Pertama masuk jakarta. Setahun saya benar benar tidak melihat jalan untuk saya. Begitu sulit berkompetisi. Semua pekerjaan yang layak butuh koneksi dan pendidikan tinggi. Saya hanya tamatan SMA. Satu satunya peluang adalah bekerja sebagai penata buku. Sambil nguli saya ikut kursus pembukuan bond A/B. Tetapi karena tidak ada uang cukup untuk kursus, terpaksa saya hanya kursus pengenalan saja selama 3 bulan. Setelah itu saya belajar sendiri dari buku. Saya bisa lulus ujian negara Bond A dan B. Memang tidak sulit dapat kerjaan sebagai penata buku pada perusahaan dagang.
Tetapi hanya beberapa bulan saya mengundurkan diri. Mengapa? setiap hari saya melakukan hal yang sama. Tidak ada yang baru. Akuntasi adalah sistem yang sudah baku. Jadi tidak perlu ada kreatifitas. Setiap hari berangkat kerja seperti ada beban berat di pundak. Saya merasa tidak nyaman dengan pekerjaan ini. Mungkin orang cocok tetapi tidak untuk saya. Kalau jalan itu tersedia untuk orang bergerak kedepan. Ini saya merasa tidak bergerak kecuali usia. Saya bersikap. Bahwa ini bukan jalan untuk saya. Tanpa banyak berpikir saya berhenti.
Saya putuskan jadi sales. Semakin lama saya merasa seperti jadi kuda penerjang bukit. Hanya komisi tanpa terima gaji. Pendapatan tergantung penjualan yang diraih. Dari pengalaman dan pengetahuan sebagai penata buku, saya bisa hitung berapa keuntungan perusahaan dari keringat saya. Apalagi setiap hari dapat bentakan dari supervisor kalau tidak tercapai target. Karena itu saya merasa tidak nyaman. Ini bukan jalan untuk saya.
Berkat pengalaman sebagai pembukuan dan sales, saya masuk ke dunia wirausaha. Dengan bekal tabungan ala kadarnya selama jadi sales. Itu benar benar tidak direncanakan. Saya jadi suplier pemrof DKI dan Hankam. Memang mudah dapat uang tetapi lama lama saya merasa tidak bergerak kemana mana. Setiap hari saya sibuk di dunia malam jadi kacung pejabat memanjakan diri. Bahkan sampai kalau AC rumahnya rusak, mereka telp saya untuk perbaiki. Temanin istrinya shopping dan saya jadi juru bayar. Akhirnya saya merasa ini bukan jalan saya. Saya keluar jalur.
Tetapi dari pengalaman wirausaha, itu saya tahu bagaimana membangun mitra dan trust. Itu sebabnya saya mulai mencari mitra yang mau mendukung rencana bisnis saya. Tiga kali bermitra, tiga kali gagal. Saya tersingkir dengan berbagai alasan. Mungkin bermitra dengan modal skill saja tidak cukup. Ini bukan jalan saya. Saya pindah jalur.
Setiap saya pindah jalan, saya tidak pernah berhenti mencari kekurangan pada diri saya. Saya dapatkan hikmah. Semua kursus yang berkaitan dengan aspek bisnis saya ikutin. Bahkan selalu luangkan waktu ikut dalam seminar di dalam dan luar negeri. 15 tahun saya hidup, tidak ada sukses dalam arti sesungguhnya. Lantas apa yang saya dapat? Waktu dan pengalaman itulah bekal saya. Saya sudah naik kelas berkat pergulan dan network yang saya dapat selama 15 tahun itu.
Saya tidak mungkin mundur lagi kebelakang. Tidak mungkin bermitra bisnis dengan orang yang punya modal. Tida mungkin lagi mundur ke belakang jadi rekanan pemerintah. Tidak mungkin lagi mundur belakang jadi sales dan broker. Karena itu semua sudah saya jalani dan bukan jalan saya. Masalah saya adalah modal, yang memungkinkan saya bisa freedom mengembangkan ide dan pengalaman saya. “ Kamu hanya perlu galah untuk dapatkan buah di pohon. Engga perlu manjat lagi.” Kata mentor saya. Darimana saya dapat galah. Ya saya harus focus dapatkan galah.
Kesempatan dapatkan galah itu terjadi ketika saya dapat peluang jadi arranger soft loan untuk proyek APBN. Dari fee yang saya dapat, itulah jadi galah saya untuk menjemput buah diatas pohon. Ketika itu usia saya 40 tahun. Saya tidak muda lagi. Saatnya saya kepakan sayap. Jalan saya tidak di Indonesia. Tetapi di luar negeri. Ya pilihan saya adalah China. Berbekal USD 60,000 yang diberi istri, saya terbang ke China. Hijrah. Berawal dari maklon dan akhirnya bisa bangun pabrik dan terus berkembang dalam bidang shadow banking dan terus membentuk investment holding. Hanya 5 tahun saya sudah established.
Ya saya bermitra dengan banyak orang asing, bukan berharap dapatkan modal dari mereka. Tetapi saya berharap sinergi dan kolaborasi untuk efisiensi dan unggul dalam kompetisi. Sementara modal saya dapatkan dari lembaga keuangan dan private investor lewat istrument pasar uang. Kemitraan modal tidak seperti dulu saya lakukan , yang posisi saya lemah dan terasa terintimidasi setiap saat. Kini saya bermitra secara equal dan terhormat.
Saya berteman dengan pejabat dan otoritas di Indonesia dan beberapa negara, bukan berharap rente tetapi dapatkan informasi mengakses sumber daya yang ditawarkan negara untuk dikelola. Jadi saya tidak perlu memanjakan mereka seperti dulu saya sebagai rekanan pemda. Berkat pengalaman sebagai sales, broker, saya tahu bagaimana mendapatkan peluang. Berkat keahlian sebagai penata buku, saya tahu mengelola bisnis process secara disiplin dan mendatangkan laba.
Kalau orang tua berkata bahwa kegagalan adalah sukses yang tertunda, itu kalau kita bisa memahami hikmah dari setiap kegagalan. Apa hikmahnya? Jangan stuck di jalan yang sama. Segera move on dan pindah jalur. Terus aja lakukan itu kalau gagal lagi. Terus belajar dari kekurangan kita. Karena tidak ada waktu yang terbuang bila kita lalui dengan kerja keras dan bersemangat untuk belajar. Itu semua adalah investasi kita untuk naik kelas dari waktu ke waktu dan berubah…paham ya sayang.
***
Waktu pertama datang ke Jakarta tahun 1982. Seminggu saya tinggal di rumah sedara saya. Dari satu rumah ke rumah lain. Mereka semua keberatan saya tumpangi. Akhirnya saya putuskan untuk tidak lagi berharap bantuan apapun. Saya tidak salahkan mereka. Siapa sih yang mau dibebani. Apalagi saya datang ke Jakarta tidak ada rencana kuliah. Tidak ada masa depan. Saya keliling cari kerjaan. Engga ada lowongan. Padahal semua toko tanah abang saya datangi. “ Pak, saya bisa jahit. Bisa juga masak. Cuci juga bisa. Bersihkan rumah juga bisa. “ Kata saya. Tetapi ketika orang tanya di mana saya tinggal. Saya menggeleng kepala. Itu mungkin alasan mereka nolak saya.
Akhirnya dalam keadaan kelelahan dan lapar. Saya duduk di trotoar depan kantor ekspedisi darat. Dekat saya itu ada gerombolan kuli. Tak berapa lama datang orang panggil kuli2 itu. Mereka datang. Saya diam saja. Tetapi mandor kuli teriak ke saya. “Ngapain lue diam aja. Panggul nih. “ Katanya. Saya lepas tas ransel saya. Tempatkan di dekat kantor expedisi. Saya ikut manggul barang ekspedisi ke dalam truk. Saya sama kuli kuli itu kerja manggul barang ke dalam 3 truk ukurun tronton.
