

“Satu-satunya yang kusesali dalam hidup ini adalah karena aku tak bisa menyesali apa yang terjadi. Aku bahkan tak mampu menyesali kenapa aku tak dilahirkan di tempat yang paling aku sukai, tempat yang ada sungainya dengan empat musim, lalu aku bisa bermain bola salju ketika salju turun.  Menyesal adalah hasil dari pikiran, dari nalar.  Dan nalar bahkan tak bisa menjelaskan hal yang paling sederhana tentang cinta. Jadi ikhlas melewati hidup adalah cara mudah untuk bahagia."

" Ya,  karena cinta ?

" Ketahuilah oleh kamu, sebesar apapun cinta pria atau wanita kepada selain Tuhan bukanlah cinta yang aman. Mengapa ? Tuhan tidak pernah cemburu. Tuhan tidak pernah meminta. Tuhan selalu memberi. Kedua orang tua kita juga sama, sama  sama cinta dalam arti memberi, tanpa cemburu dan ikhlas berkorban. Cinta aman. Itu sebabnya aku begitu hormat dan sayang kepada ibuku. Karena ibuku adalah cinta amanku, bayang bayang Tuhan..."

“Benarkah semata-mata karena rasa aman yang membedakan cinta sesungguhnya ?” tanyaku.

“Ya. Sesungguhnya cinta selain kepada Tuhan hanya ada dalam pembesaran di pikiran, di perasaan. Cinta tak akan selesai dirumuskan dengan pemikiran. Cinta aman tidak akan kamu peroleh dari anak, cucu, menantu, suami atau istri, harta atau jabatan. Seseorang hanya memiliki satu cinta, yaitu Tuhan , yang bagaikan air sungai, bisa mengalir ke mana-mana, membelok ke selatan atau ke utara, tapi sebenarnya satu arus saja, menuju Tuhan.

“Ketika aku memutuskan untuk melamarmu menjadi istriku maka  itulah keberanian, itulah anugerah Allah. Keberanian, karena banyak cinta diutarakan tanpa keberanian menikah. Anugerah, karena itu hadiah besar dari Tuhan. Semua itulah harga yang kita bayar sepanjang usia berbagi rasa, merawat, memanjakan dan dimanjakan. Kita tak akan merasa aman, merasa tentram, hanya dengan menyewa, membeli atau memandangi. Paham, kan. Aku bisa saja mengagumi keindahan ikan berenang didalam aquarium. Memandangi wanita cantik berbikini melenggok dipinggir kolam renang.  Menyewa escort jelita untuk acara business dinner dengan relasiku. Bisa.! Tapi aku tidak merasakan cinta aman. Aku hanya bisa memandangnya. Tapi… kamu adalah takdirku yang dianugerahkan Allah yang bukan hanya kupandangi tapi memang kamu amanah terindah dari pemberi Cinta, Tuhan.” 

Dan akhirnya aku sadar bahwa aku harus bersyukur memiliki suamiku sebagai anugerah dari Allah walau kadang terkesan seperti ikan yang berenang didalam aquarium , ada kebebasan namun terhalang oleh dinding tebal dalam bentuk budaya dan agama yang mengharuskan aku selalu menjaga kehormatan suamiku dalam kondisi apapun. Menghindari fitnah ketika suamiku sedang tidak ada dirumah. Menjaga dan merawat semua yang di amanahkannya dan menantinya ketika dia pulang , untukku dan semua karena Tuhan tentunya..

"Bagaimana sikapmu sebetulnya terhadap aku, suamimu ? Katanya dengan nada lucu.

" Abang memang bukan pria sempurna tapi ya limited edition".

Sundari.


