Tahun 1983, malam. Kawasan terminal Grogol. Hujan turun rintik rintik. Aku berusaha merapat ke halte yang kumuh sekedar menghindari gerimis. Di halte itu sudah ada wanita. Dia keliatan bingung dengan tas di pangkunya. Dua orang pria datang mendekatiku. Tahu tahu salah satu mereka mengarahkan pisau ke keningku.
“ Serahkan uang. Cepatlah, sebelum tangan ini lepas dari kendaliku! Teriak lelaki itu dalam getaran yang hebat. Aku tak tahu apakah ia marah atau gentar. Suara keras, namun runtuh sebagai kemurungan. Di dompetku ada uang Rp. 200.000 yang baru kudapat sejam lalu dari hasil penjualan tekstil ke relasiku di Kawasan Taman Kota. Ini uang amanah yang harus ke setor kepada toke di Jalan Pintu Kecil kota keesokannya.
Bukan kematian yang kutakutkan, namun amanah yang harus kuemban, membuatku mengabaikan resiko untuk mencumbui ketajaman pisau dan liar kegelisahan di sepasang mata yang ganas karena lapar. “ Mau mati kamu? tariak pria itu mengarahkan pisau ke dahiku. Aku menarik kepalaku ke belakang. Salah satu pria temannya mendorong wanita disampingku sampai ke dinding halte. Aku diam saja. Tetap tenang. Aku yakin kedua preman ini lapar. Mereka tidak siap jadi pembunuh. Tubuh mereka kerempeng.
Namun ketika mulutnya sangat dekat dengan wajahku. Aku terkejut. Dari bau mulut terasa aroma minuman. Aku membayangkan, mereka bisa tanpa sadar menusukan pisaunya. Aku harus bertindak cepat. Aku tidak merantau untuk mati konyol. Dalam jarak dekat itu. Dengan cepat aku memiringkan tubuh seraya menarik sikunya lewat bahuku. Dengan cepat pria itu terbanting ke depan. Dia tersungkur. Temannya terkejut melihat kejadian yang begitu cepat. Tanpa menunda. Aku tendang dengan Dolke chagi tepat di dagunya. Dia terhuyung.
Aku tatap mereka berdua dengan wajah dingin. Yang satu terduduk merintih memegang pinggangnya. Kepalanya berdarah. Satu lagi tersender di halte. Mereka berdua dikecam takut dan kawatir aku akan serang lagi. Salah satu pria itu menangis. “ Ampunin saya pak. Saya hanya perlu makan. Ampun pak.” Katanya merayap ke arah kakiku. Aku tahu memang sedang ada operasi tertip memburu preman oleh Team anti Bandit ( TEKAB). Mereka pikir anggo anggota TEKAB. Aku tetap waspada.
“ Kalian pergi dari lokasi ini. Cepat ? kataku. Tanpa banyak bicara mereka segera berdiri “ Ini uang untuk kalian makan” Kataku menyerahkan uang 5 lembar uang Rp. 10.000. Mereka terkejut dan dengan berat menerima uang dariku. “ maafkan saya pak.”
“ ya cepatlah pergi.” Kataku. Mereka setengah berlari menjauh ke arah roxy.
Wanita di sampingku wajahnya pucat dan menggigil. kecam rasa takut “ Engga apa apa. Mereka sudah pergi. Kamu mau kemana? Tinggal dimana? Kataku. Wanita muda itu terdiam. Seakan belum usai shock nya. Aku diam saja. Tak berapa lama, wanita itu mendekat.” Saya dari indramayu. Baru datang dari kampung. “ Katanya.
“ Mau kemana tujuannya?
“ Ke rumah kakak saya di Bongkaran. Kawasan petamburan”
“ Ya udah. Kita satu arah. Mari naik bajay aja.” Kata saya seraya stop bajay. Waktu itu jam 11 malam. Dia perkenalkan namanya Wati. Aku juga kenalkan namaku
“ Aku sudah berusaha melamar untuk bekerja ke sana-ke mari, namun begitu sulitnya dengan ijazah SMA yang kumiliki.” Katanya. Oh dia senasip denganku. Tamatan SMA. “ Di kampung aku kerja apa saja. Karena banyak sekali tikus liar. Pemda memberikan sejumlah uang untuk setiap tikus yang terbunuh. Aku bisa mengumpulkan uang. Tapi uang itu untuk pengobatan ibuku. Akhirnya ibuku meninggal, Aku yatim piatu. Bulan lalu, kakak sepupuku tawarkan aku merantau ke jakarta. Sekarang aku datang.”
“ Jakarta tidak ramah untuk orang kampung seperti kita. Kalau kamu tidak tegar, nasip kamu bisa berujung di barak pelacuran. Kalau pria, bisa berujung penjara atau mati kena dor Tekab. Saran saya, tegar lah selalu. Jangan sampai kamu jadi pelacur. “ Kataku.
Dia menunduk. “ Ya mas. ibuku berpesan sebelum meninggal. Apa pun yang terjadi, berjanjilah pada Ibu untuk tidak terseret ke lembah hitam. Lebih baik miskin terhormat daripada kaya raya tetapi harus menjual diri.” Katanya.
Wanita itu berhenti di kawasan bongkaran. Aku terus ke Tanah abang.
