Thursday, April 30, 2020

Dia tidak sempurna

 






Aku tidak berharap banyak dia akan mengetuk pintu kamarku. Tapi menanti juga tidak salah. Saat ini aku mulai menyadari bahwa  menjadi orang luar biasa itu kadang paradox dengan realitas. Banyak temanku mendadak kaya karena bermain di bursa. Mereka menciptakan skema merampok Dana pensiun dan dana publik. Skema yang dipakai umumnya mereka beli perusahaan kosong yang listed di bursa. Kemudian buat agenda untuk akuisisi perusahaan melalui right issue. Bayar media massa untuk create persepsi. Kemudian bayar influencer untuk membangun citra lewat sosial media. Bentuk nominee kiri kanan untuk atur dan dongkrak harga. Siapkan dana pancingan. Setelah itu cerita berujung pada pesta diatas  konspirasi.


Ada juga yang kaya karena bermain di pasar derivative melalui kontrak Forward. Lewat OTC mereka membentuk harga sesukanya diantara mereka. Kemana bandul harga komoditas terbentuk, mereka pastilah pihak yang diuntungkan. Karena dibawah mereka ada agent yang menjadi proxy mengendalikan perdagangan komoditias lewat kartel dan monopoli, sehingga yang dirugikan rakyat kecil yang terbatas akses akan barang dan jasa. Hidup bagi mereka adalah seperti predator. Yang kuat memangsa yang lemah.


Mereka memang kaya raya. Tapi aku yakin mereka tidak bahagia. Ciri khas mereka itu. Doyan pamer kekayaannya. Ada relasi bisnisku pria kaya. Dia tawarkan pesawat jet pribadinya ke Bali. Tetapi aku tolak. Dia merasa terintimidasi karena sikapkui. Karenanya dia mencoba  bercerita tentang koleksi jam tangannya. Katanya  bernilai sekitar 15 juta USD atau Rp. 220 miliar. Belum lagi lukisan mahal dan barang antik. Jangan tanya harga rumahnya. Dan aku hanya tersenyum. Sebenarnya aku kasihan dengan mereka.


Kalau ngobrol, mereka tidak sungkan cerita tentang kepiawaian mereka meniduri wanita sosialita. Engga ada malunya. Bahkan bangga. Mereka juga cerita bagaimana hebatnya menjinakan pejabat dan politisi. Kadang kalaulah posisiku bukan CEO perusahaan TNC, sudah pasti mereka adalah komunitas yang kuhindari. Kini walau bertemu mereka, hanya dalam keadaan kebetulan. Dan terpaksa ngobrol dan kumpul kumpul. Namun aku lebih banyak diam saja. Kalau ada kesempatan aku pasti undur diri.


Menurutku mereka itu pencundang. Mengapa ? hampir semua mereka itu jadi ATM aparat hukum dan pajabat dan politisi. Keceriaan yang mereka pertontonkan dengan kemewahan kendaraan, rumah, private jet dan gaya hidup, itu hanya kompensasi atas hidup yang terjerat kerakusan. Kalau ada masalah, mereka dulu dikorbankan. BIasanya mereka dipancing untuk serahkan semua hartanya untuk bisa bebas. Setelah itu ya dikandangi. Pecundang kan.


Setelah lebih 10 tahun bargaul denga kalangan pengusaha papan atas, dengan kalangan politisi dan  pejabat. Aku tahu bahwa Ale tidak luar biasa dalam persepsi umum. Tapatnya dia memang luar dari biasa. Tapi itu bukan dibuat buat. Itu udah nature dia.


“Sa, siapalah saya. Saya tidak punya kemewahan menjadi orang pantas dipuja dan menepuk dada. Saya memimpin tidak menjanjikan hasil tetapi mengajak orang berproses secara akal sehat. Bisnis adalah ajang kompetisi, yang tidak mengenal belas kasihan. Setiap sen uang keluar adalah resiko dan setiap sen uang masuk adalah tantangan. Karenanya bisnis adalah jalan spiritual untuk bersabar diatas peluang dan ancaman. Bukan berbangga menjadi kaya dan mengeluh ketika krisis. Hidup pada hakikatnya adalah liabilites. Ya liabilites mengelola kepentingan stakeholder itu berat sekali. 


Ya kalau perusahaan rugi, gimana kita membayar karyawan, membayar hutang, membayar suplier, membayar investor, membayar pajak. Menciptakan transformasi bagi peradaban. Karenanya setiap waktu saya harus focus. Mana ada waktu untuk hal omong kosong. Apalai sibuk memoles diri dengan citra dan retorika. Apa yang saya harapkan tidak berlebihan. Cukuplah bangun pagi tidak ada bad news dari direksi dan kelak tidur juga bisa pules. Cukup itu aja”. Demikian kata Ale. Kalau dia rendah hati, itu karena dia tahu siapa dia dan darimana asalnya, dan kemana dia akan berlabuh. Agama mendidiknya menjadi orang tahu diri di hadapan Tuhannya.