Sundari namanya. Orang kampung mengenal dia sebagai wanita yang lincah. Walau tidak begitu cantik namun senyumnya membuat kebanyakan pemuda kampung acap melirik diam diam kearahnya. Sundari memang mudah sekali akrab dengan siapapun. Namun dalam usia delapan tahun, Ayahnya meninggal. Diapun yatim karena. Dua tahun kemudian, ibunyapun meninggal. Maka tinggallah Sundari seorang diri. Kalaupun ada sanak family namun kehidupan mereka tak cukup mampu dibebani oleh Sundari. Salah satu penduduk kampung juragan kaya berbaik hati untuk menolongnya. Sundari pun tinggal sama keluarga itu. Demikianlah sekilas yang kukenal tentang Sundari. Selebihnya aku tidak tahu lagi. Karena aku keburu berangkat kekota untuk meneruskan kuliah.

Usiaku dengan Sundari terpaut empat tahun. Jadi ketika dia masih kelas 1 SMP aku sudah menamatkan SLA. Aku memang jarang pulang kampung. Dalam lima tahun kuliah ke dokteran di kota baru dua kali pulang. Itupun ketika mau susun skripsi dan mendapat kabar ayah sakit. Ketika aku pulang baru kutahu dari Bunda bahwa Sundari dalam usia 17 tahun, belum tamat SLA sudah diambil sebagai istri oleh juragan kaya.

Sebelumnya juragan kaya itu adalah ayah angkatnya. Namun ketika istri juragan itu meninggal Sundari-pun dijadikan istri. Mungkin diam diam, juragan kaya itu menaruh hati kepada Sundari. Aku tidak banyak komentar ketika Bunda cerita soal Sundari. Namun yang membuatku miris adalah Sundari diperlakukan seperti pembantu rumah tangga oleh anak anak juragan itu yang sebagian mereka sudah besar besar. Bahkan ada yang seusia Sundari.

Berjalannya waktu, setelah menamatkan kedokteran, aku diterima untuk bekerja. Ditempatkan di Puskesmas dikecamatan. Kebetulan tak begitu jauh dari kampungku. Hanya 2 jam perjalanan dengan bus ke kampungku. Walau ada rumah dinas disediakan dekat puskemas namun aku memilih untuk setiap libur pulang kekampung. Sejak itulah aku mengenal lebih banyak tentang Sundari.

Setelah juragan kaya itu meninggal, Tak berapa lama setelah itu, Sundari menikah.. Diapun hamil. Namun setelah itu suaminya mengusirnya keluar dari rumah. Tak berapa lama setelah itu diapun menikah lagi. Hamil dan punya anak. Seperti sebelumnya, diapun diusir oleh suaminya.. Tinggalah Sundari dengan beban dua anak. Dia tinggal dirumah gubuk dipinggir kampung. Untuk menopang hidupnya dia bekerja dipabrik bata.

Siang itu , aku hendak pulang kerumah untuk makan siang. Karena rumahku tepat berada di sebelah Puskesmas. Ketika tepat di pintu keluar, aku melihat di ruang tunggu Sundari sedang terduduk lemas. Matanya redup dan wajahnya pucat. Dua anaknya ada di sampingnya.

” Sun ” Sapaku.
Dia membuka matanya dengan lemah. ” Eh, Mas..aku mau berobat...”
”Ya sudah masuk kedalam. Biar aku periksa ” Aku membimbingnya ke dalam ruang pemeriksaan. Setelah kuperiksa, ternyata Sundari hamil. Kupandang wajahnya dengan seksama. Siapa yang telah menghamilinya? Padahal dia tidak ada suami. Semua sudah bercerai.
” Sun, kamu hamil ” Kataku dengan hati hati sambil tersenyum
” Ya, Mas..” Nampak air matanya berlinang.
” Jaga kesehatan kamu , ya. Itu yang penting”
” Ya Mas…”

Tak banyak yang bisa kukatakan. Aku hanya terenyuh dengan keadaan Sundari. Apalagi melihat kedua anaknya yang masih kecil kecil. Pikiranku masih kepada Sundari walau dia sudah lama pergi. Entah kenapa , aku melihat sosok ketegaran di balik tubuhnya yang rapuh, matanya yang redup kelelahan dalam derita. Ya, aku tahu pasti bahwa Sundari sangat menderita. Dulu bersuami dan punya anak tapi kini hamil tak jelas siapa suaminya. Lantas bagaimana ini bisa terjadi? Apakah Sundari melacurkan diri ? Atau ada orang lain yang memperkosanya ?

