Friday, May 01, 2020

Sundari.


Sundari namanya. Orang kampung mengenal dia sebagai wanita yang lincah. Walau tidak begitu cantik namun senyumnya membuat kebanyakan pemuda kampung acap melirik diam diam kearahnya. Sundari memang mudah sekali akrab dengan siapapun. Namun dalam usia delapan tahun, Ayahnya meninggal. Diapun yatim karena. Dua tahun kemudian, ibunyapun meninggal. Maka tinggallah Sundari seorang diri. Kalaupun ada sanak family namun kehidupan mereka tak cukup mampu dibebani oleh Sundari. Salah satu penduduk kampung juragan kaya berbaik hati untuk menolongnya. Sundari pun tinggal sama keluarga itu. Demikianlah sekilas yang kukenal tentang Sundari. Selebihnya aku tidak tahu lagi. Karena aku keburu berangkat kekota untuk meneruskan kuliah.

Usiaku dengan Sundari terpaut empat tahun. Jadi ketika dia masih kelas 1 SMP aku sudah menamatkan SLA. Aku memang jarang pulang kampung. Dalam lima tahun kuliah ke dokteran di kota baru dua kali pulang. Itupun ketika mau susun skripsi dan mendapat kabar ayah sakit. Ketika aku pulang baru kutahu dari Bunda bahwa Sundari dalam usia 17 tahun, belum tamat SLA sudah diambil sebagai istri oleh juragan kaya.

Sebelumnya juragan kaya itu adalah ayah angkatnya. Namun ketika istri juragan itu meninggal Sundari-pun dijadikan istri. Mungkin diam diam, juragan kaya itu menaruh hati kepada Sundari. Aku tidak banyak komentar ketika Bunda cerita soal Sundari. Namun yang membuatku miris adalah Sundari diperlakukan seperti pembantu rumah tangga oleh anak anak juragan itu yang sebagian mereka sudah besar besar. Bahkan ada yang seusia Sundari.

Berjalannya waktu, setelah menamatkan kedokteran, aku diterima untuk bekerja. Ditempatkan di Puskesmas dikecamatan. Kebetulan tak begitu jauh dari kampungku. Hanya 2 jam perjalanan dengan bus ke kampungku. Walau ada rumah dinas disediakan dekat puskemas namun aku memilih untuk setiap libur pulang kekampung. Sejak itulah aku mengenal lebih banyak tentang Sundari.

Setelah juragan kaya itu meninggal, Tak berapa lama setelah itu, Sundari menikah.. Diapun hamil. Namun setelah itu suaminya mengusirnya keluar dari rumah. Tak berapa lama setelah itu diapun menikah lagi. Hamil dan punya anak. Seperti sebelumnya, diapun diusir oleh suaminya.. Tinggalah Sundari dengan beban dua anak. Dia tinggal dirumah gubuk dipinggir kampung. Untuk menopang hidupnya dia bekerja dipabrik bata.

Siang itu , aku hendak pulang kerumah untuk makan siang. Karena rumahku tepat berada di sebelah Puskesmas. Ketika tepat di pintu keluar, aku melihat di ruang tunggu Sundari sedang terduduk lemas. Matanya redup dan wajahnya pucat. Dua anaknya ada di sampingnya.

” Sun ” Sapaku.
Dia membuka matanya dengan lemah. ” Eh, Mas..aku mau berobat...”
”Ya sudah masuk kedalam. Biar aku periksa ” Aku membimbingnya ke dalam ruang pemeriksaan. Setelah kuperiksa, ternyata Sundari hamil. Kupandang wajahnya dengan seksama. Siapa yang telah menghamilinya? Padahal dia tidak ada suami. Semua sudah bercerai.
” Sun, kamu hamil ” Kataku dengan hati hati sambil tersenyum
” Ya, Mas..” Nampak air matanya berlinang.
” Jaga kesehatan kamu , ya. Itu yang penting”
” Ya Mas…”

Tak banyak yang bisa kukatakan. Aku hanya terenyuh dengan keadaan Sundari. Apalagi melihat kedua anaknya yang masih kecil kecil. Pikiranku masih kepada Sundari walau dia sudah lama pergi. Entah kenapa , aku melihat sosok ketegaran di balik tubuhnya yang rapuh, matanya yang redup kelelahan dalam derita. Ya, aku tahu pasti bahwa Sundari sangat menderita. Dulu bersuami dan punya anak tapi kini hamil tak jelas siapa suaminya. Lantas bagaimana ini bisa terjadi? Apakah Sundari melacurkan diri ? Atau ada orang lain yang memperkosanya ?

Entah bagaimana cerita , hanya seminggu setelah pemeriksaan di puskesmas , cerita tentang Sundari hamil beredar keseluruh kampung. Jadi pembicaraan ibu ibu di pasar atau di sawah. Yang anehnya tak ada satupun yang tahu siapa yang telah menghamili Sundari. Makanya para ibu mulai kawatir bila salah satu dari suami mereka adalah yang menghamili Sundari. Tak ada satupun tetua kampung ataupun para ibu ibu yang berani bertanya langsung kepada Sundari tentang siapa yang telah menghamilinya. Namun , yang pasti Sundari semakin terisolasi dari pergaulan di kampung. Dia dicemoohkan oleh orang banyak. Namun dia tetap sabar. Senyumnya menatap siapapun tak pernah kering. Walau perutnya semakin membesar.

Aku mencoba untuk mencari tahu tentang keadaan Sundari. Ketika libur aku pulang kampung. Kudatangi Rumah Sundari dengan membawa vitamin. Sebetulnya keluargaku melarang keras. Alasan aib berkunjung kerumah janda yang hamil. Tapi aku tidak peduli. Karena alasan kemanusiaan. Tidak ada salahnya dokter untuk mengunjungi pasiennya, diminta ataupun tidak. Apalagi Sundari hidup dalam kemiskinan.