Setelah selesai. Kami semua baris depan gudang ekspedisi. Saya ikut aja. Ternyata pembagian upah. Setiap orang dapat Rp 200 rupiah. Saya ucapkan sukur kepada Tuhan. Ini rupiah pertama yang saya hasilkan setelah 7 hari merantau. Saya hanya bisa beli lepet ketan untuk makan. Satunya saya simpan untuk makan malam.Selama sebulan saya kerja di expedisi. Tidur di gudang. Saya lakonin dengan sabar sebagai kuli. Sehari saya dapat upah bisa Rp. 600.
Saya lihat banyak pedagang dari daerah belanja di tanah abang. Jumlahnya engga banyak. Hanya sekarung kecil. Mereka angkut barang daganganya dengan bus. Ongkos hitung orang. Tentu mahal. Saya berpikir. “ Kalau saya bisa kumpulkan semua barang pedagang dalam ukuran kecil dan kemudian saya kumpulkan dalam packing ukuran besar. Dan sewa truk. Tentu ongkos lebih murah. Tetapi bagaimana memastikan barang itu sampai di tempat pedagang.? Kan engga mungkin supir truk mau antar barang itu sampai ke alamat.
“ Pak, berapa sewa truk ini ke Bengkulu?
“ Rp. 300.000 “ katanya.
“ Mau saya bayar Rp. 450.000” kata saya
“ Emang kamu ada uang dan ada muatan.? tanyanya. Saya ceritakan rencana saya. Dia hitung. Tarif saya per kg Rp. 100. Kalau 9 ton. Itu artinya Rp. 900.000. Dia tertarik. “ Ok. Saya antar ke alamatnya. Kamu yang kumpulin barang muatan ya.” Katanya. Saya senang. Kolaborasi tercipta.
Setiap hari saya nongkrong di tangga pasar tanah abang. Kalau ada orang nenteng kantong belanjaan. Saya bantu angkat. Saya tawarkan jasa saya. Mereka tertarik. Saya beli buku notes. Saya catat nama pemilik barang dan alamat tujuannya. Setap packing saya tempelkan alamat dan namanya. Itu saya kerjakan sendirian. Angkut ke dalam truk saya dibantu teman teman kuli. Dalam sebulan saya dapat muatan satu truk. pengirman pertama, sukses.
Berikutnya nama saya sudah dikenal. Jadilah saya ekspedisi ilegal. Dealnya hanya trust saja. Engga ada kontrak. Sebulan saya bisa kirim 2 truk. Keuntungan saya bisa Rp 300.000 bersih. Saat itu teman saya kerja di BANK BTN, gajinya Rp 48.000.
Tetapi berlangsung belum setahun. Saya dikroyok preman di tempat kos saya, Mereka datang 10 orang bawa kayu. Itu suruhan dari ekspedisi besar. Setelah saya jatuh karena menangkis dipukul kayu berkali. Mereka terus pukul saya walau sudah tak berdaya. Punggung saya lebam semua. Itu karena saya pertahankan kaleng tabungan saya. Akhirnya saya pingsan. Karena kepala saya dipukul pakai kayu. Tulang rusuk saya hampir patah. Uang tabungan saya di kaleng mereka ambil semua. Bisnis saya diambil oleh ekspedisi besar, Mereka copy paste business model saya. Keluar dari RS, saya jadi broker tekstil.
Tahun 1989 saya kena prahara. Jaksa tangkap saya. Karena kasus penyelundupan. Saya tidak merasa berbuat seperti tuduhan itu. Namun pihak Jaksa tetap bawa saya ke kantor. Saya ikut saja. Di jalan saya bingung. Ada apa ini. Sampai dikantor. Saya diinterogasi. Barulah saya tahu. Saya sebagai dirut perusahaan mendantangani PEB ( pemberitahuan ekspor Barang) yang termasuk dilarang. Saya lihat itu bukan tanda tangan saya. Pihak kejasaan tidak peduli saya membantah.
Hari itu juga saya ditahan. Saya telp istri. Dia langsung datang ke Tanjung Priok. Dia temui saya di rumah tahanan ke jaksaan. “ Papa engga lakukan seperti yang dituduhkan mah. Mama percaya kan “ Kata saya. Istri saya menangis. Dia gendong putra saya yang masih berumur 3 tahun. “ Mama percaya pah”
“ Mah, tenang saja. Mama kan komisari utama perusahaan. Pemeganng saham mayoritas. Besok pagi datang ke kantor. Segel kantor. Suruh semua karyawan libur.”
“ Gimana caranya?
“ Temui Pak Paulus. Dia pengacara papa. Dia akan temanin mama ke kantor untuk segel perusahaan. Ambil dokumen yang papa perlukan “ Kata saya. Besok istri saya lakukan dan dia laporkan ke saya di penjara. Matanya sembab. Saya tahu dia tidak sanggup lihat saya di penjara. Dia bawa dokumen PEB yang saya tanda tangani. Ini bukti saya untuk lolos dari dugaan jaksa.
Namun ketika saya perlihatkan kepada Jaksa perbedaan tanda tangan saya dengan dokumen PEB yang jadikan saya tersangka. Jaksa tidak peduli. Mereka tetap proses saya. Istri saya datang ke Jaksaan. Saya ceritakan keadaan saya. Istri saya mulai nampak berang. “ Pah, coba pikirkan. Siapa saja yang bisa bantu papa. Mama akan temui dia. Walau harus ngepel lantai rumahnya dengan lidah gua, gua akan lakukan.” Kata istri saya. Saya sebutkan nama seseorang. Dia pejabat tinggi BIN. “ Ya, Mama akan datangi rumahnya.” Kata istri.
Hari keempat di penjara. istri saya jemput saya bersama pejabat BIN dari penjara. Saya dibebaskan., Karena terbukti berdasarkan lab forensik tanda tangan. PEB itu bukan saya tanda tangan. Dari pihak EMKL jaksa tahu siapa pelaku sebenarnya. Akhirnya dia ditangkap. Namun izin usaha saya dicabut. Dampaknya kredit bank dibatalkan. Padahal pabrik saya baru berdiri.
Bank sarankan saya untuk lepas pabrik kepada pengusaha Korea. Saya terpaksa terima. Saya sadar saya di hostile oleh pesaing saya. Saya keluar tanpa uang satu sen pun. Utang pribadi saya lunasi kepada teman teman. Kami tidak punya uang lagi untuk makan. Selama bangkrut itu, istri saya membantu saya dagang pakaian kreditan dari rumah ke rumah. Dia larang saya kerja.” Siapa yang mau bayar papa. Papa hanya tamatan SMA. Kalau kerja, upah engga seberapa. Dan belum tentu papa nyaman. Teruslah cari peluang. Soal ada engga ada hasil engga penting. Soal makan, itu urusan gua.” Kata istri.
Pada suatu hari. Saya pulang dari luar, Istri saya menangis. “ Ada apa mah? Kata saya dengan lembut. Mungkin dia sudah tidak tahan hidup bersama saya dalam kemiskinan. Saya siap kalau dia mau minta cerai.
“ Tadi gua ke rumah orang untuk nawarin pakaian. Di teras rumahnya bungkusan dagangan gua ditendang suaminya. Tabur semua. Padahal gua datang disuruh istrinya. Rendah sekali nasip kita pa. “ Kata Oma sesenggukan. “ Dia kesel karena teras rumah mewahnya kotor. Kita engga ngemis. Kita hanya jual barang. Kita perlu makan. Kenapa sih mereka engga kasihan“ Istri menangis.