Entah bagaimana cerita , hanya seminggu setelah pemeriksaan di puskesmas , cerita tentang Sundari hamil beredar keseluruh kampung. Jadi pembicaraan ibu ibu di pasar atau di sawah. Yang anehnya tak ada satupun yang tahu siapa yang telah menghamili Sundari. Makanya para ibu mulai kawatir bila salah satu dari suami mereka adalah yang menghamili Sundari. Tak ada satupun tetua kampung ataupun para ibu ibu yang berani bertanya langsung kepada Sundari tentang siapa yang telah menghamilinya. Namun , yang pasti Sundari semakin terisolasi dari pergaulan di kampung. Dia dicemoohkan oleh orang banyak. Namun dia tetap sabar. Senyumnya menatap siapapun tak pernah kering. Walau perutnya semakin membesar.

Aku mencoba untuk mencari tahu tentang keadaan Sundari. Ketika libur aku pulang kampung. Kudatangi Rumah Sundari dengan membawa vitamin. Sebetulnya keluargaku melarang keras. Alasan aib berkunjung kerumah janda yang hamil. Tapi aku tidak peduli. Karena alasan kemanusiaan. Tidak ada salahnya dokter untuk mengunjungi pasiennya, diminta ataupun tidak. Apalagi Sundari hidup dalam kemiskinan.

” Sun, ini aku bawakan vitamin untuk kamu makan.” Kataku ketika berada di depan pintu rumahnya. Ketika itu siang hari. Sun masih dalam keadaan memakai mukena. Aku terkejut. Bayanganku bahwa dia melacurkan diri ,adalah tidak mungkin. Dia mempersilahkan aku masuk.
” Engga usah repot repot mas. Aku baik baik aja kok. ” Wajahnya menunduk.
” Ya ini vitamin bagus untuk kesehatan kamu yang lagi hamil”
” Terimakasih Mas,”
Tak tahu harus bicara apa lagi. Namun entah kenapa aku berkata ” Sun, siapa ayah dari cabang bayi yang ada didalam rahim kamu ? Maaf sebelumnya ”

Sundari hanya diam dan kemudian airmata mengalir di balik tubir kelopak matanya. Dia berkata ” Saya miskin, saya tak berdaya., tapi inilah cobaan yang harus saya terima. Saya tahu orang kampung membenci saya dengan keadaan saya ini.” .Sekonyong konyong anak laki lakinya yang masih kecil datang mendekatinya. Anak itu merangkulnya dengan erat. Tak ada kata kata yang keluar. Namun nampak anak itu ingin melindungi ibunya dari segala nestapa. Aku mendekati anak itu. Kubelai kepala anak itu namun dengan cepat anak itu mengelak. Matanya merah menatapku.