” Sun, ini aku bawakan vitamin untuk kamu makan.” Kataku ketika berada di depan pintu rumahnya. Ketika itu siang hari. Sun masih dalam keadaan memakai mukena. Aku terkejut. Bayanganku bahwa dia melacurkan diri ,adalah tidak mungkin. Dia mempersilahkan aku masuk.
” Engga usah repot repot mas. Aku baik baik aja kok. ” Wajahnya menunduk.
” Ya ini vitamin bagus untuk kesehatan kamu yang lagi hamil”
” Terimakasih Mas,”
Tak tahu harus bicara apa lagi. Namun entah kenapa aku berkata ” Sun, siapa ayah dari cabang bayi yang ada didalam rahim kamu ? Maaf sebelumnya ”

Sundari hanya diam dan kemudian airmata mengalir di balik tubir kelopak matanya. Dia berkata ” Saya miskin, saya tak berdaya., tapi inilah cobaan yang harus saya terima. Saya tahu orang kampung membenci saya dengan keadaan saya ini.” .Sekonyong konyong anak laki lakinya yang masih kecil datang mendekatinya. Anak itu merangkulnya dengan erat. Tak ada kata kata yang keluar. Namun nampak anak itu ingin melindungi ibunya dari segala nestapa. Aku mendekati anak itu. Kubelai kepala anak itu namun dengan cepat anak itu mengelak. Matanya merah menatapku.

” Ada apa? Kataku. Tak ada jawaban apapun dari anak itu.
” Mas...ini rahasia mohon jangan dibuka kepada siapapun. Kalau Mas mau tahu siapa anak dari bayi dalam kandungan ini. Itulah si Somad, anak juragan. Dia memperkosa saya. Kejadian itu disaksikan oleh anak laki laki saya. Makanya ketika anak saya melihat pria dewasa dekat saya, dia ketakutan...”
” Mengapa kamu tidak lapor polisi ? Tanyaku
” Somad itu preman. Dia mengancam akan membunuh anak anak saya kalau saya lapor dan lagi setelah kejadian itu Somad pergi entah kemana. Belakangan diketahui Somad meninggal ditembak polisi karena melarikan diri ketika hendak ditangkap. ”
” Mengapa kamu tidak beritahu kepada orang kampung hal yang sebenarnya ? Mengapa harus dirahasiakan ?
”Juragan sudah seperti orang tua kandung bagi saya. Ketika aku terlunta lunta sebagai yatim piatu, juraganlah yang menampung saya. Dia bersama istrinya merawatku dengan tulus walaupun anak anaknya tidak menyukaiku. Setelah istrinya meninggal dia menikahi ku, itupun karena dia ingin melindungiku dari ulah anak anaknya. Buktinya dia tidak pernah menyentuhku. Aku terima kebaikannya dengan tak pernah berhenti berterima kasih. Apapun pekerjaan dirumah , aku kerjakan. Aku tidak tahu kalau juragan cepat sekali menyusul istrinya. Aku hanya berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga kehormatan keluarganya sebisa kulakukan.Itulah sebabnya aku tidak mau membuka aib ini. ”
” Bukankah setelah juragan meniggal kamu mendapatkan suami. Kenapa begitu cepatnya mereka menceraikan kamu tanpa memberi apapun.”
” Dua kali aku bersuami. Itupun karena ulah anak anak juragan sebagai cara mereka membayar hutang yang ditinggalkan juragan”
” Oh...”
” Dan terakhir anak tertuanya memperkosaku ...” Sundari menangis. Namun dia tetap mendekap anaknya di pangkuannya. Curahan kasih sayang kepada anak anaknya tak pernah lekang walau dia sadar kehadiran anak anak itu karena hasil penidasan dan pemerkosaan.
” Ya, Sun...berat sekali cobaan hidup kamu. Yatim piatu, teraniaya, terbebani sepanjang hayat mu...”
” Dengan semua ini membuatku semakin dekat kepada Allah. ”
” Mengapa ? ”
” Mereka yang telah menzolimiku adalah ladang ibadah bagiku untuk bersabar menerimanya. Karena itulah aku begitu mencintai anak anakku . Sebagaimana Allah juga mencintaiku…”

***
Setelah Sun melahirkan, dia kembali bekerja di pabrik Bata. Belakangan aku tahu orang kampung mulai membicarakan keadaan Sun, yang katanya jadi piaran encek encek pemilik pabrik bata itu. Maklum pemilik pabrik itu duda tua dan tidak punya anak. Sun dan anak anaknya tinggal di paviliun rumah pemilik pabrik bata itu. Ternyata ketika aku datang ke rumah itu untuk mengobati pemilik pabrik itu, aku baru tahu bahwa Sun merawat orang tua itu. Belakangan aku tahu pemilik pabrik bata itu kembali ke Taiwan. Dia ingin mati dekat dengan keluarga besarnya. Pabrik di hibahkan kepada Sun. Setelah itu nasip Sun berubah. Usaha pabrik bata terus meningkat. Kini anak anaknya semuanya Sarjana, ikut mengembangkan bisnis ibunya.***

Uni dimadu.


Uni diam saja. Hanya memandang. Lurus. Kosong, jauh. Lebih-lebih kalau duduk depan jendela. Angin kadang memburai-burai rambutnya sampai masai, namun Uni bergeming. Matanya terus menerawang ke cakrawala. Wajahnya tambah putih, kian lesi. Tidak jarang air matanya merambat sepanjang pipi. ”Uni ! Uni !” adik-adik mengimbau, berlari mendekati, memeluk, serta menarik-narik tangannya. Uni tak hirau. Tetapi ibu terus bicara. Ibu bilang kami juga harus sering bicara dengan Uni , menyeru namanya. ”Tapi Uni diam saja,” kata adik-adik. ”Seperti tak mendengar.”

”Uni mendengar,” ujar ibu. ”Dia sayang sekali kepada kalian.”

”Mengapa uni tidak menyahut?” adik terkecil bertanya kepada Uni Ros.

” Uni sedang malas bicara,” jawab Uni Ros. ”Ajaklah terus berkata-kata.”

”Malas bicara, seperti kalau aku ngambek?”

”Ya. Begitu.”

