Friday, May 01, 2020

Rubuhnya adat.


“ Assalamualaikum “ terdengar suara Uni Ana diseberang.
“ Uni ada Bang Man? 
“ Dia ke masjid sholat Maghrib. Ada apa Li?
“ Bang Amsar masuk rumah sakit. Keliatannya gawat”
“ Ya Allah. Sakit apa?
" Belum tahu sakitnya apa.
“ Ya ya nanti uni kabarkan ke Bang Man.”
“ Assalamu'alaikum " cepat saja aku akhiri telp
“ Waalaikum salam.
Benarlah tak berapa lama telp selularku bergetar “ Li, Ada apa dengan bang Amsar?
“ Tadi sehabis sholat Lohor terjatuh di toko nya. “
“ Sekarang bagaimana keadaannya ?
“ Masih di rumah sakit, bang. Abang cepatlah datang. Ini Li sedang di jalan sama Uda.”
“ Ya tapi Bang Man ada kegiatan di Masjid sehabis Isya. “ 
“ Abang..dulukanlah datang ke rumah sakit. Mandeh sudah Li kabarin. Sekarang sudah di bandara untuk terbang ke Jakarta. “
“ Tapi engga semudah itu meninggalkan jamaah Li.” 
“ Ah Abang. Ya udahlah suka suka abang ajalah.”
“ Nanti sehabis acara di masjid Bang Man akan datang ke Rumah sakit.”
“ Ya udah.”
Aku hanya menghela nafas panjang. Nampak di sebelah Uda Adi, memandang keluar jendela kendaraan. Nampak dia paham betul kelakuan Bang Man. 
“ Sudah kau hubungi, si Tias ?
“ Malas aku telp dia. “
“ Telp lah. Dia adik laki laki kau. “
Kalaulah bukan suami yang suruh tak mau aku telp Tias. 
“ Hallo “ Terdengar suara di seberang 
“ Aku hanya mau kabarin Bang Amsar sakit keras. Sekarang di rumah sakit.Datang lah.”
“ Ya Allah, sakit apa ?
“ Tak tahu aku. Cepatlah kau datang”
“ Ya Uni. Tapi aku sudah di Bandara mau ke luar negeri.“ 
“ Tak bisa kau tunda pergi ke Luar negeri.”
“ Tak bisa Uni. Ini sudah di jadwalkan dari minggu lalu. Minggu depan aku sudah pulang. Aku segera ke rumah sakit. Aku doakan semoga Bang Amsar sehat sehat saja.”

Sesampai di Rumah Sakit , nampak semua putra putri Bang Amsar sudah kumpul. Uni Mar tambak tabah mendampingi Bang Amsar yang belum juga sadarkan diri. Menurut Uni Mar, keadaan bang Amsar tak menentu. Penyakitnya karena gula darahnya tinggi sekali dan karena itu penyebab stroke. Selepas Isya, Bunda sudah datang di rumah sakit bersama Paman Datuk. Nampak tak sekalipun Bunda melepaskan tanganya menggenggam jemari Bang Amsar. Aku tahu Bunda berdoa kepada Allah untuk bang Amsar. Kadang nampak Bunda sedang membisikan sesuatu ke telinga Bang Amsar. Paman berdiri di unjuran tempat tidur sambil memperhatikan keadaan Bang Amsar. Paman bersedih. Selang beberapa lama setelah kedatangan Bunda, telah berlaku takdir untuk Bang Amsar. Dia di panggil pulang oleh Allah. Bunda berlinang air mata namun tak terdengar maratap. Putra putri Bang Amsar nampak tabah walau tak bisa menyembunyikan duka mereka.

Paman bersegera memeluk Putri Bang Amsar yang nampak terkulai lemah “ Upik sabar ya sayang. ini sudah kehendak Allah. Mulai sekarang , Upi akan jadi tanggung jawab Babo”. Putra bang Amsar kupeluk agar dia tetap tenang walau aku sendiri tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan kakak tersayangku. Kakak yang bertanggung jawab terhadap ku sejak Abak meninggal. Dia tanggung biaya pendidikanku sampai jadi sarjana. Dia pula yang mengurus perkawinanku. Setiap ada masalah, Bang Amsar selalu ada untukku. Beda sekali dengan Bang Man dan Tias.

***
Seusai Sholat Maghrib, kami berkumpul di ruang tamu. Bang Man datang bersama anak dan istrinya. Tias juga datang bersama istri dan anak anaknya. Aku datang bersama Uda Adi dan anak anaku. Putra putri Almarhum Bang Amsar duduk di samping Bunda. Uni Mar masih belum bisa menghilangkan dukanya walau telah seminggu kepergiaan Bang Amsar. Seakan airmatanya tak pernah kering. Selalu berlinang airmatanya bila ingat Bang Amsar. Aku memeluk bahu Uni Mar agar tetap kuat. Hari ini kami berkumpul untuk membicarakan soal masa depan ponakan kami.

“ Paman kumpulkan kalian karena ini menyangkut ponakan kalian. Abang kalian tidak meninggalkan warisan berlebih kecuali hanya toko di pasar tradisional itu. Si Yudi sekarang masih kuliah. Si Murni tahun depan akan kuliah. Sekarang di keluarga besar kita kau , Herman yang tertua. Bagaimana pendapat kau ? “ Kata paman sambil pandangan ke pada kami semua.