Saya membayangkan kelelahan Istri kayuh sepeda ke rumah orang itu. Tentu berharap ada deal dan dapat uang untuk makan. Saya peluk istri. Saya berusaha menenangkan batinnya. Saya tidak ada kata kata yang bisa menghibur dirinya. Kecuali minta dia sholat dan berdoa kepada Tuhan agar kami tetap diberi kesabaran.
Saya temui teman yang juga bankrut. Setiap hari di maki maki oleh istrinya. Tidak dihormati keluarga besar. Di jauhi teman. Jangankan bantuan datang, malah terasing sendiri. Setiap hari dia mengeluhkan nasipnya. Apakah saya harus mengikuti jalan hidup teman saya yang miskin demi prinsip hidupnya? Saya tidak sarjana. Tidak ada lowongan kerja yang bisa memberikan jaminan hidup yang established. Saya tidak punya pilihan seperti orang lain. Diam dan menerima, maka kehormatan saya habis sudah.
Saya bingung. Setiap hari saya keluar rumah. Saya mutar jalan kaki sekitar glodok. Banyak peluang tetapi semua butuh uang. Ada encek encek minta Genset. “ Saya engga ada modal Koh. Gimana mau dapatin barang” Kata saya.
“ Kamu tolol. Kalau karena uang engga ada , kamu engga bisa dagang, kamu tolol. “ Katanya. Membuat saya terkejut. “ Kamu harapkan siapa yang mau bantu kamu modal? di dunia ini hanya dua orang yang tulus bantu kamu. Ayah dan ibu kamu. Selainnya semua srigala. “
“ Ya koh. “
“ Mau dagang sama saya.? Tawarkan kerjasama. Kamu untung saya untung. Pikirkan itu” Katanya
“ Ya apa ya koh.” kata saya garuk rambut rambut.
“ Eh tolol. Jangan berwajah ngeluh. Aura kamu hilang.Gimana mau dapat uang. Tegarkan diri kamu. Kamu laki laki.” Katanya. Seperti cahaya besar membuka jalan saya. Saya seperti bangun dari tidur panjang. “ Ini saya sudah minta Genset. Ini peluang. Harga udah saya tentukan. Saya beri kamu jalan sedikit. Itu semua boss pabrik dapat genset murah. Karena mereka impor engga bayar Bea. Bebas. Karena izin BKPM. Dapatkan izin. Kamu butuh modal impor genset, saya keluarkan uang. Bebas bea nya kita bagi dua.” katanya.
“ Tapi kan itu izin untuk buat pabrik. Kita kan engga buat pabrik, koh”
“ Kamu memang tolol. Makanya miskin. Di luar itu semua srigala. Kamu harus jadi srigala juga. Kalau kamu berpikir jadi domba yang patuh, kamu dikorbankan orang. Jadi pengemis, Jadi pengeluh. Tidak akan ada yang hormati kamu. Yakin Tuhan akan kasihan kamu? Tidak. Buktikan sendiri. ” kata engkoh. Saya terdiam.
Mau urus izin PMDN engga ada duit. Saya datangi kantor BKPM. Saya pelajari prosedur perizinan. Saya buat proposal di perpustakaan. Saya ketik di rumah. Kemudian saya ajukan izin ke BKPM. Semua kelengkapan saya siapkan. Tidak ditanggapi. Engga ada uang lobi. Saya tidak kehilangan akal. Saya datangi selir jenderal. Dulu saya pernah beri dia uang. Saya ceritakan saya bangkrut. Mungkin karena usianya lebih tua dan dia anggap saya adik. Saya kerja di rumahnya. Cuci baju dan bersihkan rumah. Temanin dia belanja ke Singapore. Akhirnya, dia tersentuh. Dia janji akan bantu bicara dengan jenderal untuk saya dapatkan izin BKPM.
Benarlah, izin keluar. Atas dasar izin engkoh bantu saya uang untuk buka LC impor Genset. Dari bebas bea itu dia beri saya 20%. Dapat uang tunai cukup besar. Semangat saya keluar. Tapi otak reptil saya juga keluar. Saya cari terus peluang jual barang impor. Dapat order, saya urus izin PMDN. Itu saya lakukan berkali kali. Sehingga saya dapat modal untuk dirikan pabrik. Karena uang saya banyak di Bank. Bank tawarkan kredit investasi.
Kredit investasi barang modal saya akalin. Karena bank tidak beri cash, tetapi barang. Ya main sama agent di Singapore untuk jadi seler mesin. Harga mesin saya mark up 3 kali dari harga sebenarnya di Taiwan. Uang kelebihan beli mesin itu saya ambil di singapore. Uangnya saya pakai untuk modal kerja. Jadi saya dirikan pabrik tampa modal. Begitulah.
Banyak cara saya yang salah dalam dapatkan uang dari orang kaya dan bank. Karena cara benar, tidak ada yang mau. Namun setelah dapat saya gunakan dengan baik dan niat baik. Walau saya bisa saja ngemplang uang mereka, Karena saya lakukan semua sesuai aturan. Tetapi tetap akhirnya saya bayar. Saya tidak punya catatan hitam di BI. Di komunitas international saya tidak punya catatan hitam. Bahkan orang Arab yang uangnya saya layering tanpa setahu dia untuk beli aset. Akhirnya setelah tujuan saya tercapai, saya kembalikan dan amankan uangnya. Dia heran dan tersentuh. Akhirnya dia jadi mitra global
“ Orang baik dan jujur tidak ada bedanya dengan orang jahat kalau dia mengeluh karena menderita. Keduanya sama sama tidak beriman. Sama sama rakus. Ketika kamu berdiri di depan Tuhan, kamu adalah seorang Muslim, tapi ketika kamu berdiri di depan banyak orang kamu bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!.Lawan!. Kamu bisa jadi apa saja. Raih lah hidup diusia emas kamu. Itu berkah dari Tuhan. Setelah mendapat, berbagilah, cintai orang miskin.
***
Ini bangkrut yang ke empat tahun 2003. Tepat usiaku 40 tahun. Namun dengan sumber daya keuangan yang kering memang tidak mudah. Untuk sementara yang kulakukan adalah mendatangi teman-teman yang masih longgar hidupnya. Bukan untuk meminta dan mengeluh akan nasib buruk, tapi sekedar meyakinkan mereka bahwa aku masih exist. Entah apa yang dapat mereka perbuat untuk membantuku, yang penting aku akan lakukan apa saja untuk mereka tidak merasa rugi kalau membantuku.
Ada teman tawarkan agar aku menjadi konsultannya, ya aku kerjakan. Ada yang minta aku membantunya mencari buyer batubara, ya aku lakukan. Ada juga teman minta aku terlibat dalam aktivitas sosial, ya aku ikut. Karena memang tidak berniat menjadi broker atau penjual jasa, maka setiap peluang yang kuterima aku kerjakan dengan tulus. Kalau dikasih uang aku terima, kalau tidak ya sudah.
Di samping itu, istriku juga tampil sangat luar biasa sebagai penyelamat rumah tangga kami. Ia berdagang kecil-kecilan agar bisa membantu biaya rumah tangga dan tanpa menghalangiku untuk terus berhubungan dengan teman-teman pengusaha. Ia tidak membaniku soal biaya rumah tangga.
Pernah ketika usai libur lebaran istri mengajakku dan anak-anak pergi ke Ancol dengan bekal tikar dan makanan dari rumah. Kami duduk di pantai dengan penuh keceriaan dalam hidup bersahaja. Padahal tahun lalu kami bisa tinggal di hotel dan menikmati semua hiburan yang ada di Ancol. "Papa, kapan kita ke Dufan dan tidur di hotel lagi?," kata putra sulungku sambil menunjuk hotel Horisson. Rasanya aku ingin menangis, namun istriku dengan bijak menjawab, "Tahun depan kita akan tidur di hotel dan ke Dufan lagi kalau liburan. Ayo doakan Papa bisa bangkit lagi”.