Sambil lambat-lambat menyisir rambut uni yang sepinggang ibu berucap, ”Ai, ai, harum dan bagus sekali rambutmu, Nak. Ikal. Legam. Ah, tidak elok kita terus mengenang yang sudah-sudah sampai rambut tak terurus. Itu, paman dan bibimu tiba, Nak. Salamilah paman dan bibimu.” Uni tetap tidak beringsut. Sudah lama uni serupa patung hidup. Sejak dia di pulangkan oleh suaminya , karena Uni tidak mau dimadu untuk kesekian kalinya. Suaminya guru mengaji dan juga acap diundang orang berdakwah. Pada waktu suaminya minta izin menikah untuk kali pertama, Uni bisa menerima karena Uni belum juga hamil setelah dua tahun menikah.

Tapi ketika suaminya minta izin menikah untuk ketiga kalinya Uni tidak menjawab apapun. Suaminya tetap melangsungkan pernikahan. Dan ketika suaminya menikah untuk keempat kalinya, Uni berontak dengan suara kencang sekali. Setelah itu Uni tidak lagi bicara. Dia menutup rapat mulutnya. Mungkin karena itu suaminya memulangkan Uni ke rumah kami.
”Baru kemarin aku baru bisa berangkat,” kata Paman Adi seperti minta maaf. ”Aku sibuk sekali. Banyak rapat bisnis yang harus aku lakukan.”

” Harus tunggu anak anak untuk jaga rumah. Baru bisa kemari. Maklum kami hanya berdua saja dirumah ” istri paman menambahkan.

”Paham aku itu,” balas ibu mengangguk, lalu menoleh kepada Uni. ”Begitu keadaannya, lihatlah.”

Istri Paman Adi menghampiri uni. ”Tapi mau dia makan, Uni?

”Mau. Disuapi.”

”Disuapi?” Bibi senyum memeluk bahu Uni. ”Disuapi engkau Meriani, anak rancak? Eh, kenapa keningnya ini?” Senyum bibi tiba-tiba lenyap.

”Tempo hari dia benturkan ke kaca rias,” sahut ibu. ”Tapi tidak dalam. Sudah kering sekarang.”

”Kenapa bisa begitu Nak!” Seru Bibi. “ Tengoklah, Bang!” Kata bibi kepada Paman. Bibi merebahkan kepala Uni di dadanya. Membelai-belai rambut dekat luka. ”Masih rajin engkau mengaji, Meri? Nanti mengaji, ya. Bibi ingin mendengarmu mengaji. Pamanmu juga.” Tidak berjawab. Hanya bulu mata lentik Uni mengerjap-ngerjap. Kemudian air  matanya membersit lambat-lambat, bagai rembesan pada panci rusak.

”Lepaskan, Nak. Tumpahkan terus. Menangislah keras-keras!” ujar bibi masih tersenyum. Kakak terisak. Bahunya bergerak-gerak. Adik-adik dan Uni Ros berlarian mendekat. ”Uni! Uni...! Mereka rangkul tangan dan tubuh Uni . Uni tersedu-sedu dalam pelukan bibi.

”Maulud Nabi kemarin sudah tak disuruh orang dia mengaji,” kata ibu seperti berbisik kepada Paman Adi.

”Buya Nawawi juga tidak menyuruh?”

”Dia tetap. Sengaja buya tua itu kemari. ’Siapa pula anak gadis sefasih engkau mengaji Meri, ia bilang. Mengajilah saat maulud, sebagai biasa’. Tapi yang muda-muda menolak. Sekarang orang-orang muda berkuasa di surau. Katanya, tak ingin menerima istri durhaka kepada suami”

Paman Adi melempar pandang ke luar rumah. Sebuah bendi lewat di muka rumah, penumpangnya tak menengok. Paman kembali melihat ibu. ”Sebaiknya Uni ikut denganku ke jakarta ,” dia bilang.
”Bagaimana aku bisa pindah, Adi ? " jawab ibu. ”Rumah ini peninggalan Uda Amsar kau. Aku ingin membesarkan anak anak dirumah yang Uda kau dapat dari kerja kerasnya. Aku akan menjaga hartanya dan bekerja keras membesarkan konveksi yang diwariskan Uda kau”

” Uni masih muda. Menikahlah lagi”

" Sudah kepala lima usiaku. Tak terpikirkan bagiku untuk menikah lagi. Bagiku anak anak adalah tugas yang harus aku tuntaskan. Ini amanah dari Uda kau sebelum meninggal. Eh siapa pula yang mau menikahi ku…”

" Uni aku hanya ingin menghindarkan Uni dari fitnah. Di kampung ini orang mudah sekali bergunjing walau sumber berita fitnah belaka. Aku sebagai adik pria Uni harus bertanggung jawab terhadap kehormatan Uni.Kalau uni tak ingin menikah lagi, Ikutlah dengan Ku ke jakarta. Ajak keempat anak anak Uni. Tinggal dirumah ku. Kami dirumah hanya berdua saja. Kedua anak kami kan sekolah di luar negeri”

”Tak mau aku. Uni tahu kau sangat peduli dengan Uni. Tapi Uni akan baik baik saja. Yang penting sering seringlah telp Uni ya dan  tengokin uni Ya. “

Paman terdiam lama. Menyulut rokok. Melihat pula ke luar. Orang-orang tetap lewat di muka rumah, tak menengok. Hanya melirik sedan yang disewa paman di bandara sedang Parkir di halaman.Akhirnya paman berkata " Kalau begitu biarlah Meri ikut aku ke jakarta. Biar aku yang urus dia. Semoga dia bisa tenang disana dan bisa semangat lagi hidupnya untuk memulai hidup baru. Bolehkah Uni”

" Baguslah kalau itu keputusan kau Adi. Uni hanya turut saja. Kau pamannya kau lebih berhak atas kemenakan kau”

”Sstt!” ucap bibi perlahan. Mengejutkan kami. "Tidur.” Berbisik pula pada adik-adik, ”Ambil bantal, selimut!” Lalu dia rebahkan kepala Uni hati-hati. Dia luruskan kakinya. Diselimuti.