“ Paman, Kehidupan ekonomi ku tak mampu menanggung biaya mereka. Penghidupanku hanya dari guru mengaji dan pengurus Masjid. Ekonomi keluagaku ditopan oleh istriku yang berdagang buku buku agama di halaman Masjid. Jadi maafkan aku paman. “ Kata Bang Man.

Paman menatap seksama Bang Man yang berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk. 

“ Baiklah. Paman paham. Bagaimana dengan kau Tias.”

Tias sebetulnya ingin mengucapkan sesuatu namun mata takutnya terpancar ketika menatap wajah istrinya. Akhirnya dia tertunduk wajah juga. 

“ Maaf paman. “ Kata istri Tias. “ Bukankah Almarhum Bang Amsar punya warisan rumah dan toko. Kami rasa itu lebih dari cukup. Nanti kalau ada kurang, kami akan bantu sebisanya. “

Paman seakan tak pedulikan kata kata istri Tias “ Bicaralah kau Tias. Sudah hilang sifat laki laki minang kau ? Berubah gadang sarawa kau ? Kata paman tegas.

Tias hanya diam. 

Paman mengalihkan pandangan ke arah Bunda. Seakan minta Bunda bicara. 

“ Anakku. Dari kecil Mandeh dan Abak kalian membesarkan kalian dengan cinta. Kami bukan orang kaya. Abak kalian hanya pengawai rendahan di kabupaten. Namun dari kecil kami tanamkan kepada kalian untuk saling mengasihi. Yang tua menjaga yang kecil, Yang kecil menaruh hormat kepada kakaknya. Tapi entahlah karena zaman keadaan berubah. Melihat kehidupan kau Tias, Herman, mandeh sedih. Kalian di besarkan oleh didikan agama dan adat yang kental. Tapi kini kalian bukan lagi putra minang dan bukan orang beragama yang beradat. “ Kata Bunda dengan suara datar.

“ Mandeh..” Kata Bang Herman. “ Saya berhenti bekerja di Bank karena ingin mewakafkan ilmu agama yang ku pelajari dari guru. HIdupku tak sekaya Bang Amsar dan Tias. Tapi aku berjihad karena Allah. Kita harus berjuang agar tegaknya syariah di negeri ini “ Sambung Bang Herman.

“ Herman. Mandeh tidak melarang kamu belajar ilmu Agama. Mandeh senang. Tapi sebaik baiknya jihad Nak adalah apabila yang wajib telah kamu penuhi. Pastikan terlebih dahulu rumah tangga mu aman secara materi. Jangan kau bebani istrimu dengan pekerjaan yang seharusnya itu menjadi tanggung jawabmu. Apalagi kau mampu berbuat lebih dengan tenaga dan pendidikanmu. Setelah aman keluargamu, maka bantulah orang terdekatmu dengan hartamu, dengan ilmu yang kamu punya. Bantu mereka berdiri dan melangkah dan tercerahkan. Kalau masih ada lebih harta itu, bantulah tetanggamu, anak yatim dan piatu. Bantu mereka sebisa kamu lakukan. Tapi ini, kau mengaku berjihad tapi hidupmu ditopang oleh istrimu dan berharap orang lain menyumbang setiap dakwah mu. Kau berjuang ingin mengubah negeri ini bersyariah tapi menjadikan dirimu lebih baik saja tidak mampu. Yang kau lakukan benar benar bukan sifat pria minang. Kau beragama tapi tak beradat. “

“ Aku sadar Mandeh. Tapi untuk bisa seperti yang mandeh sampaikan itu, perlu harta tidak sedikit. Perlu waktu banyak, Kapan lagi ada waktu aku mengurus umat ?

“ Kau tak perlu berlaku seperti Allah. Seakan tanpa kau , urusan umat terbengkelai, Yang urus umat itu, ya Allah. Hidayah itu dari Allah, bukan karena kamu orang bertambah baik dan sholeh. Negeri ini sudah merdeka dan sebagian besar pendiri negara adalah Ulama besar di zamannya. Mengapa pula kau mau ubah? Kalaulah memang kehendak Allah negeri ini bersyariah, mengapa tidak dari awal saja negeri ini negara Islam ? Bukannya Pancasila. Jangan kau menggantang asap. Hidup dalam angan angan adalah dosa besar. Itu tipu daya iblis, anakku. Tirulah Bang Amsar. Dia sangat taat beragama namun dia perkerja keras. Dia tidak kaya seperti Tias, tapi dia urus si LIli sampai jadi sarjana dan menikahpun dia tanggung. Anakmu pun sekolah dia bantu, Tetangganya yang miskin di bantunya. Walau tak ada uang berlebih namun seminggu sekali dia sempatkan diri mendatangi setiap kios di pasar dimana tromol amal untuk anak Panti Asuhan ditempatkan. Walau Bang Amsar mu meninggal tak berharta berlebih, mandeh yakin Allah akan menjaga keselamatan Anak anaknya. Karena kebaikan yang ditebar akan berbuah kini atau besok, kepada kita atau kepada keturunan kita. Paham kau ?

Bang Man terdiam. Tak sanggup dia memandang wajah Mandeh.