***

Jam lima sore lewat 10 menit. Pintu kamarku diketuk. Aleku datang. Seperti biasa dia selalu datang dengan senyum mengambang. “ Sa, kita pergi ke cafe ya. Aku udah pesan table” Katanya. Aku senang. Itu artinya dia sediakan waktu khusus untukku. Ale, kalau sudah luangkan waktu, itu benar benar focus untuk lawan bicaranya. Hapenya akan silent dan dia akan jadi pembicara yang bagus. Ya maklum, dia kan terlatih sebagai sales lapangan. Kemampuan retorikanya memang memukau.


“ Ale, mengapa penguasa dan juga pengusaha besar, selalu mudah kawatir citranya akan jatuh. Mereka lakukan apa saja agar citranya terus hebat“ Tanyaku ketika sampai di cafe. Aku ingin mendengar perspektif darinya. Pasti enak didengar.


“ Kamu tahu Korea utara? Tanya Ale.


“ Ya tahu. Negara Korea kan. Kenapa ?


“ Menurut saya, Korea Utara bukan sebuah bangsa; ia sebuah umat. Marxisme-Leninisme sudah bertransformasi jadi agama. Sebagaimana agama, ia membentuk struktur yang direkatkan oleh doktrin. Agama juga butuh batu-sangga yang menopang dan mempertautkan bagian-bagian ba­ngunan itu. Bagi agama pada umumnya, batu-sangga itu Tuhan; bagi ajaran juche sebagai ideologi Korea Utara, batu itu Kim Il-sung. Setelah Kim tua wafat dan putra­nya, Kim Jong-il, menggantikan peran itu. 


Maka sejak masa kanak, rakyat Korea dibentuk untuk memuja Kim. Sebuah studi yang dikutip The Christian Science Monitor menunjukkan besarnya dana untuk itu. Sementara pada 1990 biaya untuk pemujaan sang pemimpin meliputi 19 persen anggaran nasional, pada 2004 naik jadi 38,5 persen. Pada masa krisis, ketika alokasi buat pertahanan dan kesejahteraan rakyat diperkecil, dana untuk sekolah ideologi justru naik. Biaya itu meliputi perawatan 30.000 monumen Kim, festival olahraga, film, buku, billboard, mural, dan seterusnya.


Belum lagi buat pendidikan sekolah. Di sini, indoktrinasi untuk memuja sang Ketua sangat intensif: antara 304 dan 567 jam pelajaran. Para murid SD harus mempelajari sejarah masa kecil Kim Il-sung 152 jam dan Kim Jong-il juga demikian. Di Universitas Kim Il-sung di Pyongyang ada enam fakultas yang khusus mengajarkan riwayat dan pemikiran kedua Kim Bapak dan Kim Putra. Tahu artinya? ketika orang merasakan nikmat kekuasaan, maka pemujaan terhadap dirinya adalah keniscayaan.Itulah buruknya sifat rakus. Mereka ingin jadi Tuhan, yang hanya boleh dipuja dan disembah. Haram dihujat atau dikritik. “ 


“ Mengapa sampai segitunya? 


“ Kekuasaan karena politik atau kekayaan kadang memabukan dan pasti lupa diri. Antara tulus dan tak tulus, antara ekspresi yang berlebihan dan tidak, tampaknya tak ada garis yang jelas. Itu yang terjadi di Korea Utara dan juga belahan negara lain di dunia. Sama saja mereka walau bentuknya berbeda. “ Kata Ale. “ Barangkali manusia selalu butuh pujaan—Tuhan, Nabi, atau Sang Pemimpin. Mungkin juga kultus itu merupakan respons dari suasana cemas akan terjadinya disintegrasi. Pada gilirannya, para penguasa, elite Partai, misalnya, juga mengalami keterasingan, karena dalam keseragaman slogan,  misal Pancasila. Mungkin mereka juga ogah mengerti apa itu slogan. Walhasil, akhirnya perlu satu Kata: apa yang disabdakan pemimpin tidak boleh dicela dan harus dipuja.” Kata Ale. 


“ Dan Ale tidak ingin disebut pemimpin, tak ingin semua atribut kekuasaan melekat pada diri Ale. Ale juga tidak peduli kalau citranya dihadapan ribuan karyawan dikenal bengis. Dikenal predator dan kejam bagi pesaingnya. Seakan semakin buruk citra Ale, semakin sempurna Ale menjauhkan diri dari kekuasaan karena uang. SIDC semakin besar dan Ale semakin sulit dijangkau oleh siapapun dan semakin menjauh dari pesta kaum hedonis yang gila citra, ya kan Ale?


Ale-ku hanya tersenyum. Itulah dia. Kalau aku bercerita tentang Ale, pastilah orang tidak percaya kalau dia tidak punya kendaraan pribadi. Tidak punya member golf. Tidak punya selir dan tidak punya apa apa. Dia hanya punya dirinya sendiri. Dan karenanya dia tidak hidup dalam dimensi orang lain yang segalanya ditentukan oleh status, strata sosial. Mengenal Ale, mengenal kerendahan hati dihadapan Tuhan, yang memang jalan sunyi. Karena tidak banyak teman seiring.

Usai makan malam. Ale antar aku ke kamar hotel. Walau aku hanya executive yang berada di lingkaran ketiga dari SIDC, holding yang dia bangun tapi dia sangat halus memperlakukanku. “ Selamat tidur sa. “Katanya. Dia tak ingin mencampur adukan masalah personal dan bisnis. Bagaimanapun aku sadar. Walau aku sahabat masa remajannya namun  aku tetaplah executive nya. Itulah batas antara aku dan dia. Dia memang tidak sempurna dan dia tahu diri tentang itu.