” Ada apa? Kataku. Tak ada jawaban apapun dari anak itu.
” Mas...ini rahasia mohon jangan dibuka kepada siapapun. Kalau Mas mau tahu siapa anak dari bayi dalam kandungan ini. Itulah si Somad, anak juragan. Dia memperkosa saya. Kejadian itu disaksikan oleh anak laki laki saya. Makanya ketika anak saya melihat pria dewasa dekat saya, dia ketakutan...”
” Mengapa kamu tidak lapor polisi ? Tanyaku
” Somad itu preman. Dia mengancam akan membunuh anak anak saya kalau saya lapor dan lagi setelah kejadian itu Somad pergi entah kemana. Belakangan diketahui Somad meninggal ditembak polisi karena melarikan diri ketika hendak ditangkap. ”
” Mengapa kamu tidak beritahu kepada orang kampung hal yang sebenarnya ? Mengapa harus dirahasiakan ?
”Juragan sudah seperti orang tua kandung bagi saya. Ketika aku terlunta lunta sebagai yatim piatu, juraganlah yang menampung saya. Dia bersama istrinya merawatku dengan tulus walaupun anak anaknya tidak menyukaiku. Setelah istrinya meninggal dia menikahi ku, itupun karena dia ingin melindungiku dari ulah anak anaknya. Buktinya dia tidak pernah menyentuhku. Aku terima kebaikannya dengan tak pernah berhenti berterima kasih. Apapun pekerjaan dirumah , aku kerjakan. Aku tidak tahu kalau juragan cepat sekali menyusul istrinya. Aku hanya berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga kehormatan keluarganya sebisa kulakukan.Itulah sebabnya aku tidak mau membuka aib ini. ”
” Bukankah setelah juragan meniggal kamu mendapatkan suami. Kenapa begitu cepatnya mereka menceraikan kamu tanpa memberi apapun.”
” Dua kali aku bersuami. Itupun karena ulah anak anak juragan sebagai cara mereka membayar hutang yang ditinggalkan juragan”
” Oh...”
” Dan terakhir anak tertuanya memperkosaku ...” Sundari menangis. Namun dia tetap mendekap anaknya di pangkuannya. Curahan kasih sayang kepada anak anaknya tak pernah lekang walau dia sadar kehadiran anak anak itu karena hasil penidasan dan pemerkosaan.
” Ya, Sun...berat sekali cobaan hidup kamu. Yatim piatu, teraniaya, terbebani sepanjang hayat mu...”
” Dengan semua ini membuatku semakin dekat kepada Allah. ”
” Mengapa ? ”
” Mereka yang telah menzolimiku adalah ladang ibadah bagiku untuk bersabar menerimanya. Karena itulah aku begitu mencintai anak anakku . Sebagaimana Allah juga mencintaiku…”

***
Setelah Sun melahirkan, dia kembali bekerja di pabrik Bata. Belakangan aku tahu orang kampung mulai membicarakan keadaan Sun, yang katanya jadi piaran encek encek pemilik pabrik bata itu. Maklum pemilik pabrik itu duda tua dan tidak punya anak. Sun dan anak anaknya tinggal di paviliun rumah pemilik pabrik bata itu. Ternyata ketika aku datang ke rumah itu untuk mengobati pemilik pabrik itu, aku baru tahu bahwa Sun merawat orang tua itu. Belakangan aku tahu pemilik pabrik bata itu kembali ke Taiwan. Dia ingin mati dekat dengan keluarga besarnya. Pabrik di hibahkan kepada Sun. Setelah itu nasip Sun berubah. Usaha pabrik bata terus meningkat. Kini anak anaknya semuanya Sarjana, ikut mengembangkan bisnis ibunya.***

Uni dimadu.


Uni diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun Uni bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Uni ! Uni !” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Uni tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan Uni , menyeru namanya. ”Tapi Uni diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”

”Uni mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”

”Mengapa uni tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Uni Ros.

” Uni sedang malas bicara,” jawab Uni Ros. ”Ajaklah terus berkata-kata.”

”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”

”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut uni yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Nak. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.” Uni tetap tidak beringsut. Sudah lama uni serupa patung hidup. Sejak dia di pulangkan oleh suaminya , karena Uni tidak mau dimadu untuk kesekian kalinya. Suaminya guru mengaji dan juga acap diundang orang berdakwah. Pada waktu suaminya minta izin menikah untuk kali pertama, Uni bisa menerima karena Uni belum juga hamil setelah dua tahun menikah.

Tapi ketika suaminya minta izin menikah untuk ketiga kalinya Uni tidak menjawab apapun. Suaminya tetap melangsungkan pernikahan. Dan ketika suaminya menikah untuk keempat kalinya, Uni berontak dengan suara kencang sekali. Setelah itu Uni tidak lagi bicara. Dia menutup rapat mulutnya. Mungkin karena itu suaminya memulangkan Uni ke rumah kami.
”Baru kemarin aku baru bisa berangkat,” kata Paman Adi seperti minta maaf. ”Aku sibuk sekali. Banyak rapat bisnis yang harus aku lakukan.”

” Harus tunggu anak anak untuk jaga rumah. Baru bisa kemari. Maklum kami hanya berdua saja dirumah ” istri paman menambahkan.