“ Kau, Tias ? Mata Mandeh di arahkan kepada Martias, adikku. “ Entahlah bagaimana mandeh harus katakan kepadamu Nak. Kau kejar harta dan tengggelamkan hidupmu hanya untuk keluargamu. Kau tak peduli dengan keluarga besarmu. Kalau kepada keluarga saja kau berhitung bagaimana kau bisa ikhlas membantu orang lain ? Tirulah Bang Amsar kau, Dia tidak kaya tapi dia tanggung biaya kau sampai jadi Sarjana. Padahal Nak, adat kita mendidik, anak di pangku , ponakan dibimbing, orang kampung di patenggangkan. Berkali kali Mandeh memohon agar kau jangan tinggalkan sholat tapi kau abaikan dengan alasan sibuk. Kau berdalih dengan akalmu bahwa Allah akan maklum akan kesibukanmu mengurus pabrik yang menampung ribuan pekerja. Itu bagimu juga amal ibadah. Bagaimana kau bisa mengakui Islam kalau sholat tak kau lakukan. Harta telah membuatmu menjau dari agama dan melupakan adat. Kau bukan lagi putra minang. Bukan.“

Tias hanya diam, Dia memang tak berdaya dengan istrinya karena posisinya diperusahaan hanya melanjutkan warisan dari mertuanya. Tapi benar kata bunda, Tias tak bisa menegakan agama di rumah tangganya bahwa istri harus patuh kepada suami. Itu semua karena karena takut melangkahi hak istrinya. Bang Man, tak bisa bersuara sama sekali. Dia sadar bahwa cara hidupnya selama ini lebih mementingkan akhirat tanpi di bumi dia tidak berpijak. Dengan alasan dakwah dia tidak merasa malu mendapatkan uang santunan dari umatnya. Dan bermimpi suatu saat jadi ustad selebritis yang kaya dari berdakwah.. Bagiku mereka tidak pernah mencintai siapapun, Mereka hanya mencintai dirinya sendiri. Tias mengutamakan istri karena kawatir kehilangan posisi sebagai dirut perusahaan. Bang Man, mengutamakan dakwah nya karena berharap santunan dan takut masuk nereka. ya benar kata paman dan Mandeh, mereka bukan pria minang.

“ Baiklah..” terdengar suara paman dengan bergetar. “ Paman akan ambil alih tanggung jawab kedua anak abang Amsar kalian. Dan Paman juga akan ambil alih menjaga ibu kalian. Ini bukan soal apa. Tapi hanya menegakan agama kita. Adat bersandi sara, sara bersendikan kitabullah.. Agama berkata , adat mamemakai. “ Kata paman sambil berdiri. Segera kupeluk Mandeh yang sampai menitikan airmata ketika pama usai berbicara. Di peluk Mande kedua cucunya dengan mengusap kepala mereka satu persatu. Penuh cinta dan penuh kasih seperti dulu beliau membesarkan kami…

“ Entahlah anakku…Mungkin zaman telah mengubah jalan kalian. Adat di hapus karena agama dan agama terhapus karena harta. Semoga ALlah membukakan jalan kebenaran untuk kalian. Agar kalian bukan hanya beriman tapi juga karena akhlak kalian, hidup kalian paling banyak manafaatnya bagi orang lain. Doa mandeh akan selalu untuk kalian…***

Mandeh


Tanpa direncanakan mandeh mengabarkan bahwa dia sudah di bandara untuk terbang ke Jakarta. Dalam dua jam dia sudah sampai " jemput mandeh di bandara ya nak" demikian pesan singkatnya lewat WA. Mandeh walau usianya sudah diatas 70 namun bukanlah mandeh yang puritan. Mandeh melek tekhnology dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Namun mandeh tetap dengan prinsip hidupnya yang mandiri. Tak pernah mau merepotkan anak dan cucu.

" jangan kau bilang sama Adi kalau mandeh datang. Nanti iba hati pula dia kalau mandeh tidak lebih dulu kerumahnya." Kata mandeh.
Adi adalah kakak tertuaku. Hidupnya memang tidak beruntung. Tak pernah masuk perguruan tinggi. Usahanya hanya pedagang kecil di pasar tradisional. Namun kami semua adiknya menghormatinya. Walau dia paling tidak beruntung hidupnya di bandingkan kami namun dia tidak pernah menyusahkan kami. Bahkan selalu menolak bila di bantu. Berkat Uda Adi , Uda Burhan bisa selesaikan kuliah dan bekerja sebagai PNS. Uda Burhan membantu Uni Linda kuliah sampai selesai. Uni Linda bekerja di BUMN dan membiayai ku selesai kuliah. Aku terjun sebagai pengusaha. Terakhir si Mulyadi, aku bantu selesai kuliah dan sekarang jadi dosen.

Kami adik beradik saling tolong menolong sejak abak meninggal. Semua berkat didikan mandeh yang berhasil menjadikan Uda Adi sebagai pemimpin kami setelah abak meninggal. Biaya hidup mandeh sepenuhnya di tanggung Uda Adi. Mande lebih leluasa meminta kepada Uda Adi. Pergi haji pun mandeh bersama Uda adi. Tentu uda adi yang menanggung biayanya. Entah mengapa kami tak peduli dengan segala beban yang di tanggung Uda Adi.

" Mengapa kalian berdiam diri soal si Burhan ? Apa kalian pikir mandeh sudah pikun. " rasanya jantung ku berhenti berdetak. Bagaimana mandeh bisa tahu kasus Uda Burhan. Mungkin karana mandeh melek tekhnology dan aktif di sosmed. Semuanya mandeh tahu karena berita soal Uda Burhan sudah tersebar kamana mana.