Berkat Corona...


Awalnya kami bahagia. Aku mengenal istriku sebagai gadis yang menyenangkan. Sungguh setiap kali aku melihat lesung pipitnya kala ia tersenyum, oh, Tuhan, aku merindukan saat-saat itu lagi. Saat ia tak henti-hentinya bicara dan terus bicara dari jok belakang vespa biruku kala kami menuju pantai menikmati rona senja. Senja selalu merona serupa wajahnya yang menyimpan malu karena rayuan mautku. Dan, di pengujung tenggelamnya matahari itu aku mencium bibirnya yang semanis madu. Sungguh tak ada yang lebih menyenangkan selain kenangan, begitu pun sebaliknya, tak ada yang lebih menyedihkan selain kenangan. Aku jadi ingin menangis. Boleh, kan, laki-laki menangis? Kau pernah menangis?

Aku sering menangis akhir- akhir ini. Tapi, aku bersyukur karena Tuhan menciptakan kenangan. Maksudku Tuhan memberikan kenangan dalam bentuk kertas putih karena bagaimana pun juga kitalah yang mengisi kenangan itu. Aku bersyukur karena kertas putih itu. Hanya itu kan yang bisa kita ziarahi setelah kita tak bisa kembali lagi pada sebuah kenyataan? Maafkan kesentimentilanku, kawan. Tapi, bukankah setiap manusia lebih dari sekali bersikap seperti itu? Aku tak ragu lagi tentang hal itu. Bagaimana denganmu? Kau punya istri cantik seperti istriku?

Istriku itu cantik, kawan, aku yakin jauh lebih cantik dari istrimu. Rambutnya tidak lurus, tapi keriting mendekati ikal, ia terlihat menyenangkan dan anggun dengan rambut seperti itu meskipun aku tahu ia tetap cantik dengan rambut lurus seperti yang kulihat saat rambutnya masih basah seusai mandi. Bau tubuhnya yang harum mengundangku untuk mendekatinya lalu berbisik di telinganya bahwa betapa terkejutnya aku setelah menyadari menikahi seorang bidadari. Tak butuh waktu lama untuk membuat handuk yang melilit tubuhnya terlepas dan kami saling memagut dan menggapai satu sama lain.

Istriku sekarang berusia 38. Masih cantik. Walau pulang kerja dia nampak lelah namun riasan dan kecerahan wajahnya tidak berkurang. Tapi, sejujurnya ia adalah perempuan tercantik yang pernah kukenal sampai hari ini. Sewaktu kami masih pengantin baru ia tidak langsung mencuci muka, kau tahu, ia langsung memelukku. Saat seperti itu tak pernah kami sadari bahwa kami sedang bahagia. Sering kali tak ada percakapan, hanya kepalanya yang bersandar, tapi tak diragukan lagi, itu masa-masa paling bahagia bagi kami. Aku membayangkan kami akan selalu begitu hingga rambut kami memutih dan saling merasakan betapa kulit kami yang bersentuhan terasa bagai daun-daun kering. Tapi kenyataan berkata lain. Bagaimana dengan kenyataanmu? Apakah kau masih bahagia, kawan?

Sejak Bisnis freight forwarder-ku bangkrut. Kami sudah jarang mengucapkan selamat pagi saat bangun. Kebiasaan lupa itu berlanjut ketika istriku memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai marketing executive perusahaan property.  Sejak itu dia semakin sibuk, dan memang ada hasilnya. Dia sukses sebagai seorang marketing. Hidup kami berubah, tetapi hubungan kami juga berubah. Tidak ada lagi kehangatan seperti awal awal berumah tangga.

***
Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berjalan bermesraan dengan seorang pria tepat di depanku. Aku kenal pria itu. Atasannya di kantor.  Sebetulnya aku ingin masuk kembali ke dalam kendaraan di gedung  parkir itu sebuah hotel. Tetapi aku urungkan. Aku berdiri mematung menyaksikan pemandangan di hadapanku. Baru jantungku kembali normal setelah mereka masuk ke kuridor lift Hotel. Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Apa yang harus aku lakukan? melabrak dia bersama pria itu? Bukankah dia telah mengkhianati pernikahan kami. Menodai statusnya sebagai seorang ibu. Ya apa salahku sehingga dia tega mengkhianatiku.  Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tak mengenal waktu mencapai karir hebat. . Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.

Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai menikmati kebersamaannya di hotel dan merasa kau akan gila bila terus berada di lobi hotel menanti dia keluar dalam kelelahan bersama pria. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik berlalu. Setiap detik sangat menyakitkan. Aku sudah tidak tahan. Sebaiknya aku pergi meninggalkan hotel itu. Sebuah catatan yang akan abadi dalam hidupku bahwa aku menyesal pernah menikah dengan seorang wanita pembohong, yang hanya mencintai dirinya sendiri. Tapi aku tidak punya alasan untuk menceraikannya. Kalau aku tanya soal hubungan dengan pria itu, dia pasti punya banyak alasan. Dia lebih pintar dariku soal merangkai kata kata.   Setidaknya dia bisa berkata,

 “ Dari mana rumah, kendaraan, dan segala isi rumah ini? Dari mana uang kita piknik ke luar negeri setiap tahun? Dari mana? Kamu? No. Itu semua dariku, dari kerja kerasku. Tapi aku tidak pernah menepuk dada. Aku tahu, bahwa aku seorang istri yang bagaimanapun harus menghormati suami. Patuh kepada suami. Kalau memang kamu tidak izinkan aku bekerja, ya aku tinggal di rumah. Pastikan harta yang ada tidak berkurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena sudah lebih 3 tahun setelah bangkrut kamu tidak pernah bangkit lagi.”. 