Saat tidur begitu muka uni persis bayi. Bersih. Polos. Tak sedikit pun tersisa galau yang mendera: Ayah meninggal , diceraikan suami, diasingkan orang Kampung. Padahal, sebelumnya Uni periang, terkadang terdengar menyanyi di kamar mandi: tak ’kan lari gunung dikejar/ hasrat hati rasa berdebar…. Atau diajaknya adik-adik, aku, Uni Ros berdoa, supaya ayah dilapangkan kuburnya dan kelak kami bisa berkumpul lagi di sorga.

Lalu tiba suatu hari karena status istri tertua dari tiga istri, suaminya kembali minta izin menikah keempat, serupa badai Dan suaminya itu muncul di suatu petang, berwajah dingin memulangkan cincin kepada ibu. Tetapi, mantan suaminya maupun keluarganya selalu lewat di depan rumah dengan dagu terangkat pongah, saat uni mulai terbiasa duduk di muka jendela. Kemudian mantan suaminya itu memang tidak terlihat lagi. Kata orang ia sudah tinggal dirumah istri keempatnya di kampung sebelah. Sementara Uni semakin betah di muka jendela, menatap kejauhan tak berbatas.

”Sudah ke mana-mana kuobati,” kata ibu, memandang paman serta bibi penuh harap. ”Belum juga ia berubah. Ada kira-kira dokter di Jakarta dapat menangani?”

”Ada!” Paman dan bibi menjawab serempak. ”Tenanglah Uni,” lanjut bibi.

”Kalau perlu kami bawa ke dokter di luar negeri. Sesekali akan kubawa pula dia umrah. Biar terbuka pikirannya”

”Kukhawatirkan justru Uni,” ulang Paman Adi. ”Ikutlah ke Jakarta!”
”Tak perlu khawatir, Adi" balas ibu. Sambil mengelus kepala paman ”Tidak semua orang jahat di kampung ini. ”

Uni terus tidur di beranda, tak bergerak-gerak seperti bayi. Napasnya lunak. Kulitnya bersih. Putih. Apa gerangan terlintas di pikirannya sehingga mukanya begitu bersih dan tenang? Apakah dalam tidurnya dia bertemu ayah? Di antara kami uni paling dekat dengan ayah. Barangkali karena perempuan, putri sulung; tapi tangannya campin pula, terampil-cekatan menangani rumah. Ayah bangga dengannya, berharap uni jadi guru tamat IAIN. Sedangkan Uni Ros diharapkan menjadi dokter”.

”Kakek-nenek kalian guru. Mestinya ayah juga. Tetapi malah jadi pengusaha konveksi. "Ayah tertawa suatu ketika. ”Syukur ada uni kalian, ya?” Kami mengangguk, turut bangga walaupun uni waktu itu baru kelas satu Sekolah Guru Atas.”

" Ayah, aku ingin punya suami seperti Ayah. Walau tak gagah rupa tapi ayah sangat sayang ke bunda dan kami. Tak seperti Angku Jafar yang kaya itu , yang punya istri empat. Tak suka aku lihat gayanya" Kata Uni.

" Apa maksud mu soal si Jafar?

" Bolehkah aku tahu pendapat ayah soal poligami " kata Uni tanpa rasa sungkan. Dan ayah memang mendidik kami sangat demokratis. Apalagi antara ayah dan Uni dekat sekali. Uni sangat manja kepada ayah.

" Pria boleh berpoligami selama dibutuhkan untuk menjaga dan mengelola harta anak yatim dari perempuan-perempuan yang ditinggal suaminya. Itupun dengan syarat wanita itu sebatang kara. Tidak punya kakak laki laki atau adik laki laki, Tidak punya paman dan ayah. Tapi jarang pria menikah lagi karena niatnya melindungi perempuan yang ditinggal mati suaminya demi menjaga harta dan memelihara anak yatim. Umumnya pria menikah lagi dengan perawan atau karena kecantikan wanita. Lebih karena nafsu rendah. Kedua, pernikahan itu harus ADIL. Adil disini bukan soal nafkah lahiriah tapi soal batin, dalam hal perasaan, emosi, cinta, kasih sayang.”

" Oh betapa ketatnya Allah memberikan syarat poligami bagi laki-laki. Jadi benar secara syar’i poligami itu bukan hal mudah bagi laki-laki, bahkan tidak mungkin. “

" Benar anakku. Coba baca Annisa ayat 129 “walan tastati’u anta’dilu baina annisa walau harastum,” kamu tidak akan bisa berbuat adil di antara istri-istrimu kalaupun kamu sangat ingin melakukan hal itu. Nabi Muhammad mengatakan “Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus.” Masya Allah, ayah tidak mau terjadi seperti sabda Rasul itu. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa poligami bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya.”

Uni sangat tercerahkan dengan pitutuah ayah itu. Kelak setelah Uni menikah , Uni selalu unggul dalam debat dengan suaminya yang meminta izin menikah lagi. Tapi entah mengapa semakin Uni paham dalil soal poligami semakin menjadi jadi gila kelakuan suaminya. Tak penting Uni setuju atau tidak, suaminya tetap menikah dengan seringai srigalanya

”Rencanaku besok kembali,” ucap Paman Adi . ”Kubawa Meri sekalian. Jaga diri Uni baik baik. Kalau ada apa apa telp aku. Si Burhan kalau tamat SLTP suruh dia ke jakarta biar aku urus pula dia.”

Ibu mengangguk-angguk. Ibu bernapas lega. Besoknya, Uni dibawa paman dan istrinya. Ibu menangis. Kami juga. Rumah jadi lengang—lengang sekali. Uni telah pergi. Tidak lagi berada di tengah-tengah kami. Dekat kami. Tapi, setidaknya mantan suaminya takkan lagi bisa tersenyum mengejek melihat Uni lagi termenung di depan jendela, memandang gunung ataupun kejauhan tiada batas. Tidak dapat lagi dia atau keluarganya mengangkat dagu dengan pongah bila lewat di muka rumah kami.