" Ya aku kurang paham urusannya mandeh”

" Jangan pula kau pura pura. Kau sama saja dengan dia. Usaha kau berkembang karena bantuan dia sebagai pejabat" Tuh kan kena jeb deh aku. Mati aku..benar benar aku tidak berhadapan dengan ibu yang tua tapi ini mandeh ku .Intelek dan tegar.
Aku hanya diam. Memang usahaku berkembang karena proyek dari instansi Uda Burhan. Jalanan macet terasa ratusan tahun sebelum sampai di rumah Uda Burhan. Gadget ku bergetar. Kulihat di layar tertulis nama istriku.

" Ya mah. mandeh sudah bersama papa. Mau bicara dengan mandeh ?

Aku menyerahkan Gadget kepada mandeh. " Si Dina mau bicara, mandeh”

" Ya Ananda. Nanti selepas dari rumah Uda Burhan kau, mandeh akan mampir kerumah. Gimana kabar cucu cucu mandeh ?

Tak berapa lama mandeh berbicara dengan istriku dan kemudian menyerahkan Gadget kepadaku.

" Mengapa kau biarkan si Dina terus bekerja ? Kurang apa kalian ? Rumah besar. Kendaraan ada empat. Belum lagi vila dan apartemen. Sementara kedua anak kalian di suruh tinggal di luar negeri. Ayam saja tidak begitu lakunya dengan anak anaknya. “

" Si Dina itu S3 mandeh. Sayang ilmunya tak dipakai? Anak anak sekolah di luar negeri biar dapat pendidikan terbaik”

" Entahlah Nak... Mandeh orang kampung nak. Mandeh hanya tahu seharusnya istri dirumah kalau suami mampu mencukupi kebutuhan dan tugasnya menjaga rumah dan anak. Lain halnya kalau suami tidak mampu. Kau lebih dari mampu. Kedua anakmu perempuan tak elok anak gadis jauh dari orang tuanya”

Aku hanya diam.

" Uni kau tahu mandeh datang ?

" Tahu. Dia menanti mandeh di rumah uda Burhan. “

Mandeh terdiam. Pandangannya tertuju ke jalanan. Tapi aku tahu banyak yang dipikirkannya. Mandeh tidak pernah henti berpikir dan ikut memberikan bimbingan ditengah setiap masalah kami.

Ketika sampai di rumah Uda Burhan. Nampak uni Linda menyambut mandeh didepan pagar sambil memeluk mandeh dan membawa tas mandeh masuk kedalam rumah. Di ruang tamu nampak Uda Burhan duduk dengan wajah layu menatap jendela kearah taman yang asri dirumahnya. Aku duduk dilantai bersila. Uni Linda duduk disamping Uda Burhan. istri Uda Burhan duduk di samping mandeh.

" Apa yang terjadi sesungguhnya nak? Kata mandeh memecah keheningan.

" Aku hanya melaksanakan perintah pimpinan mandeh. Kini aku di korbankan.." Kata Uda Burhan dengan suara lirih.

" Seharusnya kau tidak patuh kepada pimpinan tapi patuh kepada UU dan aturan. Negeri ini tidak dimiliki oleh pimpinanmu tapi oleh rakyat. Rakyat mengamanahkan mu melaksanakan tugas sesuai aturan. Paham kau Nak?Negeri ini merdeka dengan jumlah suhada tak terbilang. Kakek kau ikut menyabung nyawa melawan penjajah agar aku dan kau juga cucumu bisa merasakan nikmat merdeka. Negeri ini merdeka karena rahmat Allah. Kini kau kotori itu dengan buruk lakumu. Tak malu kau dengan cucumu?

" Tapi mandeh. Kalau tak patuh dengan pemimpin aku akan tersingkir”

" Nak. Mengapa kau sangat takut kehilangan jabatan bila kau merasa benar.Jalan Tuhan itu tidak mudah, anakku.Kau harus istiqamah agar pertolongan Tuhan sampai kepadamu.”

" Tidak sesederhana itu mandeh.. Ini politik “

" Mandeh hanya orang kampung. Tidak sepintar kau. Mandeh hanya tau kalau jabatan itu milik Tuhan dan kepada Tuhanlah berharap. Bukan kepada pimpinan. “

" Ya mandeh ... " kata uda Burhan dengan lirih.

Mandeh meliat kearah kami satu persatu.

" Kau, Linda. " kata mandeh menatap Uni Linda " Kau sibuk terus dengan karier mu. Kadang di Eropa, kadang di Amerika. Kau lupa bahwa kau istri dan ibu dari anak anakmu. Apa yang kau cari nak. Sholat pun kau acap tinggal. Pakaianmu seperti anak muda. Padahal kau tidak muda lagi. Tidak takut kau akan mati kapanpun. Apa bekal mu nak untuk di bawa pulang ke Tuhan”

Uni Linda hanya diam.

" Kau, " kata mandeh menatapku" Kau selalu sibuk. Istrimu sibuk. Udah kaya kalian. Tapi sampai kini belum terpikir mau pergi haji. Istrimu sibuk dengan Karir nya. Anak gadis mu kau kirim ke luar negeri. Orang tua macam apa kalian?. Tak takut kau dengan tanggung jawab amanah sebagai orang tua ,sebagai suami di hadapan Allah nanti ?

Aku hanya diam.

" Si Mulyadi juga tak ubahnya dengan kalian. Sibuk terus. Dia dosen tapi waktunya lebih banyak di luar. Tak malu dia dengan jabatannya sebagai dosen? Udah kepala tiga umurnya belum juga menikah”

Kami semua terdiam. Tak berapa lama Mandeh berdiri dari duduknya.