Itulah yang membuatku kawatir untuk mempermasalahkan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Tapi sejak itu semua menjadi berbeda. Kami, bahkan, jarang bicara kecuali  seperlunya saja. Aku tak ragu lagi untuk berkata bahwa kami bukan lagi dua jiwa yang dipersatukan Tuhan. Meski kami tidur masih dalam satu ranjang, sebenarnya di antara kami, yang mungkin bagimu hanya berjarak sejengkal, terdapat tembok kokoh yang menghalangi kami untuk saling menatap dan bertanya bagaimana kabarmu hari ini. Salah satu dari kami akan pergi tidur lebih dulu sedangkan yang lainnya pura-pura menonton acara televisi atau membaca koran selama satu atau dua jam hingga merasa yakin salah satu dari kami sudah tertidur pulas. Hujan memang telah lama tak lagi turun di ranjang kami. Bagaimana dengan ranjangmu? Apakah istrimu masih menggairahkanmu?

Bagi istriku, rumah tangga hanyalah status, dan kenikmatan didapatnya di luar rumah. Sementara aku menikmati bisnis process di luar rumah. Kami serumah tapi kehidupan kami ada di luar rumah.

***
Telah hampir 10 hari kami berdua terpaksa tinggal di Rumah. Itu karena himbauan dari pemerintah untuk social distancing agar penyebaran virus corona tidak terjadi meluas.  Dari hari pertama staying at home, biasa saja. Hari kedua juga begitu, Ketiga juga begitu. Tapi masuk hari keempat, entah mengapa kami mulai saling bertatap  namun cepat mengelak.  Kebersamaan dalam kesendirian itu sangat menyakitkan. Lantas apa arti semua ini, kalau toh nyatanya kami bukan saja takut tertular tetapi juga takut akan kematian akibat virus corona itu. 


“ Mas" seru istriku. Aku terkejut. Dia bicara dengan raut wajah berbeda. Sepertinya dia ingin bicara, membunuh sepi di rumah. "
" Ada apa ? 

" Saya bingung. Karena begitu banyak pendapat ahli yang saya baca. Apalagi kalau sudah berargumen dengan contoh kasus kematian akibat Covid 19. Apapun argumen mereka sangat masuk akal dan menakutkan.  Gimana saya menyikapi ini. ?

“ Siapapun boleh bicara, apakah dia ahli soal virus, ahli molokuler,  atau dokter atau apalah. Tetapi faktanya belum ada satupun ahli  di dunia ini yang bisa menemukan vaksin COVID 19. Artinya, mereka hanya berasumsi dengan pengetahuan yang terbatas. Kan bego kalau kamu terprovokasi dengan omongan mereka. Soal kematian adalah kisah lama dan terus berlangsung di dunia ini. Mengapa harus ditakuti? 

“ Tapi Mas, Covid 19 ini memang mengerikan. Liat aja di Italia, China dan tempat lainnya.”

“ Mengerikan itu karena persepsi kamu yang terbentuk akibat semua orang membicarakan Covid19. Angka kematian akibat flue jauh lebih besar. Angka kematian akibat rokok jauh lebih besar. Angka kematin di jalan jauh lebih besar. Mengapa itu tidak mengerikan? karena tidak semua orang membicarakannya. Pahamm ya.” 

“ Bagaimana dengan larangan ditempat keramaian dan social distancing? Apakah itu tidak  meindikasikan sesuatu yang berbahaya ?

“ Itu hanya pedoman agar tidak mengakibatkan penularan. Itu juga bagian dari social engineering. "

" Mengapa? 

"Karena setiap orang itu berpotesi ada virus di dalam tubuhnya. Bisa virus apa saja. Masalahnya tidak semua orang merasakan keberadaan virus dalam dirinya , tergantung imun tubuhnya. Apa jadinya kalau kebetulan virus yang ada pada kita,  menular keorang lain yang langsung aktif karena imunnya tidak kuat. Kan buruk jadinya.  Hal ini kita bisa belajar dari orang Jepang. Mereka tidak melakukan langkah social distancing seperti negara lain. Orang tetap bekerja di kantor. Stasiun masih ramai. Jalanan masih ramai. Mengapa? karena mereka punya budaya hidup bersih dan terbiasa menjaga kesehatan orang lain dengan menggunakan masker ditempat keramaian.  Kalau kita baru ramai setelah ramai dibicarakan Covid19 tetapi di Jepang itu sudah jadi tradisi keseharian mereka. Mereka juga engga punya budaya salaman atau saling hug atau kiss. Tetapi membungkukan tubuh sebagai tanda hormat. Itu juga cara efektif tidak menularkan virus kepada orang lain."