Di era sekarang , akal memperluas cakrawala, dan hati memperkaya Sukma. Sorga itu janji Tuhan namun cinta Tuhan yang utama. Bukan banyak ritual agama yang dituju tapi ikhlas yang utama .Uni telah bersikap dengan ilmunya dan hatinya menerima dengan berat namun ia berusaha ikhlas. Suaminyapun telah bersikap dengan ilmunya namun bertindak dengan nafsunya. Kami dibesarkan oleh ayah yang taat beragama namun rendah hati dalam beriman. Dan keperkasaannya sebagai pria tidak ditunjukkan kemampuannya menikahi banyak wanita tapi mendidik anak dan istri dengan teladan akhlak mulia. Paman Adi pengusaha hebat namun adat dan agama tetap menjadi bagian hidupnya. Anak dipangkunya, kemanakan dilindunginya dan saudara perempuan dijaganya dari fitnah...***

Rubuhnya adat.


“ Assalamualaikum “ terdengar suara Uni Ana diseberang.
“ Uni ada Bang Man? 
“ Dia ke masjid sholat Maghrib. Ada apa Li?
“ Bang Amsar masuk rumah sakit. Keliatannya gawat”
“ Ya Allah. Sakit apa?
" Belum tahu sakitnya apa.
“ Ya ya nanti uni kabarkan ke Bang Man.”
“ Assalamu'alaikum " cepat saja aku akhiri telp
“ Waalaikum salam.
Benarlah tak berapa lama telp selularku bergetar “ Li, Ada apa dengan bang Amsar?
“ Tadi sehabis sholat Lohor terjatuh di toko nya. “
“ Sekarang bagaimana keadaannya ?
“ Masih di rumah sakit, bang. Abang cepatlah datang. Ini Li sedang di jalan sama Uda.”
“ Ya tapi Bang Man ada kegiatan di Masjid sehabis Isya. “ 
“ Abang..dulukanlah datang ke rumah sakit. Mandeh sudah Li kabarin. Sekarang sudah di bandara untuk terbang ke Jakarta. “
“ Tapi engga semudah itu meninggalkan jamaah Li.” 
“ Ah Abang. Ya udahlah suka suka abang ajalah.”
“ Nanti sehabis acara di masjid Bang Man akan datang ke Rumah sakit.”
“ Ya udah.”
Aku hanya menghela nafas panjang. Nampak di sebelah Uda Adi, memandang keluar jendela kendaraan. Nampak dia paham betul kelakuan Bang Man. 
“ Sudah kau hubungi, si Tias ?
“ Malas aku telp dia. “
“ Telp lah. Dia adik laki laki kau. “
Kalaulah bukan suami yang suruh tak mau aku telp Tias. 
“ Hallo “ Terdengar suara di seberang 
“ Aku hanya mau kabarin Bang Amsar sakit keras. Sekarang di rumah sakit.Datang lah.”
“ Ya Allah, sakit apa ?
“ Tak tahu aku. Cepatlah kau datang”
“ Ya Uni. Tapi aku sudah di Bandara mau ke luar negeri.“ 
“ Tak bisa kau tunda pergi ke Luar negeri.”
“ Tak bisa Uni. Ini sudah di jadwalkan dari minggu lalu. Minggu depan aku sudah pulang. Aku segera ke rumah sakit. Aku doakan semoga Bang Amsar sehat sehat saja.”

Sesampai di Rumah Sakit , nampak semua putra putri Bang Amsar sudah kumpul. Uni Mar tambak tabah mendampingi Bang Amsar yang belum juga sadarkan diri. Menurut Uni Mar, keadaan bang Amsar tak menentu. Penyakitnya karena gula darahnya tinggi sekali dan karena itu penyebab stroke. Selepas Isya, Bunda sudah datang di rumah sakit bersama Paman Datuk. Nampak tak sekalipun Bunda melepaskan tanganya menggenggam jemari Bang Amsar. Aku tahu Bunda berdoa kepada Allah untuk bang Amsar. Kadang nampak Bunda sedang membisikan sesuatu ke telinga Bang Amsar. Paman berdiri di unjuran tempat tidur sambil memperhatikan keadaan Bang Amsar. Paman bersedih. Selang beberapa lama setelah kedatangan Bunda, telah berlaku takdir untuk Bang Amsar. Dia di panggil pulang oleh Allah. Bunda berlinang air mata namun tak terdengar maratap. Putra putri Bang Amsar nampak tabah walau tak bisa menyembunyikan duka mereka.

Paman bersegera memeluk Putri Bang Amsar yang nampak terkulai lemah “ Upik sabar ya sayang. ini sudah kehendak Allah. Mulai sekarang , Upi akan jadi tanggung jawab Babo”. Putra bang Amsar kupeluk agar dia tetap tenang walau aku sendiri tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan kakak tersayangku. Kakak yang bertanggung jawab terhadap ku sejak Abak meninggal. Dia tanggung biaya pendidikanku sampai jadi sarjana. Dia pula yang mengurus perkawinanku. Setiap ada masalah, Bang Amsar selalu ada untukku. Beda sekali dengan Bang Man dan Tias.

***
Seusai Sholat Maghrib, kami berkumpul di ruang tamu. Bang Man datang bersama anak dan istrinya. Tias juga datang bersama istri dan anak anaknya. Aku datang bersama Uda Adi dan anak anaku. Putra putri Almarhum Bang Amsar duduk di samping Bunda. Uni Mar masih belum bisa menghilangkan dukanya walau telah seminggu kepergiaan Bang Amsar. Seakan airmatanya tak pernah kering. Selalu berlinang airmatanya bila ingat Bang Amsar. Aku memeluk bahu Uni Mar agar tetap kuat. Hari ini kami berkumpul untuk membicarakan soal masa depan ponakan kami.

“ Paman kumpulkan kalian karena ini menyangkut ponakan kalian. Abang kalian tidak meninggalkan warisan berlebih kecuali hanya toko di pasar tradisional itu. Si Yudi sekarang masih kuliah. Si Murni tahun depan akan kuliah. Sekarang di keluarga besar kita kau , Herman yang tertua. Bagaimana pendapat kau ? “ Kata paman sambil pandangan ke pada kami semua.