" Uda kalian si Adi, tak sekolah tinggi seperti kalian tapi kau Burhan di biayainya sampai selesai jadi sarjana. Uda kalian tak punya rumah mewah seperti kalian, tapi dia yang membawa mandeh ke makkah. Dia tidak punya HP sehebat kalian tapi dia yang setiap hari menelphone mandeh. Dia tidak sekaya kalian, tapi dia tak pernah barang seharipun terlambat mengirim uang belanja bulanan untuk mandeh di kampung. Mandeh tak pernah menuntut balas kepada kalian anakku. Tapi akhlak yang baik selalu bersumber dari rezeki yang halal. Jernih di hulu akan jernih di hilir.Sehingga kalian pandai bersyukur dan selalu mendekat kepada Allah , tak ragu berbakti kepada orang tua, “.

Kami semua terdiam.

"Hati mandeh senang bila meliat kehidupan Uda Adi kalian. Dia santun dan mandiri. Rajin sholat dan berbakti dengan mandeh. Lihatlah hidupnya sekarang, walau tak kaya tapi semua anak anaknya berbakti pula dengan dia. Tak ada beban rasa kawatir mau di penjara seperti kau Burhan. Dia lebih baik dari kalian.”

Kami semua terdiam..

" Entahlah anakku... Mandeh tak henti berharap dalam doa agar kalian berubah karena mandeh sadar nak , hidayah itu hak Allah. Mandeh akan terus mendoakan kalian siang malam…"

Mandeh menatapku " Sekarang antarkan mandeh ke rumah Uda kalian. Mandeh mau menginap di rumahnya. Besok biar dia yang antar mandeh ke Bandara. Sekali lagi mandeh berharap kepada kalian. Kalau kalian sayang dengan mandeh...Sholatlah..jangan tinggalkan sholat agar doa mandeh untuk kalian di dengar Allah.***

Bertemu kembali


Sebagian pengunjung kafe yang memperhatikannya, beranggapan dia tidak sedang menanti siapa siapa. Setelah helaan nafas panjang , dia akan berdiri dan berlalu setelah menempatkan uang di meja untuk bayar Bill. Itulah kebiasaannya yang selalu nampak biasa saja. Karena segalanya dianggap sama saja sebelum sang pria yang dinantinya benar benar hadir didepannya. Kenangan tentang pria itu membuat hidupnya tak pernah berubah. Segalanya nampak indah seperti ketika pria itu menciumnya untuk pertama kali dulu.

Dulu, ketika dia masih mengenakan seragam SPG parfum di mall Shanghai. Senyumnya masih ringan seringan SPG merayu konsumen. Rambut tergerai hingga di atas buah dada. “ aku suka menatap buah dadamu. Seperti rembulan yang indah sekali. Impianku ada di sana. Cintaku ada di sana. Karenanya aku tak pernah bisa berpisah denganmu. “ Kata pria itu. Membuat dia melambung ke langit ke Tujuh. Kemudian, ciuman demi ciuman menghujam setiap lekuk tubuhnya. Dia merasa melayang ke udara. Mencoba menggapai ujung langit dalam denguhan napas tak berujung. Pria itu sangat tahu menjadikannya wanita yang begitu sempurna. Tahu bagaimana memanjankan wanita dalam setiap hentakannya, yang membuat dia tak henti mendesah. Semua berakhir begitu indah. 

Mestinya saat itu ia tak membiarkan pria itu pergi. Tak membiarkan pria bergegas meninggalkan kafe ini untuk memburu pesawat kembali ke negerinya. Ada sesal yang tak bertepi bila ingat itu. Tapi semua sudah terjadi dan dia tetap percaya pria itu akan kembali walau tak tahu kapan saatnya muncul di depan pintu Cafe sebagaimana janji pria itu.

Itulah yang membuatnya selalu kembali ke kafe ini. Tempat janji diikrarkan. ”Aku akan kembali dan bila itu terjadi maka Cafe inilah tempat janji kita bertemu kembali." Kata kekasihnya.

Setelah bulan berganti dan tahun berganti untuk dua kali musim panas datang, pria itu tidak juga datang. Ribuan e-mail dia kirim tak berbalas. Telp tak terjawab. Ia mulai meragukan semua tentang pria itu. Tapi bayi yang lahir dari percintaan mereka adalah kekuatan yang membuat dia harus bertahan. " Aku tidak menjual diriku kepada manusia karena cinta tapi aku menjual diriku kepada Tuhan. Pernikahan itu syah di hadapan Tuhan. Tentu kekuatan Tuhah melalui bayi itu akan membawa pria itu kembali kepadanya.

Tapi kapan ?

”Apakah Anda seorang diri? Kata seorang pria pengunjung Cafe yang berusaha nampak ramah.
”Ya"
”Boleh traktir Anda minum?
”Tidak perlu. Karena saya sedang menanti seseorang" katanya. Mungkin ini jawaban yang kesekian ratus kepada setiap pria yang mencoba menggodanya.

Entah mengapa setiap dia digoda pria, dia selalu berdoa kepada Tuhan agar pria yang dinantinya muncul di depan pintu Cafe itu. Lambat laun dia tidak lagi merindukan pria itu. Dia hanya ingin bertemu dengan pria yang pernah berjanji untuk menemuinya, untuk bayi yang sedang dikandungnya.