" Jadi memang sebaiknya pedoman yang dianjurkan pemerintah itu dituruti. Setidaknya kita ambil bagian dari social engineering. Bagaimana hidup bersih dan menjaga kesehatan diri dan orang lain. Karena setiap orang berpotensi sebagai pembawa virus.” Kata istriku tersenyum. Baru kali ini kulihat dia memberikan senyum terindah seperti awal menikah.

“ Apakah setelah wabah Covid19 ini selesai, orang bisa bebas lagi.” kata istriku.


“ Tidak ada istilah selesai. Karena virus tidak mati. Kalau orang bisa sembuh, itu bukan berarti dia kebal. Mungkin akan ada lagi virus virus lain. Kuncinya adalah social engineering. Bukan hanya hidup bersih tetapi bagaimana kita bisa peduli kepada orang lain. Bukan hanya peduli terhadap penyebaran virus tetapi juga sikap hidup berbagi. Kemiskinan adalah sumber masalah dari semua masalah. Yang paling mengerikan adalah timbulnya wabah  bagi simiskin yang tidak teratasi dan ini tentu berdampak bagi siapa saja termasuk orang kaya. Kalau kita tidak berusaha mengurangi gap kaya miskin, maka kita sebenarnya menciptakan hidup penuh resiko di planet bumi ini."

Dia tersenyum. Suasana sepertinya penuh kebun bunga. Aku menyesal mengapa kami membiarkan waktu terbuang bertahun tahun hanya karena merasa direndahkan. Padahal setiap tindakan pasti ada alasannya. Dalam situasi sekarang kami berjarak dengan semua kesenangan di luar rumah. Yang ada hanya kami berdua. Ternyata kesenangan yang ada di luar rumah mengabur dan menjadi menakutkan akibat virus corona. Tempat teraman ternyata adalah di dalam rumah. Tempat seharusnya kami belajar untuk mencintai satu sama lain. Belajar untuk berdamai dengan kenyataan. Belajar dari ketidak sempurnaan kami sebagai manusia. Belajar dari rasa kawatir dan ketakutan. Belajar dari arti sebuah kematian yang pasti terjadi.

Entah mengapa di suatu malam, istriku berkata sebelum tidur. “ Besok aku akan mengirim surat pengunduran diri dari perusahaan. Aku ingin tinggal di rumah saja. Rian sudah remaja. Dia butuh aku.  Boleh ? 

Aku terkejut. Kata terakhir walau singkat, “ boleh” menegaskan bahwa aku masih suami dan penguasa tunggal di rumah. Dia masih menghormati status sakralku di hadapa Tuhan. 
“ Usahaku masih merintis. Entah gimana kelanjutannya setelah wabah virus corona ini berlalu.” Kataku sekenanya. Tapi itu juga kelemahanku yang terbiasa mengeluh di hadapan istri.
“ Kita akan hadapi bersama. Aku punya tabungan. Kita akan baik baik saja. “ Katanya. Aku meremas jemarinya, dan tersenyum. Aku tidak akan bertanya tentang hubungannya dengan atasannya. Dan akupun tidak perlu cerita perselingkuhanku dengan relasi bisnisku. Yang jelas kami merasa bersalah, bertahun tahun kami tidak lagi saling sentuh. Jasad kami di ranjang yang sama namun jiwa kami ada di luar rumah. Berkat corona, berkat staying at home, kami bisa memaknai arti kebersamaan, yang memang harus diperjuangkan dan berkorban apa saja untuk itu. ***

Aku harus pulang...





Di pinggir jalan dia berdiri. Malam dan gerimis menemaninya. Dia berusaha menyembunyikan tubuhnya digelap pinggir selokan. Ketika Lampu menyinari dirinya, dia berusaha menghindari cahaya itu. Namun ketika kendaraan melambat maka dia tahu bagaimana harus bergaya. Tubuhnya akan nampak utuh oleh cahaya dari lampu mobil.

" Terlalu tua" terdengar suara dari dalam kendaraan. Kendaraan itu berlalu begitu saja. Dia hanya mematung melihat kendaraan pergi. Harapan pun pergi untuk bisa bayar sewa kos.

Jam berlalu dan malam menuju pagi. Tak terhitung kendaraan mampir dan pergi meninggalkan dia sendirian. Dari jauh nampak bayangan langkah mendekatinya. Seorang pria lusuh. Dia tidak takut. Dia sudah biasa hidup di dunia malam. Resiko di pukul dan diperas tak terbilang sudah dia rasakan. Ini apalagi? Dia hanya diam dan siap siap.

" Mbak ...? Kata pria lusuh itu.
" Saya butuh Rp 250 Ribu."
" Aku hanya ada uang Rp 50.000 hasil tadi ngamen. Ambillah "i
" Engga ah. Uang segitu bisa apa?
“ Ini uang halal loh. Ayo lah..."
" Ogah ah..sana pergi" Dia ketus.