“ Paman, Kehidupan ekonomi ku tak mampu menanggung biaya mereka. Penghidupanku hanya dari guru mengaji dan pengurus Masjid. Ekonomi keluagaku ditopan oleh istriku yang berdagang buku buku agama di halaman Masjid. Jadi maafkan aku paman. “ Kata Bang Man.

Paman menatap seksama Bang Man yang berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. 

“ Baiklah. Paman paham. Bagaimana dengan kau Tias.”

Tias sebetulnya ingin mengucapkan sesuatu namun mata takutnya terpancar ketika menatap wajah istrinya. Akhirnya dia tertunduk wajah juga. 

“ Maaf paman. “ Kata istri Tias. “ Bukankah Almarhum Bang Amsar punya warisan rumah dan toko. Kami rasa itu lebih dari cukup. Nanti kalau ada kurang, kami akan bantu sebisanya. “

Paman seakan tak pedulikan kata kata istri Tias “ Bicaralah kau Tias. Sudah hilang sifat laki laki minang kau ? Berubah gadang sarawa kau ? Kata paman tegas.

Tias hanya diam. 

Paman mengalihkan pandangan ke arah Bunda. Seakan minta Bunda bicara. 

“ Anakku. Dari kecil Mandeh dan Abak kalian membesarkan kalian dengan cinta. Kami bukan orang kaya. Abak kalian hanya pengawai rendahan di kabupaten. Namun dari kecil kami tanamkan kepada kalian untuk saling mengasihi. Yang tua menjaga yang kecil, Yang kecil menaruh hormat kepada kakaknya. Tapi entahlah karena zaman keadaan berubah. Melihat kehidupan kau Tias, Herman, mandeh sedih. Kalian di besarkan oleh didikan agama dan adat yang kental. Tapi kini kalian bukan lagi putra minang dan bukan orang beragama yang beradat. “ Kata Bunda dengan suara datar.

“ Mandeh..” Kata Bang Herman. “ Saya berhenti bekerja di Bank karena ingin mewakafkan ilmu agama yang ku pelajari dari guru. HIdupku tak sekaya Bang Amsar dan Tias. Tapi aku berjihad karena Allah. Kita harus berjuang agar tegaknya syariah di negeri ini “ Sambung Bang Herman.

“ Herman. Mandeh tidak melarang kamu belajar ilmu Agama. Mandeh senang. Tapi sebaik baiknya jihad Nak adalah apabila yang wajib telah kamu penuhi. Pastikan terlebih dahulu rumah tangga mu aman secara materi. Jangan kau bebani istrimu dengan pekerjaan yang seharusnya itu menjadi tanggung jawabmu. Apalagi kau mampu berbuat lebih dengan tenaga dan pendidikanmu. Setelah aman keluargamu, maka bantulah orang terdekatmu dengan hartamu, dengan ilmu yang kamu punya. Bantu mereka berdiri dan melangkah dan tercerahkan. Kalau masih ada lebih harta itu, bantulah tetanggamu, anak yatim dan piatu. Bantu mereka sebisa kamu lakukan. Tapi ini, kau mengaku berjihad tapi hidupmu ditopang oleh istrimu dan berharap orang lain menyumbang setiap dakwah mu. Kau berjuang ingin mengubah negeri ini bersyariah tapi menjadikan dirimu lebih baik saja tidak mampu. Yang kau lakukan benar benar bukan sifat pria minang. Kau beragama tapi tak beradat. “

“ Aku sadar Mandeh. Tapi untuk bisa seperti yang mandeh sampaikan itu, perlu harta tidak sedikit. Perlu waktu banyak, Kapan lagi ada waktu aku mengurus umat ?

“ Kau tak perlu berlaku seperti Allah. Seakan tanpa kau , urusan umat terbengkelai, Yang urus umat itu, ya Allah. Hidayah itu dari Allah, bukan karena kamu orang bertambah baik dan sholeh. Negeri ini sudah merdeka dan sebagian besar pendiri negara adalah Ulama besar di zamannya. Mengapa pula kau mau ubah? Kalaulah memang kehendak Allah negeri ini bersyariah, mengapa tidak dari awal saja negeri ini negara Islam ? Bukannya Pancasila. Jangan kau menggantang asap. Hidup dalam angan angan adalah dosa besar. Itu tipu daya iblis, anakku. Tirulah Bang Amsar. Dia sangat taat beragama namun dia perkerja keras. Dia tidak kaya seperti Tias, tapi dia urus si LIli sampai jadi sarjana dan menikahpun dia tanggung. Anakmu pun sekolah dia bantu, Tetangganya yang miskin di bantunya. Walau tak ada uang berlebih namun seminggu sekali dia sempatkan diri mendatangi setiap kios di pasar dimana tromol amal untuk anak Panti Asuhan ditempatkan. Walau Bang Amsar mu meninggal tak berharta berlebih, mandeh yakin Allah akan menjaga keselamatan Anak anaknya. Karena kebaikan yang ditebar akan berbuah kini atau besok, kepada kita atau kepada keturunan kita. Paham kau ?

Bang Man terdiam. Tak sanggup dia memandang wajah Mandeh.

“ Kau, Tias ? Mata Mandeh di arahkan kepada Martias, adikku. “ Entahlah bagaimana mandeh harus katakan kepadamu Nak. Kau kejar harta dan tengggelamkan hidupmu hanya untuk keluargamu. Kau tak peduli dengan keluarga besarmu. Kalau kepada keluarga saja kau berhitung bagaimana kau bisa ikhlas membantu orang lain ? Tirulah Bang Amsar kau, Dia tidak kaya tapi dia tanggung biaya kau sampai jadi Sarjana. Padahal Nak, adat kita mendidik, anak di pangku , ponakan dibimbing, orang kampung di patenggangkan. Berkali kali Mandeh memohon agar kau jangan tinggalkan sholat tapi kau abaikan dengan alasan sibuk. Kau berdalih dengan akalmu bahwa Allah akan maklum akan kesibukanmu mengurus pabrik yang menampung ribuan pekerja. Itu bagimu juga amal ibadah. Bagaimana kau bisa mengakui Islam kalau sholat tak kau lakukan. Harta telah membuatmu menjau dari agama dan melupakan adat. Kau bukan lagi putra minang. Bukan.“