Menemui? Apakah arti kata ini? Yang sangat sederhana, menemui adalah berjumpa. Tapi untuk apa? Hanya untuk sebuah kenangan, atau adakah yang masih berharga dari ciuman, sentuhan, desahan? Itu sudah masa lalu itu? Apakah sebuah kenangan ada arti bagi pria itu sehingga ia bisa kembali untuk mengulang kisah lama? Ah, ia jadi teringat pada percakapan-percakapan itu. Percakapan di antara ciuman-ciuman yang terasa gemetar dan malu-malu.

”Aku selalu membayangkan, bila nanti kamu pergi aku akan selalu duduk sendirian di malam bulan purnama sambil membayangkan dirimu sedang melakukan hal yang sama. Saat itu aku akan meminta kepada Tuhan agar kamu kembali kepada ku. Karana tahukah kamu? Betapa aku sangat mencintaimu. Walau seribu bulan berlalu cintaku tak akan pernah padam. " katanya. Pria itu memeluknya.

" Karena Tuhan kita akan selalu bersama walau apapun Prahara dan tembok yang memisahkan kita “

Dia tersenyum, kemudian mencium pelan. ”Tapi aku tak mau mati dulu.”

”Kalau begitu, biar aku yang mati dulu. Dan aku akan menjadi bulan, yang setiap malam purnama menatap mu ….”

”Hahaha,” dia tertawa renyah. ”Lalu apa yang akan kamu lakukan bila telah menjadi bulan?”

”Aku akan menyinari malam mu untuk melihat setiap sudut Tubuhmu yang putih bersih. Walau anak sudah lahir dari rahimmu, Dadamu tetap membusung dan selalu kurindu dalam malam malam panjang bersedekat. Dada yang akan terlihat mengilap ketika kena cahaya bulan hinggap di atasnya”

Ia bersenandung sambil membuka satu per satu kancing seragam. Dia memejam. Ia seperti melihat cahaya bulan yang perlahan keluar dari kelopak matanya yang terpejam. Seperti ada seberkas cahaya bulan di keningnya, di pipinya, di hidungnya, di bibirnya, di mana-mana. Kamar penuh cahaya bulan. Dada itu tenggelam dalam desahan angin malam yang tak terdefinisikan. Ia selalu membayangkan itu. Sampai kini pun masih terus membayangkannya. Itulah yang membuatnya masih betah menunggu meski  berlama lama.

Ia hendak menutup bill. Namun seperti halilintar meledak di depannya. Pria yang dinantinya  sudah ada di pintu kafe. Mendadak seluruh detak jantungnya berhenti. Walau kafe yang ingar bingar penuh sesak. Ia terpukau bersetatap dengan pria itu yang nampak murung dengan geliat lidah pada tiap jeda tubuhnya.

" Wan Ning" akhirnya keluar juga suara lembut dari mulut pria itu. Dia tetap mematung. " Its me.." kata pria itu. Apakah ini hanya belaka imajinasinya? Penyanyi terus menyanyi dengan suara yang bagai muncul dari kehampaan. Dan kafe yang ingar ini makin terasa murung. Tiba-tiba ia menyaksikan cahaya bulan muncul dari balik keremangan, memenuhi panggung. Hingga panggung menjadi gemerlapan oleh pendar cahaya bulan yang temaram keperakan.

Ia jadi teringat pada setahun lalu dimana dia terpaksa menjual anak bayinya kepada Agent agar diadopsi sama keluarga mampu. Karena telah tiga tahun hidupnya semakin sulit dan dia ingin melanjutkan hidupnya di kota besar.

" mengapa kamu tega melepas anak ini? Kata Agent.

"Aku terjerat hutang. Karena biaya hidup yang besar sementara aku tidak punya waktu cukup untuk bekerja keras menghidupi anak ini. "
"Memang sangat sulit hidup di kota besar seperti Shanghai. Dan anak ini harus berpisah dari mu. Dimana ayahnya?
Dia hanya menggeleng lambat dalam duka terkubur dihati terdalamnya
"Anak ini milik Tuhan. Tentu Tuhan lebih tahu apa yang terbaik untuk bayi ini. Yang jelas bersamaku , bayi ini tidak akan punya masa depan. Biarkan Tuhan menentukan takdirnya " katanya dengan berurai airmata.

Pria itu menyentuh jemarinya. Itu menyadarkannya bahwa dia tidak sedang bermimpi. Benar, pria itu memeluk eratnya. Dia tetap mematung tanpa membalas pelukan. Dia tidak ingin pertemuan ini hanya mimpi.

" Akhirnya kamu datang juga." Katanya lirih." Aku kehabisan harapan kepadamu tapi aku tidak pernah kehilangan harapan kepada Tuhan.”

" Dan Tuhan juga akhirnya mengantarkan aku kembali ke mari, dan menepati janjiku untuk bertemu di Cafe ini.”

" Apakah benar ?

" Benar Wang Ni. Empat bulan lalu aku bersama istriku mengadopsi bayi. Melalui Agent di Beijing kami dipersilahkan untuk memilih dari puluhan bayi yang ditawarkan. Aku dan istriku memilih bayi perempuan yang cantik. Entah mengapa sejak pertama kali aku gendong, bayi itu yang tadinya menangis segera tenang. Lambat kemudian dia tertidur dalam dekapan ku.”

" Jadi kamu kembali ke negeri kamu untuk menikah dengan wanita lain.? katanya dengan tetap tenang tanpa perlu harus menangis lagi. Airmatanya sudah lama kering.

