Saat masuk SMP tahun 1976, aku punya tetangga. Namanya Agus. usianya lebih tua dariku. Aku kelas 1 SMP dia sudah kelas 3 SMA. Adiknya Dita, satu SMP denganku. Agus memang orangnya pendiam. Lebih sering di kamarnya. Jarang dia bermain dengan teman temanya sebaya. Dia pintar di sekolah. Selalu juara.
“ Kamu harus tiru Agus. “ Kata Pamanku sambil pegang kepalaku. “ Utamakan belajar agar bisa berguna nanti. Jangan main dibanyakin” Nasehat pamanku. Aku hanya mengangguk. Bagaimanapun aku belajar keras. Jangankan juara sekolah. Masuk rangking 10 saja di kelas aku tidak mampu. Entah mengapa aku lemah sekali pelajaran hapalan.
Ibuku buka warung kebutuhan hari hari di depan rumah. Sore biasanya bapak bapak kumpul di depan warung. Mereka cerita kalau Agus diterima di PTN di Bandung. Lulus lewat test. Ayah Agus cerita bagaimana bangganya dia saat antar putranya ke Bandung. Melihat kampus yang megah. Ayah Agus kerja di stasiun kereta, tentu sangat berharap putranya bisa jadi sarjana dan bekerja instansi yang punya masa depan baik. Setidaknya hidup Agus akan lebih baik dari ayahnya.
“ Biasanya Sarjana ekonomi kerjanya di bank” Kata ayahnya depan bapak bapak. Para bapak bapak menampakan wajah kagum kepada Ayah Agus. Malam itu pamanku berkata kepadaku. “ Kamu harus tiru Agus. Sekolah pintar dan terima di PTN. Itu membanggakan sekali.”
“ Ale, sekolahnya engga pintar. Tamat saja dia SMA sudah alhamdulilah.” Kata Ibuku.
“ Entah bagaimana masa depan anak ini. Sekolah tidak pintar dan orang tua tidak mampu. Kepada siapa dia akan bergantung nanti” kata Pamanku.
“ Anakku punya Allah dan tentu Allah lah tempat dia bergantung. Uni hanya bisa berdoa saja untuk Ale. Apalagi dia anak laki laki tertua kami” Kata Bunda.
***
Tamat SMP , orang tuaku pindah rumah. Aku tidak lagi bertetangga dengan Agus. Dan lagi selama kuliah di Bandung dia tidak pernah pulang. Kelas 2 SMA aku dapat kabar dari Dita, Agus sudah kembali ke rumahnya. Dia sudah sarjana. Menurut Dita, Agus selalu di rumah, Tidak kemana mana. Hanya setahun nganggur, setelah itu dia kerja di Bank. Itupun berkat ayah pacarnya. Tercapai juga cita cita ayah Agus.
Setamat SMA tahun 82, Aku sempat ke rumah Dita sebelum pergi merantau ke Jawa. “ Ale, rencana kuliah di Jawa Ya ? tanya ayah Agus.
“ Tidak kuliah pak. Hanya mau merantau saja.” Kataku.
“ Gimana lue hidup kalau engga kerja di Jawa” Kata Agus ketus.
“ Saya akan kerja apa saja. Yang penting halal” kataku. Agus tertawa sinis. Aku diamkan saja.
Setelah itu aku pergi merantau ke Jawa.
Tahun 1984. Setelah dua tahun di rantau aku kembali ke kotaku. Aku dapat cerita kalau Agus sudah menikah. Lengkaplah jalan hidupnya yang terang benderang. Karir agus tentu semakin baik. Tapi masih tinggal dengan mertuanya. “Agus itu hebat. Sarjana dari PTN dan karirnya bagus.” Kata Pamanku. “ Memang kalau anak itu akan sukses sudah keliatan dari kecil. Dia rajin belajar dan kurang main.” sambung pamaku yang bersatire tentang aku yang tidak kuliah dan kerja hanya salesman.
***
Sejak tahun 84 aku tidak pernah dengar lagi cerita tentang Agus. Apalagi dia sudah pindah ke Cabang Bank di Palembang untuk karir yang lebih hebat tentunya. Tahun 93 aku bertemu dengan Dita yang bekerja sebagai ajun akuntan di Pabrik Kulkas. Kantornya di bilangan kota tua.
“Ayahku sudah pensiun. Di rumah hanya ada Ayah dan Ibu. Bang Agus di Palembang dan aku di Jakarta. “ Kata Dita bercerita tentang keluarganya. “ Satu sen pun tidak pernah Bang Agus kirimin uang untuk orang tua kami. Pernah ayah dan ibu ke Palembang ke rumahnya tapi disikapi masam oleh dia dan Istrinya. Entah mengapa dia begitu. Padahal dia sudah kepala cabang.” Kata Dita dengan raut wajah sedih.
“ Ayah sangat bangga sekali dengan Bang Agus. Ayah selalu penuhi kebutuhannya waktu kuliah di Bandung. Setiap bulan ayah harus berhutang untuk bisa kirimin uang ke bang Agus di Bandung. Kami makan sangat prihatin. Hidup dari gali lobang tutup lobang. Tadinya ketika aku terima di PTS di Jakarta, aku berharap bang Agus bisa bantu uang kuliahku . Tapi bang Agus engga mau bantu apapun. Terpaksa aku kerja serabutan di Jakarta agar bisa terus kuliah. Pernah jadi SPG, macem macem kerjaan aku lakukan agar bisa terus kulaih dan lulus jadi sarjana.