Suatu waktu istriku punya tabungan dan berniat untuk memberangkatkan ibuku pergi haji. Aku tersentak. Di tengah kehidupan yang sulit, istriku begitu lapang hati berkorban untuk ibuku. Alasannya semoga ibuku dapat pula mendoakan kami agar suatu saat dapat pergi haji. Kalau tidak ada rezeki, kami berharap anak-anak dapat mengirim kami ke Baitullah. Akhirnya ibuku berangkat haji. Setelah itu kami tidak punya lagi tabungan. Kalau sakit, entah bagaimana kami bisa selamat. Karena kami juga tidak punya asuransi kesehatan.
***
Suatu hari, dengan bus Patas AC aku meluncur dari terminal di pinggiran Jakarta ke arah jalan Sudirman, pusat kota. Mengapa aku bilang ke arah Jalan Sudirman? Karena aku sendiri pun tidak tahu mau ke mana. Aku hanya tahu bahwa aku harus keluar rumah dan berharap akan ada peluang. Tapi ke mana? Entahlah. Aku turun di halte Gedung Arthaloka. Tak ingin terlalu lama bengong di halte, kaki aku langkahkan ke Hotel Reagent yang berada di belakang gedung Landmark. Berharap di hotel itu aku bertemu teman yang sedang ngopi, atau setidaknya aku bisa istirahat barang sebentar.
Sesampai di hotel, karena tidak ada Credit Card, dan tidak ada uang di dompet, maka seperti biasa aku hanya duduk di lobby sebentar. Kalau lewat 1 jam tidak ada ketemu teman, ya aku pergi dari hotel itu sebelum diusir oleh Satpam. Baru saja aku mau melangkah ke arah pintu keluar, aku bertemu dengan teman lama, warga Singapore. Ia minta aku menemaninya melakukan negosiasi dengan relasinya orang Indonesia. Usai negosiasi Ia ajak aku makan siang. Ia berjanji akan memberikan fee kalau transaksinya dengan relasinya tadi berhasil.
Benarlah, seminggu kemudian ia telepon aku mengabarkan bahwa aku bisa ke Singapore untuk mendapatkan fee yang ia janjikan. Tapi dari mana ongkos ke Singapore? Ada teman yang kutemui mau menolong. Sore harinya, ia memberi aku uang untuk ongkos ke Singapore. Katanya uang itu didapatnya dari menjual HP Communicatornya. Menurutnya begitulah caranya berterimakasih karena ingat dulu aku pernah menolongnya. Aku terharu. Aku berjanji akan mengembalikan uangnya.
Sesampai di bandara Changi, temanku mengabarkan via telepon bahwa ia sedang berada di Johor Bahru. Malam baru kembali. Ia minta aku tunggu di hotel. Hotel mana? Aku tidak punya uang untuk sewa kamar. Uang di kantong hanya SGD 20. Tapi bagaimanapun aku putuskan datang ke hotel agar ia mudah menemuiku nanti. Dengan taksi aku sampai di Hotel Central di kawasan Orchard. Dari jam 1 sampai jam 5 sore aku menantinya di lobby tapi yang kudapat malah teleponnya mengabarkan bahwa Ia tidak bisa menemuiku. Kemungkinan baru besok pagi bisa bertemu. Nah sekarang tidur di mana? Perut lapar.
Nasib baik datang. Aku bertemu teman dari Jakarta. Ketika itu jam 7 malam. Aku diajaknya makan malam. Tapi usai makan malam, ia sibuk menerima telepon dan akhirnya pergi ke luar hotel untuk bebas bicara. Dan sampai jam 10 malam tidak kembali lagi ke restoran. Petugas restoran minta bill ditutup. Darimana aku punya uang? Terpaksa aku menyerahkan pasporku untuk jaminan. Bahwa besok aku berjanji akan membayar setelah temanku datang. Untung manager restoran percaya, atau mungkin ia kasihan. Kini aku tidak punya paspor, tidak punya kamar untuk tidur. Tidak punya uang. Ada di negeri orang. Kalau besok temanku tidak datang maka kemungkinan urusannya harus ke polisi. Aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Saat itulah aku teringat akan istri dirumah. Untuk mengisi kekosongan waktu dalam penantian yang tak pasti. Aku keluarkan pulpen dan mulai menulis di buku agenda yang selalu ku bawa.
Istriku ....Tak ada orang yang ingin menulis surat seperti ini, tapi aku cukup beruntung memiliki kesempatan untuk mengatakan apa yang sering lupa kukatakan. Aku mencintaimu, Sayang. Kamu sering berkelakar bahwa aku lebih mencintai bisnisku daripada kamu karena aku lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Aku memang punya obsesi dalam hidup ini. Obsesi seorang yang terlahir sebagai pria. Yang harus berbuat lebih. Tapi, tahu tidak? Aku mencintaimu karena alasan yang sama. Semoga ini dapat kamu pahami, sayang.
Ingat ketika aku membicarakan niat untuk bisnis. Aku tau kamu tidak mengerti. Kamu hanya tau kalau akhirnya bisnis ini tidak cukup membuat kita bahagia. Aku tidak pernah tau arti uang dan kamu menanamkan arti uang dan kebijakan kepada anak anak hingga membuat mereka rendah hati dan sangat bangga akan aku. Aku sering mengeluh kepadamu tentang bisnis ku , tapi aku tak pernah mendengarmu mengeluh .Seandainya pun kamu mengeluh, mungkin aku tak mendengarnya. Aku terlalu terlena oleh masalahku sendiri sehingga tak pernah memikirkan masalahmu.
Aku memikirkannya sekarang, semua yang kau korbankan untukku. Pakaian, liburan, pesta, dan teman-teman. Kamu tak pernah mengeluh dan entah bagaimana aku tak pernah ingat untuk berterima kasih padamu . Padahal itu sangat penting bagi dirimu. .Saat aku duduk minum kopi bersama teman-teman, aku selalu membicarakan business dan obsesiku , tantanganku , peluangku. Rupanya aku lupa bahwa kamu adalah mitraku meskipun kamu tak berada bersamaku. Pengorbanan dan keteguhan hati menemaniku jualah yang akhirnya mengantarkanku aku dalam dunia yang tak terbayangkan.
Aku begitu puas dengan posisiku dihadapan teman- temanku, hingga rasanya seperti ingin mendapat pujian dari mu. Tapi kau tetap tidak mengerti antara aku dan temanku. Dengan kelakar kau mengatakan kepadaku bahwa temanku pantas mengharapkan bisnisku karena mereka tidak perlu pusing untuk membiarkan istrinya bergelut dengan masalah sehari hari yang membosankkan.. Sayang, ketahuilah bahwa aku bangga akan dirimu walau itu tak pernah kukatan.. Aku menganggap kamu pasti sudah tahu, tapi andai aku melewatkan waktu untuk mengobrol denganmu sama banyaknya dengan rapat bisnisku, mungkin aku akan mengatakannya.
Aku memikirkan ulang tahunmu dan ulang tahun pernikahan kita yang terlupakan. Drama sekolah anak anak dan pertandingan olahraga yang kau hadiri sendirian karena aku sedang diluar rumah. Bila aku di luar negeri …Aku memikirkan malam-malam sepi yang kau lewatkan seorang diri, bertanya-tanya di mana aku berada dan bagaimana keadanku. Karena kamu memang tidak mau menghalangi kemana aku pergi. Aku memikirkan semua saat aku ingin meneleponmu hanya untuk menyapa tapi tak pernah jadi kulakukan. Aku memikirkan perasaanku yang damai karena tahu kamu berada di rumah bersama anak anak menungguku.