Tias hanya diam, Dia memang tak berdaya dengan istrinya karena posisinya diperusahaan hanya melanjutkan warisan dari mertuanya. Tapi benar kata bunda, Tias tak bisa menegakan agama di rumah tangganya bahwa istri harus patuh kepada suami. Itu semua karena karena takut melangkahi hak istrinya. Bang Man, tak bisa bersuara sama sekali. Dia sadar bahwa cara hidupnya selama ini lebih mementingkan akhirat tanpi di bumi dia tidak berpijak. Dengan alasan dakwah dia tidak merasa malu mendapatkan uang santunan dari umatnya. Dan bermimpi suatu saat jadi ustad selebritis yang kaya dari berdakwah.. Bagiku mereka tidak pernah mencintai siapapun, Mereka hanya mencintai dirinya sendiri. Tias mengutamakan istri karena kawatir kehilangan posisi sebagai dirut perusahaan. Bang Man, mengutamakan dakwah nya karena berharap santunan dan takut masuk nereka. ya benar kata paman dan Mandeh, mereka bukan pria minang.

“ Baiklah..” terdengar suara paman dengan bergetar. “ Paman akan ambil alih tanggung jawab kedua anak abang Amsar kalian. Dan Paman juga akan ambil alih menjaga ibu kalian. Ini bukan soal apa. Tapi hanya menegakan agama kita. Adat bersandi sara, sara bersendikan kitabullah.. Agama berkata , adat mamemakai. “ Kata paman sambil berdiri. Segera kupeluk Mandeh yang sampai menitikan airmata ketika pama usai berbicara. Di peluk Mande kedua cucunya dengan mengusap kepala mereka satu persatu. Penuh cinta dan penuh kasih seperti dulu beliau membesarkan kami…

“ Entahlah anakku…Mungkin zaman telah mengubah jalan kalian. Adat di hapus karena agama dan agama terhapus karena harta. Semoga ALlah membukakan jalan kebenaran untuk kalian. Agar kalian bukan hanya beriman tapi juga karena akhlak kalian, hidup kalian paling banyak manafaatnya bagi orang lain. Doa mandeh akan selalu untuk kalian…***

Mandeh


Tanpa direncanakan mandeh mengabarkan bahwa dia sudah di bandara untuk terbang ke Jakarta. Dalam dua jam dia sudah sampai " jemput mandeh di bandara ya nak" demikian pesan singkatnya lewat WA. Mandeh walau usianya sudah diatas 70 namun bukanlah mandeh yang puritan. Mandeh melek tekhnology dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Namun mandeh tetap dengan prinsip hidupnya yang mandiri. Tak pernah mau merepotkan anak dan cucu.

" jangan kau bilang sama Adi kalau mandeh datang. Nanti iba hati pula dia kalau mandeh tidak lebih dulu kerumahnya." Kata mandeh.
Adi adalah kakak tertuaku. Hidupnya memang tidak beruntung. Tak pernah masuk perguruan tinggi. Usahanya hanya pedagang kecil di pasar tradisional. Namun kami semua adiknya menghormatinya. Walau dia paling tidak beruntung hidupnya di bandingkan kami namun dia tidak pernah menyusahkan kami. Bahkan selalu menolak bila di bantu. Berkat Uda Adi , Uda Burhan bisa selesaikan kuliah dan bekerja sebagai PNS. Uda Burhan membantu Uni Linda kuliah sampai selesai. Uni Linda bekerja di BUMN dan membiayai ku selesai kuliah. Aku terjun sebagai pengusaha. Terakhir si Mulyadi, aku bantu selesai kuliah dan sekarang jadi dosen.

Kami adik beradik saling tolong menolong sejak abak meninggal. Semua berkat didikan mandeh yang berhasil menjadikan Uda Adi sebagai pemimpin kami setelah abak meninggal. Biaya hidup mandeh sepenuhnya di tanggung Uda Adi. Mande lebih leluasa meminta kepada Uda Adi. Pergi haji pun mandeh bersama Uda adi. Tentu uda adi yang menanggung biayanya. Entah mengapa kami tak peduli dengan segala beban yang di tanggung Uda Adi.

" Mengapa kalian berdiam diri soal si Burhan ? Apa kalian pikir mandeh sudah pikun. " rasanya jantung ku berhenti berdetak. Bagaimana mandeh bisa tahu kasus Uda Burhan. Mungkin karana mandeh melek tekhnology dan aktif di sosmed. Semuanya mandeh tahu karena berita soal Uda Burhan sudah tersebar kamana mana.

" Ya aku kurang paham urusannya mandeh”

" Jangan pula kau pura pura. Kau sama saja dengan dia. Usaha kau berkembang karena bantuan dia sebagai pejabat" Tuh kan kena jeb deh aku. Mati aku..benar benar aku tidak berhadapan dengan ibu yang tua tapi ini mandeh ku .Intelek dan tegar.
Aku hanya diam. Memang usahaku berkembang karena proyek dari instansi Uda Burhan. Jalanan macet terasa ratusan tahun sebelum sampai di rumah Uda Burhan. Gadget ku bergetar. Kulihat di layar tertulis nama istriku.

" Ya mah. mandeh sudah bersama papa. Mau bicara dengan mandeh ?

Aku menyerahkan Gadget kepada mandeh. " Si Dina mau bicara, mandeh”

" Ya Ananda. Nanti selepas dari rumah Uda Burhan kau, mandeh akan mampir kerumah. Gimana kabar cucu cucu mandeh ?

Tak berapa lama mandeh berbicara dengan istriku dan kemudian menyerahkan Gadget kepadaku.

" Mengapa kau biarkan si Dina terus bekerja ? Kurang apa kalian ? Rumah besar. Kendaraan ada empat. Belum lagi vila dan apartemen. Sementara kedua anak kalian di suruh tinggal di luar negeri. Ayam saja tidak begitu lakunya dengan anak anaknya. “

" Si Dina itu S3 mandeh. Sayang ilmunya tak dipakai? Anak anak sekolah di luar negeri biar dapat pendidikan terbaik”

" Entahlah Nak... Mandeh orang kampung nak. Mandeh hanya tahu seharusnya istri dirumah kalau suami mampu mencukupi kebutuhan dan tugasnya menjaga rumah dan anak. Lain halnya kalau suami tidak mampu. Kau lebih dari mampu. Kedua anakmu perempuan tak elok anak gadis jauh dari orang tuanya”

Aku hanya diam.