Setelah aku kerja, 1/3 gajiku untuk bayar utang ayah. Baru dua tahun bisa lunas. Tapi ayah sudah sakit sakitan. Kena Ginjal. Butuh biaya berobat. Kemudian ibuku kena penyakit gula. juga sakit sakitan. Terpaksa aku harus berkorban lagi merawat mereka. Makanya sampai usia 30 tahun masih jomblo. Mana pernah ayah kawatirkan aku. Engga pernah tanya kapan aku akan menikah. Apakah sudah punya pacar. Sepertinya aku ini anak buangan. Tapi aku ikhlas saja” kata Dita.
***
Tahun 2009 Januari aku ketemu lagi dengan Dita. Kami bertemu dalam acara Seminar di Hotel SariPacific Jakarta. Saat itu aku jadi narasumber seminar bertema Krisis Lehman.” Emangnya Ale tadi kuliah dimana ? tanya Dita. Dia peserta seminar.
“ Aku engga pernah kuliah.Tapi entah mengapa aku dijadikan narasumber. “ kataku.
“ Terlalu merendah Ale. Aku baca profil Ale sebagai narasumber. Hebat. “ kata Dita tersenyum bangga " Lihat Ale bicara depan peserta Seminar aku sempat mikir bagaimana Ale sahabat masa kecilku yang selalu berjalan bertelanjang kaki. Tidak punya sepatu olah raga. SMA di sekolah pavorit tetapi tidak malu dagang kaki lima. Tidak pernah mampu masuk universitas. Tapi kini bisa bicara di hadapan para sarjana hebat, bicara tentang hal yang rumit terutama bagi orang Indonesia. Dari kecil aku bangga dan senang punya Ale sebagai sahabat. Sangat penolong kepada wanita dan selalu mengalah. Aku ingat tahun 93 Ale titip uang untuk kedua orang tuaku. Halus sekali perasaan Ale saat memberi uang kepadaku. Tak ingin menyinggung perasaanku. " Lanjut Dita, Aku senyum aja.
“ Kenapa aku harus bohong kepada sahabat masa remajaku. “ kataku tersenyum. Aku ajak Dita minum kopi di kafe di hotel itu seusai seminar.
Aku dapat cerita dari Dita tentang Agus, Abangnya. “ Tahun 2002 bang Agus kena kasus. Dia terpaksa berhenti kerja di bank. Setelah itu hubungannya dengan istri tidak lagi harmonis. Tahun 2004 mereka bercerai. Rumah dan harta semua diambil oleh istrinya. Bang Agus sekarang tinggal sendirian di rumah warisan orang tua kami. Karena ayah dan ibu sudah meninggal sejak tahun 96. “ kata Dita.
“ Oh …” aku hanya bisa prihatin saja.
“ Tahun 2006 dua anak bang Agus tinggal bersamaku. Walau kami mampu biayai. Tapi aku beri mereka kesadaran bahwa mereka tidak boleh hidup dari bayang bayang orang tuanya. Apalagi bergantung dari fasilitas orang tua. Mereka juga sadar. Bahwa mereka dikirim kepadaku karena orang tuanya tidak mampu. Kini yang satu masih kuliah. Tapi kerja sambilan sebagai junior programer. Dan satu lagi masih SMU, ikut kursus jasa boga. Aku dukung aja apa mereka mau. Dan lagi keberadaan mereka karena Tuhan. Bukan aku yang minta kedua anak itu tetapi ibunya yang antar mereka ke jakarta untuk tinggal bersamaku. Untung saja suamiku mau terima.”
“ Eh Dita udah nikah. Kapan ? tanyaku.
“ Tahun 97. Tepat usiaku 34 tahun. Suamiku dari keluarga miskin juga. Dia sukses sebagai pengusaha karena kerja keras dalam kesulitan yang panjang sampai harus terlambat menikah. Untung ketemu dengan aku yang juga perawan tua. Usianya saat menikah 45 tahuh. Ya beda 11 tahun dengan aku.” Kata Dita.
“ Punya anak berapa ?
“ Satu. Untung ya “ Kata Dita tersenyum. “ peranakan ku masih berair dan kokoh. Walau aku hamil usia 36 tahun tapi tetap sehat. “Lanjut Dita, Aku mengacungkan jempol.
“ Ale..” Seru Dita. “ setelah aku menikah. Aku baru paham makna dari perjalanan hidupku dan kedua orang tuaku. Ayahku sangat memaksakan diri agar Agus seperti apa yang dia mau. Apapun diarahkan dan ditolong. Bahkan perjodohan Agus dengan putri pejabat Bank itupun cara ayahku agar Agus mudah kerja di bank setelah tamat kuliah. Agus memang sukses selagi ayah dan mertua masih ada. Tetapi setelah tidak ada. Dia rentan sekali dengan goncangan. Sekali kena badai dia langsung karam.
Bang agus memang anak dari orang tuaku tapi dia bukan milik mereka. Ia milik Tuhan. Kewajiban orang tua menyayangi tetapi bukan memaksakan pikiran dan kehendak. Seharusnya ayah percaya bahwa bang Agus punya pikkirannya sendiri dan itu takdirnya. Ya seperti aku. Seperti anak ayam. Setelah besar di patok oleh ibunya dan dicuekin agar bisa mandiri lewat proses yang panjang. Menjadi orang tua itu tidak mudah. Karena kita harus percaya kepada sunatullah. Ulat harus berjuang dalam kesakitan agar bisa keluar dari kepompong dan setelah itu dia akan berubah jad kupu yang indah. Karenanya proses penyerbuk bunga tanaman terjadi untuk terciptanya buah. Ia pun bermanfaat bagi kehidupan dan semesta. Memang begitu seharusnya. "Kata Dita..
3 comments:
Makasih babo
Terima kasih untuk semangat berbagi cerita penuh hikmahnya Babo, Insya Allah jadi amal jariah yg berkepanjangan 🤲🙏
Sruput kopinya om babo😊🎶💪☕🇮🇩
Post a Comment