Tiap kali ada acara keluarga, kamu selalu harus menghabiskan seluruh waktumu untuk menjelaskan kepada orang tuamu mengapa aku tak dapat hadir. Aku sibuk dengan urusanku, menjawab telp temanku , menganalisa data bisnis atau aku sedang tidur karena harus berangkat pagi pagi esoknya. Selalu ada alasan, tapi rasanya sekarang alasan itu tak begitu penting. Aku ingin merubahnya , sayang. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah berhenti untuk mencintaimu. You were always on my mind.
Waktu kita menikah, kamu tak tahu cara mengendari motor dan mobil. Tapi, setelah beberapa tahun, kamu menjadi supir yang hebat karena kamu harus selalu menemani kegiatan sekolah anakmu. Sementara aku sibuk dan melakukan banyak perjalanan keluar negeri.. Aku banyak berbuat kesalahan dalam hidupku, tapi seandainya aku pernah mengambil satu keputusan bagus, itu adalah saat aku melamarmu. Kamu tak akan pernah bisa mengerti apa yang membuatku terus memburu obsesiku. Aku juga tak mengerti, tapi itulah cara hidupku dan kau hadir melengkapi hidupku . Masa susah, masa senang, kamu selalu ada. Aku mencintaimu, Sayang, dan aku mencintai anak-anak. Tulisan itu berakhir dengan air mataku berlinang.
“ Tuhan beri kesempatanku untuk memuliakan istriku. Setidaknya membawanya ke Baitullah.”
Mendekati dini hari, teman yang tadi mengajakku makan malam masuk ke dalam hotel. Aku mengejarnya sampai ke lift. Ia terkejut. Ia pikir aku sudah pergi. Aku jelaskan bahwa aku tidak punya uang sama sekali. Juga tidak bisa membayar bill restoran. Apalagi sewa kamar. Ia tidak menyangka begitu parah keadaan hidupku. Padahal beberapa tahun lalu aku pernah meminjaminya uang.
Dengan tersenyum ia mendatangi manager restoran untuk melunasi bill dan juga sewa kamar untukku. Kami bicara di kamarnya cukup lama. Ia menawarkan pekerjaan untuk aku mengurus pendanaan proyeknya. Dengan terus terang aku katakan bahwa aku tidak punya uang untuk bergerak. Jadi aku tidak bisa berjanji apapun untuk bisa menolongnya. Ia hanya tersenyum. Semoga ia maklum.
Besok pagi, temanku yang orang Singapore datang ke hotel hanya untuk mengabarkan bahwa ia belum bisa memenuhi janjinya membayar komisi. Karena terbukti relasinya di Jakarta belum melunasi komisi keagenannya. Aku tidak bisa marah, ini salahku karena terlalu berharap. Dan lagi tidak ada kontrak apa pun untuk memaksanya. Nah, sekarang bagaimana bisa pulang? Uang untuk beli tiket tidak ada. Tapi aku tidak mau mengeluh kepada siapapun. Pada saat itu aku hanya bisa berdoa.
Teman dari Jakarta yang tadi malam membayar kamar dan makan malam, menghampiriku di lobby. Ia menyerahkan setumpuk dokumen. “Ini uruslah proposal bisnis saya. Pelajari. Kalau bisa bantu, hubungi saya. Dan ini uang untuk biaya operasional kamu“, katanya sambil menyerahkan uang USD 10,000. Aku terkejut. Ia langsung berlalu dari hadapanku dengan tergesa-gesa. Sekarang aku punya uang USD 10,000. Langsung pulang aku.
Di rumah aku ceritakan kepada istriku mengenai uang yang aku terima dan juga menjelaskan bahwa aku tidak yakin akan berhasil dengan pekerjaan ini. Istriku hanya berpesan agar aku menggunakan uang itu sebaik mungkin. Waktu aku beri uang, ia menolak dengan tegas karena uang itu amanah yang harus aku gunakan untuk bekerja.
Semalaman aku mempelajari semua dokumen itu dan mencoba melakukan stimulasi cara yang tepat mendapatkan sumber pembiayaan. Tapi selalu mentok. Karena bunga yang ditetapkan sangat rendah. Maklum ini proyek dengan pembiayaan kredit ekspor melalui APBN. Sementara credit rating Indonesia lagi jeblok. Suku bunga pasar untuk Indonesia di atas 4 % bunga LIBOR.
Namun akhirnya aku dapat formulasi bagaimana agar proyek ini layak dibiayai. Sampai pagi aku menyelesaikan info memo proyek itu agar mudah bagi lender untuk mempelajarinya dan membuat keputusan. Tapi siapa lendernya? Tidak ada bank dalam negeri yang bisa membiayai. Ke mana? Pikiranku langsung ke Hong Kong. Ya, aku harus kembali ke Hong Kong untuk menemukan sumber pembiayaan. Tapi siapa yang masih percaya denganku? Dulu saja aku gagal, apalagi sekarang hanya sebagai konsultan. Tapi aku harus ke Hong Kong.
Di bandara aku melangkah dalam ragu. “Aku ngga tahu, Ma. Apakah aku akan berhasil? Siapa yang akan percaya denganku dengan keadaan seperti sekarang?”, kataku kepada istri yang mengantarku ke Bandara.
“Jangan meragukan dirimu, Pa. Aku tidak pernah memilih pria yang lemah sebagai suami. Papa tetap yang terbaik bagiku. Aku yakin Papa terlalu kuat untuk jatuh. Sudahan ya, ragunya. Jangan sampai anak-anak melihat Papa lemah. Pergilah. Ngga usah pikirkan anak-anak. Itu urusanku. Yang penting Papa tetap tenang dan jangan menyerah”, kata istriku.
Ketika pesawat take off keyakinanku sudah bulat. Benar aku bangkrut secara bisnis, namun secara spiritual aku tidak bangkrut. Sahabat masih ada yang percaya dan mau berkorban untukku. Ada istri yang selalu bangga terhadapku. Dan anak-anak yang sehat dan cerdas. Aku harus berjuang untuk membuktikan bahwa aku tidak lemah.
***
Pesawat mendarat di Hong Kong. Ketika itu Hong Kong sedang memasuki musim semi. Aku tidak akan tinggal di hotel bintang 5. Aku harus berhemat dengan uang yang kurang dari USD 10,000 di tangan karena aku tidak tahu sampai berapa lama perjuangan ini akan selesai. Apakah aku akan pulang dengan tangan hampa? Segera aku menepis segala perasaan negatif. Aku hanya ingat pesan terakhir dari istri bahwa aku bukan pria lemah.
Aku menginap di hotel kawasan Central Hollywood Street. Bukan hotel, tapi tepatnya wisma. Kamar ukuran 3 x 2,5 meter. Kamar mandi ada di dalam tapi sangat sederhana. Tidak ada TV. Aku sewa kamar untuk 7 hari. Ya, inilah markasku untuk sementara.
Ada niatku untuk menelepon Esther, tapi entah mengapa aku urungkan. Karena aku tak ingin merepotkannya. Apalagi memikirkan perasaannya kalau sampai ia tahu keadaanku sekarang. Tentu ia akan sangat merasa bersalah. Aku kenal betul sikapnya terhadapku. Ia memang cerdas, namun secara mental ia tidak sekuat istriku. Mengapa? Istriku sangat rasional dalam menyikapi hidup dan tidak mudah dikuasai perasaannya. Karenanya dalam situasi apapun, ia tetap realistis, berdamai dengan kenyataan.
Pagi-pagi aku meluncur ke kawasan Financial Center Hong Kong. Dengan setelan jas aku datangi satu per satu lembaga keuangan yang aku kenal. Seharian aku mendatangi semua relasi. Mungkin ada 6 perusahaan lembaga keuangan kelas dunia telah aku datangi. Tapi semua menutup pintu. Alasannya sama bahwa proyek itu dijamin oleh Pemerintah Indonesia dan mereka tidak melihat Pemerintah punya kemampuan membayar. Ada juga yang langsung tertawa ketika bunga yang ditetapkan sebesar LIBORr+0,5%. Padahal credit rating Pemerintah jeblok. Seharusnya bunga lebih besar dari itu. Seperti halnya Philipina menawarkan bunga LIBOR +7 atau Thailand LIBOR +5. Ada apa ini? Apakah Pejabat Indonesia tidak paham soal money market?