Pria lusuh itu pergi. Dia kembali sendiri dan berdiri menjajakan dirinya. Tak terasa waktu berlalu. Suara azan menggema. Subuh datang dan dia belum menghasilkan satupun deal dengan pelanggan. Dia sadar bahwa usianya semakin menua. Pesaing datang silih berganti usia belasan. Sementara dia , usianya sudah kepala empat. Dulu dia percaya pekerjaan ini hanya sementara namun akhirnya dia tidak tahu arti sementara. Karena dia tak lagi menghitung hari. Hidup dilaluinya seakan dia tidak akan beranjak pergi. Benar , dia tetap ditempatnya namun waktu memanggal rezekinya dan kini dia merasa sendiri dengan harga yang sulit untuk di jual... 

Dia sendiri dalam sepi.

Dia langkahkan kakinya menyusuri trotoar. Hujan sudah lama reda. Lampu merkuri menyinari tubuhnya yang seakan menyembunyikan Gincu diwajahnya yang memudar. Pria lusuh itu nampak lagi. Pria itu duduk setengah merebahkan dirinya di halte bus. Dia tatap pria itu. Mata pria itu terbuka sedikit kearahnya.
" Mbak..."
" Aku ..
" Ada apa?”
" Dari tadi siang aku belum makan. Aku lapar. Mau pulang bingung karena takut ditagih ibu kos”

Pria lusuh itu membuka matanya lebar lebar. Ia membuka dompet nya dan menyerahkan uang pecahan 5000 sebanyak 10 lembar. 

" Ambil lah " kata pria itu menyerahkan uang itu kepadanya.
" Di mana kita akan melakukannya"
" Melakukan apa ? 
" bukankah kamu mau membeli tubuh saya?"
" Tidak.! "
" Jadi udah gitu aja ? "
" Ya. Pergilah ..saya mau sholat di masjid itu" kata pria lusuh itu menunjuk kearah mesjid besar yang ada diujung jalan.

Dia menjauh dari pria itu. Bertahun tahun dia bertemu dengan banyak pria perlente dan semua superior dengan uang di tangan. Semua hanya transaksi yang menempatkannya sebagai pemuas nafsu. Uang yang dikumpulkan entah mengapa habis begitu saja tanpa ada bekas. Kini dia menua dan terlupakan. Tapi pria lusuh itu memberi tanpa membeli dan meminta dia pergi.

Mentari pagi mulai nampak di upuk. Cahaya merasuk kedalam sanubarinya. " Di tengah aku sendiri dan terbuang bagaikan sampah , ada seorang pria lusuh memberiku uang. Pria itu telah memberi makna bagi hidupku. Selalu ada cahaya di tengah gelap bahkan di tempat yang tak ada noktah cahaya sekalipun. Selalu ada cahaya. Selalu ada harapan. Aku harus pulang. Kembali kepada Tuhan ku. Walau tanpa uang , tanpa rupa... Aku harus pulang.

Pria itu, malaikatku




“ Kamu kan boss. Punya perusahaan. Mengapa penampilan kamu terlalu sederhana. Apa susahnya sih bagi kamu beli tas hermes. Engga akan berkurang harta kamu. “ Kata temanku Fitri. Aku hanya tersenyum. Ingat sudah lebih 10 tahun menjanda, tak ada satupun pria tertarik kepadaku. Padahal aku engga jelek amat. Aku wanita indo blasteran bule. Kebayangkan gimana wajahku. Tetapi karena lingkungan pergaulanku orang berkelas, tentu ukuran mereka dari aksesoris yang ada.

Aku melamunkan seorang pria,  yang kini aku hanya tahu namanya dari Facebook. Padahal 7 tahun lalu aku pernah bertemu dengannya dalam situasi coincident. Tapi pertemuan itu telah mengubah hidupku dan memperbaiki sikapku sampai kini. Kalau ingat kali pertama bertemu dengannya, aku selalu menyesal. Menyesal karena sikapku yang tidak ramah dan merendahkannya. Karenanya,  sampai kini walau begitu besar keinginan untuk bertemu, aku selalu kawatir akan salah lagi. Biarlah dia hadir dalam imajinasiku. Apalagi lewat tulisannya di facebook , semakin menyadarkan aku bahwa dia memang tidak terjangkau olehku. 

***

Di tengah guyuran hujan lebat, aku berhasil masuk ke dalam Mall Plaza Indonesia. Janji bertemu dengan Rian di Cafe yang ada di Mall ini. Rian berjanji akan memberikan pekerjaan untukku. Dia sahabatku waktu kuliah di Pert, Australia. Sudah tiga bulan  aku di PHK oleh perusahaan PH. Sejak itu kehidupan ekonomiku sebagai single parent murat marit. Apalagi mantan suamiku tidak peduli dengan biaya kedua anaknya yang kini jadi bebanku. Ketika aku masuk cafe, Rian belum datang. Dia memang bilang akan datang agak terlambat. Aku memilih tempat di Table Bar. Kawatir pesan table khusus karena bingung darimana bayarnya kalau ternyata Rian tidak jadi datang. Di table Bar lebih aman. Pesan secangkir juice seharga Rp. 85.000, tidak ada masalah. Dengan itu aku bisa tenang menanti Rian datang.