" Uni kau tahu mandeh datang ?

" Tahu. Dia menanti mandeh di rumah uda Burhan. “

Mandeh terdiam. Pandangannya tertuju ke jalanan. Tapi aku tahu banyak yang dipikirkannya. Mandeh tidak pernah henti berpikir dan ikut memberikan bimbingan ditengah setiap masalah kami.

Ketika sampai di rumah Uda Burhan. Nampak uni Linda menyambut mandeh didepan pagar sambil memeluk mandeh dan membawa tas mandeh masuk kedalam rumah. Di ruang tamu nampak Uda Burhan duduk dengan wajah layu menatap jendela kearah taman yang asri dirumahnya. Aku duduk dilantai bersila. Uni Linda duduk disamping Uda Burhan. istri Uda Burhan duduk di samping mandeh.

" Apa yang terjadi sesungguhnya nak? Kata mandeh memecah keheningan.

" Aku hanya melaksanakan perintah pimpinan mandeh. Kini aku di korbankan.." Kata Uda Burhan dengan suara lirih.

" Seharusnya kau tidak patuh kepada pimpinan tapi patuh kepada UU dan aturan. Negeri ini tidak dimiliki oleh pimpinanmu tapi oleh rakyat. Rakyat mengamanahkan mu melaksanakan tugas sesuai aturan. Paham kau Nak?Negeri ini merdeka dengan jumlah suhada tak terbilang. Kakek kau ikut menyabung nyawa melawan penjajah agar aku dan kau juga cucumu bisa merasakan nikmat merdeka. Negeri ini merdeka karena rahmat Allah. Kini kau kotori itu dengan buruk lakumu. Tak malu kau dengan cucumu?

" Tapi mandeh. Kalau tak patuh dengan pemimpin aku akan tersingkir”

" Nak. Mengapa kau sangat takut kehilangan jabatan bila kau merasa benar.Jalan Tuhan itu tidak mudah, anakku.Kau harus istiqamah agar pertolongan Tuhan sampai kepadamu.”

" Tidak sesederhana itu mandeh.. Ini politik “

" Mandeh hanya orang kampung. Tidak sepintar kau. Mandeh hanya tau kalau jabatan itu milik Tuhan dan kepada Tuhanlah berharap. Bukan kepada pimpinan. “

" Ya mandeh ... " kata uda Burhan dengan lirih.

Mandeh meliat kearah kami satu persatu.

" Kau, Linda. " kata mandeh menatap Uni Linda " Kau sibuk terus dengan karier mu. Kadang di Eropa, kadang di Amerika. Kau lupa bahwa kau istri dan ibu dari anak anakmu. Apa yang kau cari nak. Sholat pun kau acap tinggal. Pakaianmu seperti anak muda. Padahal kau tidak muda lagi. Tidak takut kau akan mati kapanpun. Apa bekal mu nak untuk di bawa pulang ke Tuhan”

Uni Linda hanya diam.

" Kau, " kata mandeh menatapku" Kau selalu sibuk. Istrimu sibuk. Udah kaya kalian. Tapi sampai kini belum terpikir mau pergi haji. Istrimu sibuk dengan Karir nya. Anak gadis mu kau kirim ke luar negeri. Orang tua macam apa kalian?. Tak takut kau dengan tanggung jawab amanah sebagai orang tua ,sebagai suami di hadapan Allah nanti ?

Aku hanya diam.

" Si Mulyadi juga tak ubahnya dengan kalian. Sibuk terus. Dia dosen tapi waktunya lebih banyak di luar. Tak malu dia dengan jabatannya sebagai dosen? Udah kepala tiga umurnya belum juga menikah”

Kami semua terdiam. Tak berapa lama Mandeh berdiri dari duduknya.

" Uda kalian si Adi, tak sekolah tinggi seperti kalian tapi kau Burhan di biayainya sampai selesai jadi sarjana. Uda kalian tak punya rumah mewah seperti kalian, tapi dia yang membawa mandeh ke makkah. Dia tidak punya HP sehebat kalian tapi dia yang setiap hari menelphone mandeh. Dia tidak sekaya kalian, tapi dia tak pernah barang seharipun terlambat mengirim uang belanja bulanan untuk mandeh di kampung. Mandeh tak pernah menuntut balas kepada kalian anakku. Tapi akhlak yang baik selalu bersumber dari rezeki yang halal. Jernih di hulu akan jernih di hilir.Sehingga kalian pandai bersyukur dan selalu mendekat kepada Allah , tak ragu berbakti kepada orang tua, “.

Kami semua terdiam.

"Hati mandeh senang bila meliat kehidupan Uda Adi kalian. Dia santun dan mandiri. Rajin sholat dan berbakti dengan mandeh. Lihatlah hidupnya sekarang, walau tak kaya tapi semua anak anaknya berbakti pula dengan dia. Tak ada beban rasa kawatir mau di penjara seperti kau Burhan. Dia lebih baik dari kalian.”

Kami semua terdiam..

" Entahlah anakku... Mandeh tak henti berharap dalam doa agar kalian berubah karena mandeh sadar nak , hidayah itu hak Allah. Mandeh akan terus mendoakan kalian siang malam…"

Mandeh menatapku " Sekarang antarkan mandeh ke rumah Uda kalian. Mandeh mau menginap di rumahnya. Besok biar dia yang antar mandeh ke Bandara. Sekali lagi mandeh berharap kepada kalian. Kalau kalian sayang dengan mandeh...Sholatlah..jangan tinggalkan sholat agar doa mandeh untuk kalian di dengar Allah.***

Monster pemangsa

  Sehabis meeting dengan Michael Chang, saya tatap James cukup lama. Dia sempat bingung dan salah tingka karenanya. Namun akhirnya  saya ter...