”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada Uni. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”

Istri Paman Adi menghampiri uni. ”Tapi mau dia makan, Uni?

”Mau. Disuapi.”

”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu Uni. ”Disuapi engkau Meriani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.

”Tempo hari dia benturkan ke kaca rias,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”

”Kenapa bisa begitu Nak!” Seru Bibi. “ Tengoklah, Bang!” Kata bibi kepada Paman. Bibi merebahkan kepala Uni di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Meri? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik Uni mengerjap-ngerjap. Kemudian air  matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Uni Ros berlarian mendekat. ”Uni! Uni...! Mereka rangkul tangan dan tubuh Uni . Uni tersedu-sedu dalam pelukan bibi.

”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Adi.

”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”

”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Meri, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, tak ingin menerima istri durhaka kepada suami”

Paman Adi melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Uni ikut denganku ke jakarta ,” dia bilang.
”Bagaimana aku bisa pindah, Adi ? " jawab ibu. ”Rumah ini peninggalan Uda Amsar kau. Aku ingin membesarkan anak anak dirumah yang Uda kau dapat dari kerja kerasnya. Aku akan menjaga hartanya dan bekerja keras membesarkan konveksi yang diwariskan Uda kau”

” Uni masih muda. Menikahlah lagi”

" Sudah kepala lima usiaku. Tak terpikirkan bagiku untuk menikah lagi. Bagiku anak anak adalah tugas yang harus aku tuntaskan. Ini amanah dari Uda kau sebelum meninggal. Eh siapa pula yang mau menikahi ku…”

" Uni aku hanya ingin menghindarkan Uni dari fitnah. Di kampung ini orang mudah sekali bergunjing walau sumber berita fitnah belaka. Aku sebagai adik pria Uni harus bertanggung jawab terhadap kehormatan Uni.Kalau uni tak ingin menikah lagi, Ikutlah dengan Ku ke jakarta. Ajak keempat anak anak Uni. Tinggal dirumah ku. Kami dirumah hanya berdua saja. Kedua anak kami kan sekolah di luar negeri”

”Tak mau aku. Uni tahu kau sangat peduli dengan Uni. Tapi Uni akan baik baik saja. Yang penting sering seringlah telp Uni ya dan  tengokin uni Ya. “

Paman terdiam lama. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik sedan yang disewa paman di bandara sedang Parkir di halaman.Akhirnya paman berkata " Kalau begitu biarlah Meri ikut aku ke jakarta. Biar aku yang urus dia. Semoga dia bisa tenang disana dan bisa semangat lagi hidupnya untuk memulai hidup baru. Bolehkah Uni”

" Baguslah kalau itu keputusan kau Adi. Uni hanya turut saja. Kau pamannya kau lebih berhak atas kemenakan kau”

”Sstt!” ucap bibi perlahan. Mengejutkan kami. "Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala Uni hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.

Saat tidur begitu muka uni persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: Ayah meninggal , diceraikan suami, diasingkan orang Kampung. Padahal, sebelumnya Uni periang, terkadang terdengar menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Uni Ros berdoa, supaya ayah dilapangkan kuburnya dan kelak kami bisa berkumpul lagi di sorga.

Lalu tiba suatu hari karena status istri tertua dari tiga istri, suaminya kembali minta izin menikah keempat, serupa badai Dan suaminya itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin kepada ibu. Tetapi, mantan suaminya maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat uni mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian mantan suaminya itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah tinggal dirumah istri keempatnya di kampung sebelah. Sementara Uni semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.

”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Jakarta dapat menangani?”

”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Uni,” lanjut bibi.

”Kalau perlu kami bawa ke dokter di luar negeri. Sesekali akan kubawa pula dia umrah. Biar terbuka pikirannya”

”Kukhawatirkan justru Uni,” ulang Paman Adi. ”Ikutlah ke Jakarta!”
”Tak perlu khawatir, Adi" balas ibu. Sambil mengelus kepala paman ”Tidak semua orang jahat di kampung ini. ”

Uni terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami uni paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap uni jadi guru tamat IAIN. Sedangkan Uni Ros diharapkan menjadi dokter”.