Setelah 30 menit berlalu, aku dapat WA dari Rian “ Maaf Wik, aku engga bisa datang. Mendadak istriku minta diantar ke dokter. Maaf ya. Nanti kita atur lagi pertemuan.” begitu pesannya. Aku menghela napas panjang.  Sebetulnya aku bukan hanya perlu kerjaan tetapi juga perlu utangan dari Rian. Benar benar hari ini di dompetku uang hanya Rp.100.000. Bayar minuman , kembaliannya tidak cukup bayar gojec pulang. Di luar hujan semakin deras. Aku membayangkan kedua putriku tentu ketakutan dengar suara petir menggelegar. Biasanya kalau mendengar suara petir mereka akan memelukku.  Terbayang rumah kontrakan yang belum dibayar. Sudah tiga kali pemilik kontrakan datang dan mengancam akan mengusirku. Uang pendaftaran sekolah putri sulungku belum ada. Kalau gagal dapatkan uang  malam ini, terpaksa putriku harus menunda  masuk sekolah tahun depan. 

“ Oh Tuhan, mengapa sesulit ini hidup yang kurasakan. Kemana aku harus minta tolong. Beri jalanku untuk setitik cahaya agar bisa keluar dari kelam.” Doaku dalam kesendirian. 

“ Anda sendirian? kata seorang pria duduk di sebelahku. Keliatan ramah sekali. Aku melirik usianya mungkin 40an atau setidaknya 50 tahun. Dari penampilannya keliatan tidak bonafide. Jam tangan tidak ada. Rokoknya bukan cigar. Rokok orang kampung, Gudang Garam. Kacamatanya seharga tidak lebih Rp. 2 juta. Aku kenal betul semua aksesoris orang. Maklum pekerjaanku sebagai art director iklan yang menguasai detail life style hidup orang.

“ Ya. “ Jawabku sekenanya. Mengapa orang ini terus bertanya. Apa  dia pikir aku wanita  murahan yang sedang cari mangsa di cafe. 

“ Oh kalau gitu anda mau pulang sekarang?

“ Ya tapi di luar hujan deras. “ Kataku acuh.

“ Kerja dimana ?

“ Ngangur. “

“ Punya anak?

“ Punya.” Kataku ketus. Aku lagi banyak masalah mengapa pria ini banyak tanya. Apakah dia tidak bisa membiarkan aku sendirian. Tapi dengan sikapku yang acuh itu,  dia tahu diri. Dia tidak lagi bertanya.

Gadgetku bergetar. Aku melirik ada panggilan dari Rian. “ Wik, kamu udah pulang “ katanya di seberang.
“ Masih ketahan di Cafe. Hujan deras. “
“ Kalau begitu nanti habis antar istri ke dokter aku mampir ke PI.” 
“ Duh terimaksih Rian. Aku tunggu ya.” Kataku penuh harapan.

Benarlah tak lebih sejam menanti Rian sudah ada di cafe itu. Kami memilih table untuk makan malam. 

‘ Wik kamu kenal, kan dengan Pak Bimo?

“ Oh Pak Bimo yang pernah jadi client aku untuk iklan dan buat CP?

“ Ya. Betul’

“ Ada apa?

“ Dia suka kamu. “

“ Maksud kamu?

“ Dia minta kamu jadi asisten pribadinya. “

“ Aku orang art director. Mana paham aku kerjaan asisten pribadi.”

“ Maksudnya temani pak Bimo keluar negeri.”

“ Apa? Kataku setengah berteriak.

“ Jangan tersinggung, wik. Bayarannya mahal. Dia berani kasih Rp. 25 juta untuk temani dia ke luar negeri.  Hanya tiga hari saja.”

“ Kamu suruh aku jual diri.”

“ Bukan. Tepatnya kerjasama. Dia janji mau kasih aku kerjaan banyak untuk buat iklan produknya. Nah kamu nanti bisa kerja sama aku. Kita bagi saham sama rata. “

Aku mulai terpikir. Ini hanya taktik bisnis untuk dapatkan clients kakap, bahkan paus. Tapi bagaimanapun aku tetap harus menjual kehormatanku. Bukan tidak mungkin nanti aku akan terus dimanfaatkan oleh Rian dan Pak Bimo. Bimo menginginkan kepuasan sek dariku. Rian inginkan keuntungan dari bisnis dengan Bimo. Walau aku dapat saham dan keuntungan yang sama, tetapi secara moral kehormatanku tergadaikan dan predikat  sarjana lulusan luar negeri tidak bernilai. Serendah itukah aku? apakah karena kemiskinan orang boleh terpaksa melacur? Lantas untuk apa aku sekolah tinggi kalau hanya jadi pecundang.

Entah mengapa aku tidak lagi melihat Rian sebagai sahabatku, tetapi predator yang mehalalkan segala cara untuk bisnis. Termasuk mengorbankan aku sebagai sahabatnya.

“ Maaf Rian, aku harus menolak. “ Kataku keras. 
“ Oh ya udah. Tolong utang kamu dibayar Wik. Soalnya aku butuh uang. Udah lebih tiga bulan perusahaanku engga dapat bayaran dari clients. Maklum lagi resesi. Cash flow clients lagi sulit, akupun jadi ikut sulit “

“ Kamu kan tahu aku lagi nganggur. Gimana mau bayar “ 

“ Ya utang tetap utang kan Wik. Kamu ada peluang tetapi kamu tolak. Jadi gimana?