" Maafkan aku, wang Ni." Kata pria itu dengan wajah sesal" Dan kini aku sudah bercerai”

" Semudah itukah?

" Tidak mudah. Masalahnya ternyata ketika kami ingin mendapatkan certifikat adopsi atas bayi itu, aku diharuskan untuk test DNA agar jelas bahwa anak itu bukan anak biologis ku. Tapi..." kata pria itu terhenti seakan tersekat tenggorokannya.

" Tapi apa?

" Hasil test DNA terbukti bayi itu adalah anak biologisku. Inilah kekuasaan Tuhan. Ada ribuan bayi ditawarkan tapi kami memilih satu dan ternyata yang aku pilih adalah putriku sendiri. Karena itu, istriku minta cerai karena dia tak ingin mengecewakan wanita yang telah mengorbankan cintanya untukku”

Wanita itu sekarang menangis. Entah dari mana airmata itu datang. Yang pasti penyebabnya ketika seorang perawat masuk kedalam Cafe membawa bayi perempuan dan berlari memeluknya sambil berteriak " Mama…"

Dipeluknya bayi usia 3 tahun itu dengan sepenuhnya cintanya" mama janji sayang. Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama sama”

Pria itu merangkul wanita itu yang sedang memeluk bayi itu dalam isakan tangis. "aku dan bayi ini adalah titipan Tuhan untukmu. Dan kini Tuhan kembalikan kepadamu setalah sejenak diambilNya. Bukan karena Tuhan membencimu, tapi karana Tuhan sedang menguji keimananmu. Apakah kamu mencintai Tuhan ataukah kamu mencintai manusia”

Cafe itu sudah mulai lengang. Mereka bertiga melangkah keluar. Pria itu menggendong balita itu yang terlelap dalam nyaman. Ketika itu musim semi di Shanghai. " kamu tidak bertanya mengapa sampai aku menikah dan melupakanmu bertahun tahun bersama anakmu “

" Han, hidup adalah soal pilihan. Sehebat apapun kita memilih namun Tuhan punya rencana sendiri. Aku tidak perlu alasanmu. Karena semua kehendak Tuhan. Bertemu karana Tuhan dan berpisah pun karena Tuhan. Siapalah kita yang merasa berhak menentukan apa yang kita mau. Sementara tak ada manusia yang bisa menolak kematian. “

" Ya Wan Ni”

" Kini kita berkumpul kembali dan bagiku ini adalah berkah dan juga cobaan sekaligus agar aku semakin dekat kepada Tuhan. Pahamkan sayang”***

Mama.


Mama masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah mama adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya tampa Papa.

”Sudah lima tahun kamu ndak pulang Wid. Tahun ini kamu harus ada.,” kata mama kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Mama untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.

”Mama akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas mama. Mama memang tipe orang yang suka mendesak.

Sedari SLA aku tinggal di Asrama Advent Singapore. Tamat SLA aku melanjutkan pendidikan ke Ingris. Tamat kuliah, aku dapat pekerjaan sebagai analis investasi di Shanghai. Sejak SLA aku hanya bertemu mama setahun sekali. Itu hanya waktu natal. Walau jarak dekat Jakarta Singapor namun liburan aku lebih suka dengan teman temanku. Itu karena sikap mama yang paranoid. Selalu memaksakan kehendak seperti dia mau. Dihadapan mama, aku tetap bayinya yang selalu dia kawatirkan. Dan lagi mama sibuk dengan bisnisnya. Mamapun jarang sekali menjengukku di Asrama. Telp pun jarang sekali. Kalaupun telp singkat dan keras mengingatkan ku agar hati hati bergaul. Tidak boleh lupa ke Gereja. berdoa sebelum tidur.

Sebetulnya aku ingin kuliah di Jakarta dekat dengan mama dan teman SD ku. Tetapi Mama mendesakku untuk ambil kuliah di Amerika atau Inggris. Menurutku, itu karena mama engga mau direpotkan olehku. Mungkin baginya semakin aku jauh darinya semakin nyaman hidupnya. Ketika aku memutuskan pindah ke Shanghai karena dapat kerjaan disana, mama engga keberatan. Tidak ada niat mama agar aku membantunya mengembangkan usahanya. Kadang aku berpikir, benarkah aku anak kandung mama. Lantas siapa ayahku ? Dari kecil aku tidak pernah mengenal ayah. Photo keluarga tidak ada. Kalau kutanya, mama hanya jawab bahwa ayahku sudah meninggal. Tetapi dimana makamnya? Tidak tahu.

Mama selalu curiga dengan semua pria yang mampir dalam hidupku. Makanya aku malas untuk curhat soal pacarku. Kalau kini usia sudah hampir 30 aku belum menikah, mama juga engga peduli kalau anak gadisnya menjomblo.

“ Jam berapa kamu berangkat dari Shanghai. Dengan pesawat apa? “ Tanya mama sore harinya. Dia tidak butuh alasanku. Dia berhak menentukan seperti dia mau. Itulah mama. Seperti biasanya aku hanya menjawab singkat “ Ya ma. “
“ Nenek mu dari Medan, besok udah sampai Jakarta. Kamu harus sudah ada sebelum natal. Paham!”
“ Ya ma.”

Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Mama terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Mama di gereja ”Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman masa kecilmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Mama sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.