Sebetulnya, kalaulah mereka mau saja mempelajari info memo yang kutulis tentu mereka tidak akan bersikap seperti itu. Karena dalam info memo, aku tulis analisa resiko dan solusi memperkecil resiko, bahkan menjadikan resiko sebagai peluang. Namun sikap apatis terhadap Indonesia membuat mereka malas membaca proposalku.
Jam makan siang aku merasa lapar. Aku berniat makan di restoran, tapi kemudian aku urungkan. Aku harus berhemat. Pilihannya adalah makan hotdog yang mangkal di jembatan di dekat taman Bank of America. Dengan duduk santai aku menikmati hotdog itu sambil berpikir keras. Apa yang harus aku lakukan? Saat itu terdengar suara memanggilku. Dari arah samping nampak seorang pria bule mendekatiku.
“B?”
“Mark?”
Kami berangkulan. Ia sahabatku dulu waktu di Jakarta. Aku pernah membeli mesin chopstick darinya. Ketika itu ia sebagai agen dari perusahaan Taiwan. Kami bicara santai di taman itu.
“Apa yang kamu kerjakan di sini?” katanya.
“Aku sedang mencari lender yang berminat membiayai sovereign guarantee Pemerintah Indonesia“.
“Boleh aku lihat dokumennya?”
Aku menyerahan dokumen yang ada, dan itu hanya copy dari info memo yang kubuat. Ia membaca sekilas. “Boleh aku bawa copy dokumen ini?”
“Silahkan”, kataku.
Ia segera berdiri karena ada urusan lain. “Segera aku kabari kalau ada kemungkinan bisa deal ,“ katanya. Sebelum ia melangkah jauh, aku bertanya, “Mark, apa pekerjaan kamu sekarang?”.
“Jualan asuransi”.
Hoalaaah… Aku telah menyerahkan dokumen financial solution kepada agen asuransi, kepada orang yang tidak punya financial network. Sore hari setelah lelah mendatangi satu per satu lembaga keuangan aku kembali ke hotel. Hari ini kosong tak ada deal dan tak ada prospek.
Jam 7 malam telepon selularku bergetar. “ B, ada berita bagus. Besok ke kantorku, ya. Alamatnya sesuai di kartu nama kemarin yang aku berikan kepada kamu”, kata Mark di seberang. Kesannya ia antusias sekali.
“Baik. Besok tepat jam 10 pagi aku sudah ada di kantor kamu.”
“Bagus.”
Benarlah, ketika aku datang ke kantornya, Mark sudah menanti aku di ruang resepsionis. Ia menyalami aku dengan hangat dan membawa aku ke ruang meeting. Di ruang meeting ada beberapa orang. Aku diperkenalkan satu per satu kepada mereka. Ada perwakilan dari banker di Eropa, ada perwakilan dari perusahaan asuransi khusus penjaminan utang, dan ada juga supplier. Mereka minta aku mempresentasikan info memo itu di hadapan mereka.
Dengan tenang aku jelaskan setiap tahap proses transaksi agar resiko hukum dapat dihindari, dan syarat yang ditetapkan Pemerintah dapat disiasati dengan baik sehingga layak dibiayai. Mereka perhatikan dengan seksama setiap penjelasanku.
“Jadi, kesimpulan dari yang Anda sampaikan adalah agar tetap mengikuti syarat yang ditetapkan Pemerintah maka perlu ada lender sebagai vehicle semacam SPC di daerah bebas pajak. SPC itu yang melakukan perikatan dengan Pemerintah. SPC ini yang akan menerima dana dari bank, yang kemudian diteruskan ke supplier yang bertindak sebagai rekanan Pemerintah. Nah, karena selisih harga sangat tinggi maka resiko atas jaminan Pemerintah ditutup oleh perusahaan asuransi dengan premium sesuai dengan credit risk surat utang Pemerintah Indonesia. Biaya premium itu ditanggung oleh suplier”, kata banker yang hadir dalam rapat itu.
"Tepat sekali“
“Nah, apa posisi Anda sekarang?”
“Saya hanya membantu teman saya, yang juga rekanan Pemerintah”
“Bukan konsultan?”
“Bukan.”
“Ok. Saya minta teman Anda datang ke Hong Kong bertemu kami, dan juga semua pihak yang terlibat dalam transaksi ini dari Indonesia juga hadir. Kita akan proses cepat.”
“Apakah mungkin saya bisa dapat surat undangan dari Anda yang ditujukan kepada pihak Pemerintah?”
“Apa perlu?”
“Maaf, karena saya bukan siapa-siapa yang bisa meyakinkan mereka untuk datang ke Hong Kong.”
“Ok, saya akan segera buatkan undangannya. Alamat semua ada di dokumen ini, kan?”
“Ya.”
“Hari ini saya buatkan undangannya dan sekaligus surat minat.“
“Terimakasih.”
Seusai meeting, aku keluar dari gedung itu bersama Mark. Ia mentraktir aku makan siang. Ia mengatakan bahwa Banker tadi adalah business network dari Boss-nya. Fokusnya hanya agar ia bisa menjual produk asuransi semacam surety bond. Dan skema transaksi ini membutuhkan surety bond guna meningkatkan credit rating Indonesia. Aku bisa memahami dan senang karena skema ini memberikan manfaat untuk perusahaannya.
Sorenya aku mendapat telepon dari teman di Jakarta bahwa ia bersama rombongan dari Pemerintah akan terbang ke Hong Kong besok pagi. Nada suaranya nampak ia senang sekali. Aku bersyukur karena baru dua hari di Hong Kong sudah ada progress positif.
Malamnya aku telepon istri menanyakan anak-anak. Hanya ia sedikit repot dengan putri bungsu kami yang sulit dijelaskan kalau aku tidak akan pergi lama-lama lagi. Setiap malam ia tidak mau tidur di kamarnya. Ia memilih tidur di kamar bersama mamanya. Dan tidak mau sprei dan sarung bantal diganti. Karena ia kangen dengan aroma tubuh papanya. Aku baru sadar bahwa putriku sudah ABG dan ia mengidolakanku.
Keesokan paginya aku terus sibuk mempertajam analisa dan membuat beragam simulasi untuk meyakinkan temanku tentang financial solution yang aku tawarkan kepada pihak lender. Aku berharap temanku dapat mengerti. Jam 2 sore aku berangkat ke bandara untuk menjemput teman dan tim dari Pemerintah.
“Kamu menginap di mana?”, tanya teman ketika dalam perjalanan ke hotel dari bandara.
“Central Park Hotel“.
“Sebaiknya kamu gabung dengan saya saja. Kami menginap di Shangri-la. Saya sudah bookingkan kamar untuk kamu. Nanti sampai hotel setelah check in ambil tas kamu”, kata teman.
“OK”
Aku bisa akrab dengan tim dari Pemerintah karena 2 orang dari tim yang berjumlah 3 orang itu telah kukenal baik. Jadi pembicaraan kami bisa lebih santai.
Setelah check in hotel, aku bicara dengan temanku di kamarnya. Aku berusaha menjelaskan secara rinci tahapan financial close atas skema yang aku ajukan. Ia dapat memahaminya karena aku sampaikan dengan analogi sederhana yang mudah dicerna akalnya sebagai pedagang. “Yang penting dapat uang dan saya bisa delivery ke Pemerintah. Itu saja“.
“Kira-kira mereka bisa terima?”