Aku ingin marah besar kepada Rian. Mengapa dia berbeda dari dulu yang aku kenal waktu kuliah. “ Baik! beri aku waktu seminggu. Aku akan bayar.” kataku keras dan berlalu dari hadapannya. Aku  membayar bill aku sendiri. 

Di luar cafe hujan deras. Aku berdiri depan Starbucks. Tapi yang membuat darahku hampir berhenti adalah aku melihat pria yang aku kenal tadi di Bar sedang berjalan bersama pak Bimo kearah lobi Mall. Mereka berdua akrab sekali.  Bagaimana mungkin orang yang penampilannya lusuh tetapi bisa berteman dengan Pak Bimo. Pria itu melirik kearahku tetapi Pak Bimo tidak melihatku.

Pria itu mendekatiku, sementara Pak Bimo terus melangkah ke arah lobi. “ Anda mau pulang” 
“ Ya Pak. “
“ Itu pak Bimo ya.” Kataku sambil menunjuk ke arah pak Bimo.
“ Oh ya, dia direktur saya. Mari saya kenalkan.” Kata pria itu seraya memanggil Pak Bimo yang segera menoleh ke belakang. Pak Bimo menatapku denga terkejut.
“ Kenalkan teman saya “ kata pria itu kepada Pak Bimo, menyebut aku sebagai temannya. 
“ Oh saya udah kenal lama, pak, Dia kan wiwik”
“ Wah dunia kecil ya.” katanya.
Setelah bicara sebentar, " Pak saya ambil kendaraan. Bapak tunggu di sini aja." Kata Pak Bimo kepada pria itu.

 Tetapi entah mengapa aku punya keberanian untuk minta ongkos taksi dari pria itu. Itupun setelah Pak Bimo tidak ada.  “ Pak, maaf. Saya engga ada uang bayar taksi. Maaf pak. “ kataku terlontar begitu saja. Aku tak bisa menahan airmataku jatuh. Aku berusaha menahan tangis. Ini kali seumur hidupku begitu tak berdaya.
Pria itu terkejut namun dengan cepat dia mengeluarkan uang dari tas selempangnya.“ Maaf, saya engga  ada uang rupiah. Kamu terima aja ini. Bisa ditukar di money changer di basement.” Kata pria itu. Aku melirik uang dalam genggamanku. Itu pasti lebih dari 5 lembar pecahan USD 100. Benar. Ada 10 lembar. Artinya dia memberiku USD 1000. Entah mengapa uang itu pas untuk bayar kontrakan rumah yang nunggak 3 bulan dan uang pendaftaran sekolah putriku.
“ Maaf Pak, ini uangnya terlalu banyak. Saya hanya butuh taksi. “
“ Pakai saja uang itu.”
Dengan berat aku menyerahkan lagi uang itu kepadanya. Dia sempat tertegun ketika menerima kembali uang itu.
Dia mengeluarkan lagi uang dari kantongnya. “ Apakah ini cukup? katanya menyerahkan dua lembar Rp 100.000. Aku mengangguk “ Saya janji akan membayar uang ini pak. Pasti, Demi kedua anak saya.” kataku. Pria itu hanya tersenyum dan berlalu ketika kendaraan sudah sampai depan lobi.

***
Keesokannya Rian telp aku “ Wik, ada kabar bagus. Kamu bisa kerja langsung dengan aku. Pak Bimo mau kasih order dan dia  tidak minta kamu temanin dia keluar negeri. “
“ Aku ogah kerja sama kamu.”
“ Please Wik…kita kan teman’
“ Kamu bukan sahabatku. “ kataku ingat peristiwa tadi malam.
“ Please Wik. Pak Bimo hanya mau kasih order asalkan kamu kerja sama aku”
“ Pak Bimo?
“ Ya. Pak Bimo”
“ Kenapa dia berubah pikiran?
“ Engga tahu aku..”

Kini sejak kali pertama bertemu pria itu, sudah 7 tahun lebih aku tidak pernah  bertemu dengan pria itu lagi. Berkali kali aku datang ke cafe itu tetapi tidak pernah bertemu. Dan aku juga tidak punya keberanian bertanya dengan Pak Bimo tentang pria itu. Yang jelas usaha PH ku bersama Rian terus berkembang. Pak Bimo juga kenalkan dengan beberapa perusahaan yang berpotensi jadi clientku. Yang pasti sejak itu cara bersikapku juga berubah. Aku lebih rendah hati dan lebih punya rasa hormat kepada siapapun tanpa melihat penampilannya. Siapapun dia adalah manusia, dan setiap manusia bisa saja ia dikirim Tuhan sebagai malaikat penolong kita di tengah prahara ya kan. 

Dan yang lebih penting lagi adalah dalam kondisi berada dalam kesulitan, bahkan dalam kondisi tak tertanggungkan tetaplah jaga kehormatan. Dalam hidup ini yang kita perjuangkan adalah kehormatan. Kalau kehormatan tidak ada, tentu tidak ada makna hidup sesungguhnya yang harus kita perjuangkan. Semoga cerpenku, ini dimuatnya di blog. Setidaknya aku tahu bahwa dia mengingatku dan dia memang malaikatku.

Kelas Menengah di Indonesia.

  Saya datang ke Cafe itu dengan agak males. Karena ini cafe anak muda yang ada di jantung kota di puncak office tower. Entah mengapa Alisa ...