Sejak aku tiba di rumah Mama, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu mama. Satu satunya kebahagian adalah kehadiran nenek di rumah. Usia nenek belum 70 tahun. Tetapi wawasan nenek dan bijaknya jauh sekali bila dibandingkan mama. Padahal nenek hanya ibu rumah tangga. Tidak sekolah tinggi seperti Mama.

Kami berada satu meja. Ada mama, aku dan nenek. Walau usia mama mendekati 50 tahun namun kencantikannya tidak berkurang. Seperti usia 30 tahunan. Bentuk wajah oriental dan hidung yang agak mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.

Pembicaraan kami lebih banyak tentang rencana Mama yang mau mendirikan pusat pengolahan ikan di Vietnam. Kemudian aku lebih sibuk menjawab pertanyaan nenek soal kerjaanku, kehidupanku di Shanghai. Tak lupa nenek tanyakan kapan aku menikah. Apakah sudah ada pacar. Aku berusaha menjawab sekenanya, dan seraya melirik mama yang tampak tidak berkesan atas obrolanku dengan nenek.

Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Mama tengah duduk sambil mengisap rokok.

”Wid,” ujar Mama sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng.
”Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
”Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya mama yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
” Tadi mama dengar obrolan kemu dengan Nenek, Serius. pacar kamu ingin menikahi kamu?”
” Ya ma. “
“ Jadi kamu akan menetap di China, jadi warga negara China?
“ Engga ma. Calonku orang indonesia. Orang jawa tulen. Dia punya bisnis di Jakarta. “
“ Oh kamu kenal dia udah lama ?”
“ Sejak kuliah ma.Kami satu jurusan di Cambridge”
Mama terdiam. Kami pun saling bersediam. Hening.
“ Ma..” seruku dengan lembut. Terdengar suaraku sayup sayup. Aku kawatir Mama akan marah kalau kulanjutkan pembicaraan soal Papa. AKu tidak ingin merusak suasana natal. Tapi aku harus bicara sekarang. Kapan lagi bisa bertemu dengan mama.
“ Ya ada apa ? kamu mau bicara apa ? ngomong aja”
“ Ma, aku sudah engga anak anak lagi. Sebentar lagi aku mau menikah. Bolehkah aku tahu siapa papa.? Please. Apapun tentang papa, aku siap merimanya. “

Mama menatapku lama. Tidak ada kesan seperti biasanya, dengan raut wajah marah. Pandangan mama lain sekali sekarang. Nampak sejuk dan penuh keibuan. Selang beberapa detik, mama menangis. Aku memeluk mama. Akhirnya mama masuk kamar tanpa ada pembicaraan lebih lanjut. Aku merasa bersalah. Baru kali ini aku merasakan punya seorang ibu yang tatapannya sangat mencintaiku.

Tak berapa lama, mama keluar dari kamar. Mama menyerahkan photo seorang pria. “ Inilah papa kamu. “ kata mama. Aku perhatikan papa ku ganteng sekali. Tapi dia bukan etnis Tiongkhoa. Itu sebabanya wajah ku tidak begitu oriental. Aku sudah curiga dari awal.

”Mama belum siap memiliki kamu. Sementara Papa menginginkanmu sebelum kami menikah. Ketika akhirnya mama hamil, Kakek dan nenekmu menolak. Kedua orang papa kamu juga menolak. Karena beda budaya dan agama. Akhirnya untuk menutup malu, Mama dinikahkan dengan pria lain pilihan kakek. Tetapi setelah kamu lahir, Mama bercerai.”

“ Jadi aku lahir bukan dari perkawinan mama yang sah?.

“ Ya itu sebabnya semua photo pernikahan mama bakar. Agar kamu tidak mengenal pria yang pernah menikahi mama. Maafkan mama, ya sayang ”

“ Sekarang Papa di mana?

“ Papa kamu sakit setelah mama menikah dengan pria lain. Mama bisa maklum akan keadaan sakitnya itu. Karena tidak mudah bagi dia menerima kenyataan harus berpisah dengan mama. Saat kamu lahir, dia tahu, bahwa bayi itu miliknya. Darah dagingnya. Mama tahu Papa mu mencintaimu sebesar dia mencinta mama. Usia kamu dua tahun, papa kamu meninggal. Kalau ingat papa kamu, semakin membuat mama sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuat mama merasa bersalah dari waktu ke waktu karena mama tak pernah bisa mencintainya sebesar itu.

Sebelum meninggal papa mu berpesan agar mama menjagamu. Itu sebabnya mama jadikan dirimu sebagai pengganti cinta mama ke papa. Mama engga mau gagal mendidik kamu. Itu sebabnya mama selalu kawatirkan kamu dan mengirim kamu ke sekolah terbaik di luar negeri. Berat sekali berjauhan dengan mu sayang. Tapi demi yang terbaik untuk kamu, mama ikhlas dalam kesendirian. Kini jangan ragu dengan pria pilhanmu. Menikahlan karena Tuhan, tidak penting apa agamanya. Dihadapan Tuhan kita sama, apapun agamanya”

Aku memeluk mama. Kami berpelukan dalam waktu lama. Air mata kami membuktikan bahwa kami tidak akan terpisahkan. itu semua berkat pria, papa yang selalu hidup dalam diri mama, untuk mencintaiku sepanjang usia

Monster pemangsa

  Sehabis meeting dengan Michael Chang, saya tatap James cukup lama. Dia sempat bingung dan salah tingka karenanya. Namun akhirnya  saya ter...