***
Tahun 1987, aku dapat order piring untuk ekspor. Aku datangi pabrik di kawasan Tangerang. Setelah deal untuk ekspor 1 kontainer. Aku selalu ada di pabrik itu mengawasi proses produksi agar bisa on time delivery. Satu malam, aku pergi ke warung yang tak jauh dari pabik. Musik dangdut memekak. Diiringi tawa wanita dan pria yang menari mengikuti irama dangdut. Aku terus aja makan. Entah mengapa usai makan dan membayar, aku meliat wanita berdiri dekat pintu keluar. “ Mas, jeli, masih ingat Wati, mas” tegurnya. Senyumnya langsung mengingatkan aku kepada 4 tahun lalu di Grogol.
“ Kamu, Wati?
“ Ya mas. “ Katanya setengah berbisik.
“ Ngapin disini?
“ Aku jadi lonte. Aku terpaksa harus mengingkari janjiku kepada ibuku.” Katanya dengan mimik putus asa.
“ Kamu tinggal dimana?
“ Sewa rumah bareng teman teman. Di belakang warung ini.” Katanya.
“ Kenapa Wati? “ Kataku tanpa berani meneruskan pertanyaanku.
“ Aku sempat kerja di pasar grosir tanah abang. Kakak sepupuku perawanin aku dan karena itu istrinya mengusirku dari rumahnya. Pacarku pedagang dari daerah. Setelah dia tiduri aku, dia campakan aku. Tak mau nikahiku karena tahu aku sudah tidak perawan.. Dia tidak pernah datang lagi. Akhirnya aku menjual diri. Ada germo yang carikan pelanggan. Tetapi setelah aku kena penyakit. Germo buang aku. Setelah sembuh aku pindah kemari. “ Katanya berlinang air mata. Aku geleng geleng kapala. Tetapi apa yang bisa aku lakukan. Jakarta memang kejam.
Besoknya aku bicara kepada boss pabrik. “ Boss, ada lowongan untuk perempuan?
“Kebetulan ada. ini hari baru buka lowongan. Kerja bagian finishing”
“ Apa bisa teman saya kerja di sini.”
“ Ya datanglah. Itu lowongan udah diumumkan di depan pintu pabrik”
Malamnya aku datang ke warung itu. Wati menemaniku. “ Besok kamu kerja di pabrik piring itu. Mau ?
“ Mau mas. “
“ Ya udah. Jangan lupa besok datang ya. “ Kataku. Aku beri dia uang Rp. 300.000. “ Ini uang untuk kamu sewa rumah dan makan selama sebulan. Kamu harus pindah dan jaga kesehatan. Paham”
“ Ya mas. Terimakasih mas.” Kata Wati berlinang air mata.
***
Tahun 2004 aku sedang berjalan di kawasan Kowloon menuju Asia World hotel untuk bertemu dengan pelangganku dari Timur Tengah yang mau beli garment. Aku mampir makan siang di harbour. Terasa bahuku ada yang tepuk. “ Mas Jeli “ Suara wanita menegurku. Aku perhatikan wanita itu dan tetap tidak mengenal siapa yang tegurku. Cantik dan pakaianya modis.
“ Mas, aku Wati. Adikmu. Lupa ya.”
“ Wati..? Aku berpikir keras.
“ Yang kerja di pabrik ceramik? Katanya mengingatkan.
“ Ah ya..ya. Wati. Eh kamu kok beda sekali. Makanya saya lupa”
“ Ya mas, Lama kita engga ketemu. Mungkin ada 17 tahun. Terakhir ketemu tahun 1987. Mas, tahu engga. Sejak kerja di pabrik dan sampai sekarang. Wati tidak pernah lupa doakan Mas. Malaikat wati. Yang begitu baik, lebih dari kakak sendiri. Mas terlalu baik."
“ Ya ya.. “ Kataku tercerahkan. “ Gimana kabar kamu?
“ Aku sekarang jadi EO. Tadinya setelah kerja di pabrik. Wati dapat tawaran jadi sales stand pameran property. Karena itu Wati kenalan sama bule. Jadi pacar wati. Dia ajarkan wati jadi EO. Sekarang udah 10 tahun bisnis EO. Ya adakan pameran property, wisata, macem macemlah. “Katanya tangkas. Engga nampak lagi kesan dia inperior seperti 17 tahun lalu.
“ Ada apa ke Hong Kong.? tanyaku masih terpesona dengan penampilannya.
“ Lagi survey untuk datangkan penyanyi dari Indonesia. Mentas di Hong Kong. Kan TKI banyak di Hong kong. “
“ Hebat kamu. Bangga saya.” Kataku. Dia peluk aku.” Mas terimakasih. Setidaknya aku merasa senang. Karena jadi adik kebanggaan mas.”
“ Udah punya anak berapa ?
“ Belum punya. Suami engga ada. Siapa yang mau tanam cabang bayi.” katanya tersenyum
“ Loh ajak pacar bule kamu menikah.” kataku.
“ Ya rencannya tahun ini menikah dan kemungkinan Wati pindah ke Amerika. “
“ Baguslah. Mas doakan selalu yang terbaik untuk kamu.” Kataku berlalu. Tahun 2008 aku dapat email dari Wati, Bahwa dia sudah di California, AS.
Wati dan aku, adalah orang kampung. Kami tidak punya kemewahan untuk menentukan apa yang terbaik untuk kami. Mungkin kami bukan orang baik. Tetapi yang pasti kami selalu berniat baik. Hanya kadang hidup yang tidak ramah. membuat kami berbelok arah. Tapi Tuhan selalu mengimbau kami kembali. Dan selalu ada cara Tuhan menuntun kami agar kami baik baik saja.
MYdiary