”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah jadi pengusaha konveksi. "Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada uni kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun uni waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.”

" Ayah, aku ingin punya suami seperti Ayah. Walau tak gagah rupa tapi ayah sangat sayang ke bunda dan kami. Tak seperti Angku Jafar yang kaya itu , yang punya istri empat. Tak suka aku lihat gayanya" Kata Uni.

" Apa maksud mu soal si Jafar?

" Bolehkah aku tahu pendapat ayah soal poligami " kata Uni tanpa rasa sungkan. Dan ayah memang mendidik kami sangat demokratis. Apalagi antara ayah dan Uni dekat sekali. Uni sangat manja kepada ayah.

" Pria boleh berpoligami selama dibutuhkan untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim dari perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya. Itupun dengan syarat wanita itu sebatang kara. Tidak punya kakak laki laki atau adik laki laki, Tidak punya paman dan ayah. Tapi jarang pria menikah lagi karena niatnya melindungi perempuan yang ditinggal mati suaminya demi menjaga harta dan memelihara anak yatim. Umumnya pria menikah lagi dengan perawan atau karena kecantikan wanita. Lebih karena nafsu rendah. Kedua, pernikahan itu harus ADIL. Adil disini bukan soal nafkah lahiriah tapi soal batin, dalam hal perasaan, emosi, cinta, kasih sayang.”

" Oh betapa ketatnya Allah memberikan syarat poligami bagi laki-laki. Jadi benar secara syar’i poligami itu bukan hal mudah bagi laki-laki, bahkan tidak mungkin. “

" Benar anakku. Coba baca Annisa ayat 129 “walan tastati’u anta’dilu baina annisa walau harastum,” kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara istri-istrimu kalaupun kamu sangat ingin melakukan hal itu. Nabi Muhammad mengatakan “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus.” Masya Allah, ayah tidak mau terjadi seperti sabda Rasul itu. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa poligami bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya.”

Uni sangat tercerahkan dengan pitutuah ayah itu. Kelak setelah Uni menikah , Uni selalu unggul dalam debat dengan suaminya yang meminta izin menikah lagi. Tapi entah mengapa semakin Uni paham dalil soal poligami semakin menjadi jadi gila kelakuan suaminya. Tak penting Uni setuju atau tidak, suaminya tetap menikah dengan seringai srigalanya

”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Adi . ”Kubawa Meri sekalian. Jaga diri Uni baik baik. Kalau ada apa apa telp aku. Si Burhan kalau tamat SLTP suruh dia ke jakarta biar aku urus pula dia.”

Ibu mengangguk-angguk. Ibu bernapas lega. Besoknya, Uni dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Uni telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, setidaknya mantan suaminya takkan lagi bisa tersenyum mengejek melihat Uni lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah kami.

Di era sekarang , akal memperluas cakrawala, dan hati memperkaya Sukma. Sorga itu janji Tuhan namun cinta Tuhan yang utama. Bukan banyak ritual agama yang dituju tapi ikhlas yang utama .Uni telah bersikap dengan ilmunya dan hatinya menerima dengan berat namun ia berusaha ikhlas. Suaminyapun telah bersikap dengan ilmunya namun bertindak dengan nafsunya. Kami dibesarkan oleh ayah yang taat beragama namun rendah hati dalam beriman. Dan keperkasaannya sebagai pria tidak ditunjukkan kemampuannya menikahi banyak wanita tapi mendidik anak dan istri dengan teladan akhlak mulia. Paman Adi pengusaha hebat namun adat dan agama tetap menjadi bagian hidupnya. Anak dipangkunya, kemanakan dilindunginya dan saudara perempuan dijaganya dari fitnah...***

Kelas Menengah di Indonesia.

  Saya datang ke Cafe itu dengan agak males. Karena ini cafe anak muda yang ada di jantung kota di puncak office tower. Entah mengapa Alisa ...