“Saya rasa mereka setuju. Yang penting Pemerintah menandatangani Credit Export Contract sesuai aturan dan syarat yang ditetapkan DPR dalam APBN. Di balik itu kalau ada rekayasa mereka tidak peduli. Terlalu rumit untuk mereka pahami. Tenang saja, Jel”. Aku senang karena temanku merasa yakin untuk memastikan Pejabat Pemerintah akan setuju dengan skema yang aku buat.
Besoknya kami berangkat ke kantor Mark. Dari kantor Mark, kami berangkat bersama ke alamat kantor bank. Proses negosiasi dari pihak borrower sepenuhnya aku yang pegang kendali. Temanku dan Pejabat Pemerintah hanya manggut-manggut saja. Usai meeting, kami sepakat untuk memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Banker.
Dari proses membentukan SPC, sampai buka rekening penampungan loan, sekuritisasi Government Bond yang di-back up perusahaan asuransi internasional, sampai kepada perjanjian Engineering, Procurement and Construction (EPC) kepada vendor, semua aku yang atur. Temanku hanya menandatangani, dan kalau perlu tanda tangan Pejabat Pemerintah, ia yang urus. Tiga hari proses itu selesai dan memuaskan. Pihak bank berjanji paling lambat hari Rabu minggu depan kredit telah cair ke rekening penampungan pada sebuah perusahaan offshore di Isle of Man.
Hari Jumat kami kembali ke Jakarta. Tapi mampir dulu ke Singapore untuk meeting dengan tim EPC. Malamnya teman mengajakku entertain Pejabat Pemerintah ke karaoke, tapi aku menolak secara halus karena harus mempersiapkan dokumen meeting besok pagi dengan tim EPC.
Paginya seusai meeting dengan tim EPC, temanku datang ke kamarku.
“Kamu jadi pulang hari ini?”
“Ya”
“Kenapa tidak hari Minggu aja. Ini kan malam Minggu. Kita pesta dululah.”
“Lain kali saja. Oh ya, ini sisa uang yang kamu kasih minggu lalu di Jakarta. Rincian penggunaan uang ada di dalam amplop. Terimakasih“, kataku sambil menyerahkan ampop kepadanya.
“Jangan begitulah, Jel. Kita teman. Ambil aja uang itu dan lupakan. Terimakasih sudah bantu saya”, katanya.
Ia menyerahkan kantong plastik dan di dalamnya ada kardus kotak sepatu.
“Ini oleh-oleh untuk istri kamu. Terimakasih“, katanya lagi.
Ketika mau check out aku membuka kotak kardus itu karena terlalu besar untuk dimasukkan ke dalam tasku. Tapi ketika kubuka di dalamnya ada gepokan uang dollar. Aku bingung. Ini mungkin temanku salah kasih. Segera aku telepon, “Bro, kamu salah kasih bungkusan?”
“Ya benar. Maaf. Saya baru bisa kasih USD 800,000, sisanya USD 1 juta minggu depan setelah kredit cair. Maaf ya, Jel”
“Untuk apa?”
“Itu komisi kamu sudah bantu saya. Totalnya USD 1,8 juta dari USD 76 juta atau 2,5%.“
“Tapi kita ngga kontrak dan kamu ngga bisnis dengan saya. Kamu hanya minta tolong kepada saya.”
“Ya, paham. Tapi saya tahu kemampuan kamu. Terimalah dan jangan sungkan. Kalau lihat cara kamu meyakinkan Banker dan mereka yang terlibat dari proses pembiayaan, saya terharu. Terimakasih.”
“OK lah, terimakasih. Ini sangat berarti bagi saya, bukan soal uangnya tapi cara kamu menghargai saya tidak akan pernah saya lupakan sampai kapanpun.” Kataku. Uang itu aku setor ke rekening ku di Singapore.
Aku kembali ke Jakarta. Sampai di rumah keesokannya, aku perlihatkan kepada istri bukti receipt bank bahwa aku menerima uang atas hasil jasaku selama mengurus bisnis teman. Aku ceritakan pengalamanku. Apakah ia senang? Tidak. Ia hanya menyikapinya dengan dingin.
“Hati-hati ya, lain kali. Jadikan pelajaran kegagalan yang sudah-sudah“.
“Apa keinginan Mama?”
“Aku hanya ingin suatu saat kelak kalau anak-anak semua sudah menikah, Papa selalu ada waktu untuk kita berdua. Ngga lagi sering ke luar negeri. Janji ya..”.
“Aku janji. Apalagi?“
“Tahun ini kita pergi haji?”
“Ya”, kataku tegas.
Barulah istri tersenyum ketika kukatakan setuju ke Mekah. Sebelumnya aku selalu menolak karena alasan sibuk. Ketika bangkrut kesadaran itu muncul, dan istri menggunakan momen kesuksesan ini untuk aku bersyukur dengan memenuhi panggilan Allah, ke Baitullah. Tapi beberapa bulan kemudian, aku diizinkan untuk hijrah bisnis ke China.. Mungkin dia tidak tega lihat aku sering melamun tanpa bisnis. Sementara keadaan krismon memang tidak ada peluang untuk bisnis. Dan lagi istri sudah trauma dengan empat kali kebangkrutan akibat lingkungan bisnis di Indonesia yang tidak ramah.
***
Selama 15 tahun. 4 kali saya bangkrut karena di hostile mitra saya secara keji namun legal. Semua prestasi saya diambil orang. Bahkan saya jadi terhina dan terlupakan di tengah orang ramai. Namun saya sadar, yang salah ya saya. Terlalu memaksakan diri jadi ayam merak. Padahal saya ayam kampung. Saya hanya pantas makan remahan saja. Satu satunya kemawahan yang tersisa adalah kesetian istri saya. Dia sangat yakin saya bisa sukses. Bukan hanya jadi ayam merak tetapi jadi elang. Kalau akhirnya saya hijrah ke luar negeri, karena memang tidak ada ruang untuk ayam kampung hidup di negeri ini.
Sebelum saya ke luar negeri. Tahun 2003. istri saya pesan. “ Gua percaya papa. Papa engga perlu buktikan kesetiaan papa. Dalam keadaan terpuruk. Depan kedua mata gua lihat sendiri. Papa berkali kali diludahi kakak gua. Papa sabar. Papa keluar rumah tanpa apa pa. Setelah bangkit lagi, papa jemput gua dan anak di rumah orang tua gua. Padahal kalau papa mau tinggalkan gua, itu alasan yang kuat. Apalagi papa bangkit berkat bantuan Florence. Tetapi papa milih jemput gua. Kuatlah di luar negeri. Papa tempat sandaran gua. Papa kebanggaan kami.” Kata istri memeluk kedua anak saya.
“ Yang sabar ya pah.” Kata istri melepas saya masuk border Bandara. Itulah yang jadi power saya untuk mengadu nasip di luar negeri. Saya hanya tamatan SMA. Uang dikantong hanya untuk hidup tiga bulan. Di luar negeri saya tidak punya teman dan sedara. Saya harus survival.
Jadi kalau persepsi sebagian orang anggap saya luar biasa menjaga komitment kepada istri dan itu rasanya tidak mungkin dengan apa yang saya punya. Anda boleh tidak percaya karena mungkin anda tidak pernah merasakan kemewahan dari sebuah kesetiaan. Mungkin anda belum merasakan istana dibangun dg susah payah diambil orang begitu saja, akhirnya tersakiti, terzolimin, terhina, dan kehilangan semua pintu untuk dapatkan cahaya.
***
Tahun 2006, istri dan anak anak kali pertama ke Hong Kong. Mereka tinggal di Mandarin Exelsior. Suite room. Selama di Hong Kong dia tidak mau saya temanin. Dia beri saya kebebasan kerja. Dia tidak mau ganggu saya. Dia ajak anak anak jalan jalan tanpa saya. Setelah seminggu di Hong Kong, dia kembali ke Jakarta. Saya minta dia mampir di Singapore. Karena saya dari Seoul mau kembali ke jakarta mampir di Singapore. Saya minta orang saya jemput Oma dan anak anak di Bandara. Istri dan anak anak diantar ke Mandarin Mauritius Orchard.
Keesokannya saya datang ke Singapore. Saya langsung ke Mandarin. Executive Floor. Kami makan di restoran Hotel itu. Istri tetap dengan pakaian muslimnya. Tanpa perhiasan melekat di badan. Dia pede saja karena saya ada disampingnya. Saya juga menyesuaikan pakaian sederhana. Saat saya berdua sama Istri, saya adalah suami dan sahabatnya. Seperti biasa. Matanya melihat keseliling restoran. Sebagian besar orang asing. Dia melirik ke saya dan tersenyum berkata “ Alhamdulilah”
“ Kenapa Ma..? Tanya saya.
“ Semua tamu restoran ini orang keren semua. Pasti suami gua sama dengan mereka. Kalau engga mana mungkin bisa makan semewah ini.” kata Oma tersenyum. " Kamar kita kan di lantai executive. Memang tamu VIP. " Kata saya tersenyum. Karena tidak jauh dari table kami ada putra pak Harto.
“ Papa engga malu ngajak mama ke restoran ini? Dan tidur di hotel semewah ini?
“ Malu? kenapa malu. “ kata saya terkejut.Saya peluk istri di restoran itu. “ Seluruh aset nama mama. Rekening trustee kan atas nama mama. Papa hanya kerja untuk mama. Coba, kalau mama engga izinkan papa kerja mana mungkin kita bisa ada di tempat ini? Kata saya. Istri berlinang air mata.
Siang saya ada meeting dengan relasi saya di Riverside Singapore. Saya beri istri card. “ Mah ini Amex card. Ini bukan credit card tetapi cash card. Ingat engga. Mama kan pernah teken aplikasi. Mama juga berhak teken bil card ini. Jadi mama bisa gunakan card ini untuk belanja apa saja. Bawa anak anak.” kata saya menyerahkan card AMEX.
Apa yang dilakukan istri. ? Sore anak anak cerita. “ Pa, kita dijak mama makan di Arab Street. Enak pa daripada di Hotel. “ Kata Putri saya. Saya bengong. Saya liat istri. “ Udah ah. Banya cerita lu orang. “ kata istri kepada anak anak dan tersenyum kepada saya.
“ Pa, jangan manjakan anak anak. Mereka tidak akan sanggup hidup seperti papa. Menahan sakit dan derita sampai tak tertanggungkan. Kita didik saja anak hidup sederhana dan tahu diri.” Kata istri.
“ Jadi mama engga shoping? tanya saya. Istri menggeleng. “ kalau ingat sulitnya papa cari uang. Engga sanggup mama belanja yang engga penting. Di Hongkong, papa terbang ke china dan terus Korea. Andaikan suami gua insinyur tentu dia tidak harus begitu. Engga mudah orang mau percaya papa. Siapa sih kita. Apalagi di negeri orang. Yang sabar ya pa, Mama hanya bisa doin aja “
Saya terdiam. Sampai kini kami tetap hidup sederhana. Selalu saling mengingatkan dan menguatkan. Pada akhirnya semua akan kembali kepada Tuhan.
***
Dulu sebelum pacaran, malam minggu diajak ponakan papa saya makan nasi uduk di Kebun Kacang. Saat dia sudah kerja di departemen store Sarinah. Kadang setelah itu makan bubur kacang Ijo di tanah Abang. Kalau temanin nonton di bioskop dia selalu yang bayar. Tentu itu karena di suruh oleh bibi saya, yang juga ibunya. Yang saya suka adalah dia pendengar yang baik setiap masalah yang saya hadapi dalam pekerjaan. Memang tidak tidak pernah berpendapat. Hanya dengar saja. Itu lebih bermakna bagi saya.
Bahkan untuk jodoh saja dia tidak punya pendapat apapun.
“ Terserah ayah saja. Siapa calon suami Eli. “ Katanya ketika saya tanya. Hanya saja ketika sudah di bicarakan kami akan menikah. Diatas lukisan dinding dia buat sulaman. Nama saya dan nama dia.
“ Kalau aku punya rumah, aku akan pasang ini di kamar tidur. “ Katanya.
Namun setelah berkeluarga lukisan dinding itu tidak pernah dia pajang. Saya tahu keluarga kecil kami masih ngontrak rumah. Lukisan itu baru dipasangnya setelah kami bisa beli rumah.
Setelah berumah tangga, saya masih hidup dalam strata sosial di bawah. Tentu gaya hidup saya masih terbawa bawa. Saya engga bisa pakai dasi. Dia yang pertama ajarin saya pakai dasi. “ Kalau duduk jangan langsung duduk. Perhatikan tempat duduk. Kalau ada debu, bersihkan. Jangan duduk seenaknya. Jaga posisi. Kalau engga, celana kamu akan kusut. Baju kamu juga akan kusut. Orang anggap kamu tidak serius hidup. Itu engga dewasa namanya.” Katanya tersenyum. Sejak menikah semua pakaian, sepatu, dasi, kaus kaki, dia yang beli. Tentu dia paham karena dia pernah jadi pramuniaga di Departement Store.
Berkali kali gagal saya dapat jawaban sama “ Emang siapa papa? kalau orang tidak butuhkan lagi papa setelah dia mengerti bisnis yang papa bawa, ya wajar saja dia singkirkan papa. Bahkan dalam hal sederhana saja, orang yang biasa dapat uang dari papa, cobalah papa stop pemberian itu, dia akan jadi musuh papa. Itu juga wajar. Engga perlu mengeluh. “ Kata istri. Tapi kata kata itu membuat saya sadar diri dan tahu batas diri saya. Ini bukan masalah saya dengan mitra saya, tetapi ini masalah ada pada diri saya sendiri. Saya memang belum pantas menjadi tempat bergantung orang punya modal. Apalah saya? sarjana bukan. Koneksi tidak ada. Saya hanya ayam kampung.
Sebelum saya berangkat ke China, tabungan dari komisi soft loan ada sebesar Rp.20 miliar. Kalau saya tabung saja, itu bunganya lebih dari cukup untuk biaya hidup tenang dalam bersehaja. Tetapi saya putuskan uang itu untuk jadi penjungkit saya meraih bitang di langit. Istri dukung. Soal keputusan bisnis saya memang dia tidak pernah berpendapat. Apapun dia serahkan ke saya untuk jadi bekal bertarung. Awal saya berangkat bawa uang USD 60,000. Setahun kemudian semua uang tabungan habis. Istri tetap tenang saja. Tidak pernah berprasangka buruk apapun. Tahun berikut berikutnya saya bisa dapat pijakan untuk take off.
Namun setelah saya established secara financial, istri justru minta izin juga bisnis. Alasanya cari kesibukan ketika saya sedang di luar negeri dan anak sudah besar besar. Bermodal awal hanya USD 10,000. Kini setelah lebih 10 tahun bisnis bidang property kecil kecilan, dia punya pasive income sebulan lebih dari gaji CEO korporat. Dan karena itu dia tidak pernah rongrong saya minta uang belanja. Hanya minta kalau dia memang butuh. Itupun jarang. Karena gaya hidupnya selalu sederhana. Credit card saja tidak punya.
Walau semua property dan asset berupa saham dan surat beharga di rekening trustee semua atas namanya, dia tidak pernah bargain dihadapan saya. Andaikan dia usir saya, mungkin saya hanya bawa baju yang melekat dibadan. Tetapi dia tidak pentingkan harta. Dia hanya butuh saya saja.